RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 9

Written by : Prince Novel

CHARLIE

9.

Big Problem

Jantungku seakan berhenti berdetak ketika mendengar kata-kata dari Shin. Aku menatap Shin dan Diaz secara bergantian. Bisa kulihat kalau Diaz memelototiku. Sepertinya dia sedang mencerna perkataan Shin barusan.

“Jelaskan!” Diaz bicara dengan dada yang naik turun menahan amarah. “Kenapa kau menyamar jadi cowok? Apa kau tak tahu berapa orang yang kau tipu?”

“Pertama, aku sama sekali tak mau dianggap sebagai cowok. Kedua, kau sendiri yang mengira aku sebagai cowok!”

“Itu karena kau berdandan sebagai cowok!” Diaz menatap Bram. “Kenapa kau tidak melarang dia, Bram? Kenapa kau tidak memberitahuku kalau dia perempuan?”

“Pertama,” Papaku keliahatan akan meledak. “Kau yang salah mengira dia sebagai lelaki seperti tadi yang dikatakan Charlie dan kedua, bukannya kau yang memasukan foto anakku ke majalah itu? Lalu ketiga, kau sendiri yang meminta Santiago untuk membuat Charlie menjadi model.”

“Jadi ini salahku?” kata Daz.

“Ya! Ini salahmu!” kata Charlie kesal. “Apa kau tak bisa sedikit saja untuk mendengar kata-kata orang?”

“Aku sedang bermimpi!”

Diaz kelihatan kacau. Dia berbalik menuju mobilnya setelah membanting pintu mobilnya dengan kesal. Aku sebenarnya tidak begitu mengerti tingkahnya yang satu itu. Sungguh!

“Dia akan menerimanya cepat atau lambat,” kata Shin melipat tangannya.

“Kau, ” sekarang amarahku menaik ketika melihat wajah Shin. “Ini karena kau! Kenapa kau tak bisa diam, hah? Aku sama sekali tak mau kau menyebarluaskan soal diriku padanya! Apa yang kau pikirkan?”

“Apa yang kupikirkan? Yang kupikirkan adalah supaya Diaz bisa berperilaku normal pada anak perempuan. Apa kau tak merasakan kalau dia selalu menindasmu? Kurasa ada baiknya jika antusiasmenya terhadapmu berkurang sedikit. Dia mungkin akan shock, tapi kurasa dia akan baik kembali, kau tenang saja. Tak perlu khawatir.”

“Dasar gila!” Charlie masuk ke rumahnya sambil membanting pintu.

“Kau akan berterima kasih padaku, Charlie!”

“Nggak bakal!”

Ini benar-benar masalah. Masalah besar!

***

Mungkin kesannya kekanak-kanakan, tapi Diaz menghilang bagai ditelan Bumi. Nomornya nggak aktif dan rumahnya kosong. Ada kemungkinan dia akan menghilang dalam jangka waktu yang lama. Aku tak bisa memungkiri hal itu. Dia butuh waktu lama untuk mencerna kata-kata Shin. Ingin rasanya dia kucakar saat itu. Seenaknya dia berbicara dengan tidak peduli.

“Hah…”

Aku menghela napas lagi. Papan tulis di depanku kelihatan tidak bemakna. Maksudku itu sangat penting: Kimia. Tapi entah kenapa aku sedang nggak mood.

Semuanya karena Diaz!

Dengan kepergian seperti itu benar-benar membuatku sebal dan kesal setengah mati. Kepikiran. Gawatnya—dan ini menambah pikiranku—apa yang akan dilakukan Diaz selanjutnya? Apa dia akan melaporkan kebohonganku pada Santiago?

“Charlie,” Guru Kimia menegurku yang masih terbengong. “Coba kamu kerjakan nomor enam. Jangan lupa mengerjakan nomor dua belas lagi.”

Aku menghela napas sambil bangkit dan berjalan di depan papan tulis. Kuambil spidol dan menuliskan jawaban dengan pikiran yang melayang-layang. Aku tak mengerti apakah jawabannya benar atau tidak, yang pasti guru bilang aku bisa duduk. Kemudian aku duduk kembali dan mengambil handpohoneku yang bergetar perlahan. Kubuka SMS itu.

From: Shin

Charlie, Diaz di kantor. Keadaan gawat.

Jantungku berdetak cepat. Aku segera bangkit dan mengambil tasku.

“Charlie, ada apa?” kata Bu Kimia.

“Saya kurang enak badan, Bu,” kataku. “Bisa…” aku memutar otak. “Bisakah saya permisi?” dan tanpa menunggu jawaban, aku mengangkat tasku keluar dari kelas. “Terimakasih, Bu.” Dan aku berlari sekuat tenaga. Tidak mempedulikan apa yang terjadi dibelakangku.

Aku tak punya waktu lagi untuk ganti pakaian menjadi cowok di rumah, maka aku berlari masuk ke dalam salah satu toko pakaian dan secara acak mengambil baju cowok yang pas menurutku: jeket, kemeja besar, tas sandang, sepatu sport dan celana hitam berkantong. Aku sesak napas dan berkeringat.

Aku kembali berlari lagi. Entah kenapa rasanya ini begitu penting. Ada sesuatu yang gawat. Aku tak tahu apa yang gawat. Tapi entah kenapa perasaanku tak enak. Aku yakin ini pasti tentang aku.

Sanking khawatirnya, aku mempercepat langkahku dan sama sekali tak memerhatikan apa yang ada disekelilingku. Saat ini aku sama sekali tak memikirkan Charlie sang Model. Bahkan aku sama sekali tak tahu kalau para penggemarku berteriak senang karenaku. Sialan! Ini bukan saatnya memikirkan itu!

Aku akhirnya masuk ke dalam perusahaan. Satpam segera menghadang penggemar yang memaksa masuk ke dalam kantor. Kupencet tombol lift, tapi karena nggak terbuka, maka kuputuskan berlari melewati tangga. Tak peduli seberapa keringat yang keluar atau tenggorokanku yang kering atau capeknya badan serta kakiku ketika berlari, aku tetap tak berhenti.

“Charlie,” Shin melambai dari ujung koridor yang ramai. Ada Eugene dan Tyan serta beberapa staf disana. Aku segera kearah mereka, bisa kudengar teriakan-teriakan dari dalam ruangan itu.

“Ada apa?” kataku dengan napas sesak.

“Diaz, dia bilang ingin memecatmu,” kata Eugene. Matanya menyipit berbahaya. “Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan?”

“Apa?”

Aku sama sekali tak bisa mempercayai indera pendengaranku. Pecat? Pecat apa? Apa maksudnya dipecat?

Sambil menggertakan gigiku dan menahan amarah yang rasanya meledak-ledak dalam kepalaku , aku menerobos masuk melewati staf yang memenuhi jalan masuk dengan susah payah dan mendengarkan secara jelas apa yang dia dan Santiago diskusikan.

“Pecat? Kau sudah gila, Diaz. Kau sama sekali tak punya alasan untuk mengeluarkan Charlie dari perusahaanku. Apa yang kaupikirkan?” Santiago menaikan alisnya. “Seperti yang sudah kau ketahui, karir Charlie sedang naik daun sekarang. Mana mungkin aku melepasnya. Penggemarnya bisa membakar kantorku nanti.”

“Aku tak mau memakainya lagi. Aku mau model lain,” kata Diaz dengan nada dalam. Rasanya aku bisa merasakan ada auranya yang mengerikan. Dia sedang panas.

“Bukan berarti karena kau tak mau memakainya lagi, kau bisa sesuka hatimu mengeluarkannya. Dia bisa dipegang oleh fotografer lain walaupun hasilnya tidak bagus.” Santiago kelihatan kesal. “Lagipula, kenapa kau tak memberikan alasan yang masuk akal selain kata-kata tak ingin memakainya lagi? Rasanya kalian akur-akur saja.”

“Kami tak pernah akur!” aku buka mulut. Diaz kelihatan kaget. Kupancarkan tatapan berbahaya padanya biar dia tahu rasa. “Dan tak akan pernah akur.”

“Ikut aku sebentar!” Diaz menarik tanganku dengan paksa dan berjalan menerobos kerumunan.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.