RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 7

Written by : Prince Novel

CHARLIE

7.

Charlie The Genius Guy

Aku menutup telinga ketika mendengar teriakan histeris dari salah satu teman sekelasku, Carla, cewek penggila para model cowok. Entah sudah keberapa kalinya dia berteriak histeris dalam satu jam ini ketika melihat cover dan isi majalah “Jepret!” yang hari ini terbit. Aku tak perlu tahu siapa yang terpampang disana karena Diaz tadi pagi sudah bilang kalau majalah itu sudah laris terjual sebelum satu jam.

“Kereeeeen!” kata Carla dengan mata berbinar. Cewek-cewek yang ada disekelilingnya mengangguk setuju. “Kedua orang ini benar-benar serasi! Gayanya oke!”

Ya ya... hello everybody...

“Charlie! Lihat sini dong! Bukannya kau juga penggemar Charlie?” teriak Carla.

“Nggak ah,” jawabku membuka lembaran bukuku. Aku sedang mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali aku bisa menghapal buku pelajaran dengan tenang.

“Charlie dan Shin yang model sekaligus aktor terkenal itu kan? Iri deh!” kata Carla. “Kudengar kabar kalau Charlie itu jenius loh. Ada gosip yang bilang kalau dia anak yang cerdas. Sialnya nggak ada informasi yang signifikan loh.”

Aku terpaku. Sejak kapan ada gosip begituan?

“Charlie benar-benar misterius ya?” kata anak yang lain. “Cuma tahu namanya doang. Dia benar-benar membuat hati para wanita bertanya-tanya. Coba kalau dia main film kan bisa ngeliat dia dimanapun. Nggak cuma di majalah doang. Itupun cuma majalah “Jepret”. Apa dia nggak laku ya?”

Sialan! Siapa yang nggak laku? Aku justru ditawari tapi aku nggak niat buat terkenal. Nanti aku malah nggak bisa keluar lagi dari bisnis merepotkan itu!

“Tapi kalau model kayak dia main film, aku yakin job-nya bakalan banyak. Soalnya kan banyak yang suka dia. Bayarannya tinggi juga kan?”

***

“Kau tertarik untuk jadi aktor?” Shin bertanya padaku ketika kami bertemu di koridor. Aku kaget melihat kemunculannya yang tiba-tiba dan entah bagaimana ceritanya kami sudah menyendiri di salah satu tangga darurat yang jarang dilewati orang.

Aku terdiam. Sedikit berpikir tentang harga yang bakal kubayar kalau jadi aktor.

“Kalau kau jadi aktor, kurasa kau bakal laku—itupun kalau kau bisa akting. Lagipula, ada lagi yang harus kau pelajari. Jadi aktor nggak mudah loh,” kata Shin ketika melihat raut wajahku. “Kalau kau jadi mau jadi aktor, aku mau membantumu. Tapi ada syaratnya, kau harus jadi mau jadi pacarku. Mau ya?”

Aku langsung menempeleng kepalanya. “Enak saja!” kali ini aku menopang dagu dan Shin masih saja seperti kemarin. Geli sendiri saat melihatku.

“Kau suka anak itu ya?” kata Shin tiba-tiba.

“Siapa?” kataku masih berpikir.

“Diaz.”

“Nggak.”

Sepertinya Shin agak sedikit kaget mendengar jawabanku yang sangat cepat.

“Kau membencinya ya?”

“Sangat,” jawabku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “Kau bohong ya.”

Dia mengerjap. “Soal apa?”

“Soal kalau kau homo!” aku gemas. “Papa bilang kau bukan homo! Kau cuma suka sama cewek aktif! Itu bohong atau bukan sih?”

Shin tersenyum lalu tertawa, lagi.

“Jangan ketawa!” kataku kesal. Jujur saja, jika Shin tertawa dia jadi semakin terlihat bersinar. Ekspresi yang membuatku salah tingkah.

“Kau begitu mengkhawatirkan Bram sampai harus menanyakan hal itu ya? Aku benar-benar nggak nyangka,” Shin geleng-geleng kepala.

“Benar atau nggak sih?” gerutuku.

“Iya benar. Yang dibilang Bram emang benar. Aku suka sama cewek aktif,” kata Shin. “Kebanyakan cewek yang aku sukai itu yang tomboy. Waktu aku jalan sama salah satu dari mereka, paparazi motret. Kebetulan sekali waktu itu cewek tomboy yang lagi dating sama aku rambutnya pendek pakai topi dan gaya preman. Munculah gosip itu.”

Oh... jadi begitu, pikirku. Akhirnya aku bisa lega untuk nggak memikirkan kalau Papa akan jadi incaran Shin yang berikutnya.

“Kau salah satunya loh, Charlie,” kata Shin tiba-tiba yang membuatku menatapnya.

Apa? Hah? Dia bilang apa?

“Kau termasuk tipeku, loh. Jadi kalau sekali-kali jalan denganku mau nggak?”

“Ogah,” aku refleks menjawab.

“Kau belum tertarik denganku ya?”

“Nggak tuh.”

“Belum,” Shin meralat. “Berarti suatu hari nanti kau bakal tertarik denganku dong.”

“Jangan harap.”

“Kejam.”

“Oi, Charlie!”

Kami berdua menoleh mendengar suara teriakan di lorong satunya. Itu Tyan. Dia melambai sambil berlari kearah kami. Aku segera bangkit.

“Apa?” kataku.

“Diaz mencarimu tuh. Dia mencak-mencak dari tadi,” kata Tyan. Dia menaikan alis saat melihat Shin yang masih duduk di atas tangga—yang tadi tepat disampingku. “Ngapain kau berduaan dengannya? Kalian ini kayak orang pacaran tahu.”

“Kami lagi masa pendekatan—aduh!” Shin mengerang ketika aku menginjak tangannya. “Sakit tahu! Tubuhku ini amat berharga!”

“Museumkan aja kalau gitu,” timpalku sebal. Kulirik Tyan yang semakin mengerutkan dahi. Hiiiiiiiiiiiiiii.... aku tahu kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi.

“Cepetan, gih,” kata Tyan. “Adi juga udah nyiapin baju buatmu.”

“Gaya boneka rusak lagi?”

Aku sudah cukup capek bergaya ala boneka rusak. Selain membuat image nakalku makin kelihatan. Aku sering jatuh karena tali-tali panjang yang tak sengaja kuinjak. Memar ditubuhku rasanya semakin banyak aja.

“Sepertinya...” Tyan mengangkat bahu. “Tapi ada rantainya, tuh.”

“Rantai?” aku mengulang.

“Ah... itu gaya mengerikan...,” Shin tiba-tiba menyambung dari belakangku sambil merangkulku. “Sepertinya ide gila Diaz dan optimisme Adi kembali menyatu. Hari ini kau bakal capek. Aku yakin itu.”

***

Harusnya aku tahu. Pemotretan berarti Diaz dan Diaz adalah mimpi buruk. Ada dia saja sudah membuatku merasa kalau aku di neraka ditambah lagi dengan Adi. Sekarang aku mengerti apa yang dimaksud dengan ide gila Diaz dan optimisme Adi yang menyatu. Mereka berdua memang dua orang gila seni yang pada dasarnya memang sudah gila.

“Hei...,” aku tiba-tiba berbicara ketika Diaz sedang mengotak-atik kameranya sementara aku ada di lokasi kejadian. Tersorot dengan empat buah lampu terang benderang dengan pakaian yang berat dan membuatku tak nyaman. Aku bahkan tak bisa bergerak kalau tidak maka segala rantai yang membelit tubuhku dan benang-benang yang mengikatku akan putus dan pemotretan akan berhenti saat itu juga. Aku jadi ingin melakukannya.

“Apa?” kata Diaz nggak melihatku sama sekali.

“Apa aku harus dipotret dalam kondisi begini?” aku histeris! Sangat histeris!

Aku memakai jeket hitam robek-robek di sepanjang lengan baju yang memperlihatkan lenganku yang kurus. Lenganku juga diikatkan dengan benang-benang menjuntai disisi kiri dan kananku. Membelit dengan berantakan seperti jaring laba-laba merepotkan. Begitu juga dengan kakiku yang berlapiskan dengan celana jeans sobek-sobek penuh jahitan dan benang yang sama gilanya dengan yang ditanganku.

Belum lagi benang-benang itu melilit ditangan dan kakiku, tali-tali tambang juga menjerat, pinggang, melilit sebagian lengan dan entah apa lagi. Bukan hanya itu, Adi baru saja menambahi rantai juga. Rantai besar berkilat yang diikat dengan sempurna di lengan kanan. Melilit dengan manis—kata Adi—di pinggang dan sepanjang kaki kiriku. Rasanya aku pengen nangis. Sudah sejam aku nggak bisa gerak cuma untuk mempersiapkan ini doang dan aku capek.

“Iya,” jawab Diaz polos. “tema kali ini adalah keterikatan.”

“Keterikatan?” aku mengulang dengan nada marah. “Aku sudah sangat terikat tahu!”

“Jangan berteriak. Kau menurut saja dengan apa yang kusuruh. Coba kau bikin tampang putus asa yang penuh dengan kesendirian. Seakan-akan muak dengan dunia.”

“Aku muak denganmu!” kataku sebal.

“Bukan marah tapi tampang putus asa yang penuh kesendirian,” dia mengulang.

Aku berusaha menarik-narik ujung bibirku untuk tersenyum dan Diaz kembali marah-marah. Rasanya penderitaanku semakin bertambah. Rantai, teriakan, berat dan entah apa lagi. Sesekali aku ingin tampil dengan gaya cewek. Kayaknya mustahil mengingat seperti apa aku bertemu mereka ketika pertama kali bertemu.

“Capek...,” aku mengeluh sambil tidur teletang di lantai ruang tari. Tyan dan Eugene ada disampingku. Mereka sedang sibuk meminum soft drink. Kebetulan sekali kami bisa beristirahat di waktu yang sama seperti ini.

“Aku nggak menyalahkanmu,” kata Eugene. “Kalau pada dasarnya Diaz itu gila.”

“Yah... Diaz dan Adi memang gila. Nggak aneh kalau mereka selalu bersama,” kata Tyan setuju sambil mengangguk-angguk. “Tapi Charlie, aku harus bangga padamu. Baru kali ini dia betah dengan satu model. Biasanya moodnya selalu pindah-pindah.”

Aku melirik Tyan. Apa maksudnya coba?

“Kau tahu sendiri kalau Diaz kadang suka sama satu model aja. Setelah dua bulan, aku yakin Charlie pasti langsung dia buang. Nggak butuh waktu setahun.” Eugene meneguk lagi soft drinknya.

“Ini udah lebih dari dua bulan. Sekarang ini udah empat bulan sejak Charlie jadi model tetap Diaz,” kata Tyan lagi. “Kurasa dia suka padamu. Kau lain sih.”

“Apa maksudnya dengan lain?” gumamku kesal. Aku duduk lagi setelah badanku rasanya mulai baikan. “Pengen deh liburan. Kepalaku jadi sakit.”

“Kalau Diaz dengar, dia pasti langsung membawamu ke dokter.”

“Dia agak paranoid.”

Ternyata dugaanku benar. Diaz memang gila.

***

Aku memegang leherku. Langit sudah gelap. Aku pulang terlalu larut. Segera kupercepat langkahku keluar dari pintu lift. Kurasa Papa masih ada di kantornya. Aku tak mau mengganggu siapa tahu dia sedang sibuk dengan bisnisnya.

“Kau yang waktu itu kan?” seseorang memegang bahuku dan menarikku untuk menghadap belakang. Aku mengerjap ketika melihat wajah asing seorang perempuan di dekat wajahku. “Wah,” katanya tampak senang sekali. “Kau lebih keren daripada difoto.”

Penggemar? Dahiku mengerut.

“Aku Raisha,” dia mengulurkan tangannya.

“Charlie,” setelah kebingungan beberapa saat. Aku akhirnya menjabat tangannya. Aku memperhatikan penampilannya dari atas sampai ke bawah.

Dia gadis cantik dengan mata besar dan rambut lurus yang indah. Tubuhnya langsing tinggi. Dia semakin tinggi jika memakai sepatu bertumit tinggi. Dia kelihatan seperti seorang model. Bisa kuperkirakan kalau dia sama sekali bukan penggemar.

“Kau lupa padaku?” katanya sambil melambai kedepan wajahku. Sepertinya dia heran melihatku kebingungan. Tentu saja! Aku sama sekali tidak mengenalnya. “Aku yang waktu itu. Kau ingat tidak? Cewek yang memotretmu secara tiba-tiba. Yang waktu itu menangis karena kau bentak?”

Ah... ternyata dia yang waktu itu! Aku baru ingat!

“Waktu itu aku merasa bersalah sekali karena mengambil gambarmu tanpa izin,” katanya malu-malu sambil menyodorkan kameranya padaku. “Karena itu... aku boleh tidak mengambil gambarmu lagi?”

Melihat matanya berbinar membuatku agak tidak nyaman. “Eh... boleh.”

Dia melompat kegirangan. “Tapi dengan aku oke? Fotonya bareng aku aja gimana?”

Aku manggut-manggut lagi. Dia segera menariku menyusuri koridor.

“Eh... tunggu dulu! Tunggu sebentar! Kita mau kemana?” aku berteriak sambil berusaha menyejajarkan langkahku dengan langkahnya. Bagaimana caranya dia bisa berlari secepat itu padahal dia pakai high heels?

“Mau kemana?” dia mengulang dengan nada keheranan. “Tentu saja mencari orang buat motret kita berdua. Pertama-tama kita harus ganti pakaian, lalu mencari Diaz.”

“Diaz?” aku mengulang ngeri. “Ngapain cari-cari dia?”

“Diaz jago motret,” Raisha memberi alasan. “Cuma dia fotograper yang oke.”

Sudah cukup rasanya aku melihat Diaz dalam satu hari ini. Kenapa sekarang ditambah lagi? Rasanya aku pengen nangis aja deh.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.