RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 28 September 2009

Love Love Love Eps 14


Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


14.
Refan versus Richard’s Family + Drew


Grace memegang dahinya dan mencoba mengingat-ingat perkataan Refan sebelum berpisah dengannya hari ini. Sepertinya ada yang aneh dengan diri Refan. Dia tidak tahu apa, tapi yang pasti sangat aneh. Kalau saja kelima abang-abangnya tidak mengganggu tentunya dia bisa mendengar secara pasti Refan bilang apa.
Grace bangkit mengambil kamus bahasa Inggrisnya dan membuka kamus. Leidu... memangnya ada bahasa Inggris leidu? Kayaknya Grace baru dengar itu hari ini, deh. Tapi ternyata tidak ada kosakata leidu. Refan tadi sore bilang ih lei du, leidu atau apa, sih?
Grace mengacak rambutnya. Hari ini menyenangkan sekali. Dia bisa melihat ekspresi Refan yang seperti itu benar-benar lucu. Grace ingin melihat ekspresi yang lain dari Refan.
***
Beberapa jam lalu...
“Ich leibe du.”
Grace mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti. Leidu? Refan ngomong apa, sih?
“Leidu...?”
“Leibe du! Ich leibe du!” kata Refan lagi.
“Leidi du?” kata Grace heran, bingung.
“Leibe, Grace. Aisiteru.” Refan kelihatan putus asa sekali “Aku su—”
“JANGAN MACAM-MACAM, JELEK!”
Abang-abang Grace muncul kayak ninja. Mereka datang secepat kilat dan membentengi Grace sehingga Grace tidak bisa melihat Refan begitu juga sebaliknya.
“Apaan, sih? Aku mau ngomong sama Grace,” kata Refan. “Minggir.”
“Mana mungkin kami mau minggir!” kata Drew keras kepala.
“Apa tadi yang kau katakan pada Adikku yang paling cantik sedunia ini hah? Kau mau bergombal ya? Tidak akan kami ijinkan kau dengan bidadari secantik Grace. Langkahi mayat kami kalau mau dengannya!” kata Mark geram.
“Benar!” Daniel mengangguk setuju.
“Apaan, sih ini? Bang, ada apa?” kata Grace heran.
“Kim! Bawa Tuan Putri ke dalam. Jangan sampai Pangeran Serigala nyasar ini menangkapnya!” kata Harry cepat.
“Baik. Mari, Dek,” Kim menarik Grace masuk ke dalam gerbang rumahnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Grace hanya mendengar Refan yang bilang. “Aku tidak akan kalah!”
***
Refan menutup bukunya. Dia tidak konsentrasi membaca. Pikirannya masih tertinggal di depan pintu gerbang rumah Grace.
“Heh, Nak. Kau ini masih SMP kalau mau pacaran tunggulah sampai kau berusia dua puluh tahunan. Masih sepuluh tahun lagi sebelum kau merasakan hal-hal seperti itu.” Kata Mark.
“Apa?”
“Benar. Kami tidak akan mengizinkan kau dengan adik kami.” Kata Harry.
“Aku tahu Grace menyukaiku.”
“Geer,” kata Daniel.
“Aku tidak akan kalah!”
Dia harus melakukan sesuatu pada kelima biang kerok pengganggu itu—kecuali Kim, sepertinya dia hanya ikut-ikutan saja. Dia juga memikirkan keberadaan Rachael yang mengganggu sekali, berisik, sok tahu... menyebalkan...
Refan menggertakan giginya.
Aku tidak mau kalah. Kalau aku kalah maka aku tidak bisa naik ke atas panggung dan mendapatkan tepukan tangan apalagi mawar merah. Tapi menghadapi kelima orang itu tidaklah main-main. Tidak boleh main belakang. Itu pengecut namanya. Aku akan menghadapinya secara langsung. Lima lawan satu. Huh, keroyokan... tapi tidak apa...
Aku akan mengalahkan mereka semua. Pasti!
***
“Hah? Hari ini kita pulang bareng lagi?” Grace terheran-heran ketika Refan menunggunya di gerbang sekolah. “Bukannya kau harus melatih anak-anak basket? Jangan sampai kau melipat gandakan latihan mereka lagi.”
“Ada urusan yang lebih penting dari basket. Lagian mereka bisa latihan sendiri. Aku malas meladeni mereka,” kata Refan datar. “Kelima biang kerok berisik itu ada di rumahmu kan?”
Grace mengerutkan dahi. “Lima biang kerok berisik?” ulangnya heran. “Maksudmu abang-abangku? Tega banget, sih, Fan! Itu kan abangku! Masa dikata-katai di depanku!” kata Grace kesal. Enak banget, sih mengejek-ejek abangnya. Huh! Tidak bisa dimaafkan.
“Jangan marah, dong!” kata Refan ikut-ikutan kesal sekaligus salah tingkah. “Aku ada urusan dengan mereka—maksudku abang-abangmu,” Refan memperjelas ketika melihat raut wajah Grace. “Mereka ada di rumah kan?”
“Ya kalau siang mereka pulang. Katanya makan siang di rumah. Memangnya ada urusan apa, sih?” kata Grace heran.
“Aku mau menantang mereka.”
“Heh? Buat apa?”
“Untuk mendapatkanmu tahu! Ayo cepat pergi! Aku udah nggak sabar membungkam mulut mereka!” Refan menarik tangan Grace yang mengerjap sambil terbengong-bengong.
Mendapatkanku? MENDAPATKANKU? Astaga! Refan suka padaku ya?
Nggak. Nggak. Itu pasti mustahil. Suara hatinya yang lain berbicara. Dia cuma mau menantang kelima abang-abangku. Dia tidak punya maksud sama sekali untuk berkata begitu. Aku salah dengar. Pasti begitu.
Tapi entah kenapa Grace semakin deg-degan ketika Refan sama sekali tidak mau melepas pegangannya dan tetap menarik Grace menuju rumahnya.
***
Harry, Mark, Kim, Evan, Daniel dan Drew menatap Refan dengan tajam tanpa berkedip. Rasanya mereka akan menelan Refan hidup-hidup. Grace sendiri takut melihat aura mereka yang tidak biasa. Mereka berenam menyambut Grace di depan pintu dengan tangan dilipat dan tubuh tegap yang siap tempur.
“Mau apa lagi kau datang kesini, hah? Belum cukup penjelasan yang kukatakan tempo hari?” Harry berbicara dengan nada datar membuat bulu kuduk Grace merinding.
“Belum. Aku menantang kalian dan akan kubuktikan aku bisa melakukan hal yang kalian suruh. Jika aku memuaskan maka kalian harus menerimaku,” kata Refan ikut-ikutan datar.
“Ini bukan permainan anak kecil,” kata Mark dalam. “Kau ini masih cencen. Kim, suruh Grace masuk ke dalam.”
“Aku mau disini. Kalian sebenarnya ada masalah apa, sih? Kok seram banget,” kata Grace menuntut. “Fan, ada masalah apa, sih?”
“Kemarin dia mengatakan hal yang tidak pantas untuk Tuan Putri sepertimu.” Kata Drew. “Masuk ke dalam, Grace. Ini urusan orang dewasa.”
“Refan dan Bang Daniel kan belum dewasa. Bang Evan masih delapan belas tahun! Itu juga belum dibilang dewasa!” kata Grace bersikeras. Daniel menyikut perut Drew. Payah banget kalo ngomong sama Grace.
“Ini urusan laki-laki kalau begitu. Anak perempuan nggak perlu ikut campur,” kata Daniel memperbaiki ucapan Drew.
“Aku mau tanya. Memangnya kemarin Refan bilang apa? Aku sama sekali nggak ngerti.” Kata Grace. Refan dan keenam orang itu melotot padanya.
“Kau tak tahu artinya?” kata Kim heran. “Dek, itu bahasa Jerman.”
“Yang aku tahu cuma bahasa Inggris doang! Jadi apa artinya?” kata Grace lagi.
“A—”
“Itu nggak penting. Dek, masuk ke kamar,” kata Harry dalam dan menatap Grace dengan tatapan sengit. Grace menciut dan segera naik ke tangga.
“Kalian membuatnya takut,” kata Refan melihat Grace yang membanting pintu kamarnya.
“Kau yang membuat kami takut, Anak Kecil. Kau keras kepala sekali. Ngeri rasanya melihatmu. Kau kayak bayangan yang membuntuti Grace kemanapun dia pergi, tahu.” Kata Mark.
Refan kesal. Tapi dia lebih memilih untuk diam. Jangan sampai dia membuat masalah jadi lebih buruk.
“Baik, begini saja,” Harry berbicara masih dengan nada dalam. Refan malah bisa melihat sosok Papanya dibelakang Harry. “Kalau kau benar-benar ingin mendapat izin dari kami maka kau harus diujiankan.”
“Ujian?” ulang Refan.
“Kau selalu mendapat nilai yang baik dalam tiap ujian kan? Maka tentunya tidak masalah kalau diujiankan. Setiap kali kau melakukan hal yang baik sesuai dengan perintah yang kami berikan maka kami akan memberimu nilai plus. Kami berhak mengurangi nilai yang kau dapatkan. Kau setuju?”
“Bagaimana dengan nilainya?”
“Oh, itu sih terserah oleh pemberi nilai. Mau memberimu nilai seratus atau seribu atau malah nilai minus. Kami berlima akan memberi ujian yang masing-masing harus dilakukan olehmu. Kalau kau tidak bisa, maka kau gagal.”
Refan menelan ludah.
“Baik! Aku terima!”
“Oke. Pertama-tama dimulai olehku.” Kata Harry. Dia pura-pura berpikir. “Aku ingin kau datang besok pagi karena besok hari Sabtu. Langsung saja datang ke halaman belakang rumahku ya?”
“Harry, memangnya kau mau membuat ujian yang bagaimana?” Mark bertanya setelah Refan pulang beberapa menit kemudian. “Kau yakin dengan begini bisa membuatnya jera.”
“Yah... kita lihat saja. Kalaupun dia tidak jera, setidaknya kita tahu dia benar-benar memiliki perasaan yang sama seperti Grace atau tidak,” kata Harry melipat tangan dengan pasti. “Kalian pikirkan saja ujian yang akan kalian berikan pada dia. Kalau bisa, bikin dia cepat jera. Sesekali mengusili anak itu boleh juga.”
“Benar!” kata Evan setuju.
***
Sabtu. Ujian Pertama.
Refan menatap perlengkapan yang sudah disediakan oleh Harry dilapangan. Ada meja, pisau, sendok, wajan, kompor, berbagai macam bahan makan dan sayuran, ember dan entah apa lagi. Evan dan Mark yang hari ini libur melihat barang-barang itu dengan dahi mengerut. Mereka sudah memperkirakan apa yang akan diujiankan Harry.
“Ujian pertama, memasak,” kata Harry melipat tangan.
Dahi Refan mengerut.
“Aku ingin kau memasak sesuatu dengan bahan yang sudah kusediakan. Kau tidak memakai dapur karena aku takut kalau-kalau meledakan dapur nanti. Nah, sekarang segera masak apapun yang kau bisa.”
Harry menyingkir dan segera kearah saudara-saudaranya.
“Kejam kau, Harry. Dia mana bisa masak,” kata Mark geleng-geleng kepala. “Tega banget, sih? Kalau nanti dia luka gimana?”
“Emang aku pikirin,” kata Harry cuek.
Mereka melihat Refan memegang pisau dan menatap pisau itu. Dia memegang tepi pisau—sepertinya berusaha untuk menguji ketajaman pisau itu. Dia lalu melihat sayur, melihat wajan, daging, kompor.
“Dia ngapain, sih? Lagi masa penyelidikan ya?” kata Evan heran.
“Mungkin dia sedang mengenal nama bahan-bahan.” Kata Harry mengangkat bahu.
“Yah... aku juga tidak meragukan kalau nanti dia meledakan kompor atau masakan gosong atau malah tidak ada yang bisa dimakan. Keasinan atau malah hambar.”
Tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak tak.
Mereka bertiga mengerjap ketika Refan memotong bawang dengan cepat lagaknya koki profesional. Dia memasukan bawang yang sudah diiris itu ke dalam wajan dalam ukuran yang sama panjang. Dia lalu memotong cabai, daun sop, dan entah apa lagi dalam potongan cepat.
Crang... crang... bwosh!!
Refan membalikan tumisannya dengan cepat. Dia menggerakan wajannya sedikit dan membuat wajannya terbakar api. Harry melotot, bola matanya hampir keluar ketika Refan menyiram air dan memasukan helaian daging dan sayur ke dalam, garam, merica, kaldu dan bumbu-bumbu lainnya. Dia membaliknya lagi dan aroma yang tidak biasa tercium di lapangan.
“Wangi banget aromanya. Jadi lapar,” kata Evan memegang perutnya. “Iya kan, Harry?” Evan menoleh kesisinya tapi Harry sudah tidak ada disisinya. “Harry?”
“Dia ada disana,” kata Mark menunjuk ke arah pohon dimana Harry terpuruk dibawahnya. “Dia sama sekali nggak nyangka kalau Refan bisa masak. Harga dirinya terlanjur hancur.”
Evan terkikik geli. “Tahu rasa. Siapa suruh menyombongkan diri.”
Dalam waktu satu jam, lima hidangan berbeda sudah tersedia diatas meja. Semuanya ditata dengan cantik dan sangat mengundang selera.
“Yah... aku akan memberi nilai kalau manusia yang ada di rumah ini menyukai masakanmu,” kata Harry mencoba menekan rasa malunya. “Aku hanya akan memberi nilai pada salah satu kepribadianmu dengan nilai seratus lima puluh.”
Evan melotot. “Seratus lima puluh? Kau gila ya? Anak yang sifatnya jelek begini kau beri nilai seratus lima puluh?”
“Soalnya dia mirip aku,” kata Harry membela diri. “Tunggu saja penilaian orang terhadap masakannya. Apakah enak atau malah bikin orang keracunan.”
Refan tersenyum puas. Hehe, dia sudah mendapat nilai seratus lima puluh dalam waktu singkat, padat dan mudah. Ujiannya yang sama sekali tidak diperkirakan Refan. Kalau sama Refan sih urusan masak itu sebesar debu dipantai. Keciiiiiiiiiiiiiiiil banget.
“Aku pulang. Aduh, capek banget...”
Daniel memasuki rumah dan melemparkan tasnya yang berat ke atas sofa. Dia melepas sepatunya di pintu depan dan masuk setelah dia melepas kacamatanya. Indera penciumannya langsung merasakan aroma yang sangat enak.
“Masak apa, Har? Lapar nih, belum makan sama sekali,” kata Daniel melangkahkan kakinya ke dapur. Dia melihat makanan di atas meja dan bersiul kagum. “Tumben masak banyak biasanya cuma sedikit.”
Evan memberikan Daniel piring sambil tersenyum-senyum. Dahi Daniel mengerut heran sekaligus curiga. Belum pernah dalam sejarah kehidupannya kalau Evan mau memberinya piring dengan sukarela.
“Dicicipin, Dan,” Evan menyuruh Daniel duduk. Dia menyendokan makanan yang ada di atas meja ke piring Daniel dengan buru-buru.
“Ada apa-apanya kan?” kata Daniel menatap Mark yang tersenyum geli. “Kalian mau meracuniku ya?”
“Nggak kok. Makan aja. Dijamin enak.” Kata Mark menyendok nasi. “atau mau kusuapin, Dan? Aaaah... buka mulutnya.”
“Hentikan itu. Aku bisa makan sendiri,” Daniel mengambil sendok yang dipegang Mark. Dia menatap Refan yang ada di depannya. Daniel menyendokan makanan itu ke mulutnya dan mengunyahnya beberapa saat. “Kok rasanya lain?”
Harry tersenyum senang. Tamat riwayatmu, Anak Kecil.
“Enak banget!” kata Daniel mengunyah cepat. “Tahu aja kalo aku lagi lapar, Har. Sejak kemarin malam aku cuma makan roti doang. Pelit banget produsernya beli nasi bungkus!” Daniel mengambil lauk lebih banyak lagi. “Rasanya beda dari yang biasa, Har. Rasa jeruknya terasa banget. Resep baru ya? Kau menjadikan aku kelinci percobaan ceritanya, nih?”
“Jeruk?” Harry mengulang sementara senyumnya menghilang.
Mark dan Evan menahan tawa mereka.
“Aku mencium bau yang enak,” Kim datang masih menenteng kotak biolanya. Tadi pagi dia mendapat panggilan untuk latihan dan pulangnya baru sekarang. “Kebetulan aku lagi lapar.”
Evan memberikannya piring. Kim mengerutkan dahi.
“Kok aneh, ya?” kata Kim heran. “Rasanya enak, Dan?”
“Luar biasa!” kata Daniel dalam usahanya menelan makanannya.
Kim menyuap makanan yang ditawarkan Mark.
“Hm... excellent!! Harry bisa jadi calon isteri yang baik, nih. Enak banget!” kata Kim dengan polosnya. Mark dan Evan tertawa terbahak tapi Harry tidak.
“Katakan itu pada anak itu!” Harry sebal sambil menunjuk Refan.
“Eh?” Daniel dan Kim terbengong. “Dia yang masak?”
“Iya,” kata Refan mengangguk. “Ujian.”
“Diluar dugaan,” gumam Daniel tidak percaya.
“Kalau begitu kau harus memberinya nilai sempurna, Har. Masakannya enak banget tahu,” kata Kim tersenyum pada Refan. Refan balas tersenyum padanya.
“Ehm... ya... baiklah,” Harry menyerah. “Nilai seratus dua puluh kalau begitu...”
Kim bertepuk tangan. “Jadi berapa nilaimu sekarang?”
“Dua ratus tujuh puluh,” kata Refan datar.
Daniel terbatuk. Dia menatap Harry dengan tidak percaya. “Dua ratus tujuh puluh? Harry, kau gila ya? Nilaimu biasanya yang paling susah di dapat! Sekarang dia malah dapat dua ratus tujuh puluh dalam satu hari?”
“Biarkan saja. Harga diri Harry kan terlanjur hancur,” kata Mark lagi. Evan mengangguk setuju. “Selanjutnya aku yang akan mengujiankanmu.”
Refan menelan ludah. Lidah Mark yang tajam kayak pisau bisa membuatnya terpuruk. Sebenarnya dia lebih takut ujian bareng Mark ketimbang Harry. Dia tahu kalau Harry akan adil padanya, tapi Mark... selalu saja bisa membuat kupingnya panas dengan kata-kata yang amat menusuk perasaan. Kayak duri yang beracun.
“Kita ujian di ruang tengah aja sambil bersantai,” Mark merangkul Refan dengan ramah. “Kurasa kau pasti bisa melakukan ini dengan baik kok.”
Itu yang paling ditakutkan Refan. Ujian mudah justru adalah ujian yang tersulit.
“Nih, mainkanlah sebuah lagu,” Mark memberikan gitar pada Refan.
“Aku nggak bisa nyanyi,” kata Refan menerima gitar itu. “Aku cuma bisa main gitar.”
“Ya sudah. Mainkan saja lagu yang kau bisa,” kata Mark menopang dagunya.
Refan memetik gitar itu dan mendengarkan nadanya. Sudah disetel dengan baik. Ternyata dia salah menduga kalau ujian dengan Mark akan sangat buruk. Dia memilih satu lagu dan dia memilih lagu “Sempurna” milik Andra and the Backbone.
Suara gitarnya membuat Grace turun dari kamarnya walaupun dia sudah dilarang Harry. Bodoh amat, deh. Suara gitar Refan itu amat tidak biasa. Refan kelihatan amat menikmati permainannya begitu juga dengan orang-orang yang mendengar. Mark sesekali terdengar menyanyikan liriknya. Perpaduan yang sangat sempurna.
“Bravo!” Mark bertepuk tangan. Kim juga ikut-ikutan. “Nilai delapan puluh. Soalnya masih ada nada yang datar. Nah, ujian selanjutnya.”
“Ada lagi?” kata Refan.
“Tentu saja. Ini gampang kok. Aku cuma pengen mendengar kau melantunkan nada do rendah sampai do tinggi dimana C = do. Gampang kan?”
O-ow.
“Aku nggak bisa nyanyi.” Kata Refan mengulang kata-katanya.
“Aku nggak menyuruhmu nyanyi. Aku menyuruhmu melantunkan nada do sampai do lagi dimana C=do,” Mark mengulang dengan nada sebal. “Kalau kau tidak mau, nilaimu minus lima puluh.”
“Baik baik. Aku lantunkan,” Refan menyerah. Wuiih... Grace girangnya bukan main. Jarang-jarang Refan mau nyanyi di depan orang.
“Do,” Refan memulai. “Re. Mi. Fa. Sol.”
Daniel menganga. Mark melotot. Evan mengerjap. Harry memegang telinganya.
“Berhenti!” kata Mark. “Aku bilang lantunkan! Bukannya dibaca!”
“Sudah!” kata Refan. “Do. Re. Mi!”
“Nada datar semua,” komentar Kim. Dia tersinggung karena dia juga bergelutr di dunia musik. “Itu sih bukan melantunkan tapi menyebutkan satu per satu.”
“Lantunkan, Anak Bodoh!” kata Mark sebal. “Doremi aja nggak bisa! Masa main gitar bisa tapi bilang doremi nadanya sama dari do sampai ke do lagi. Pita suaramu rusak ya?”
Hal yang ditakutkan Refan terjadi juga.
“Nilaimu minus enam puluh!” kata Mark.
“Ap—? Aku kan tadi sudah bagus main gitar!” Refan protes.
“Ya dan aku sudah memberimu nilai delapan puluh. Sekarang kau gagal diujian kedua jadi aku memberimu nilai minus.”
“Tapi—”
“Membantah juri! Minus sepuluh!”
Refan terdiam. Sial! Nilainya berkurang dengan sangat cepat. “Selesai.”
“Kalau begitu berikutnya giliranku,” kata Evan.
“Tidak. Ini giliran Kim,” kata Daniel menyikut perutnya.
“Eh? Aku?” kata Kim. “Aku sama sekali belum memikirkan ujian untuk Refan,” Kim menopang dagunya sambil berpikir. “Um... begini aja, deh, ujian Refan main biola aja sambil melihat not balok. Refan bisa main biola kan?”
“Baca not balok bisa.... tapi kalau biola....” Refan menatap Evan yang berbisik keras-keras. “Kasih nilai minus.” Sehingga membuat Refan berkata. “Aku bisa! Pasti bisa!” urusan jelek atau nggak itu urusan belakangan, deh.
“Ah! Kalau begitu pakai biola ini saja. Aku malas naik ke atas,” kata Kim membuka kotak biola yang dia bawa-bawa dari tadi. Dia membuka kotak itu. Terlihatlah biola coklat yang cantik dan berkilat disitu.
“Biola baru, Kim?” tanya Evan. “Keren...”
“Ah, ini hadiah ultah dari Lo—tidak penting! Mainin aja!” wajah Kim merah padam. Evan merangkulnya.
“Lo? Lo siapa? Cowok, ya? Aku nggak sudi punya kakak ipar cowok,” kata Evan.
“Cewek, dong! Enak aja!” Kim menutup mulutnya. Mark dan Evan mengerubutinya. “Apaan, sih?”
“Seperti apa wajahnya? Cantik nggak?” kata Harry ikutan. “atau jelek?”
“Aku nggak akan bilang apapun. Lepaskan!” kata Kim.
Ngeok.... ngiiiik.... ngeeoook....
Grace memegang pipinya. “Gigiku ngilu.”
Evan dan Mark tertawa.
“Eh, Fan. Kalau nggak bisa main biola bilang aja! Kau pikir biola itu sama dengan gitar asal gesek aja,” kata Mark melihat hasil pekerjaan Refan.
Tung. Toing toing.
Mereka terdiam ketika salah satu senar biola yang tadi digesek Refan putus. Itu karena Refan terlalu keras menggesek karena sebal dengan perkataan Mark.
“AAAARGH!!!” Kim berteriak. Dia mengambil biola dari tangan Refan. Cepat sekali. Dia menatap Refan dengan marah. “Kau memutuskan senarnya! Nilaimu minus dua ratus!”
“Aku—”
“Tidak ada bantahan!” Kim memotong. Dia memasukan biolanya ke dalam kotaknya lalu menghilang menerobos saudara-saudaranya yang masih terbengong takjub. Mereka masih bisa mendengar suara pintu yang dibanting Kim.
Diluar dugaan justru Kim yang membuat Refan kehilangan banyak nilai.
“Selanjutnya aku!” kata Evan senang. Akhirnya kesempatannya untuk mengerjai Refan datang juga. “Aku dan Drew cuma memberimu satu ujian saja.”
Refan tidak senang sama sekali melihat senyum diwajah Evan.
“Yah... coba kau kerjain Papaku.”
JEDEGER. Refan terpaku kayak batu.
“Evan, itu mustahil,” kata Harry. “Masa kau menyuruh dia mengerjai Papa? Bisa dibunuh Papa dia. Anak itu kan bukan kau yang mudah saja mengerjai orang lain tanpa pandang bulu.”
“Aku minta ganti.”
“Aku nggak akan ganti,” Evan bersikeras. “Tapi kalau kau mau ujiannya ditambah boleh juga. Selagi menunggu Papa pulang, kau bisa mengerjakan soal yang kuberikan. Ujiannya selesai sampai Papa datang. Tunggu ya kuambil soalnya dulu,” kata Evan santai.
Kalau soal sih gampang.
Tapi saat Refan melihat soal yang diberikan Evan, Refan terpelongo.
“Itu soal yang sulit bahkan para professor belum bisa menyelesaikannya tapi ada seorang mahasiswa yang bisa menyelesaikannya.” Kata Evan.
“Siapa?” kata Refa.
“Aku,” kata Evan bangga.
“Tidak mungkin.”
“Walau jelek begini, aku seorang asisten dosen loh. Malah mau dinobatkan jadi dosen tetap malah. Jadi jangan melecehkanku ya, Anak Kecil.”
Refan melirik ke arah yang lain dimana mereka mengangguk-angguk.
Pantas saja waktu dia memeriksa seluruh isi rumah Grace ada buku-buku tebal. Ternyata itu buku-buku milik Evan yang mau diajarkan pada mahasiswa, ya? Mahasiswa mengajar mahasiswa.... benar-benar hebat...
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.