RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 8

Written by : Prince Novel

CHARLIE

8.

Raisha

Diaz terlihat bengong dan bingung saat melihatku memunculkan diri lagi ke studio. Pertama-tama dia kelihatan akan menghinaku, tapi saat melihat gandengan tangan Raisha padaku dia kemudian menoleh pada Raisha.

“Mau apa kau kemari?”

“Hai, Diaz! Apa kabar?” sapa Raisha pura-pura tidak mendengarkan perkataan Diaz.

“Nggak usah basa-basi. Mau apa kau kemari? Jangan gandengan dengan modelku,” kata Diaz melepaskan gandengan Raisha dengan paksa. Raisha merengut, tapi dengan gampangnya ekspresinya itu kembali.

“Aku mau foto bareng Charlie. Kalau kau tak keberatan, mau kan mengambil gambar kami?” katanya manja pada Diaz. Aku mendengus jijik, rasanya semua sarafku membeku.

Kulihat Diaz melirik padaku. “Nggak. Kau bisa foto dengan dia secara formal, bukannya pribadi. Takutnya ada paparazi yang salah paham dengan foto kalian berdua nanti.”

“Ayolah...” Raisha melepas rangkulannya padaku dan kali ini menyerang Diaz. Diaz cepat-cepat menyingkirkan tangan Raisha dan menatapku dengan panik.

“Apa-apan sih? Lepas.”

“Kau kan pacarku, Diaz.”

“Mantan,” Diaz memperbaiki dengan cepat. “Dan aku nggak suka membahas itu lagi.”

Ha? Aku kaget. Cewek disampingnya ini... yang lebai dan genit nggak jelas ini mantan pacarnya Diaz? Wow! Nggak nyangka kalau selera Diaz jelek banget kalau lihat cewek.

“Tapi aku pengen.” Raisha masih berupaya merayu. “Lagian, aku kan belum setuju kalau kita putus. Bukannya kita sehidup semati?”

Hmp! Aku menahan tawaku. Kulihat Diaz, wajahnya merah padam.

“Raisha, cukup! Aku nggak mau kau berfoto dengan modelku!” gerutu Diaz menyingkirkan tangan Raisha dengan paksa. “Dan jangan berlaku seperti itu lagi padaku, oke? Kita udah putus! Titik! Aku nggak mau dengan alasan macam-macam atau permintaan aneh-aneh. Karena itu kumohon padamu jangan dekat-dekat aku lagi dan juga modelku!”

Aku terkejut ketika dia menarik tanganku dan mengajakku keluar dari ruangan itu tanpa mempedulikan Raisha yang berteriak-teriak tak jelas.

“Jangan dengarkan apa yang dia katakan!” kata Diaz setelah kami ada di luar kantor. Aku menaikan alis sambil tersenyum-senyum geli. “Aku sudah putus, itu sudah pasti.”

“Kenapa kau harus mengatakan itu padaku?” kataku dengan dahi mengerut. “Kau berkencan dengan siapa itu juga bukan urusanku.”

“Aku…” Diaz terbengong kelihatannya mencerna kata-kataku barusan.

“Aku pergi dulu. Udah malam. Lagian besok aku ada ujian,” kataku menarik kembali tas dan meninggalkannya sendirian sampai kemudian dia mengejar dari belakang. “Apa?”

“Aku antar.”

Dahiku mengerut dalam. “Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku bukan anak kecil.”

“Aku antar.”

Dia tak mendengarkan dan berjalan dengan sok sambil menarik tasku. Ini orang kenapa sih? Sok baik banget! Ada kekhawatiran lain yang kupikirkan. Yeah... kupikir dia ada niat balas dendam karena mantan pacarnya suka padaku. Tapi kenapa mereka putus ya? Jadi penasaran.

“Hei, kenapa kalian putus?” aku membuka pembicaraan ketika kami bersama-sama menuju tempat parkir.

“Siapa?” Diaz mengerutkan dahi sambil mengancingkan jeketnya.

“Kau dan cewek itu.”

Ops! Salah ambil topik! Dia melotot! Melotot dengan mata yang hampir keluar!

“Kenapa? Kau penasaran?”

“Apa tampangku terlihat seperti orang yang penasaran?” rutukku sebal.

“Nggak sih, tapi seperti orang yang marah. Kalau kau tak segera memperbaiki kepribadianmu itu, paparazi bisa menjadikanmu mangsa empuk,” kata Diaz menotol-notol dahiku dengan ujung telunjuknya.

Aku mencibir.

“Mana ada cowok yang tahan sama cewek kayak Raisha,” kata Diaz membuka pintu mobil perak miliknya dan dengan entengnya mencampakan kamera itu ke belakang. “Masuk. Kau bilang mau cepat pulang kan?”

“Buktinya kau pacaran dengan dia,” kataku duduk disampingnya, menutup pintu dan memasang sabuk pengaman. “Itu artinya kau tahan dengan dia.”

“Yeah... kalau saja dia bukan puteri dari Duffan, maka aku akan langsung bilang tidak.”

Aku mengerutkan dahi saat mencerna kata-katanya. Duffan? “Maksudmu dia puteri dari si Tukang Ikut Campur Santiago Duffan? Produser yang suka mengancam itu?”

“Yeah...” Diaz memindahkan koplingnya. “Dia.”

“Terus, gimana ceritanya kalian bisa putus? Rasanya mustahil banget kau bisa lepas dari dia dengan mudah. Apalagi jika dia itu anak dari si Produser.”

Diaz nyengir lebar. “Aku buat dia selingkuh.”

Aku makin tak mengerti. “Apa maksudnya kau membuat dia selingkuh?”

“Well, aku minta temanku yang tampan dan playboy buat menggoda dia. Berhasil. Kami menyusun rencana sehingga seolah-olah, aku kecewa melihatnya selingkuh, jadi dia nggak punya alasan buat menjebak aku lagi.”

Howooow! Ternyata Diaz licik juga.

“Kalau dia tahu, kurasa dia akan mengincarmu lagi,” gumamku.

“Siapa yang tahan sama cewek seperti dia?” Diaz mendengus dan menginjak rem saat ada kucing lewat di tengah jalan. “Bayangkan selama sejam dia mengoceh nggak jelas, non stop. Belum lagi saat kencan kerjaannya belanja melulu. Udah itu, dia selalu mengeluh soal rambutnya, alis matanya, kukunya dan entah apa lagi. Dia bahkan lebih suka aku yang menemaninya ke salon! Bayangkan!”

Melihat dari nada bicara Diaz yang menggebu-gebu, kelihatannya bersama Raisha benar-benar siksaan batin baginya. Yeah, mungkin Diaz tak bisa apa-apa sama cewek yang sejenis Raisha.

“Kau juga harus hati-hati padanya, Charlie.”

Aku menoleh. “Kenapa?”

“Kenapa?” ulangnya keheranan. “Karena dia menatapmu dengan tatapan berbahaya. Jangan sampai kau diancam buat jadi pacarnya. Menjauh dari dia selagi kau sempat.”

“Caramu mengatakan itu seolah-olah si Raisha itu berbahaya banget.”

“Dia memang berbahaya. Apalagi Papanya.”

“Ya, ya, aku akan berhati-hati.” Aku mengangguk-angguk.

Selama perjalanan Diaz curhat nggak jelas soal mantan pacarnya, membuatku sebal. Bukan karena aku nggak suka mendengar ceritanya, hanya saja suaranya yang teriak-teriak tak jelas itu membuat gendang telingaku mau pecah. Seolah-olah akulah yang dimarahi!

“Oke. Aku udah sampai.” Aku cepat-cepat turun dari mobilnya sebelum dia ngomel-ngomel lagi. Rumahku dalam keadaan terang benderang, sepertinya Papa sudah pulang. Dan aku sangat terkejut ketika melihat ada orang yang keluar dari pintu rumah.

“Shin?” Diaz turun dari mobilnya dan kaget melihat Shin yang merangkul Papaku. “Ngapain kau di rumah Bram?”

“Hanya pembicaraan dua sahabat,” kata Shin enteng. “Ya kan Bram?”

Aku cepat-cepat ke tempat Papa dan buru-buru menyingkirkan tangan Shin yang merangkul pundak Papa. Pemandangan menjijikan dan aku belum percaya kalau Shin itu normal. Shin mengikik geli.

“Kalau ada wartawan yang melihat kau berduaan dengan Bram bisa gawat tahu!” kata Diaz mengerutkan dahi. “Bisa jadi skandal.”

“Wartawan juga udah pada tahu kalau aku bersahabat dengan Bram.”

“Bersahabat dalam arti berbeda bagi wartawan,” gerutuku sebal. “Pulang sana.”

“Oke. Karena urusanku udah selesai, aku pulang dulu. Malam Charlie,” kata Shin mencium dahiku dengan cepat.

“Aaaargh!! Apaan, sih!” aku memukul tangannya. Sialan!

“Tingkahmu itu menjijikan tahu nggak,” Diaz memasang tampang berbahaya yang siap melahap Shin kapan saja dia mau. “Nggak bisa apa kalau kau mencium cewek di depan umum. Imagemu yang memang udah jelek itu bisa tambah jelek tahu.”

“Memangnya kenapa? Normal kan kalau aku mencium Charlie.”

“Normal?” Diaz mengulang tak percaya. “Matamu udah buta ya? Perhatikan dia baik-baik! Masa kau tak bisa membedakan mana anak laki-laki dan mana perempuan? Apa aku perlu mengajarimu?”

“Ah, kau cuma iri saja karena aku bebas berekspresi sesuka-suka aku.”

“Apa?” Diaz mengerutkan dahi tak percaya.

“Yah... kau cemburu karena aku dekat dengan Charlie.”

“Ap—”

Pembicaraan ini sepertinya akan berakhir ke tempat yang tidak menyenangkan.

“Bukannya kalian harus pulang?” kataku cepat ketika merasakan aura iblis mereka mulai menguap. “Cepat pulang.”

“Kuingatkan padamu, ya. Jangan dekati modelku,” kata Diaz dalam bisikan maut.

“Hey, man, nyante dikit dong. Charlie itu emang modelmu, tapi dia bukan pacarmu suka-suka aku dong. Lagian dia nggak keberatan tahu.”

“Aku nggak mau dia terjerumus dalam jurangmu.”

“Kau cemburu? Kau suka padanya?”

“Sembarangan.”

“Wajar saja kalau kau cemburu atau suka padanya. Soalnya Charlie itu kan cewek.”

GLEEEEEEEEEEEEK! MATI AKU!

Diaz mengerutkan dahinya, menatap padaku dan berkata “APA?” dengan mata melotot.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.