RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 29 November 2010

Charlie Eps 4

Written by : Prince Novel

CHARLIE

4.

Diaz

Aku tahu kalau Diaz memiliki masalah terhadap otaknya. Tapi dia tidak seharusnya berbuat begitu. Dia pikir dirinya itu hebat apa? Baru juga jadi fotograper dan memenangkan penghargaan, dia sudah sok berkuasa. Padahal yang dia pakai itu kan gambarku! Gambarku! Aku yang jadi objek penindasan!

Aku mengomel dalam hati sambil mengutuki Diaz.

Tadi pagi dia memberitahukan kepada seluruh penjuru kantor kalau dia memenangkan penghargaan. Karena mood-nya sedang naik, aku disuruh datang untuk dipotret lagi. Padahal aku libur dan ada esai panjang yang harus kukerjakan. Aku mana mau kehilangan nilai bagusku hanya karena dia. Apalagi ada beasiswa ke luar negeri yang pingin kudapatkan. Tapi karena Santiago bilang kalau Diaz pingin aku sekarang maka aku harus melesat ke penjuru kantor. Yang benar saja.

“Kusut sekali.”

Aku hampir berteriak ketika melihat sosok dihadapanku. Aku mengelus dadaku sambil berulang kali menghela napas. Jantungku hampir copot.

“Papa...” kataku lemas. “Papa kayak setan aja muncul tiba-tiba.”

Papa tersenyum. “Maaf, Sayang. Habis kamu jalan tanpa lihat-lihat kiri kanan. Kalau tadi kamu nabrak dinding gimana?”

Aku tidak membalas. Kulirik jam tanganku. Seharusnya aku sudah ada di ruangan Diaz sepuluh menit lalu.

“Terburu-buru sekali,” komentar Papa. “Ada urusan ya?”

“Diaz menyuruhku datang.”

“Hmmm.”

Kutatap mata Papa. Papa tersenyum. “Kau yang minta untuk jadi model kan? Jangan marah-marah. Bukannya kau harus membuat senang setiap orang dengan wajah gantengmu itu?”

“Tidak juga kok,” gumamku menggelembungkan pipiku.

Papa mencubit pipiku gemas.

“Kalau Papa libur, Papa akan ajak Charlie liburan deh.”

“Itupun kalau aku libur. Siapa tahu fotograper sial itu tidak mengijinkanku libur,” gumamku sebal. Papa tertawa.

“Diaz orang yang baik kok. Dia menyuruhmu datang mungkin karena mendapat ide bagus.”

“Ide bagus untuk membuat orang susah.”

“Charlie...”

Aku menghentakan kakiku sebal. Kenapa sih si Diaz itu harus dibelain? “Ya udah deh, Pa, Charlie ke ruangan dulu.”

“Hati-hati ya, Nak.”

Aku mengangguk dan melambai kecil sebelum berlalu dari hadapan Papa. Setelah sampai di studion enam, aku mengetuk pintu sebelum masuk dan disambut dengan bentakan si Tukang Biang Kerok Cari Masalah.

“Lama! Dasar lelet! Rumahmu di Atlantis ya sampai aku harus menunggu lima belas menit! Kalo terus-terusan kayak gitu, kau bisa kudepak ke Hong Kong! Mana bisa jadi terkenal kalo kamu telat mulu!”

Yup, aku sudah bisa menduga dia akan marah-marah terus.

“Apa? Mau melawan?” Diaz masih marah-marah saat aku memelototinya. Tampaknya seluruh isi ruangan menoleh kearahku dengan tatapan ingin tahu. “Cepat bersiap sana! Jangan cuma berdiri! Bengong aja dari tadi!”

Ingin deh rasanya kepalanya itu kujitak!

Adi segera kearahku sambil menepuk-nepuk punggungku dengan wajah prihatin. “Jangan didengerin, Charlie sayang,” dia memulai khotbahnya. “Diaz lagi uring-uringan karena diputusin pacarnya. Pokoknya jangan dimasukin ke dalam hati.”

“Pantas aja dia diputusin. Kasar kayak gitu,” kataku ketus sambil mengambil kostumku. Adi terbengong sesaat ketika aku berlalu ke kamar ganti. Tanpa kusadari kalau ruangan itu sunyi sesaat dan ledakan tawa keluar dalam beberapa detik.

“Awas kau ya, Charlie!” terdengar suara sebal Diaz.

Aku melet di dalam kamar ganti sambil berusaha menjejalkan kostum itu. Rasanya sempit sekali dan ribet. Ah, ternyata kostum itu banyak bulunya. Mantel yang banyak bulu. Aku kelihatan kayak banci kaleng di jalanan. Mana bulunya bikin gatal.

“Ah, cocok!” kata Adi dengan wajah berbinar ketika melihat penampilanku. Dia merapikan buku-bulu panjang disekitar leherku—yang justru membuatku semakin jengah.

“Jelek!” kata Diaz. “Ganti!”

“Bagus kok,” kata Adi membela diri. “Lihat, dia makin kelihatan cute.

“Apa sih yang nggak cocok buatmu. Bagimu semua karyamu itu bagus. Perhatikan dong, Charlie jadi kelihatan seperti banci. Warna pink lagi. Dia itu cowok dan cowok itu harus memperlihatkan kemachoannya.”

“Tapi wajahnya manis!” Adi tetap keras kepala.

“Dia jadi kelihatan seperti banci di mataku,” kata Diaz lagi.

“Aku setuju. Bulu-bulu ini membuatku gatal,” kataku bergumam pelan. Aku menggaruk-garuk leherku yang rasanya digelitik-gelitik. “Aku lebih suka pakai kaos biasa.”

“Nah, kau dengar? Modelmu sama sekali tidak mau memakai baju itu,” kata Diaz merasa menang. Dia tersenyum semangat, kelihatannya amarahnya udah reda. “Lebih baik beri dia pakaian yang pas dengan keinginannya,” Diaz sekarang mengelilingiku dengan dahi mengerut. “Coba kita lihat... ehm... aku tahu, kaos dan jas hitam sekarang lagi populer. Berikan itu padanya.”

“Jas?” aku mengulang.

“Tentu saja. Kalau kau terus-terusan memakai sweater kau akan terlihat seperti orang berpenyakitan. Aku tidak suka.”

Dasar kurang ajar. Mentang-mentang aku kurus seenaknya saja dia mengatai aku begitu. Dia pikir siapa dirinya itu? Menyebalkan sekali! Huh!

Adi segera menghilang di balik tumpukan baju-baju rancangannya. Dia kembali dua menit kemudian dengan tangan penuh berisi baju-baju berwarna dan meletakannya ke pangkuanku. Aku terbengong. Sebanyak itukah yang harus kupakai untuk saat ini?

“Jelek,” Diaz berkomentar ketika dia memilah-milah baju itu. Aku jadi mengira kalau kami ada disebuah toko baju yang sedang obral. Diaz adalah ibu-ibu yang berupaya untuk membuat anaknya tampil cantik. Dari tadi dia terus mengkritik dan membuatku keluar masuk ruang ganti sambil melempari baju-baju berbeda padaku. “Tidak. Coba yang ini.”

“Ada berapa lagi yang harus kupakai?” aku mengomel sebal.

“Sampai aku menemukan ada baju yang pas.” Dia masih sibuk mempereleteli baju-baju yang tergantung di ruang ganti. Dia jadi jauh lebih cerewet dari biasanya.

“Ini jelek!” aku menggerutu ketika keluar. Aku seperti preman saja, coba lihat begitu banyak rantai dan tali-tali panjang yang menggantung di tubuhku ini. Seakan-akan aku ini boneka rusak.

“Keren,” kata Diaz. “Aku suka. Oke, pakai yang ini.”

“Aku tak mau!” kucoba menyusulnya.

“Pakai sepatu boot akan membuatmu terlihat keren dan kelihatan sedikit tinggi.”

Dia tidak mendengarkan sama sekali! Benar-benar menyebalkan!

Diaz membungkuk dan mengambil sepatu berantai dan bertali-tali hitam. Aku tak tahu jenisnya apa, tapi yang pasti kelihatan seperti dark night kemasukan lumpur. Dia meletakan sepatu jelek itu ke pangkuanku dan menghilang lagi, entah kemana. Tak lama kemudian, Adi mucul lagi, kali ini dia membawa sabuk panjang yang berloreng-loreng.

“Aku seperti mau perang,” komentarku. Sekarang aku sudah malas membantah.

“Bagus kok. Kita ubah image-mu dan aku yakin akan banyak yang meniru,” kata Diaz mengambil dasi panjang dan menempelkannnya ke leherku. Warnanya tidak menyambung dengan jas hitam kebiruanku. “Angkat lehermu. Hum...” dia bergumam. “Tidak yang ini. Coba yang ini saja. Ehm... oke deh yang ini.” Kali ini dia memberikanku dasi putih. “Dark and white cukup cool. Kau akan terlihat seperti Michael Jackson baru.” Dan dia tertawa. Menertawakan aku, tepatnya.

“Menyebalkan,” gumamku. Awas saja, kita lihat apa aku benar-benar terlihat keren dengan pakaian yang kau sarankan. Seleramu lebih parah dari Adi!

Adi sibuk mengotak-atik pakaianku. Dia memasang dasiku dan sedikit melonggarkannya. Diaz sibuk dengan sepatu boot-ku, dia malah dengan sengaja menambah jumlah tali yang keluar, membuatku sulit bergerak—tumit tinggi lagi, berat!!

“Nah, kau sudah oke,” kata Diaz kelihatan puas dengan maha karyanya. “Coba kau lihat penampilanmu di cermin. Oke banget loh. Image cowokmu dan kepribadianmu keluar!” katanya dengan semangat menggebu.

Aku melihat diriku di depan cermin dengan ogah-ogahan karena kemungkinan yang terburuk, tapi aku terpesona dengan panampilan baru yang mereka berikan. Oke banget. Anak pelajar yang kelihatan nakal, dengan kaca mata jadi kelihatan seperti manusia misterius. Benar-benar kepribadianku.

“Wow,” desahku.

“Kau puas? Oke, sekarang kita kerja di luar. Kita lihat sejago apa kau di bawah sinar matahari.”

“Apa?” aku terkejut. “Kau tak bilang—”

“Cahaya matahari lebih oke daripada lampu. Ayo, cepat!”

Diaz menarikku dengan semangat. Dia berlari lebih dulu meninggalkan Eugene dan team yang lain di belakang. Dia sibuk memereteli kameranya dan berulang-ulang memastikan kalau dia memiliki film yang cukup. Huh... kalau keluar dengan penampilan begini, aku pasti menarik perhatian yang amat tidak perlu. Dan dugaanku tepat.

Diaz sudah gila. Dia membawaku keluar dari kantor dan masuk ke taman kota, dimana setiap orang memperhatikan kami—lebih tepatnya aku. Siapa sih yang tidak memperhatikan anak laki-laki mencolok yang setiap bergerak rantai di tubuhnya akan bergerincing-gerincing? Ditambah lagi, jas yang kupakai ini besar, padahal ini lagi musim panas, sepatu boot tumit tinggi norak bertali dan entah apa lagi.

“I-itu Charlie!” salah satu kerumunan berteriak. “Charlie!” katanya sambil menunjuk-nunjuk majalah di tangannya.

“Hebat. Baru kali ini lihat yang asli!” teriak yang lain. Kali ini cowok. “Lebih kecil dari pikiranku. Tapi gayanya oke. Macho ya?”

“Charlie!” Diaz mengalihkan perhatianku. “Jangan bengong. Kita sedang kerja. Coba bikin gaya seakan kau tuan muda.”

Diaz memerintahku seakan aku babunya. Tapi gaya Tuan Muda ya? Itu sih gampang... kumasukan kedua tanganku ke dalam saku jasku yang panjang tepat saat angin bertiup dan menerbangkan rambut serta tali-tali di kakiku. Aku bisa mendengar desahan panjang. Ah... begini ternyata jadi artis. Entah kenapa aku punya rasa kesenangan tersendiri dengan hal ini.

Aku bergerak lagi. Kali ini aku memasang tampang sombong dan marah seakan aku akan makan orang, lalu aku coba bergaya preman, cute dan tersenyum.

Nice!” Diaz berteriak semangat.

Setidaknya ini membuatnya senang. Aku juga tidak merasa kalau mataku sakit akibat lampu blitz, jadi aku bisa bergaya sesuai dengan kepribadianku.

Diaz tersenyum sambil menunjukan jempolnya. Dia terlihat keren disitu. Kubalas pujiannya dengan memberikan hormat seakan dia adalah presiden kelas dunia dan dia tertawa.

Eh? Aku melongo. Ternyata kalau dia tertawa, ada lesung pipinya. Manis juga.

“COPET!”

Seseorang berteriak. Aku berhenti dari perhatianku dan tanpa sadar melesat ke arah teriakan barusan.

“Charlie! Tunggu!” Diaz berteriak. Tapi aku tidak mempedulikannya.

Aku melesat bagai angin dan melompati palang begitu cepat dan menangkap pria yang baru saja lewat di depanku. Dia langsung kupiting dengan mudah dan dia tidak bisa bergerak ketika tangannya kupegang di belakangpunggungnya.

“Dasar pencuri. Apa jadinya kalau semua orang di muka bumi ini jadimu,” gumamku menariknya berdiri. Dengan susah payah dia berdiri.

Satpam-satpam yang baru datang segera mengambilnya dariku sambil mengucapkan terima kasih berkali-kali.

“Ya. Ya. Tidak apa-apa, Pak,” kataku.

“Charlie!”

Aku menoleh ke belakang dan melihat Diaz. Ooops, sepertinya api kemarahan berkobar di belakangnya. Dia kearahku dan memukul kepalaku. “ADUH! Sakit tahu!”

“BODOH!”

Aku mengerjap dan dia pergi begitu saja.

Aku... salah ya?

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.