RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 28 September 2009

Love Love Love Eps 12

Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


12.
Hallowen

Akhirnya setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan Refan, Grace akhirnya dapat pulang juga. Sudah tiga jam lamanya dia telat pulang. Dia takut kalau abang-abangnya mengkhawatirkan keadaan Grace. Tapi, sepertinya mereka sibuk dengan urusan masing-masing, soalnya tidak ada tanda-tanda mereka mengkhawatirkan Grace. Menelepon ponsel Grace saja mereka tidak mau.
“Makanya, Fan. Lain kali jangan asal aja membuat tugas. Banyak begitu memangnya bisa dikerjain sendiri?” kata Grace pada Refan yang ada disampingnya.
Sebagai rasa terima kasih—emangnya Refan pernah merasakan terima kasih pada orang?—dia mengantarkan Grace pulang. Apalagi saat ini sudah sore. Bahaya cewek kayak Grace pulang sendirian.
“Aku tahu.”
“By the way, Fan. Kenapa kau nggak dijemput supir?”
“Aku mau jalan kaki.” Kata Refan melihat kearah sisi jalan. Grace mengangguk penuh pengertian. Sebenarnya, Refan bohong, dia sendiri juga heran kenapa dia menyuruh pulang saja supir yang tadi sempat menunggu di gerbang sekolah.
“Jalan kaki? Biasanya kau ogahan buat jalan kaki,” timpal Grace.
“Ya, aku juga heran kenapa,” kata Refan. Grace mengerutkan dahinya. “Tapi menurut buku biologi, berjalan itu sangat baik untuk kesehatan.”
Grace menggeleng perlahan. “Aneh.” Lalu dia tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh, iya, Fan kau sebaiknya segera menyuruh anak-anak Osis buat ngumpul besok. Kita kan ada acara tahunan buat Hallowen.”
“Buat apa ada acara norak kayak gitu? Hallowen kan cuma ada di luar.”
“Biar seru. Tahun lalu kau nggak ikut karena nggak ada yang ngajak kan?”
“Hallowen kemarin aku ada di Inggris. Diundang makan malam sama Pangeran William.”
Grace melotot.
“Yang benar?” katanya tidak percaya.
Refan tersenyum kecil. “Bohong kok.”
Grace memonyongkan mulutnya. “Kirain makan malam betulan.”
“Papa memintaku membantunya mengurus perusahaan. Soalnya ada masalah disana.” Lanjut Refan. “Lagian kalaupun Pangeran William mengundangku buat makan aku tidak berniat. Aku kan bisa buat sendiri.”
“Buat sendiri? Maksudmu masak?” kata Grace dengan dahi mengerut. “Kau bisa masak?” katanya lagi tidak percaya.
“Kau sudah sampai.” Kata Refan menunjuk rumah Grace yang besar. “Masuk sana, jangan sampai kau dicari sama lima orang bodoh di rumahmu.”
“Terus, soal rapat Hallowen?” tanya Grace sebelum masuk ke gerbang.
“Itu urusan Choki bukan urusanku.”
“Tapi kau kan Pembantunya Choki. Harusnya—”
“Wakil Ketua Osis,” Refan menekankan. Sepertinya kata “pembantu” amat tabu baginya.
“Apalah. Choki kan lagi sakit.”
“Dia udah sembuh. Kamarin kulihat dia kencan sama teman ceweknya. Itu loh cewek berambut panjang yang sering mengekorimu itu.”
“Namanya Stevani.”
“Aku tidak peduli.”
Refan berbalik pergi, kemudian dia nyaris pingsan saat kelima abang-abang Grace muncul dari balik tembok dan menghadang Refan. Wajah mereka seram sekali.
“Bang, mau apa?” kata Grace heran saat melihat Evan—yang membawa pemukul baseball, Harry—yang mengecak pinggang sementara auranya kelihatan mengerikan, Mark—yang masih memegang gitar, tapi rasanya dia siap melayangkan gitar itu kapan saja, Daniel—melipat tangannya sementara wajahnya kelihatan jengkel, Drew—yang masih membawa koper kerja, dia mencengkram erat kopernya, dan Kim—hanya Kim yang wajahnya tidak menakutkan.
“Udah pulang, Dek?” tanya Kim sambil menaburkan senyuman menawannya.
“Udah, Bang,” jawab Grace dengan dahi mengerut. Kim kearahnya dan langsung menarik Grace untuk masuk ke dalam. “Loh, Bang? Mau dibawa kemana?”
“Sebaiknya kita tidak ikut campur sama urusan mereka. Refan belum dikasih makan, kita kasih makan sama-sama yuk.” Kim masih menarik tangannya.
Grace tidak ada alasan lain selain ikut saja. Dia menatap keempat abang-abangnya yang masih tinggal dan melambai padanya. Namun setelah Grace masuk dan tidak kelihatan lagi, wajah mereka kembali beringasan.
“Jadi, Anak Kecil,” Harry yang memulai. Rasanya ada tanduk yang muncul dari kepalanya. “Apa tadi yang kaukatakan pada Grace mengenai kami?”
Refan mengerutkan dahinya. Tidak mengerti.
“Kau mengatakan sesuatu yang menyakiti hati kami,” geram Drew.
Refan bingung. Masih belum mengerti.
“Kau mengatai kami bodoh tahu!” kata Evan sebal. “Tahu tidak, jangan berlagak sok pintar. Kau itu tidak lebih pintar dari kami! Nilai seratus saja dipamerin!”
Refan baru ingat kalau tadi mulutnya sempat kelepasan bicara. Dan hasilnya, tada.... mereka berlima muncul seperti ninja. Heran, kenapa rasanya mereka selalu muncul kalau Refan salah sedikit saja, tapi sama sekali tidak muncul kalau ada didekat Rachael.
“Anak Kecil—”
“Namaku Refan,” potong Refan datar.
“Ya. Kau. Aku tidak peduli kau punya nama Badu atau Budi atau Dodol atau Bodoh!”
“Namaku Refan,” Refan mengulang dengan nada jengkel. Abang-abang Grace selalu bisa menarik emosinya, entah dengan cara bagaimana.
“Apalah. Jangan sekali-sekali mengatakan kata makian itu di rumahku!” kata Harry. “Bukankah aku sudah mengingatkanmu sejak awal kalau kata itu sangat tabu?”
“Nggak, tuh,” kata Refan cuek sambil mengangkat bahunya dengan tidak peduli.
Harry menaikan alisnya, begitu juga dengan Daniel. Mata Evan sudah menyipit berbahaya, sementara Mark buka mulut duluan.
“Tengik Kecil, Kutu Busuk tidak berguna,” katanya berang, Harry menoleh kearahnya dengan tidak percaya, “Kau itu buat susah baik hidup maupun mati. Jangan harap aku tidak tahu rencanamu ya? Aku tahu kalau kau suka Grace. Seumur hidup tidak akan kuserahkan Grace yang manis padamu, Dasar Bocah Iblis!”
Refan protes, nada suaranya berubah menjadi berbahaya, dingin dan datar. “Aku tidak terima dikatai begitu.” Dia menoleh menatap Harry. “Kau bilang kalau tidak boleh ada kata makian di rumahmu, tapi coba lihat dia. Apa kau tidak bisa mendidik dia dengan baik?”
Mark menganga.
“Anjrit!” makinya sebal. “Kau tidak sadar kalau kau berhadapan dengan siapa, Kecil?”
“Mark, biar aku yang bicara,” kata Harry menaikan tangannya menghadang Mark yang hendak menyerbu Refan. Harry menatap Refan dengan sudut matanya dan berkata, “Seperti kata Mark tadi, tidak akan kuserahkan adik kami yang paling manis sedunia padamu. Kau itu tidak pantas mendapatkan bidadari seperti Grace.”
“Aku setuju,” Drew manggut-manggut sok suci. “Rachael lebih baik.”
“Iya. Setidaknya kepribadiannya tidak separah Bocah ini,” Evan setuju, hidungnya kembang kempis menahan amarah.
Refan mengepalkan tangannya.
“Aku tidak akan kalah. Akan kubuktikan bahwa aku lebih baik dari Rachael. Apa bagusnya anak kayak dia?” kata Refan. “Lihat saja, aku pasti akan membuat Grace menjadi pacarku. Aku yakin kalau dia akan menyukaiku.”
Daniel maju ke depan. Dia mencengkram kerah seragam Refan. “Jangan coba-coba untuk membuat adikku menangis atau aku akan membunuhmu. Ingat itu.”
Refan menyingkirkan tangan Daniel. Dia tidak mengatakan apapun dan menatap satu per satu abang-abang Grace yang baginya amat merepotkannya.
“Harry! Ada telepon!” terdengar suara Kim dari dalam. Hebat sekali baginya bisa berteriak dari dalam dengan suara yang keras. “Dari Amalie!”
“Oh, iya, iya aku kesana!” teriak Harry. Dia cepat-cepat masuk ke dalam tanpa mempedulikan Refan lagi. Sisa abang-abang Grace saling pandang dengan dahi mengerut.
“Amalie?” ulang Mark. Dia langsung masuk diikuti yang lain.
Refan menganga tidak percaya melihat mereka pergi begitu saja dan tidak mempedulikannya setelah marah-marah terlebih dahulu padanya.
***
Choki tersenyum-senyum keesokan harinya. Dia sudah kembali ke sekolah. Hore, ada kelegaan dalam hati Refan mengingat dia tidak perlu lagi berkutat dengan urusan para guru dan Osis serta anak-anak yang berisik. Namun tampaknya dia salah pengertian. Bagitu Choki masuk,
dia langsung menyuruh anak-anak Osis buat rapat membicarakan masalah Hallowen. Dia juga sama sekali tidak bertanya apa-apa saja yang dilakukan Refan. Malah dengan sengaja berkata pada Refan, “Harusnya kau memimpin rapat buat pesta dansa Hallowen, Fan. Gimana sih?”
“Aku tidak berniat berurusan dengan pesta apapun dalam bentuk bagaimanapun,” timpal Refan melipat tangannya ketika rapat dimulai pada saat pelajaran sekolah. Seperti biasa dia selalu cuek pada apapun. “Lagipula kenapa kita harus rapat saat pelajaran? Kau nggak bisa cari jadwal lain ya?”
Grace yang ada disisi Refan—dan diapit oleh Rachael disisi yang satunya—mengangguk setuju.
“Aku malas masuk. Lupakan soal itu dulu.” Kata Choki cuek. “Grace, aku mau tanya nih. Kau udah jadian dengan Rachael ya?”
Wajah Grace merah padam. Rachael buka mulut, “Nggak usah bahas yang begituan. Kita kesini buat rapat bukannya mengurusi masalah pribadi orang.”
“Jangan-jangan kau ditolak Rachael, iya kan?” kata Choki sambil nyengir.
“Aku ditolak atau diterima itu bukan urusanmu, Ketua Osis berisik,” kata Rachael sebal. “Kenapa sih kau selalu ikut campur urusan orang? Kemarin kau menghancurkan suasana pernyataan cintaku, sekarang malah pengen tahu aku ditolak atau tidak.”
Ananda mengibas-kibaskan kipas tangannya yang berbulu dan memain-mainkan bulu matanya yang lentik. “Choki, cepat minta maaf pada Rachael. Lo menyinggung perasaannya tahu.”
“Kok jadi aku yang minta maaf?” kata Choki heran.
“Karena kau yang mencari masalah,” timpal Dony.
“Benar. Kau itu sumber dari semua masalah yang timbul selama ini tahu,” Sandy membenarkan. Anak-anak Osis yang lain mengangguk setuju, kecuali Refan yang diam saja sambil melipat tangannya.
“Fan, bantuin dong. Kau kan Wakil Ketua Osis. Harusnya kau membantuku,” kata Choki pada Refan sambil memasang tampang memelas.
“Kenapa aku harus membantumu? Lagipula aku setuju dengan perkataan mereka. Selama ini memang kaulah biang kerok dan akar dari segala masalah. Waktu liburan kemarin kau juga berteriak sampai membuat gendang telingaku berdenging, belum lagi kau selalu ketakutan dan membuatku tidak bisa tidur, jatuh dari pohon-lah, nggak masuk sekolahlah dan kemarin aku diceramahi penjaga perpustakaan karena ulahmu yang meminjamkan surat keanggotaanku pada Rachael yang telat mengembalikan buku. Belum lagi harus mengurus guru-guru itu.”
Anak-anak Osis terdiam ketika Refan panjang lebar mengatakan unek-uneknya.
“Ampun, deh, Chok,” kata Rati buka mulut. “Jadi selama ini kerjaan elo itu buat Pangeran pada susah ya? Gila lo ya.”
“Udah, udah,” Grace melerai perkelahian mereka yang sia-sia. “Kapan kita selesai rapatnya kalau dari tadi nggak masuk ke topik? Chok, urusan pribadi disingkirin dulu. Nggak ada yang perlu minta maaf dan nggak ada yang harus mempermasalahkan.”
“Aku setuju,” kata Faldo tersenyum pada Grace. Refan dan Rachael mendelik kesal padanya. “Eh, Chok, cepat lanjutin rapatnya.”
Akhirnya rapat berjalan juga walaupun setengah hati. Rachael terlanjur bad mood dan tidak mau memberi komentar atau ide. Refan—seperti biasa—membaca selama rapat, baginya hallowen sangat tidak penting. Pecinrai memberi ide yang tidak-tidak yang kesemuanya berhubungan dengan Refan dan Rachael, dan akhirnya dari semua ide yang mereka tuangkan cuma dua yang lulus seleksi. Pertama adalah pesta topeng dan yang kedua wajib memakai kostum hantu.
“Pangeran bakal pakai kostum apa ya?” kata Rita genit pada Refan.
“Frankstein,” jawab Refan asal.
“Cocok tuh, kau kan nggak berekspresi kayak Frankstein.” Timpal Grace setuju. Dia mengangguk-angguk, tapi rupanya Refan mendengar, dia mengalihkan pandangannya dari bukunya. “Aku sendiri nggak tahu harus pakai kostum apa.”
“Aku mau jadi penyihir aja, ah,” kata Yani dengan mata berbinar. “Supaya bisa menyihir hati Pangeran Refan, kan Grace udah jadi milik Rachael.”
“Daripada penyihir kau lebih mirip kuntilanak,” timpal Refan. Anak-anak Osis tertawa ngakak. Haha!
***
31 Oktober, Hallowen.
“Adyuh... sori, Dek,” kata Evan pada Grace ketika Grace memintanya untuk diantar ke pesta dansa sekolah. “Bukannya kakanda bermaksud pelit hingga jadi orang kikir. Tapi abang hari benar-benar nggak bisa. Xandra sedang menunggu kedatangan abang buat pesta hallowen kampus. Jarang-jarang dia mau terima tawaran abang.”
Grace merengut.
Entah kenapa sepertinya hallowen tahun ini abang-abangnya sibuk semua. Padahal tahun lalu mereka nggak ada kerjaan. Mark pergi ke Amrik minggu lalu karena ada urusan gitu. Kim katanya harus pulang karena singa peliharaannya tiba-tiba sakit—what? Bang Kim melihara singa? Kurang kerjaan!—dan dia nggak tega membiarkan singa itu sendirian di kandang, mungkin Kim berniat jadi makanan singa. Daniel ada shooting dan bentar lagi mau berangkat ke lokasi shooting. Harry? Wah, dia sih manusia serba sibuk. Tadi pagi dia dan Drew pergi ke Medan, ada seminar gitu dan dia diminta jadi pembicara. Papa dan Mama mau kencan, menikmati waktu berdua katanya. Hah....
“Mau ke sekolah ya, Dek?” Daniel turun dari kamarnya sambil buru-buru memakai helm dan jeketnya yang berloreng-loreng. “Abang antar aja, ya. Tapi pulangnya abang nggak tahu bisa menjemput atau nggak.”
“Dan, kau memang penyelamat!” kata Evan senang. “Pulangnya entar biar aku yang menjemput deh. Telepon abang tiap waktu, Dek. Aku akan selalu melesat walau ke ujung dunia sekalipun.”
“Kau akan melesat walau ke ujung dunia sekalipun kalau Xandra yang memintamu melakukannya,” timpal Daniel menempeleng kepala Evan. “Yuk, Dek.”
“Pakai motor?” kata Grace ragu.
“Ya iyalah.” Daniel mengangguk.
Grace melihat dirinya sendiri dari atas sampai ke bawah. Daniel dan Evan juga melakukan hal yang sama. Daniel menghela napas, dia melepas helmnya.
“Ya udah, naik mobil,” Daniel menyerah melihat kondisi Grace yang memakai gaun nggak mungkin bisa naik motor. Bisa hancur dandanannya. Grace melompat kegirangan. Dia mengikuti Daniel keluar rumah.
“Van, jangan lupa rumah dikunci,” teriak Daniel.
“Iya,” kata Evan balas berteriak.
Daniel mengeluarkan mobil merah porche carrera gt-nya yang mengilap dari bagasi dengan perlahan dan membukakan pintunya ketika Grace sudah ada disisinya. Mobil baru Daniel yang baru dia beli dua hari lalu, tapi Daniel juga ogah memakainya, katanya nggak bisa dipakai ngebut kalau jalanan macet. Lebih enak pakai motor katanya.
Hanya perlu lima belas menit bagi Daniel mengantar Grace ke sekolah sebelum akhirnya Grace turun dari mobil Daniel dan mengecup pipi Daniel.
“Hati-hati ya, Dek. Kalo ada apa-apa bilang aja,” kata Daniel.
“Iya,” Grace membuka pintu mobil dan turun dari tempatnya. “Dah...” Grace melambai pada mobil Daniel yang melaju pergi kearah berlawanan.
“Grace, itu siapa?” Stevani yang menunggu Grace di pintu gerbang mendatangi Grace dengan wajah berbinar. “Kayaknya tajir dan ganteng.”
Grace cengengesan. Dia sama sekali tidak mau mengungkit-ungkit soal Daniel, bisa bahaya entar.
“Masuk, yuk, Stev,” ajak Grace mengalihkan pembicaraan Stevani, namun rupanya Stevani menyadari maksud Grace sehingga dia bertanya lagi dengan nada serius.
“Jadi alasan kenapa kau menolak Rachael dan nggak tertarik sama Pangeran Refan gara-gara kau punya cowok ganteng ya? Udah berapa lama kalian pacaran?”
“Aduh, Stev, dia itu abang aku.”
“Masa sih? Tapi kok pake cupika-cupiki segala?” kata Stevani curiga.
“Emangnya kenapa? Nggak boleh?” timpal Grace. “Eh, kau dandan jadi apa, nih. Kok kayaknya keren banget.”
“Hehe, aku jadi penyihir. Kau sendiri? Kok kayak nggak jelas gini. Ada perban segala lagi,” kata Stevani ketika melihat gaun hitam yang dipakai Grace penuh dengan lilitan perban yang bercorak-corak hitam dan puntih.
“Aku jadi mumi,” kata Grace bangga. “Bagus kan? Jadi nggak perlu dandan.”
Stevani melotot tidak percaya, dia bahkan tidak berkedip.
“Kenapa?” kata Grace heran.
“Tahu nggak, Pangeran Refan juga jadi mumi loh. Kalian janjian ya?” kata Stevani dengan mata dikerjap-kerjapkan.
“Mana mungkin. Dia sendiri bilang pengen jadi Frankstein kan?” kata Grace kesal namun ada sedikit rasa senang dalam hatinya. Refan jadi mumi? Seperti apa tampangnya ya?
“Iya juga sih. Eh, Rachael jadi drakula. Ganteng banget. Choki jadi manusia serigala. Yang jadi Frankstein justru Pecinrai. Tahu nggak waktu orang itu ngeliat Refan jadi mumi mereka langsung lemas. Maksudnya biar sama kayak Pangeran gitu.”
“Oooh,” kata Grace menimpali. Dia mengambil perban dari tas perbannya dan melilitkannya ke sekujur wajahnya.
“Buat apaan?” kata Stevani heran.
“Cari sensasi, biar agak beda dengan Refan.”
“Nggak usah, deh, Refan udah lebih dulu pake begituan.”
Dahi Grace mengerut. Masa, sih Refan mau berdandan berantakan kayak mumi, kayaknya kalo soal begituan dia yang paling ogah. Memang sifat anak yang satu itu susah sekali ditebak.
“Soalnya Refan baru dandan waktu di depan gerbang sekolah setelah dicegat Choki karena nggak make kostum. Dia nyuruh sopir pribadinya buat beli perban terus digulung-gulung nggak jelas. Tapi walau gitu dia tetap aja ganteng.”
Dahi Grace mengerut, Stevani emeng susah banget ya nggak terpesona sama cowok ganteng.
“Hay, Grace,” Rachael sang Drakula muncul di depan pintu masuk. Rambutnya disisir kebelakang sehingga terlihat lunglai. Ada taring panjang keluar dari mulutnya. Jubah yang dia pakai panjang kehitaman. Benar-benar cocok dengan image kedrakulaan yang dia punya. “Kupikir kau nggak datang, soalnya rumahmu sunyi banget. Nggak ikut dengan Kak Harry ke Medan?”
Grace menggeleng. Rachael tersenyum, manis sekali. Rasanya dia benar-benar seperti drakula yang menarik perhatian. Benar-benar mempesona.
“Acaranya udah dimulai dari tadi. Tahu nggak, Refan dari tadi diajak dansa tapi dia menolak terus. Aku jadi nggak tahu apa yang dipikirkan anak itu. Omong-omong Grace, kau keberatan tidak dansa denganku? Aku rasa drakula dengan mumi cantik boleh juga.” kata Rachael lagi mengulurkan tangannya. “Kau tidak keberatan kan Stev?”
“Oh, nggak. Sama sekali nggak,” kata Stevani memainkan alisnya pada Grace. “Sukses ya, Grace.” dan dia berlalu.
Rachael melihat kearah Stevani pergi. “Dia kenapa sih?”
Grace mengangkat bahu. Rachael mengulurkan tangannya. “Kau tidak keberatan kan jika aku memegang tanganmu?”
Grace menggeleng. Dia menerima tangan Rachael dan Rachael menariknya menuju ke lantai dansa dan mereka berdansa.
“Cie... suit... suit... yang baru jadian,” Dhika bersiul dari pinggir lantai dansa. Disana pada ngumpul anak-anak basket dan diantara mereka ada Refan.
Benar, Refan memang memakai kostum mumi yang sebagian perbannya menutupi wajahnya. Dia kelihatan keren dengan rambut yang agak berantakan diantara perban di kepalanya. Tapi Grace tidak mengerti ekspresi Refan ketika mereka saling pandang dan Refan meletakan gelas minumannya sampai sebagian isinya tumpah ke atas meja dan dia pergi keluar.
Grace mendesah lelah. Capek sekali rasanya berdansa dengan Rachael. Mereka berdansa tiga lagu sekaligus sampai akhirnya Ananda meminta pergantian. Dia mengambil minuman jus jeruknya dan keluar. Dia mendapati Refan duduk di dekat lapangan basket. Grace kearahnya.
“Ngapain sendirian disini?” sapa Grace duduk disamping Refan.
Refan melonjak kaget. Dia memegang dadanya. Tampaknya dia benar-benar kaget. “Kau sendiri? Apa kau tidak berdansa lagi dengan pacarmu?”
“Siapa yang pacarku?”
“Rachael.”
“Berapa kali sih aku harus bilang kalau Rachael itu bukan pacar atau siapa-siapanya aku? Sewot banget, sih,” kata Grace, suaranya naik satu oktaf.
“Kalau gitu ngapain berdansa dengannya?” tuntut Refan.
“Salah kalau aku berdansa dengannya?” timpal Grace heran. “Dia mengajakku dengan baik-baik dan sopan. Wajar saja kalau aku mau. Kalau kau cemburu jangan begitu, dong.”
“Kau ini—apa? Siapa yang cemburu? Jangan salah sangka, ya,” kata Refan, dia melihat kanan dan kiri dengan tergesa-gesa. “Mana mungkin aku cemburu. Aku cuma merasa kasihan aja pada Rachael yang udah kau tolak tapi masih saja kau beri harapan.”
Grace menganga.
“Fan, gimanapun dia masih lebih baik darimu. Tahunya cuma marah-marah,” kata Grace bangkit dari tempatnya dan pergi dengan bunyi sepatu yang berklotak-klotak.
Refan mendesah. Dia memegang kepalanya dengan kedua kepalanya sambil menarik perban yang melilit kepalanya. Dia kesal dan ingin berteriak tapi masalahnya dia tidak mau melakukan hal itu. Entah kenapa dia sering panas melihat Grace dengan Rachael. Kenapa sih harus dia yang panas? Dan kenapa juga dia harus mengurusi kehidupan pribadi Grace?
Grace punya pacar atau nggak itu bukan urusannya. Tapi walaupun begitu, kalau melihat tingkah Rachael yang seperti anjing penjaga disisi Grace dan sikap abang-abang Grace yang menyebalkan, dia merasa kesal, gembira, sedih... emosinya tidak stabil, tapi justru itu yang membuat hidupnya jauh lebih hidup dan berwarna. Tapi, dia berpikir lagi, kenapa Refan harus marah kalau Grace berduaan dengan Rachael? Kanapa dia nggak pernah merasa terganggu kalau Grace dekat-dekat dengan cowok lain seperti Choki atau Faldo atau yang lain. Kenapa harus Rachael? Apa karena dia merasakan adanya persaingan yang ketat dengan Rachael atau apa?
“Huh!” Grace dongkol. Dia sudah nggak berniat berlama-lama di pesta. Sudah malam dan sekarang hapenya Evan nggak bisa dihubungi. Padahal tadi katanya dia siap dihubungi kapan aja. Dasar tukang tipu! Grace sebenarnya ingin menghubungi Daniel, tapi Daniel lagi shooting dan lokasinya pasti berlawanan arah, tidak baik terlalu merepotkan Daniel.
Tapi jam sudah menunjukan pukul sebelas... dia mengambil ponselnya dan menghubungi Daniel. Yang menjawab bukan Daniel, tapi salah satu kru. “Maaf, ya, Mbak. Daniel-nya masih shooting. Entar aja kalau menghubungi. Dia sibuk sekali.”
“Selesai shootingnya jam berapa ya, Mas?”
“Selesai ini masih ada pemotretan dan wawancara singkat. Mungkin selesainya jam tiga pagi.”
Grace menutup ponselnya. Daniel bakal pulang jam tiga pagi dan besok Daniel masih ada kuliah dan tugas dan masih banyak lagi kerja yang menggunung. Grace mendesah. Mana nggak ada taksi lagi.
“Yuk kuantar.”
Grace melihat kesisinya dan mendapati Refan sudah ada disampingnya.
“Nggak usah. Makasih.” timpal Grace masih sebal dengan sikapnya Refan.
“Jangan begitu, nggak baik anak perempuan pulang sendiri. Lagian dari tadi kau menunggu disini. Pasti menunggu salah satu dari lima orang itu kan? Apa mereka sebegitu sibuknya sehingga tidak mempedulikanmu?”
“Iya. Mereka sibuk dan semuanya ada di luar kota,” kata Grace sebal.
“Pulang bareng aku aja. Kan sama aja tuh. Lagian nggak capek apa kau nunggui terus dari tadi disini? Udah pulang bareng aja,“ kata Refan menarik tangan Grace.
“Ogah! Aku nggak mau!” Grace menepis tangan Refan. “Kenapa aku harus pulang barengan denganmu? Nggak sudi!”
“Lebih baik pulang dengan aku daripada orang lain kan? Nggak usah berisik, deh.”
Grace makin kesal. Refan emang benar-benar susah buat dibilangin.
“Fan, Grace pulang bareng aku aja,” Rachael tiba-tiba mengambil tangan Grace yang satu lagi. Dia tersenyum tipis pada Refan lalu mengalihkannya pada Grace. “Grace, rumah kita kan dekat. Jadi nggak masalah sama-sama kan? Lagian, kayaknya kau nggak punya tumpangan, deh. Kudengar rumahmu sunyi kan? Kalo misalnya keluargamu belum pulang, kau boleh kok nginap—buat sementara waktu—di rumahku. Aku sama sekali tidak keberatan kok.”
“Dia nggak akan kemana-mana,” kata Refan.
“Yuk,” kata Grace mengangguk setuju dan menarik Rachael pergi.
“Tunggu sebentar,” kata Refan tidak terima dicuekin begitu saja oleh Grace.
“Apa, sih, Fan?” kata Grace heran.
“Kenapa kau mudah saja menerima ajakannya sementara setiap ajakanku selalu kau tolak?” Refan protes. Matanya menyipit berbahaya dari Grace ke Rachael.
“Karena yang Rachael bilang itu benar. Kami itu bertetangga. Kenapa aku mesti menyusahkanmu yang rumahnya jelas-jelas lebih jauh dari rumahku?” timpal Grace. “Udahlah nggak usah protes. Yuk kita pergi, Rachael. Aku udah capek dari tadi berdiri terus disini.”
“Ok,” Rachael merangkul Grace lalu melirik Refan sekali lagi sambil tersenyum penuh kemenangan. “Dah, Refan. Jangan ngikutin kami ya.”
Refan mengepalkan tangannya. Merasa bodoh dan kesal.
Rachael geleng-geleng kepala saat dia duduk berdampingan dengan Grace sementara supir pribadinya membawa mobil dengan cepat dan seimbang. Grace mengerutkan dahi dengan heran.
“Kenapa?” kata Grace.
“Lucu aja ngeliat Refan begitu ngotot ingin mengantarmu. Jangan-jangan dia beneran suka lagi sama kau.”
“Itu nggak mungkin. Hatinya kan kayak batu dan sedingin es,” gumam Grace sebal.
“Walau begitu tetap aja kan dia bisa jatuh cinta. Batu juga bisa hancur dan es juga bisa mencair,” timpal Rachael.
“Aduh, nggak usah bahas itu lagi, deh,” gerutu Grace.
Rachael hanya bersandar dengan nyaman di kursinya sampai dia melihat dari kaca spion ada mobil yang melaju di belakang mereka dengan kecepatan yang sama. Rachael tersenyum geli. Dia benar-benar melakukan yang kuperkirakan.
“Makasih, ya,” kata Grace ketika Rachael membukakan pintu mobil baginya.
“Sama-sama. Jangan lupa besok ke sekolah kayak biasa ya. Mau kujemput nggak?” tawar Rachael dengan penuh keikhlasan.
“Nggak usah. Besok Papa yang bakal ngantar,” kata Grace. Rachael manggut-manggut. “Aku masuk dulu ya.”
“Mimpi indah ya. Kalo bisa mimpiin aku aja,” kata Rachael tersenyum sambil mengedipkan matanya. Dia pasti lihat.
“Yang benar aja,” timpal Grace masuk ke dalam pintu gerbang dan menutupnya.
Rachael masih berdiri beberapa detik di depan gerbang rumah Grace sebelum akhirnya dia beranjak dari tempatnya dan menuju kearah mobil BMW hitam yang terparkir di pinggir jalan. Beberapa meter dari tempatnya. Dia mengetuk kaca mobil belakang dengan buku-buku jarinya. “Refan, ngapain kau mengikuti kami? Takut kalau Grace kuapa-apain ya?”
Pintu mobil turun dan terlihatlah Refan yang duduk di jok belakang. Tampangnya kelihatan sebal.
“Ya ampun Fan, kau nggak ada kerjaan lain selain memata-matai kami?” kata Rachael.
Refan tidak membalas. Mungkin dia tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas Rachael.
“Kalau kau tidak segera naik ke atas panggung, nggak bakal seru, Fan. Nggak ada tantangan. Cepatlah tampil di bawah sorotan lampu atau kau tidak akan pernah mendapat tepukan tangan, apalagi mawar merah.” Kata Rachael pelan menatap mata Refan dengan serius.
Refan juga menatapnya dengan sebal.
“Malam, Fan.”
Rachael memasukan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Jubah hitam drakulanya berkibar ketika dia berjalan diantara kegelapan.
“Tuan Muda, kita pulang sekarang?” kata supir pribadi Refan yang ada di depan.
Refan mengangguk.
***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.