RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 6

Written by : Prince Novel

CHARLIE

6.

Shin

Aku melongo. Mataku mengerjap-kerjap. Dia bilang apa barusan?

“Hah?” kataku memberi respon dari suasana yang hening.

“Hah?” Shin mengulang sambil mengerutkan dahinya. “Hah apa? Aku mendaftar, nih. Boleh kan?” kata Shin merangkul pundakku. Kuperhatikan wajahnya yang kelihatan sangat senang sekali. Gila! Dia tidak bercanda!!

“Saatnya pemotretan!” Diaz menarikku kesisinya. Aku tak bisa melihat dengan pasti raut wajahnya seperti apa tapi bisa kulihat urat-urat nadinya berdenyut cepat. “Cepat ambil posisi!”

“Pertimbangkan baik-baik ya, Charlie!” kata Shin melambai kecil padaku sebelumnya dia mengedipkan matanya. Sialan. Apa maksudnya coba?

“Jangan dekat-dekat dia,” kata Diaz dalam bisikan tajam. Bisa kurasakan aura neraka dari tatapan matanya. “Dia gay! Jangan sampai kau mau sama dia! Kau ngerti! Jangan terhipnotis, terpesona, ngefans, tergila-gila atau apapun namanya pada dia! Dia berbahaya!”

Kerutan didahiku semakin dalam. Kulirik Shin yang ada dibalik punggung Diaz. Shin melambai lagi padaku, kelihatan senang.

“Hey, matamu lihat kemana sih?” tukas Diaz melihat ke belakang. “Sudah kubilang jangan sampai terhipnotis dia kan? Jangan lihat-lihat dia!”

Kulihat lagi pada Shin. Rasanya ada yang aneh. Mungkin perasaanku, kesannya Shin sengaja melambai atau bersifat genit padaku atau akunya aja yang nggak pernah merasakan hal-hal yang seharusnya dirasakan cewek. Ah, tidak, tidak. Saat ini aku cowok! Cowok keren yang jadi model, seharusnya aku jijik dengan gaya Shin. Tapi kok malah biasa-biasa aja? Apa aku sudah kehilangan perasaanku ya?

Hkkk—Mana—

“Jangan lihat-lihat dia!” Aku kaget karena Diaz menarik wajahku untuk menghadapnya. “Lihat aku saja! Jangan lihat yang lain!”

Shin membungkuk, bahunya bergetar. Bisa kulihat dengan jelas kalau dia tertawa. Tertawa ngakak. Haha. Aku jadi bahan tertawaan rupanya. Awas dia nanti.

“Hentikan! Make up-ku bisa luntur tahu!” kusingkirkan tangan Diaz dari wajahku. “Aku tak mau duduk lebih lama cuma untuk memperbaiki make up. Kau tenang saja. Aku nggak tertarik pada Shin. Dia bukan tipeku.” Aku melewatinya dan menuju kearah Shin dan meliriknya dengan tajam.

“Apa, Charlie?” kata Shin sok ramah. Dia jadi tampak menyebalkan di mataku.

“Wajahmu jelek,” kataku singkat lalu berbalik lagi pada Diaz. “Kau ingin aku bergaya seperti apa? Cepetan gih, aku mau pulang. Ada tugas yang harus kukerjakan untuk besok, udah itu ada ujian lagi.”

Shin merangkulku dan bisa kurasakan kalau dia sengaja menunduk untuk mendekatkan kepalanya dengan kepalaku. Rambutnya yang panjang menggelitikku.

“Kau benar-benar nggak merasakan apa-apa nih?” kata Shin.

“Nggak.” Aku melipat tangan dan melihat Diaz kearahku.

“Berdiri disana. Dan jangan berpelukan! Aku jijik melihatnya!” katanya.

Shin mengikik geli lagi. Dan dia menarikku menuju kotak-kotak pemotretan. Tampaknya dia tak peduli dengan perkataan Diaz.

“Hey, Charlie,” kata Shin pelan kecuali hanya aku yang mendengarnya.

“Apa?”

“Kau Puteri dari Bram kan?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

Aku mengerutkan dahi dan terkaget-kaget melihat senyuman kemenangan dari Shin. Aku menutup mulut. Apa yang barusan kukatakan?

“Sudah kuduga. Pantas tubuhmu kecil,” katanya Shin lagi mengacak rambutku. “Aku sama sekali tak menyangka kalau Bram setuju kau jadi model begini. Cocok juga.”

Ya, Tuhan!! Aku bakal mati!!

***

“Eh—jadi begini, aku punya alasan.”

“Ya. Aku sudah dengar dari Bram.”

Aku melongo entah untuk keberapa kalinya dalam satu hari ini ketika dikejutkan dengan tingkah Shin.

“Papa?” aku mengulang kaget. “Papa bilang langsung?”

Shin mengangguk-angguk sambil meminum jus jeruknya. Sekarang kami ada disalah satu kafe setelah keluar dari pemotretan di tempat Diaz—yang rasanya hampir membuatku mati sesak napas dan rasa penasaran.

“Yang aku tahu Bram pernah cerita kalau dia punya anak cewek. Makanya aku heran kenapa sekarang dia punya anak cowok,” Shin menjelaskan sambil memperbaiki letak kacamatanya. Dia sampai harus melakukan penyamaran dengan kacamata dan topi yang bisa menutupi wajahnya. “Terus aku tanya sama dia karena kupikir mungkin dia punya selingkuhan atau apalah. Eh, ternyata nggak.”

Kulirik Shin dengan sebal. Rasanya di dunia entertainer semua model punya mulut yang menyebalkan ya?

“Dia mengkhawatirkanmu tapi tak bisa mengekspresikannya. Yah... agak beda dengan dirimu yang bisa mengatakan apapun sesuka hatimu. Kau tahu, aku sempat ciut saat kau bilang kalau kau nggak kenal aku. Aku merasa kalau aku kurang mengembangkan sayap ketenaranku. Padahal aku cukup terkenal dikalangan cewek loh,” kata Shin lagi.

“Sori deh...,” gumamku sebal.

“Karena itu aku mau mengerjaimu. Tapi nggak ngaruh,” kata Shin, dia tersenyum geli. “Yang terpancing justru Diaz. Tampangnya yang marah-marah itu lucu ya?”

“Dia emang nyebelin,” kataku jujur. Tapi harus kuakui kalau mengingat Diaz yang marah sekali saat Shin beraksi sungguh lucu.

“Kupikir dia suka padamu loh, Charlie,” kata Shin lagi.

“Masa?” kataku bengong.

“Kelihatan banget,” kata Shin lagi.

“Kalau begitu dia nggak normal, dong,” kataku lagi.

Shin mengerutkan dahi. “Loh? Kok gitu?”

“Soalnya dia kan naksir sama diriku yang cowok,” kataku lagi.

Shin mengerjap sejenak sampai kemudian dia tertawa. “Iya, ya benar juga! Kau pintar, Charlie. Pantas saja Bram sering memujimu! Hihihi.”

Aku meminum jus apelku dan melirik Shin yang masih tertawa. Rasanya dia kelihatan lebih tampan jika dilihat dari dekat. Lesung pipinya terlihat jelas dan dia kelihatan manis saat tertawa. Pantas saja dia jadi model papan atas. Kereeeeeeeeeeeeen. Cewek-cewek pasti berteriak histeris saat melihatnya ya?

“Oh, ya. Kau itu gay ya?” tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata itu. Shin tersedak. Dia pasti kaget dengan kata-kataku yang tak terduga itu. Bodohnya aku! Itu kan pertanyaan yang tak seharusnya kulontarkan! Mana mungkin dia menjawab.

“Aduh... perutku sakit...” kudengar Shin mengikik lagi. “Hari ini kelihatannya aku terlalu banyak ketawa. Karena kau nih, Charlie.”

Ha?

“Benar-benar, deh. Kau itu terlalu polos tahu!” kata Shin lagi menghapus air matanya. Sepertinya dia benar-benar menganggap kalau aku itu badut. “Nggak cocok jadi model! Jadi pelawak aja, gih.”

Menyebalkan dan menjengkelkan.

“Soal gay itu. Hum... gimana ya... kayaknya untuk sekarang nggak benar deh,” kata Shin menggaruk-garuk kepalanya.

“Berarti dulu benar?” kataku terkaget-kaget.

“Humf... ahahahaha!” Shin kembali tertawa. Aku makin bengong. “Charlie... Charlie... kau itu benar-benar cewek polos! Masa percaya aja apa yang kubilang? Gila... zaman sekarang masih ada cewek sepertimu? Keajaiban!”

Kukepalkan tanganku. Dia benar-benar menganggapku sebagai mainannya. Dia bahkan sampai memukul meja dan masih tertawa sehingga menarik pengunjung yang lain. Wajahku juga terasa panas karena malu yang tertahankan.

“Hey, hentikan! Jangan tertawa lagi!” gumamku kesal.

“Habis kau selalu membuatku tertawa sih...” kikik Shin. “Dulu aku pernah tertarik sama Papamu tapi sayang dia nggak tertarik padaku.”

Dia bohong lagi ya? Masa dia bilang kalau dia tertarik sama Papa?

“Bohong lagi ya!” kataku sebal.

Dia menggeleng, masih geli. “Nggak. Aku jujur. Lima tahun lalu aku sempat tertarik pada Papamu. Papamu kan keren. Masalahnya dia bukan gay, jadi dia menolakku mentah-mentah. Awalnya aku kesal dengan sikap cueknya itu. Tapi dia emang terlalu baik, jadi aku nggak bisa membencinya. Akhirnya dia malah jadi teman akrabku.”

Aku jadi takut. Jangan-jangan...

“Apa sekarang... masih...”

Sepertinya dia menangkap maksudku. “Oh. Itu. Kurasa aku tak tertarik lagi, kan ada kau yang menggantikannya. Dia cuma temanku. Lagian aku terlalu muda sebelas tahun darinya. Kalaupun dia ingin jadi gay, kurasa dia, lebih berminat sama orang yang lebih muda sekitar satu dua tahun darinya.”

“Nggak lucu!”

“Papamu cukup terkenal dikalangan gay loh. Dia cukup dilirik.”

“Jangan bilang itu lagi! Awas kau!”

“Ah, wajahmu memerah. Kau pasti membayangkan sesuatu yang nggak-nggak ya?”

“Apaan sih? Jangan sembarangan!”

***

Ternyata ada yang lebih menjengkelkan lebih daripada Diaz! Aku membanting bukuku. Saat ini aku nggak kosentrasi belajar. Memikirkan wajah Shin yang tersenyum sambil menggoda dan berkata kalau Papaku jadi gay masih terus terngiang. Sialan! Mana mungkin Papa mau jadi homo!

“Charlie, makan malam,” Papa masuk sambil membawa penggorengan. Aroma tumisan tercium lembut dihidungku. Dia memakai apron dan tersenyum ramah padaku. Sekarang aku mengerti kenapa Papa dilirik sama gay-gay yang lain.

Papa itu manis, keren, baik, ramah, sopan dan pintar masak.

“Oh iya, tadi Shin menelepon dan bercerita banyak hal. Kalian ternyata cukup akrab ya?”

APA?

“Kapan? Kapan Papa ditelepon sama Shin?” kataku mencengkram lengan Papa. Papa terkaget-kaget.

“Baru saja. Kenapa? Ada apa?”

Aku harus mengatakannya. Sekarang aku mengerti kekhawatiran Diaz mengenai Shin.

“Papa jangan dekat-dekat dia! Dia berbahaya! Dia itu gay! Gay sejati! Pokoknya aku nggak setuju kalau Papa tiba-tiba jadi gay! Aku nggak mau ada cowok yang menggantikan Mama!”

Papa mengerjap-kerjap. Dia sepertinya sedang mencerna kata-kataku.

“Apanya yang berbahaya? Siapa yang berbahaya? Gay apanya sih?” Papa bingung.

“Shin! Dia itu gay! Dan dia naksir Papa!” kataku lagi.

“Kau sakit, Charlie,” kata Papa kelihatan prihatin. Dia memegang dahiku.

“Aku serius, Pa!” kataku bersikeras.

Papa geleng-geleng kepala. “Biar Papa jelaskan padamu. Shin itu normal. Dia laki-laki normal yang suka pada para wanita normal. Hanya saja seleranya agak sedikit berbeda...”

Itu dia! Itu dia!

“Dia gay, kan?” kataku. “Dia suka sama cowok kan? Cowok manis kayak Papa!”

“Bukan, Sayang,” kata Papa mengacak rambutku kelihatan gemas. “Dia cuma tertarik pada wanita yang aktif—kau tahu—yang agak tomboy. Menurutnya cewek seperti itu cantik dan manis karena biasanya orang seperti itu lebih jujur pada diri sendiri.”

Aku melongo. “Hah?”

“Tahu tidak. Waktu Papa bilang kalau kau berubah jadi cowok dia tertarik sekali. Shin sepertinya punya rasa padamu. Papa nggak keberatan kalau Charlie suka dia kok.”

Mataku hampir saja keluar saat Papa mengatakan itu.

“Charlie?”

Aku sedang mimpi kan?

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.