RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 28 September 2009

Love Love Love Eps 13


Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


13.
Aku...


Refan berulang kali memutar tubuhnya dan mencoba untuk tidur. Beberapa kali dia menutup mata, dan berulang kali dia membuka matanya kembali. Dia lalu duduk, menyingkirkan selimutnya dan bangkit dari tempat tidurnya. Dia menuju meja belajarnya dan membuka buku yang sempat dia baca.
Dia baru membaca sekitar lima baris kemudian menutup bukunya kembali. Apa yang dia baca sama sekali tidak bisa dia ingat. Mendengus sebal, dia mengambil bola basketnya yang terdekat dan memantul-mantulkannya ke lantai.
“Nak, apa yang sedang kau lakukan?” teriak Papanya dari bawah.
Refan berhenti memainkan bola basktenya. Dia melempar bola basketnya dengan asal dan menabrak tumpukan iPod koleksinya. Dia sendiri melompat ke tempat tidurnya dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut dan pura-pura tidur tepat saat pintu kamarnya terbuka.
“Loh? Tidur...,” terdengar suara Papanya yang kelihatan bingung. Refan mengintip sedikit.
Papanya memakai piyama dengan mantel panjang yang diikatkan di tubuhnya yang masih langsing dan keren untuk ukuran seorang Ayah. Refan buru-buru menutup matanya ketika Papanya menuju kearahnya.
“Selamat malam, Nak. Mimpi yang indah,” Papanya menarik selimut Refan dan menutupi bagian tubuh Refan yang tidak tertutupi Refan dengan sempurna. Dia mengelus rambut Refan dengan sayang dan mengecup dahi refan sebelum akhirnya dia keluar sambil bergumam, “Mungkin aku kelelahan jadi dengar suara yang aneh-aneh.”
Setelah pintu kamar tertutup, Refan menghembuskan napas lega. Sepertinya Papanya masih mengurusi pekerjaannya di kamarnya sehingga bisa tahu kalau Refan tadi yang main-main bola basket. Refan memutar tubuhnya dan melihat langit-langit kamarnya yang gelap tanpa
cahaya lampu. Terdengar suara burung hantu, walau samar-samar juga terdengar suara seseorang. Kelihatannya masih ada tetangga yang masih bangun.
Jam besar yang terdapat di ruangan tamu berdentang dua belas kali.
Udah jam dua belas, tapi mata Refan masih belum mengantuk. Dia memutar tubuhnya lagi, berusaha untuk tidak membuat suara yang berisik. Dia melihat lampu kamar tidur yang ada disisi tempat tidurnya.
Tek, Refan menghidupkan lampu itu tanpa sadar.
Tek, dia mematikannya lagi.
Tek.
Tidak akan kuserahkan adik kami yang paling manis sedunia padamu. Kau itu tidak pantas mendapatkan bidadari seperti Grace
Tek.
Berapa kali sih aku harus bilang kalau Rachael itu bukan pacar atau siapa-siapanya aku?
Tek.
Kalau kau tidak segera naik ke atas panggung, nggak bakal seru, Fan. Nggak ada tantangan. Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah...
Tek.
Aku ini ngapain, sih sebenarnya? Kenapa aku kesal dengan perkataan mereka?
Tek.
Bu, saya tidak mau jadi Pangeran kalau bukan Grace yang jadi Putih Saljunya! Aku maunya cuman samamu saja! Aku nggak mau yang lain! Titik!
Tek.
Kenapa aku bisa bilang begitu ya? Sebenarnya waktu itu aku mau bilang apa?
Tek.
'Su' apa? Tadi 'Ja' sekarang 'su'! Apa, sih? Ngomong yang jelas! Memangnya berapa kilo sih kalo bicara?
Tek.
Refan tersenyum kalau mengingat kejadian itu. Geli juga melihat ekspresi Grace yang marah-marah, kesal panik...
Tek.
saya tidak mencuri! Itu mobil Abang saya! Hanya saja, orang ini mengira saya pengemis! Kurang ajar banget kan, Pak? Masa uang seratus ribu dibuang-buang?
Tolong, ya... Rambut itu jangan dikibas-kibaskan. Memangnya cuma kamu yang punya rambut?
Tek.
Refan menutup matanya dan tertidur dengan pulas.
***
Refan berlari masuk ke dalam gerbang sekolah sambil melirik jam tangannya yang berkilat-kilat. Dia telat bangun—dan Papanya sama sekali tidak menolerir dia untuk tidak sarapan (“Gimana kalau kamu nanti sakit, hah? Papa juga yang repot kan?”)—jalanan macet dan dia terpaksa turun lima ratus meter jauhnya dari sekolah kemudian berlari karena waktu tidak sempat lagi.
Refan tiba tepat waktu di kelasnya. Dia menetralkan napasnya yang terasa sesak sementara dasinya ada di belakang, rambutnya berantakan—dia tidak sempat menyisirnya—dan kemejanya juga tidak rapi, tidak seperti biasa.
“Kapten, tumben telat,” komentar Faldo ketika melihat Refan masuk ke kelas. Anak-anak basket disekelilingnya cuma memasang tampang bingung.
Refan meletakan tasnya, dia duduk di tempatnya sambil merapikan penampilannya yang berantakan.
Terdengar suara ketukan di pintu kelasnya. Semua mata melihat kearah sumber suara itu, ada Grace—dan disampingnya ada Rachael, kelas langsung heboh saat melihat kedatangan mereka berdua.
“Cie.... ada pasangan datang kesini!” teriak Dhika dari ujung kelas.
Rachael tersenyum kecil.
“Ngapain kalian datang kesini? Mau pamer?” kata Faldo.
“Tolong jangan salah paham ya,” kata Rachael menatap Refan lalu tersenyum penuh kemenangan. “Aku datang kesini cuma untuk menemani Grace doang kok karena Grace sedikit ada urusan dengan kelas ini.”
“Benar-benar anjing penjaga,” kata Refan tidak peduli.
Anak-anak di kelas itu terdiam.
“Aku tidak peduli kau mau bilang apa, Fan,” kata Rachael enteng. “Tapi seperti yang kukatakan tempo hari, aku terima tantanganmu kapan saja kau mau.”
Grace dan yang lain sepertinya mulai menyadari ada yang tidak beres antara hubungan Rachael dan Refan. Lihat saja pandangan mereka yang saling bertemu dan kelihatan menakutkan. Sama sekali tidak bisa diketahui siapa yang paling marah dalam masalah ini.
“Aku dan Grace datang mau menagih hutang anak-anak kelas ini yang belum membayar ulang untuk acara Hallowen kemarin,” kata Rachael menegakan kembali tubuhnya. “Kalian ini, pestanya udah selesai tapi kalian masih punya hutang. Benar-benar memalukan.”
Anak-anak kelas itu mengeluh.
“Karena nanti Grace bisa kalian tipu dengan mudah jadi aku membantunya sedikit,” Rachael mengambil catatan yang dibawa Grace. “Um.. . Faldo, Dhika, Aroz, Sandy... ya, ampun Fan, ini anak-anak basket belum pada bayar.”
Anak-anak kelas itu menertawakan anak-anak basket.
“Cepat bayar!” kata Rachael tegas.
“Besok aja bisa kan?” kata Dihika.
“Nggak ada besok-besokan. Hari besok itu nggak ada habis-habisnya. Cepetan bayar. Tujuh puluh lima ribu aja payah banget bayarnya.”
“Ten,” Donny mendatangi Refan dan dengan tampang memelas dia berkata, “Ten, nggak punya duit, nih.”
“Terus?”
“Bayarin, dong.”
“Nggak.”
Refan membuka bukunya dengan tidak peduli.
“Nggak ada uang, nih, Ten. Anak kost kan nggak punya duit banyak. Plis dong, Ten. Ntar kalo aku punya duit aku balikin.”
Refan menghela napas. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan uang seratus ribu. Mata Dhika langsung bersinar, tanpa menunggu izin, Dhika mengambil dompet Refan.
“Eh!”
“Wah, baru kali ini aku lihat ada dompet isinya uang merah semua. No biru, deh!” kata Dhika. Aroz dan Sandy berebut untuk melihat.
“Ten, pinjam duit ya.”
“Ap—hei! Itu uang jajanku!”
Tapi percuma saja. Anak-anak basket mendaftar dengan memakai uang Refan. Dan dengan santainya Rachael mencatat nama mereka satu per satu sambil tersenyum geli.
“Terserah kalian lah,” kata Refan cuek dan kembali membaca bukunya.
“Baiklah, Refan membayar buat sepuluh orang. Delapan ratur ribu. Lima puluhnya lagi buat bunga dan pajak karena telat bayar. Nggak apa kan Fan?” kata Rachael.
“Sudah aku bilang terserah kalian.”
Grace geleng-geleng kepala. “Ya ampun...”
“Oke, deh. Makasih ya, Fan. Yuk, Grace ke kelas selanjutnya.”
Refan mengintip sedikit dari bukunya ketika Grace dan Rachael melangkah pergi keluar kelas.
“Nih, Ten. Makasih ya. Entar kalo kami punya duit dibalikin deh,” kata Faldo memberikan kembali dompet Refan yang kosong. Dahi Refan mengerut.
“Mana sisanya?” kata Refan.
“Dua ratus ribunya buat kami aja, Ten. Belum makan sama sekali nih.”
“Oh, ya ampun....”
Refan geleng-geleng kepala sambil memasukan kembali dompetnya kesaku celananya.
***
Sepulang sekolah, Refan bolos buat latihan. Malas katanya dan akibat perbuatannya itu, anak-anak basket yang lain pada ikutan. Mereka semua langsung ngacir, hilang ditelan bumi ketika Refan berbalik dalam waktu kurang dari beberapa detik. Sebenarnya Refan tidak malas latihan, hanya saja badannya sakit semua. Kakinya senat-senut dari tadi karena kebanyakan lari—bukan berarti karena dia pemain basket kakinya selalu full sehat tapi tadi dia sempat jatuh waktu ngindarin palang. Huh, andai saja tadi yang lewat itu bukan anak-anak udah Refan hajar.
Refan mengerutkan bibirnya ketika dia menunggu selama sepuluh menit di depan gerbang karena mobil jemputannya belum datang-datang juga. Dengan berat hati Refan mengambil ponselnya dan menghubungi supirnya.
“Pulsa kartu prabayar Anda tinggal lima puluh rupiah. Anda tidak cukup untuk—”
Shit! Dia lupa isi pulsa!
Refan hampir saja melempar ponselnya kalau saja anak-anak basket nggak pada lewat di depan gerbang. Refan mengerutkan dahinya. “Heh! Mau kemana kalian?”
Anak-anak basket terpaku.
“Ehehehe, Kapten... kami mau menjenguk Aroz yang sakit!” kata Faldo cengengesan.
“Alasan nggak mutu,” kata Refan. “Aroz ada dibelakangmu tahu.”
Aroz menempeleng kepala Faldo. “Tega ya doain gue cepat mati.”
“Latihan sana!” kata Refan mengecak pinggang.
“Kapten sendiri nggak latihan,” kata Sandy membela diri.
“Aku kan udah bilang kalo aku malas. Kalian itu beda. Latihan sebulan, drible aja nggak becus. Latihan sana!” kata Refan lagi.
Ogah-ogahan, anak-anak basket kembali melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah. Tapi Sammy tiba-tiba mendapat pencerahan sehingga dia kembali pada Refan.
“Apa?” kata Refan saat Sammy merangkulnya. “Jangan pegang-pegang. Nanti pacarmu si Sandy itu marah.”
“Najis!” kata Sammy melepas rangkulannya. “Siapa yang mau pacaran sama dia. Ten, kami lapar. Kita makan aja dulu ya? Baru deh latihan.”
Seakan bisa membaca pikiran Sammy, anak-anak basket ikut-ikutan nimbrung dan mengerubuti Refan.
“Iya, Ten. Lapar, nih.” Kata Donny dengan mata berbinar. “Lapar.... lapar banget....”
“Ntar aku kena busung lapar....” Aroz nimbrung. “Ntar perutku buncit... entar aku kyuruss... terus...”
“Makan sana di kantin. Lebih murah—”
“Tapi nggak higienis!” potong Dikha cepat. Dan dia mulai membujuk Refan. “Kapten sendiri nggak pernah sudi makan di kantin. Ayo, dong, Ten, kita makan di resto atau cafe. Aku tahu resto yang enak dan bersih,” Dikha sengaja menekan kata bersih untuk membuat Refan luluh. “Banyak makannya lagi, Ten. Lagian dari tadi Kapten nungguin disini tapi jemputannya nggak nongol-nongol. Bareng kita aja gimana, Ten?”
“Panas, Ten. Entar item, lagi,” Lev mengangguk-angguk setuju sambil mengangkat tangannya menutupi wajah. “Sinar matahari menyengat kulit. Nanti bisa kena kanker kulit.”
“Benar tuh,” kata Biyon angkat bicara ketika Roy menyikutnya. Ilham cuma manggut-manggut. Mau bohong atau nggak terserah, deh. Dia diam aja. Yang penting dapat untungnya entar.
“Ya udah,” Refan menyerah. “Dimana?”
Yes, yes! Anak-anak basket tersenyum-senyum.
“Hezi Resto!”
Refan melotot. Gawat!
“Ayo, Ten!” dan mereka semua beramai-ramai menarik Refan tanpa mempedulikan Refan yang mencoba menolak. Sepertinya mereka tidak mendengar teriakan penolakan Refan.
“Selamat datang, Tuan Muda Refan.” Manajer Hezi Resto menyambut mereka langsung dari depan pintu. Dia sudah melihat Refan seratus meter sebelum Refan datang dan langsung membentangkan karpet merah di depan restoran. “Senang sekali Anda berkunjung kesini.”
“Eh?” anak-anak basket terbengong.
Manajer tua keriput itu membungkuk rendah pada Refan ketika mereka memasuki restoran dan dengan sangat hormat memperlakukan mereka.
“Kami akan menyiapkan ruangan VIP untuk Anda, Tuan Muda Refan.”
“Kami?” kata Faldo menunjuk teman-temannya yang mengangguk setuju.
“Yang biasa saja,” kata Refan melewati bangku-bangku pelanggan wanita yang menatapnya dengan takjub. “Mereka ikut denganku.”
“Benar,” kata Lev. “Soalnya Kapten Refan yang bayar iya kan, Ten?”
Refan berhenti dan menatap Lev. Lev langsung menciut. Tapi sayangnya, Lev didukung anak-anak basket yang mengangguk penuh harap.
“Beri mereka apapun yang mereka mau. Aku yang bayar.”
“HORE!!!”
Sial! Tahu gini aku latihan aja! Uang habis, pulsa limit, nggak dijemput sekarang malah terjebak sama orang-orang bodoh! Uh, ya ampun!
Refan tidak berkomentar saat semua hidangan di letakan ke meja mereka dan semuanya habis di makan anak-anak basket. Refan cuma makan roti doang dan segelas jus hangat—hidangan spesial, katanya tapi rasanya biasa saja.
“Kita sering-sering aja ke sini. Pasti gratis!” kata Ilham dengan polosnya.
“Makan gratis, keluar bayar dodol,” kata Dikha.
“Berapa?” tanya Refan menatap menejer Resto.
“Oh, tidak usah Tuan, ini kan Restoran milik Anda. Mana mungkin saya minta bayaran. Tapi kalau Anda memaksa, semuanya ada di bon ini.”
Cih, dasar lidah ular! Refan membatin sebal. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu kredit dengan cepat. Anak-anak basket saling lirik dan memainkan mata.
“Kalian udah puas makan kan sekarang latihan!” kata Refan.
“Ngggh!” Dikha meregangkan tubuhnya. “Baru makan jadi ngantuk. Istirahat dulu, deh, Ten. Aku tahu tempat yang bisa dijadiin tempat istirahat.”
“Jangan memancingku! Latihan!” kata Refan sebal.
“Huah...” Lev menguap—atau Refan yang mengira begitu. “Sebentar aja, deh, Ten. Lima menit aja. Lagian baru makan langsung olah raga. Cuacanya kan panas, Ten. Agak mendung dikit aja Ten.”
“Iya, Ten,” kata Faldo menopang dagu. Roy berakting pura-pura tertidur di meja.
“Ya, sudah. Dimana?” Refan menggerutu. Dia tidak tega juga melihat Faldo.
“Darntian Rent.” Kata Sandy cepat. Anak-anak basket melotot padanya dan cepat-cepat mengangguk. Jarang-jarang bisa ke sana. “Enak, loh, Ten. Sejuk. Semangat bisa langsung naik jadi maximal.”
“Ya udah kita kesana,” Refan menyelipkan kartu kreditnya kedalam dompet dan mengikuti anak-anak basket yang berhehehe di belakang Refan. Jarang-jarang Kapten mau diajak jalan. Sekali-kali licik nggak apalah...
Ternyata Darntian Rent itu adalah tempat rental video. Mereka disediakan ruang khusus untuk nonton video. Dalam masalah ini tidak perlu ditanya siapa yang bayar karena Refan langsung mengeluarkan kartu kreditnya—lagi—ketika anak-anak basket menatapnya dengan penuh air mata. Mereka juga menyewa banyak film. Nggak kira-kira ada sepuluh.
Mereka menikmati filmya tapi tidak bagi Refan. Baru satu film aja dia udah tidur pulas. Dia memang nggak hobi nonton film. Untunglah. Soalnya lima film dibelakang adalah video porno yang sengaja disewa anak basket. Refan aja yang nggak tahu dan mereka bohong bilang kalau itu video tentang perkembangan akhlak manusia. Cih! Jijik!
“Ten, pulang yuk!” Refan bangun ketika Aroz mengguncang-guncangkan tangannya. Refan mengucek matanya yang masih kabur. “Bangun, Ten. Udah malam, nih.”
“Ha?” kata Refan sadar. Ruangan itu sudah terang benderang. Televisi sudah mati dan mereka memegang video yang sudah selesai ditonton. “Latihannya?”
“Besok aja. Ini udah jam sepuluh malam.”
Refan melotot. “Apa?” Refan melihat jam tangannya. Oh, Tuhan!
“Pulang yuk, Ten. Aku capek. Mau tidur. Kapten sih enak dari tadi tidur di sofa empuk. Lah kami kan di lantai.” Kata Ilham menguap. “Film tadi hot banget, deh.”
“Kalian...” Refan menggeram kesal. “KENAPA TIDAK MEMBANGUNGKANKU HAH?” anak-anak basket melonjak kaget. “KALIAN PIKIR AKU INI APA?”
Saling lirik bingung, anak-anak basket takut pada Refan. Sebenarnya kemarin malam Refan sudah mau marah-marah. Sekarang adalah saat yang tepat.
“Tapi, Ten—”
“NGGAK ADA TAPI-TAPIAN. MALAM INI KALIAN HARUS LARI LIMA KILOMETER! AKAN KUAWASI SAMPAI SELESAI!”
Film di tangan Sandy jatuh. “Kapten sudah gila ya?”
“YA! AKU GILA! TAPI KALIAN LEBIH TIDAK WARAS! SEKARANG LATIHAAAAAN!!!”
Anak-anak basket keluar sambil berlari. Ngacir. Saatnya kabur!!!
“OI! MAU KEMANA!” Refan berteriak.
“Pulang!”
Refan mengelus dadanya. Sabar, Fan... sabar... awas mereka... lihat aja besok... mampus kalian... huh...dasar...
Rrrrrr....rrrrr....rrrrr....
Refan memeriksa kantongnya. Tapi hapenya tidak ada. Dia mencari hapenya di dalam ruangan dan mendapati hapenya ada di dekat loudspeaker—tergeletak begitu saja.
Papa calling.
“Halo?” Refan mengangkat teleponnya.
“ADA DIMANA KAMU?”
Refan menjauhkan ponselnya dari telinga. Papanya berteriak seperti di lapangan bola.
“PAPA KHWATIR TAHU! SUPIR BILANG KAMU NGGAK ADA DI SEKOLAH! MENEJER HIZI RESTO BILANG KAU SEMPAT MAMPIR YA? PAPA UDAH BILANG KALAU KAMU HARUS MAKAN DI RUMAH! NAK, KAMU DENGAR TIDAK? HAH? HALO! HALO?”
Refan mematikan hapenya. Dia melepas baterainya dan memasukannya ke dalam tas. Kalau diomeli di hape bisa-bisa double capeknya. Lebih baik dia mendengar teriakan Papanya di rumah saja. Tapi... gimana cara dia pulang?
Sial! Aku kan nggak ada uang. ATM udah tutup. Mampus!
***
“Aku tahu kita salah... tapi nggak harus... kayak gini... penyiksaannya!!” Lev menggerutu ketika esoknya mereka disuruh Refan lari-lari keliling lapangan tiga puluh kali. Anak-anak basket sempat melotot dan protes tapi wajah sangar Refan membuat mereka bungkam. Alasan apapun sama sekali tidak ditolerir Refan bahkan pelatih pun sama sekali tidak bisa bicara ketika Refan bilang kalau dia sendiri yang akan melatih anak-anak basket dan memegang tanggung jawab penuh buat hari ini.
“Karena kemarin mereka tidak latihan, maka latiah hari ini dilipat gandakan. Tidak apa-apa kan, Pak?” kata Refan sambil tersenyum—tapi bukan senyum yang tulus. Pelatih hanya mengangguk saja. “Nah, karena biasanya keliling lapangan lima belas kali, sekarang jadi tiga puluh kali. Push up delapan puluh kali dan sit up enam puluh kali.”
“Tahu gini mending latihan deh kemarin.” Kata Ilham frustasi.
Refan sebenarnya selain kesal dengan tingkah anak-anak basket yang mempermainkan dirinya. Dia juga mau balas dendam. Karena ulah mereka uang jajan buat bulan ini habis dalam sekejap, semalam dia jalan kaki pulang ke rumah, sempat di kejar-kejar banci dan polisi yang mengira dia anak pengamen (Emang tampangku seperti gelandangan apa?), belum lagi sampai rumah dia diomeli sampai membuat gendang telinganya sakit dan berdenging.
“KAU INI MASIH ANAK KECIL!” Papanya berteriak kemarin malam dan tidak mempedulikan tetangga yang berteriak di samping, “Woi! Ini sudah malam!” lalu melanjutkan. “KAU PULANG JAM DUA BELAS DENGAN PAKAIAN SERAGAM! KAU PIKIR KAU SDUAH HEBAT YA? PAPA LIHAT TABUNGAN KAMU SUDAH BERKURANG DALAM WAKTU SEHARI! PAPA NGGAK AKAN KIRIM UANG JAJAN LAGI KALAU KAMU MASIH SUKA BEGINI! TUNGGU! NAK! PAPA BELUM SELESAI BICARA!”
Blak, Refan membating pintu kamarnya dengan tidak peduli untuk menyelesaikan masalah.
“KAMU ITU YA!! ORANG TUA SEDANG BICARA JANGAN LANGSUNG MASUK KAMAR! KEBIASAAN!”
Refan juga tidak bisa tidur. Peernya cuma selesai separuh. Ada buku yang tidak selesai dia baca. Dia juga berurusan dengan penjaga perpustakaan lagi. Ada Pecinrai dan Evol yang ikut-ikutan. Hari yang sial sejak kemarin dan dia ingin membalasnya sekarang.
“Istirahat dua menit,” kata Refan kembali ke tempatnya.
“KAPTEN TEGA!!” jerit anak-anak basket. Tapi Refan tidak peduli.
“Refan menggila ya?” Rachael bertanya pada Choki yang sedari tadi terbengong melihat kondisi anak-anak basket yang tidak beristirahat. “Bisa mati anak orang dia taruh. Sejak pulang sekolah sampai sekarang disuruh lari, sit up push up tanpa istirahat.”
“Istirahatnya cuma dua menit....” Choki geleng-geleng kepala.
“Biar aku tegur dia,” kata Rachael masuk ke lapangan basket. Refan masih mengambil handuknya ketika Rachael ke arahnya dan langsung mengalihkan pandangan—pura-pura tidak melihat Rachael. “Oi!”
“Semuanya berdiri,” kata Refan pada anak-anak basket. “Scot jump.”
Anak-anak basket terbengong.
“Ten, ini belum minum sama sekali.” Aroz protes.
“Nggak ada yang menyuruhmu berlama-lama. Scot jump.”
“Fan, mereka belum istirahat total, tuh,” kata Rachael menepuk bahunya. “bisa mati anggotamu kalau digituin.”
“Orang luar jangan ikut campur,” Refan menyingkirkan tangan Rachael. “Scot jump lima puluh kali. Yang bisa boleh istirahat setengah jam. Kalau berhenti ulang dari awal.”
Anak-anak basket menganga.
“Fan, mereka itu manusia,” kata Rachael lagi.
“Nggak ada yang bilang mereka robot,” kata Refan santai. “Laksanakan atau scot jumpnya kutambah.”
Anak-anak basket mengeluh. Tapi mereka toh melakukan hal yang diperintah Refan.
“Fan, latihan yang kau berikan terlalu berat.”
“Mereka nggak latihan kemarin.”
“Bukan berarti kau menggandakan latihan mereka.”
“Ini bukan urusanmu.”
“Memang tapi kau sudah kelewatan.”
“Jangan urusi masalahku. Kau urusi masalahmu dan aku mengurusi masalahku. mengerti?”
“Kalau sedang bad mood jangan dilampiaskan ke orang lain, dong.”
“Aku tidak bad mood. Aku akan bad mood kalau kau menggangguku terus.”
Grace mendatangi mereka berdua yang sudah mengeluarkan aura mengerikan. Dia menyeruak ke tengah-tengah, Refan dan Rachael melirik Grace yang tersenyum pada mereka berdua.
“Maaf, aku mengganggu,” kata Grace. “Tapi kuharap kalian tidak bertengkar.”
“Aku bertengkar atau tidak bukan urusanmu,” kata Refan datar. “Urus pacarmu jangan sampai dia mengganggu konsentrasiku.”
“Rachael bukan pacarku!” Grace hampir saja berteriak saat mengatakan itu. “Ya kan?” Grace melihat Rachael yang tersenyum.
“Tentu saja bukan. Tapi aku berharap kau jadi pacarku.”
Cuaca sudah sangat panas tidak perlu ditambahi lagi dengan tingkah mereka. Anak-anak yang masih di lapangan menonton dengan seru. Anak-anak basket nggak jadi scot jump, mereka terhenti ditengah-tengah usaha menghitung.
“Tolong, ya, ini lapangan bukan arena kencan,” kata Refan, dia berbalik menghadapi anak-anak basket lagi. “Ulang dari awal.”
“Ap—?” Lev menganga. “Tapi kami tadi udah sampai dua pu—”
“Tadi aku bilang apa?” kata Refan lagi. “Kalau berhenti ulang dari awal kan?”
Menggerutu. Anak-anak basket mengulang dari awal.
“Sifat Iblis Kapten kelihatan, ya?” kata Donny.
“Aku dengar itu. Tambah sepuluh lagi.” Kata Refan.
Sandy yang ada disamping Donny menempeleng kepalanya. “Bego!”
“Refan, udah cukup,” kata Rachael. “Mereka bisa kena dehidrasi,” kata Rachael. “Kau keterlaluan tahu.”
“Aku Kaptennya!” kata Refan tegas. “Jangan ikut campur urusanku!” Refan membanting bola basket di tangannya yang terpental ke atas sejauh dua puluh meter. Semua melihat kearah bola basket itu. Wah... Refan betulan marah.
Duk...
“AuuW!!!” Ananda memegang kepalanya yang baru saja terkena bolanya Refan. Dia jatuh pingsan dan ditangkap Pecinrai dengan sukses.
“Ananda...Ananda...? Pangeran.... Ananda pingsan.” Kata Yani panik menepuk-nepuk pipi Ananda.
“Lihat tuh akibat perbuatanmu,” kata Rachael.
Refan menggigit bibir. Tolong. Nggak. Tolong. Nggak. Tolong. Nggak! Nggak! Nggak! NGGAK BAKALAN!
Tapi malaikat di hati Refan rupanya masih hidup dan bersemayam dengan sukses.
“Latihannya sampai disini. Besok dilanjutkan,” kata Refan pada anak-anak basket. Anak-anak basket hampir saja melonjak kegirangan tapi tidak jadi ketika melihat wajah sangar Refan. Refan mendatangi Ananda dengan berat hati. Dia berjongkok dan memegang wajah Ananda.
“Nggak ada yang memar, kok bisa pingsan, sih?” kata Refan.
“Bola tadi mungkin kena bagian vital.” Kata Yani dengan mata bersinar saat melihat wajah cakep Refan dari dekat.
“Kalau begitu dia pasti udah mati,” kata Refan datar.
“Jangan ngaco, Fan!” kata Choki yang ada di lantai atas. “Kasih napas buatan!”
“Kasih aja sendiri,” kata Refan datar. “Bawa ke UKS.”
“Mana bisa, Pangeran,” kata Rati. “Ananda kan berat. Aauw!!”
Refan menatap Rati yang tersenyum-senyum memegang tangannya yang baru saja dicubit Ananda. Sebenarnya Ananda udah sadar dari tadi, tapi dia berakting. Refan melihat Sandy. “Sandy, angkat dia!”
“Capek, Ten. Istirahat dulu, ya?” kata Sandy.
Refan melihat anak-anak basket yang buru-buru mengambil minuman dan sibuk dengan keringat. Refan menghela napas. Dia mengambil tangan Ananda dan menggendong Ananda dengan gendongan ala Tuan Putri.
“CIEEEEEEEEEE!!” Choki berteriak. “Akhirnya luluh juga perasaanmu pada Ananda ya Fan? Kirain nggak sudi sama cewek kayak gitu.”
Terpaksa...
“Enaknya Ananda...” Rati mengeluh. “Gue juga mau.”
“Nggak berat, Pangeran? Ananda kan kayak godzilla,” kata Yani.
“Apaan, sih? Gue ringan tahu!” Ananda bangun. “Iya kan, Pangeran.”
Refan melepaskan pegangannya dan Ananda jatuh. Serentak anak-anak tertawa ngakak.
“Pangeran, tega deh!” kata Ananda memegang pantatnya. “Sakit kan... jorok lagi...”
Refan tidak menggubris. Dia berbalik ke lapangan. Anak-anak basket sempat terbengong-bengong jangan-jangan dia berubah pikiran. Tapi ternyata Refan cuma mengambil tasnya dan pergi dari situ secepat yang dia bisa.
“Suasana hatimu benar-benar buruk, ya?” kata Grace mengikuti Refan yang keluar gerbang. Refan menghapus keringatnya dengan handuk tanpa mengatakan apapun. “Aku tahu kau tadi nggak sudi menggendong Ananda,” Refan masih diam. “Hei, aku ngomong sama kamu tahu!” tetap aja Refan nggak menggubris. “Suaranya berapa kilo sih kalo bicara?”
Refan mengerutkan dahinya. “Kau pernah bilang hal yang sama ya?”
Hehe, ternyata dia mau ngomong.
“Masih ingat rupanya,” kata Grace. “Kalo bad mood sebaiknya cerita. Itu lebih membuat perasaan lega tahu. Kalo disimpan-simpan bisa-bisa meledak kayak tadi.”
“Apa maksudmu?” kata Refan. Alisnya terangkat. “Jangan mengintropeksi perasaan orang.”
“Memangnya kau orang?” kata Grace. “Kau kan bocah iblis, begitu kata abang-abangku.”
Refan mencibir. Dia menggaruk-garuk kepalanya. “Lama.”
“Nunggu supir ya?”
Refan mengangguk.
“Nggak bakal datang.”
“Kenapa?”
“Jalan menuju kesini ditutup. Mesti mutar dulu baru kesini.”
Refan menggaruk-garuk kepalanya lagi. Kesal.
“Aku duluan, ya,” Grace berjalan sendirian menuju kesisi jalan. Refan menunggu beberapa detik sampai akhirnya dia beranjak juga.
“Tunggu. Kita barengan aja.”
Refan mengejar Grace yang berdiri menunggunya.
“Memangnya kau tahu jalan memutar?” kata Refan.
“Tahu.”
“Kau itu kayak Pak Pos ya, tahu jalanan.”
“Jangan mengejekku,” kata Grace sebal. “Kau sendiri kayak komputer tahu semua isi buku dari cover depan sampai cover belakang. Tahu isi sinopsis, kata pengatar, lampiran, index, bahkan sampai halamannya.”
Refan ingin membalas, tapi tidak jadi.
“Apa? Tidak menemukan kata-kata untuk membalasku ya?”
“Aku haus.”
Grace mengerutkan dahinya. “Minum es aja mau nggak?”
“Nggak. Pertama nggak steril, kedua nggak enak, ketiga nggak baik untuk kesehatan makan es siang-siang bolong begini apalagi aku baru selesai olah raga.”
“Kebanyakan baca buku membuat otakmu jadi beku,” gumam Grace sebal. “Ya udah gini aja. Aku beli es kau minum air mineral.”
“Nggak adil. Masa dibedain kayak gitu.”
“Kan kau yang bilang nggak mau!”
“Aku bilang nggak bukan nggak mau.”
Grace mendengus dongkol. Dia menarik Refan memasuki salah satu swalayan. Udara AC itu sedikit membuat segar.
“Kau mau rasa apa, Fan?” kata Grace mencari ke dalam kulkas.
“Apa aja asal jangan sirsak.” Kata Refan datar.
“Nih. Bayar sendiri-sendiri ya,” Grace memberikan Refan es krim besar.
“Nggak usah. Aku traktir,” kata Refan menuju kasir. Dia mengeluarkan kartu kreditnya tapi Grace sudah lebih dulu menyodorkan uang lima puluh ribuan. “Apaan, sih?”
“Kelamaan tahu kalau pake itu. Nggak punya uang kontan ya?” kata Grace mengambil kembaliannya.
“Udah diperas anak-anak basket.”
“Kau terlalu baik, sih.” Kata Grace membuka bungkusan es krim punyanya.
“Punyaku kebesaran,” kata Refan protes pada Grace. Grace nyengir lebar.
“Kau kan nggak menentuin besar kecilnya tadi. Kau cuma bilang kecuali sirsak,” kata Grace membela diri. “Itu aja kok repot.” Grace menggigit es krimnya. “Udah makan aja. Kan ada sendoknya. Tinggal makan aja susahnya setengah mati.”
“Mana bisa aku menghabiskan ini sendirian!” kata Refan membuka tutup es krimnya dengan susah payah. “Rasa coklat, lagi... aku suka yang vanilla.”
“Tadi kau nggak bilang.” Kata Grace sebal. “Protes mulu sih. Mana aku tahu kesukaanmu apa. Udah makan aja napa?”
“Aku mau punyamu saja,” Refan mengambil es krim ditangan Grace. “Ini vanilla kan? Kau makan ini saja, biar kau nggak kurus.”
“Ap—”
Grace tidak membalas ketika Refan memakan es krim miliknya.
“Apa?” kata Refan cuek. “Nggak sanggup makan es krimku?” katanya lagi. “Kalau nggak sanggup nanti aku bantuin.”
Grace tersenyum. Refan mungkin tidak menyadari kalau mereka berciuman secara tak langsung. Grace mengambil sendok dari tangan Refan dan memakan es krimnya. Enak juga. Rasa yang disukai Grace. Grace cuma berjalan mengikuti Refan ketika mereka sudah melewati jalan sambil mengobrol.
“Bagi, dong,” kata Refan mengambil es krim Grace. “Lapar. Capek teriak-teriak tadi.”
“Ya udah, makan dimana?”
“Resto.”
“Disini nggak ada resto.”
“Terus?”
Grace menoleh kesana-kemari lalu tersenyum. “Makan gorengan aja, yuk.” Refan nurut aja ditarik Grace ketika mereka menyebrangi jalan menuju kesalah satu penjual gorengan. Refan menutup hidungnya ketika mereka ada di ditempat itu.
“Mau apa, Fan?”
“Apa aja.”
“Tahu isi, bakwan, pisang goreng, risol, tempe. Semuanya dua-dua ya, Mbak.”
Si Mbak tersenyum pada Grace lalu terpaku pada Refan. “Cakep pisan.”
“Apa katanya?” kata Refan menatap Grace. Grace mengangkat bahu. Pura-pura nggak ngerti aja lebih baik dari pada ditanya-tanya.
“Ini aja. Kartumu nggak berlaku,” kata Grace mengeluarkan uang sepuluh ribu. “Makasih ya, Mbak,” kata Grace pada si Mbak sambil mengambil bungkusan plastik itu. “Makannya dimana, Fan?”
“Terserah.”
“Ditempat yang adem aja kali ya,” Grace menarik tangan Refan lagi. Refan mengerutkan dahinya. “Disana cocok, Fan.”
“Jangan tarik-tarik aku. Aku bukan sapi,” kata Refan tapi dia tidak melepas pegangan Grace.
“Aku nggak bilang kau sapi. Kau yang bilang,” Grace membalas.
Refan mengerutkan dahinya. Grace tersenyum lalu mereka sama-sama tertawa.
“Ya, Tuhan. Kata-kata yang sama!” kata Grace.
Mereka duduk di bawah pohon di rumput. Grace membuka bungkusannya dan pertama-tama memberi Refan bakwan.
“Ini apa?”
“Bakwan.”
“Bentuknya aneh.”
Grace geleng-geleng kepala.
“Banyak minyaknya,” Refan memuntahkan makanan yang baru saja dia gigit sekali.
“Namanya juga gorengan.” Grace memutar matanya.
“Yang lain?” tangan Refan mengadah.
“Pisang goreng.” Kata Grace memberikannya pisang goreng.
“Kayak tangan orang,” komentarnya lagi. Tapi dia tidak berkomentar soal rasanya karena dia menghabiskannya. “Itu?”
“Tahu isi.”
“Ini baru sehat. Ada sayurnya.”
Ada juga hal yang positif dari tahu isi.
“Itu yang empat persegi?”
“Tempe goreng.”
“Tempe goreng juga dijual?”
“Namanya juga makanan rakyat.”
“Aku nggak mau makan itu. Yang panjang itu aja.”
“Ini risol. Ada sayurnya juga tapi—”
Refan memakan risolnya tanpa mendengar kelanjutan perkataan Grace.
“PEDAAAAAAAAAAAAS!!”
Refan mengibas-kibaskan tangannya ke depan mulutnya. “Apa, sih ini? Kok pedas? Katamu isinya sayur!”
“Aku belum selesai!” kata Grace mencari kotak es krim yang tadi belum habis dimakan Refan. “Ada beberapa risol yang isinya cabai rawit. Nih, makan es krim dulu. Aku nggak bawa air.”
Refan menggerutu sambil menarik kotak es krim yang disodorkan Grace.
“Lain kali beli pisang goreng sama tahu isi aja.”
“Iya, iya.”
Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Refan masih mengeluh soal risol. Bibirnya yang merah semakin merah seakan terbakar. Dia berulang kali menghembus-hembuskan bibirnya.
“Nggak bisa makan yang pedas ya, Fan?” kata Grace heran sendiri.
Refan mengangguk. Tidak bisa berkata apa-apa.
“Pantas suka es krim.” Gumam Grace lagi.
Mereka sekarang sudah sampai di rumah Grace. Pintu gerbang itu tertutup rapat seperti biasa. Grace tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena sudah diantar. “Makasih, ya.”
“Ada yang mau aku bilang.” Kata Refan menatap jalan.
“Apa?”
Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah
Refan menggaruk-garuk kepalanya. Jantungnya berdegup kencang semenatara keringatnya sudah mulai keluar sekarang. Refan menggigit bibirnya setelah membasahi bibirnya. Refan menghela napas dan menelan ludahnya.
“Kau ngapain, sih? Kayak mau ngomong sama hantu aja.” Grace melucu melihat ekspresi Refan.
“Aku... itu...”
“Ya?”
Ternyata dia bisa gugup juga mengatakan hal ini.
“Aku... sebenarnya... su—tidak—maksudku...” Refan menggeleng kuat-kuat. Dia menggaruk-garuk kepalanya dengan bingung.
“Apa, Fan?”
“Nggak. Nggak jadi.”
“Oh, ya udah. Aku masuk ya,” kata Grace membuka pintu gerbang. Dia hendak masuk ke dalam ketika Refan mengambil tangannya. “Fan?”
“Leibe du... ich... leibe du...”
Grace mengerutkan dahinya.
“Grace, ich leibe du.”
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.