RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 5

Written by : Prince Novel

CHARLIE

5.

Top Model

“Dengar,” aku mencoba berdiplomasi melihat tingkah Diaz yang masih mencuekiku karena kejadian beberapa jam lalu. “Aku memang salah karena menerjang pencopet itu tanpa pikir panjang. Tapi aku melakukannya karena aku punya kemampuan untuk melawan. Lagipula aku bukan tipe orang yang bisa diam saja jika membiarkan orang lain terluka.”

Dia berbalik cepat dan mengagetkanku.

“Apa?” kata Diaz dengan nada sinis. “Kau tidak memikirkan dirimu sendiri, tapi aku memikirkanmu. Gimana kalau tadi kau itu ditusuk lalu mati di tempat? Apa yang harus kukatakan pada Papamu? Lagipula kau itu masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kau sudah dikontrak, jadi kau harus menyelesaikannya sebelum kau mati.”

Habis sudah kesabaranku. Jadi dia mengawatirkan nyawaku karena alasan pekerjaan? Hah! Sulit dipercaya!

“Manusia Gila,” gumamku sambil mengecak pinggang.

“Kau bilang apa?” kata Diaz dengan mata menyipit berbahaya.

“Aku bilang kau Manusia Gila, lalu kenapa?” aku yakin suaraku yang menaik menarik perhatian pekerja disekelilingku. “Apa sekarang kau mau marah lalu memukulku? Kurasa kau tak akan melakukannya karena kau pasti ingin menjaga agar wajahku baik-baik saja karena kau menjual majalah itu karena wajahku! Cukup! Aku tak mau kau jadi modelmu lagi! Aku sudah muak! Kau pikir kau itu Penguasa?”

Aku berbalik dan Diaz memegang tanganku sampai rasanya aku merasakan kalau ada otot-ototnya yang mengeras.

“Lepaskan!” aku berkutat.

“Aku yang membuatmu jadi model!” kata Diaz.

“Aku jadi model karena Papaku!” aku berteriak lagi. “Jadi berhentilah berteriak padaku dan lepaskan tanganku! Rasanya sakit tahu!”

Diaz melepas genggamannya. Aku merasa kalau pandanganku kabur untuk beberapa saat.

“Tunggu dulu, kenapa kau menangis?” kata Diaz terheran-heran.

Brengsek! Kenapa airmataku mengalir disaat yang tak tepat? Ini malah bisa membuktikan kalau aku anak perempuan.

“Charlie, tunggu dulu. Berhenti menangis. Kau ini laki-laki kan?” Diaz memegang kedua bahuku dan mengguncang-guncang tubuhku. “Anak laki-laki nggak boleh nangis!”

“Kau menyakitiku tahu! Dasar kasar!”

Tanpa sadar aku menendangnya dan tanpa melihat kejadian yang terjadi selanjutnya aku berlari pergi meninggalkannya. Aku berlari tanpa menentukan arah. Aku tak peduli. Sikap Diaz sangat menjengkelkanku. Kenapa dia selalu memaksakan kehendaknya pada siapapun?

Kali ini aku melihat lorong. Pandanganku tidak kabur lagi, jadi bisa kupastikan kalau aku tak bakal menangis. Tapi tubuhku gemetar menahan amarah. Aku ingin melampiaskannya pada sesuatu, memukul orang misalnya. Tapi itu tak mungkin. Aku tak mungkin memukuli orang. Itu kejahatan. Image-ku bisa jelek dan—uh!

Aku terjengkang karena menabrak seseorang. Sangking marahnya aku tak tahu jalan yang kulihat. Kulihat orang yang kutabrak. Cowok tampan berambut coklat dengan tindik di kuping. Tubuhnya tinggi dan dia memakai kaos tanpa lengan sehingga memperlihatkan ototnya yang keren.

“Ma—maaf,” kataku cepat-cepat berdiri dan membantunya.

“Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa,” katanya ramah. Nadanya suaranya lembut sekali. Dia menunduk untuk menatapku. Dia lebih tinggi sekitar dua kepala dari kepalaku sendiri. Dia benar-benar lebih tinggi dari Diaz atau siapapun yang kulihat selama ini. Matanya coklat terang dan dia tersenyum ramah padaku. “Kau tak apa-apa, Boy?”

Ah, lagi-lagi orang tertipu dengan wajah tampan ini...

“Iya. Kau?” kataku.

“Tidak apa-apa. Orang sepertimu menabrakku tentu tidak akan mengakibatkan luka serius yang permanen,” katanya.

“Apa maksudnya?” kataku sebal.

“Ah, tidak. Kau tahu dimana studio sepuluh? Seharusnya aku sudah disana lima belas menit yang lalu.”

“Itu dilorong yang satunya.”

“Dah, sampai jumpa... em—siapa namamu?”

“Charlie.”

“Oh, aku Shinya. Shin. Sampai ketemu lagi, Charlie.”

Aku merasa pernah melihatnya disuatu tempat. Tapi aku sendiri tak tahu dimana.

***

Aku menguap sambil melihat papan tulis dan mencoba mengingat-ingat rumus kimia yang sudah kupelajari. Hal ini sangat membantu untuk mengusir kebosananku terhadap pekerjaan dan meladeni Diaz. Aku sudah dua hari mogok kerja. Selama dua hari ini dia mencoba untuk menelepon, menerorku dengan SMS agar aku datang ke kantor, atau meminta Papaku menyampaikan pesan, tapi aku tetap tak mau kerja. Aku masih marah padanya. Cengkraman di tanganku masih lebam dan sekarang masih biru. Sakit kalau dipegang.

Ponselku berdering disaat yang tidak tepat. Kulihat si penelepon. Kunyuk yang satu itu tak pernah berhenti menyerah rupanya. Sekarang dia malah menerorku ketika aku sekolah.

“Charlie, keluar kamu!” kata Bu Sam.

Aku tak punya pilihan lain selain melangkahkan kaki keluar. Awalnya aku mematikan ponselku, biar dia tahu rasa. Tapi ternyata dia malah menelepon terus. Cukup sudah, aku akan memarahinya.

“Apa lagi, sih?” kataku.

“Apalagi katamu?” suara Diaz meninggi. “Heh, Brengsek! Gara-gara kau pekerjaanku banyak yang tertinggal! Hari ini kau harus datang! Ada pemotretan penting! Ini menyangkut karirmu!”

“Aku nggak tertarik untuk memperluas jangkauan karirku!”

“Kalau gitu biar saja kau mati membusuk di penjara! Kau sudah menandatangani perjanjian! Jadi lakukan tugasmu!”

Tut tut tut

Aku mengangkat ponselku keatas. Rencanya awalnya aku hendak membanting ponselku kayak yang di tivi-tivi itu tapi nggak jadi. Saat ini aku nggak punya uang buat beli ponsel baru.

Sial. Sial. Sial. Sial.

Aku memaki dalam hati dan menumpahkan semuanya untuk Diaz.

***

Diaz tersenyum kecil ketika melihatku memunculkan diri di kantor. Ingin rasanya aku melemparkan tinjuku padanya. Tampangnya itu menyebalkan.

“Jangan senang dulu,” kataku mencoba menahan godaan memukulnya. “Aku datang bukan untukmu atau karirku, tapi untuk diriku sendiri. Supaya aku bisa cepat lepas dari makhluk terkutuk sepertimu.”

Kru-kru yang ada di dalam ruangan menoleh pada kami. Sepertinya mereka menyadari kalau ada sesuatu yang tak beres terjadi diantara kami.

“Ganti pakaianmu dengan ini dan segera bergegas kemari untuk di make-up. Hari ini kau berpasangan dengan model terkenal. Berterima kasihlah karena majalah itu mengusulkan agar memakai kau walau kau masih baru,” dia mendorong satu set pakaian panjang padaku.

Aku menerimanya tanpa berkomentar dan menghilang di balik kamar ganti. Tak butuh lama bagiku untuk ada di dalam kamar karena kostum yang hari ini kupakai cuma jeket tanpa lengan dengan risleting yang mudah ditarik dan celana pendek dengan begitu banyak tali-tali panjang tak jelas.

Ide gila boneka rusak ternyata masih jadi tren.

“Sudah,” kataku keluar dari kamar ganti. Adi bertepuk tangan sambil berkata bravo, excelent, perfect dan entah apa lagi secara terus-meneurus. “Kalian benar-benar jadi pasangan keren. Tuan Muda Keren dan Tuan Muda Nakal. Bagus sekali.”

“Kenapa tanganmu?” kata Diaz menyipit berbahaya melihat lebam di tanganku.

“Jatuh,” jawabku asal.

“Mana mungkin bentuknya seperti itu,” kata Diaz.

“Baik. Aku jujur kalau begitu. Ini ulahmu.” Kataku menatap matanya. Diaz terkejut. “Ingat terakhir kali kita bertemu dan kau mencengkram tanganku? Nah, lukanya belum sembuh dan aku masih merasa sakit jika disentuh secara langsung. Jadi jangan tanya-tanya lagi.”

Biar dia tahu bagaimana rasa sakit hatiku.

“Diaz, kau melukai modelmu sendiri?” kata Adi tak percaya. “Astaganaga, biru begini gimana caranya bisa motret?”

“Balut lukanya dengan perban,” kata Diaz. “Dengan begitu lukanya tak akan kelihatan dia bisa bekerja.”

Sudah kuduga dia tak punya perasaan. Yang dia pikirkan dalam kepalanya cuma pekerjaan dan dia cuma mau bekerja kalau dia sedang mood. Apa setiap fotograper begitu? Dia bahkan belum minta maaf. Cuih, aku juga tak mau menerima maafnya.

Kulihat Adi berlari keluar mengambil kotak P3K dan dengan sangat terburu-buru membalutkannya pada lenganku. Kulirik Diaz yang sibuk dengan gulungan-gulungan entah apa dan dia balas melirik padaku—tatapannya sungguh mengerikan—dengan sengaja aku menoleh kearah lain dan sepertinya semua kru melihat kearah kami.

“Kerjaan kalian berantem terus,” komentar Eugene melipat tangannya. “Siapa yang salah sih sebenarnya?”

“Tanya saja sama tukang marah-marah itu,” kataku sebal.

“Siapa yang tukang marah-marah?” timpal Diaz dari tempatnya berada. Dia mendengus dongkol padaku karena aku tidak menggubrisnya. “Cepat siap-siap. Shin sudah menunggumu daritadi. Jangan sampai dia membatalkan pemotretan hari ini.”

“Shin?” aku mengulang. Rasanya pernah mendengar nama itu baru-baru ini.

“Iya. Model papan atas yang hari ini akan dipotret bersamamu,” kata Diaz merapikan perbanku dengan dahi mengerut. “Masa kau tak tahu?”

“Aku nggak suka baca majalah,” kataku asal. Dan kenyataannya memang begitu.

“Kalau begitu aku kurang terkenal, nih ya,” terdengar suara yang lain di belakangku. Suaranya tak asing karena rasanya pernah dengar baru-baru ini. “Hay, Charlie.”

Aku melotot tak percaya ketika melihat cowok tinggi bule yang kutabrak kemarin ternyata ada disini. Dia tersenyum dengan ramah padaku.

“Eh?” kataku bengong.

“Waktu pertama kali melihatmu sudah kuduga kau orang yang menarik,” katanya lagi menepuk-nepuk bahuku dengan sok akrab.

“Kalian saling kenal?” kata Diaz mengerutkan dahi.

“Cuma pernah bertemu kemarin,” jawab Shin dengan ramah. “Aku senang difoto bareng sama anak manis sepertimu, Charlie. Jarang-jarang ada cowok yang wajahnya baby face kayak kamu. Pendek lagi.”

Sialan!

Diaz mengikik geli.

“Charlie, udah punya pacar?” kata Shin lagi. “Kalau belum. Aku mendaftar.”

Hah? Aku salah dengar kan?

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.