RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 13 Mei 2009

Love Love Love Eps 11

Love for you Love for my family Love for my friend


written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel

11.

Refan Sang Ketua Osis Cadangan

Refan menatap kearah kerumunan manusia yang memakai seragam biru putih berbaris di lapangan. Dia memegang mic-nya dan berkata dengan nada datar. “Semuanya baris.”

Hari ini hari Senin—hari yang sangat sial baginya selain begitu banyak hari sial setelah selesai liburan semester—hari ini dia, dengan sangat menyesal, menggantikan Choki yang tidak bisa hadir karena kakinya patah sewaktu liburan. Akibat itu, dia harus berdiri, menggantikan tugas Choki sebagai Wakil Ketua Osis entah untuk berapa lama.

Dia melirik sekilas ke arah barisan yang sudah rapi padahal dia hanya mengucapkan perintah sekali saja. Dia berdiri disamping sang Kepala Sekolah yang menepuk-nepuk bahunya dengan sangat bangga. Kharisma Refan sangat berbeda dengan Choki, biar bagaimanapun, Refan-lah yang seharusnya jadi Ketua Osis waktu itu.

Sang Kepsek berdeham saat Refan berdiri dengan langkah tegap. Dulu dia selalu bilang kalau menjadi Ketua Osis berarti jadi pembantu Guru—sekarang dia kena getahnya. Saat Sang Kepsek berbicara dan berpidato panjang lebar soal ini dan itu, tidak ada yang mendengarkannya walaupun suasana begitu hening. Soalnya para anak cewek sibuk memandangi wajah Refan yang kelihatan cool sekali di depan. Jarang-jarang wajahnya terpampang di depan begitu. Hehehe

Selesai upacara bendera pun—Refan melakukannya ogah-ogahan walaupun dia berada ditempat yang adem—dia masih saja direpotkan dengan masalah laporan untuk Kepsek dan terjebak dengan guru lain—untung saja Bu Lyla udah pindah, kalau nggak entah apa yang terjadi dengannya.

“Hari ini Bapak minta tolong, ya, Refan,” sang Kepsek lagi-lagi menepuk bahu Refan dengan sok akrab. “Tolong minta data siswa hari ini. Ada yang mau saya cek. Kamu tidak keberatan kan?”

Sangat keberatan. “Baik.”

“Bapak akan minta izin sama guru pelajaranmu hari ini. Tapi rasanya tidak terlalu perlu, soalnya kamu cukup bisa diandalkan walau tidak masuk sekali bukan? Kamu kan kebanggaan SMP kita.”

“Terima kasih, Pak.”

Refan mendengus dongkol. Dia membawa bukunya dari kelas sebagai catatan dan mulai memasuki kelas satu per satu. Pertama-tama kelas tiga—dia tidak mengalami gangguan disini kecuali setiap Sekretaris Kelas tidak bisa bicara saat dia tanya, kemudian dia masuk ke kelas satu—dia mengalami masalah karena rasanya anak-anak junior memelototi dia dengan takjub bahkan dengan sengaja meminta foto dan tanda tangan segala. Dasar kurang kerjaan. Saat dia memasuki kelas dua, dia mengalami banyak masalah disini.

Pertama-tama dari Geng Pecinrai yang berteriak histeris sampai rasanya membuat telinganya seakan pecah. Kemudian dari Evol yang terus-terusan mengibaskan rambutnya seakan dia makhluk paling cantik di dunia. Anak-anak basket yang selalu berteriak “Bos” atau “Kapten” atau “Ketua Osis cadangan” selama dia berjalan dari satu kelas ke kelas lainnya. Dan saat dia sampai ke kelas VIII-3, dia mengambil napas. Itu kelas Grace.

Dia melongok sebentar ke dalam sampai ada suara teriakan dari dalam.

“Apa, Fan?” Grace keluar dari kelas. Seperti biasa dia selalu bersama Stevani disisinya.

“Ada sekretaris kelas?” tanya Refan malas.

“Kau sudah melihatnya. Ada apa?” kata Grace sebal.

“Kau Sekretaris Osis.” Kata Refan.

“Juga Sekretaris Kelas. Apaan sih? Sekarang yang masuk kelas ini aku atau kau, sih?”

“Apalah. Aku minta data siswa.”

“Buat apa?”

“Cerewet. Nggak ada sekretaris yang bertanya. Itu urusanku.”

Grace menggerutu sebal. “Ada tiga puluh lima orang. Dua puluh cowok, lima belas cewek. Buat apaan, sih, Fan? Kau mau bikin sensus sekolah?”

“Mungkin.”

“Kan di data Osis ada. Buat apa sensus sendiri?”

“Apa?”

Refan seperti menyadari kebodohannya sendiri.

“Kenapa kau nggak bilang dari tadi?” katanya sebal. “Aku dari tadi mutar-mutar sekolah tahu buat mencatat beginian.”

Grace menaikan bahunya dengan heran. “Salah sendiri nggak nanya. Kau juga sih nggak pernah konsentrasi waktu rapat Osis, jadi nggak tahu apa perkembangan sekolah ini.”

Refan geleng-geleng kepala. “Sekarang aku minta datanya. Cepat.”

“Datanya ada di kantor Osis.”

“Cepat ambilin.”

Grace menaikan bahunya. Dia kadang geli sendiri dengan sikap Refan. Dia melompat dari kelasnya dan berjalam menuju Kantor Osis dimana Refan mengikuti dari belakang. Refan sendiri menggerutu dalam hati sampai bersumpah-sumpah untuk tidak akan mengulangi hal yang sama dan yang sangat memalukan itu.

Grace hanya memberikan buku coklat yang disampul rapi pada Refan sementara Refan mencatat dengan cepat. Hanya mencatat ini saja dia menghabiskan dua jam pelajaran—padahal kalau dihitung-hitung, jika dia bijak dan bertanya pada Grace—hanya memakan waktu lima sampai sepuluh menit. Itu pun sudah bolak-balik kantor Osis dan ruang Kepsek.

“Ada lagi yang perlu dibantu, Fan?” Grace bertanya saat Refan selesai mencatat.

“Nggak.” Refan keluar dari kantor sebelum Grace berkata, “Ada yang kelupaan loh, Fan.” Refan berbalik lagi. Dia mengambil napas dan berkata. “Makasih.”

“Sama-sama.”

Grace mengikik geli saat Refan keluar dan cepat-cepat menuju kantor Kepsek.

***

Refan sedang mengerjakan soal Matematika di white board saat ada ketukan pintu di depan kelas. Sang Guru Matematika hanya mengangguk, menyuruh Sang Guru Kesenia masuk.

“Maaf mengganggu, Pak.” Kata Guru Kesenian.

“Silakan, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Pak Guru ramah.

“Refan dipanggil sama Kepsek, Pak jika Anda tidak keberatan mengijinkannya keluar.”

Refan menuliskan tanda titik sebelum spidol di tangannya jatuh. Mau apa lagi sih Kepsek itu? Tadi dia nggak masuk karena urusan data siswa, sekarang mau apa lagi?

“Refan?” sang Guru Matematika menoleh pada Refan dengan wajah bertanya. “Kalau kau sudah selesai menjawab, kau bisa keluar.”

Sialnya dia sudah selesai menjawab dengan benar sehingga dia tidak punya alasan untuk berlama-lama di dalam kelas.

Refan meletakkan spidolnya setelah mengambilnya terlebih dahulu dan keluar menuju ruang Kepsek. Hampir satu hari ini dia tidak pernah singgah ke perpustakaan. Ini karena Choki sakit, harusnya dia cepat sembuh sehingga dia tidak perlu terlibat jauh dengan urusan Ketua Osis. Salah satu alasan dia tidak suka jadi Ketua Osis—selain disuruh-suruh dan diperintah—adalah tidak ada di dalam kelas dan mengikuti pelajarannya.

“Bapak memanggil saya?” Refan mengatakannya dengan nada datar dan bersuaha sesopan mungkin walaupun dia dongkol.

Sang Kepsek bangkit dari tempatnya dan menyambut Refan seakan dia orang penting.

“Begini, Refan, Bapak butuh bantuanmu.”

Sudah kuduga.

“Guru-guru akhir-akhir ini sering mengeluh akan sikap Choki dan Osis.”

Nggak pernah dengar, tuh.

“Katanya kebersihan di sekolah ini tidak terjaga dengan baik. Lagipula masih banyak siswa yang bolos dan tidak mengerti dengan pelajaran. Nah, kamu kan pengganti Choki—”

“Untuk sementara,” Refan mengingatkan.

“Ya untuk sementara,” Sang Kepsek setuju. “Jadi begini, bisakah Bapak minta bantuan padamu mengenai kebersihan sekolah ini? Bapak minta tolong, ya?”

Sebenarnya Refan ingin bilang tidak namun terlambat karena telepon di kantornya tiba-tiba berdering dan dia segera disuruh keluar. Refan menghela napas lagi. Sial sekali hari ini baginya, pertama karena tidak masuk, sekarang malah disuruh bersih-bersih. Memangnya apa tugas pembantu kebersihan sekolah?

Usai pulang sekolah, Refan memasuki kamar mandi cowok dan mengeluh. Belum pernah dia melihat kamar mandi sekotor itu, soalnya dia tidak pernah sekalipun masuk ke kamar mandi sekolah. Airnya kuning dan baknya berlumut, belum lagi banyak tulisan aneh-aneh di dinding dan bau yang tidak sedap.

Refan menutup hidungnya. Dia hampir saja pingsan menghirup udara di dekatnya.

Namun dari pada berlama-lama lagi, akhirnya dia memutuskan untuk memulai saja. Pertama-tama dia menyiram dengan air dan mulai membersihkan. Dia sesekali mengeluh saat melihat kecoa yang berterbangan malah sampai nempel di bajunya. Dia berjanji setelah keluar dari tempat ini dia akan segera pergi mandi. Dia sendiri heran bagaimana mungkin ada orang yang bisa betah memiliki kamar mandi seperti ini.

Refan menyeka dahinya yang berkeringat. Setelah dia selesai membersihkan kloset dari kamar mandi cowok, dia beralih ke kamar mandi perempuan. Untung saja sekarang sekolah udah bubaran, kalau nggak dia bakal malu datang ke toilet cewek.

Refan menarik ember yang berisi air menuju toilet wanita. Saat dia masuk, Grace ada di dalam dan kaget melihat Refan.

“Refan?” katanya dengan nada sebal. “Ngapai kau masuk kamar mandi cewek? Mau ngintip lagi?” suaranya naik satu oktaf.

“Jangan salah paham,” kata Refan sebal menarik embernya. “Aku cuma mau membersihkan toilet disuruh Kepsek.”

“Kau… disuruh membersihkan toilet… sama Kepsek…?” Grace mengulang dengan nada heran tidak percaya. “Masa? Bukannya kau Pangeran kebanggaan sekolah?”

“Jangan bahas itu.” Refan mencelupkan kain pelnya sementara Grace masih menatapnya dengan penuh keheranan. “Aku cuma dimintai tolong soal kebersihan sekolah.”

Grace mendekap mulutnya menahan tawa. Air matanya hampir saja keluar saat Refan menggosok-gosok lantai kamar mandi.

“Kau—kau ada bakat jadi pembantu, Fan,” ledek Grace sambil berusaha menahan tawanya sementara perutnya terasa geli.

“Diam!” wajah Refan merona merah sementara dia membersihkan kloset.

Grace menahan tawanya lagi. “Sungguh, Fan!”

“Jangan sampai aku mengepelmu juga dengan ini,” Refan mengangkat kain pelnya pada Grace dengan sebal. Grace mengakak geli.

“Jangan tertawa!” Refan mendengus sebal. Dia menopang tubuhnya dengan tongkat pel.

Grace tidak sanggup lagi membiarkan Refan tersiksa sendiri. Kasihan rasanya melihat seorang Pangeran bersih-bersih, apalagi dia tahu maksud Kepsek itu yang sebenarnya, hanya saja Refan yang salah tafsir.

“Fan, kau tahu nggak apa aja Seksi Pengurus di Osis?” Grace bertanya sambil mendudukan dirinya di westafel terdekat. Refan melanjutkan kembali pekerjaannya.

“Tidak.”

“Pantesan.”

Refan berhenti menggosok. Dia mengangkat kepalanya dan melihat kearah Grace dengan penuh tanda tanya. “Memangnya kenapa?”

“Lanjutkan saja pekerjaanmu,” kata Grace merasa menang bisa membalas Refan. Huh apanya yang pintar? Masa Seksi Pengurus Osis aja dia nggak tahu? Perlu dikerjain.

Refan membalikkan tubuhnya dan menggosok lagi, kali ini lebih keras. Grace terdiam beberapa saat sampai kemudian dia punya ide brilian. Dia mengambil ponselnya dan memotret Refan yang sedang bekerja.

“Apa itu? Apa yang kau ambil?” katanya sebal saat mendengar suara dari kamera ponsel Grace.

“Fotomu.”

“Hapus.”

“Nggak mau.”

“Hapus!”

“Nggak! Dulu juga kau mengambil gambarku sembarangan.”

Grace cuek sambil mengotak-atik ponselnya.

“Kapan?” Refan menuntut.

“Sehari setelah ultahmu. Ingat?”

Refan terdiam. “Oh.” Akhirnya dia menyerah. “Tapi waktu itu gayamu lagi keren.”

“Gayamu juga keren disini.”

“Apa?”

“Soalnya kau nggak pernah bersih-bersihin toilet!”

Grace ngakak saat melihat wajah Refan yang merah padam. Refan mengalihkan pandangannya dan melanjutkan kerjanya lagi. Tuh kan dia marah. Akhirnya Grace nggak tega melihat Refan bekerja sendirian. Dia harus segera ngasih tahu hal yang penting, nih.

“Fan, udah berapa toilet yang kau bersihin?”

“Ini yang terakhir.”

Telat rupanya…

“Memangnya kenapa?” dia bertanya dengan mata berbahaya.

“Ng… soalnya ada Seksi Kebersihan di Osis.”

Refan belum mencerna. Dia menyemprot wewangian ke kamar mandi. “Terus?”

“Refan bodoh…,” Grace menggumam. “Mereka bertanggung jawab soal kebersihan di sekolah. Termasuk membersihkan toilet. Harusnya kau menyuruh mereka saja.”

Tangan Refan yang sedang menyemprot wewangian berhenti di udara. “APA?”

Grace mengangkat kedua bahunya, merasa bodoh. “Makanya lain kali tanya dulu sebelum dikerjain, Fan. Masih ada yang bisa dilakukan Ketua Osis selain bersih-bersih dan melakukan sensus.”

Refan lemas seketika itu juga. “Sial!”

Grace melompat dari tempatnya dan tersenyum pada Refan. “Tapi, Fan, ada bagusnya juga kalau Ketua Osis bersih-bersih. Soalnya dia jadi nggak selalu harus menyuruh-nyuruh orang karena tahu rasanya kan?”

Grace keluar sambil melambaikan tangannya.

Refan menghembuskan napas lega dan melihat hasil kerjanya. Dia sudah menyelesaikan tugasnya. Perkataan Grace ada benarnya juga. Dia puas dengan hasil kerjanya dan lain kali harus bertanya pada Grace mengenai sesuatu hal… lain kali.

***

Refan menghela napas saat menatap bagian depan gerbang sekolah SMP Harapan Bangsa. Tiba-tiba ada seseorang yang merangkulnya dengan sangat erat. Dia kaget sekali melihat Rachael sudah ada disampingnya dan memasang wajah cengengesan.

“Lepaskan.”

“Suntuk banget mukamu, Fan. Ini masih pagi, loh. Hari Selasa lagi,” kata Rachael sambil memain-mainkan alisnya.

“Aku sedang bad mood,” kata Refan menyingkirkan tangan Rachael dengan geram. Tapi Rachael rupanya punya inisiatif lain. Dia masih merangkul Refan.

Bad mood jangan dibawa-bawa ke sekolah dong. Bikin orang yang ngeliat jadi keki tahu!” kata Rachael lagi. “Anyway, Fan, kau dipanggil tuh sama Bu Ram.”

Rachael menunjuk kearah Bu Ram, guru Matematika yang melambai pada mereka—atau tepatnya kearah Refan doang kali.

“Mungkin kau disuruh lagi tuh. Selamat berjuang, ya Ketua Osis Cadangan.”

Rachael melambai kegirangan saat Refan berjalan lunglai kearah Bu Ram. Apalagi, sih maunya guru yang satu ini?

“Ibu memanggil saya?” Refan bertanya tanpa basa-basi lagi. UUT—ujung-ujungnya tolong.

“Iya, Nak. Kepala Sekolah memanggil kamu tuh.” Kata Bu Ram ramah.

Ini masih pagi. Jam ditangannya masih menunjukan pukul tujuh kurang dan Kepsek sudah memanggilnya sebelum masuk? Mau apa lagi selain minta tolong lagi. Kepsek itu seakan membuatnya makin susah hidup. Ternyata urusan Ketua Osis lebih ribet dari perkiraannya.

Refan segera menuju ruang Kepsek. Disana sudah ada si Kepsek. Dia berdiri menatap keluar jendela. Refan masuk tanpa mengetuk pintu. “Bapak memanggil saya?”

Kepsek itu melonjak kaget. Dia mengusap-usap dadanya. “Aduh, Nak Refan. Kamu membuat saya kaget. Duduk, duduk dulu.”

Nggak usah. Tapi toh akhirnya dia duduk juga. Refan bertanya-tanya sendiri kenapa rasanya Kepsek seperti berusaha untuk melihat dia terus setiap hari. Padahal bagi Refan, selama ini dia hanya melihat sang Kepsek saat upacara pagi dan upacara-upacara penting lainnya, lalu saat pemberangkatan perlombaan. Heran sendiri bagi Refan bertemu si Kepsek selama dua hari ini secara terus-terusan sampai membuatnya muak.

“Begini, Refan,” kata Sang Kepsek—kata-kata pertama yang sudah diperkirakan Refan bakal keluar dari bibir sang Kepsek—dia memutar-mutar ibu jarinya. “Seperti yang telah kau ketahui mengenai keadaan sekolah ini. Masih banyak para siswa yang mengeluh soal sistem pengajaran sekolah kita.”

Dahi Refan mengerut. Apa hubungannya denganku?

“Apalagi di matematika.” Lanjut si Kepsek. Refan masih belum mengerti. “Contohnya di kelas VIII, apalagi kelas-kelas matematika. Guru-guru sering mengeluh anak-anak disana tidak mengerti dengan pelajaran mereka dan mereka sering bingung akan apa yang mereka lakukan. Apalagi jika gurunya sering tidak datang dan dibenci.”

Refan sekarang bisa mengerti kemana arah pembicaraan ini dan dia berharap agar perkiraannya salah. Salah besar!!

“Begini, Pak Lasker tidak datang hari ini sementara murid-murid VIII-1 membutuhkan dia. Mereka sudah sangat ketinggalan.”

Firasat buruk.

“Maukah kau menggantikan Pak Lasker untuk sementara ini?”

Refan seakan ditindih dengan batu-batu besar. Firasatnya terbukti.

“Tapi, Pak—”

“Terima kasih, Nak Refan, kau memang bisa diandalkan. Pak Lasker hari ini masuk dipelajaran pertama. Bapak benar-benar mengharapkan bantuanmu mengingat kalau kau adalah juara olimpiade matematika tingkat internasional.”

Sang Kepsek tidak mendengarkan bantahan Refan. Dia malah berkomentar tentang masa lalunya ketika dia masih muda saat dia menjadi asisten dosen. Dia pun bercerita dengan nada membosankan tentang kehidupannya yang sangat bersusah payah saat menuntut ilmu. Sesuatu yang menurut Refan amat tidak perlu. Saat ini dia ingin sekali meninggalkan si Kepsek sendirian dengan ceritanya yang panjang dan lebar untuk segera mempersiapkan materi pelajaran dimana dia akan mengajar teman sekelasnya sendiri. Masalahnya si Kepsek bercerita terus dan terus—sampai membuat kupingnya panas—dan akhirnya berhenti saat bel sekolah berbunyi.

“Ah, sudah masuk. Kalau begitu selamat mengajar, Pak Refan,” kata si Kepsek yang seakan-akan terjaga dari mimpinya yang panjang. “Waktu cepat sekali berlalu, ya?”

Waktu cepat sekali berlalu? Refan mengulang lemas dalam hati.

Refan bangkit dari tempatnya. Dia mengomel dalam hati. Saat dia masuk ke kelas sudah ada guru di dalam. Ini pertama kaliya dia telat masuk ke kelas—dan membuat heboh teman sekelasnya.

“Dari mana saja kamu, Refan?” kata Pak Take, sang Guru Fisika yang sangat sadis dan killer—bahkan gosipnya dia bisa membunuhmu dengan tatapan matanya (Masa’ sih?). dia menatap Refan dari atas sampai ke bawah. “Tidak biasanya kamu terlambat.”

“Dari ruang Kepsek, Pak.”

“Mau apa kamu disana?” kata Pak Take lagi, masih menatapnya dengan sangat tajam. Kadang Pak Take bingung bagaimana caranya menakut-nakuti Refan.

“Mendengarkan cerita masa lalu Pak Kepsek,” Refan berdiplomasi. Dia tidak ingin mengatakan kalau dia disuruh menggantikan posisi salah seorang guru walaupun itu untuk sementara.

Pak Take mengerutkan dahinya. Dia tampak tidak percaya kalau Refan mau saja dijebak Si Kepsek untuk mendengarkan cerita masa lalunya. Padahal itukan sangat membosankan—soalnya Pak Take juga pernah mengalami hal yang sama.

“Baiklah, karena ini pertama kalinya kamu telat. Kamu boleh masuk.”


Refan masuk dan meletakan tasnya.

“Mau kemana kamu, Refan?” tanya Pak Take lagi saat Refan bukannya duduk malah datang kearahnya.

“Saya diperintahkan Kepsek ke kelas VIII-1 untuk membantu mereka belajar, Pak.” Jawab Refan datar. Pak Take menaikkan alisnya, dia tidak mengerti.

“Refan, kamu baru masuk dan mau keluar lagi?” tanya Pak Take.

“Saya juga tidak mau keluar kalau tidak disuruh, Pak. Buang-buang waktu,” gumam Refan jengkel.

Pak Take menimbang-nimbang. Alisnya tertaut sampai akhirnya dia bilang boleh pada Refan. Refan hanya mengangguk kecil dan pergi keluar kelas. Dia berjalan perlahan melewati koridor—rencananya dia hendak berlama-lama—namun sayangnya guru piket dari tadi memperhatikannya sehingga dia tidak punya alasan lagi untuk berlama-lama berkeliaran di luar kelas.

“Selamat pagi.” Kata Refan saat memasuki kelas VIII-1. Cewek-cewek yang ada di dalam ruangan itu berteriak. Refan menutup kedua telinganya. Dia melihat kedalam kelas dan mengeluh saat melihat wajah-wajah yang dia kenal di ruangan itu. Pecinrai.

“Pangeran!! Apa yang Pangeran lakukan disini?” kata Ananda yang menghambur kearah Refan. Dia berlari dengan centil membuat rambutnya berkibar-kibar. “Suatu kehormatan bagi kami saat Pangeran dengan senang hati datang ke sini. Ada perlu apa, Pangeran?”

Refan menatap kesal pada Ananda.

“Aku tidak datang dengan senang hati kesini. Hari ini aku menjadi Guru disini. Jadi duduklah di tempat kalian berada. Kita belajar matematika.”

Ananda seakan tersengat listrik.

“Buka buku kalian,” kata Refan saat dia berdiri di belakang meja guru. “Aku menggantikan Pak Lasker untuk sementara. Nah, sampai mana kalian belajar?”

“Kita belajarnya sampai—”

“Bab tiga belas—”

“Garis singgung lingkaran.”

Rati, Rita dan Yani berebut untuk menjawab pertanyaan Refan. Refan memukul meja untuk menyuruh mereka diam.

“Baik, buka halaman dua ratus enam. Disitu ada soal. Kau,” Refan menunjuk cowok lemot disudut ruangan. “Kerjakan nomor lima.”

Cowok itu menunjuk dirinya sendiri. Terbengong-bengong. Rasanya ajaib sekali jika Pangeran seperti Refan menyadari kehadiran makhluk biasa—bahkan tidak berguna sepertinya. Selama ini orang-orang menganggap dia tidak ada dan sekarang....

“Cepat maju!” kata Refan.

Si Lemot maju ke depan dengan sangat bersemangat. Dan saat dia ada di depan papan tulis dan melihat soal yang disuruh Refan, dia baru sadar kalau dia tidak mengerti apa maksud soal. Dia berbalik pada Refan dengan tubuh gemetaran.

“Maaf, Pak, saya ndak tahu.”

“Berdiri disana.” Kata Refan melipat tangannya. “Selanjutnya kamu!” Refan menunjuk cewek gendut di ujung ruangan. Cewek itu melongo. Dia maju dengan langkah diseret.

“Nggak tahu.”

Refan geleng-geleng kepala. Kesal sendiri.

“Apa Pak Lasker pernah mengajari kalian soal ini?” Refan bertanya pada dua orang itu. Mereka menggeleng. “Duduk.”

Mereka menurut.

Refan membuka bukunya. “Baik. Sampai dimana Pak Lasker mengajari kalian?”

Sampai soal itu.”

“Harusnya kalian mengerti. Nah, apa yang kalian mengerti?”

“Tidak ada.”

Refan melotot.

Tidak ada satupun yang kami mengerti. Pak Lasker aneh-aneh, sih. Kami langusung loncat mengerjakan bab lima sebelum masuk ke bab tiga.”

Refan menepuk dahinya.

“Baik, buka halaman pertama. Aku akan menerangkan semua sekali saja. Siapkan catatan.”

Anak-anak dalam ruangan itu buru-buru mengeluarkan catatan mereka.

Refan berdeham sedikit. Dia membuka bukunya dan mulai mendikte sambil menerangkan. Suaranya datar dan berwibawa. Dia membacakan teks dalam buku pelajaran sambil berjalan mengelilingi kelas.

“Jadi, jika a sama dengan lima dan b sama dengan tiga. Maka garis miring dari segitiga siku-siku dengan sudut sembilan puluh derajat adalah akar dari lima kuadrat ditambah tiga kuadrat. Hasilnya akar tiga puluh empat. Kita masuk ke soal berikutnya. Kau.”

Refan menunjuk cewek di depan. “Maju ke depan.”

Cewek itu terpaku. Dia menatap Refan lekat-lekat tanpa berkedip.

Refan memukul bukunya ke meja terdekat membuat sebagian warga masyarakat di kelas itu melonjak kaget.

“Maju ke depan. Kalau kalian tidak bisa menjawabnya kalian akan kuhukum berdiri menghormat tiang bendera di lapangan.”

Cewek itu maju terbirit-birit ke depan. Berulang kali dia memperbaiki rambutnya. Dia menatap Refan ke belakang setiap kali dia menulis angka di white board. Dia berdiri disana sampai lima belas menit dalam keheningan yang pasti.

Refan menghela napas kesal.

Sabar... sabar...

“Kau,” dia menunjuk yang lain. “maju.”

Yang ditunjuk Refan maju ke depan. Tapi saat di depan dia malah melongo heran.

Refan memukul kepalanya sendiri. Merasa bodoh. Soal gampang begini aja nggak ngerti. Gimana mau ngerjain soal Fisika.

“Kau!”

Gagal.

“Kau.”

Bodoh.

“Kau.”

Nggak ngerti.

“Maju!”

Refan memukul dahinya sendiri entah untuk yang keberapa kalinya. Emosinya sudah naik sekarang. Dia melihat ke arah kelas yang kosong. Semua murid berbaris di depan, tanpa terkecuali. Refan heran sendiri saat Ananda juga ikut-ikutan ke depan—memeriahkan suasana katanya. Shit! Yang benar aja!

Masa begini aja nggak ngerti!” Refan memukul white board dengan punggung spidol. Suaranya menggelegar. “Apa sih yang kalian pelajari bersama Pak Lasker. Soal tambah dan kali saja tidak bisa. Masa yang beginian mesti diajarin kayak anak SD! Tadi waktu ditanya mengerti! Sekarang bilang tidak! Kalian semua bodoh!”

Tok tok

“APA?”

Refan berbalik dengan marah kearah pintu kelas dimana Grace sudah ada disana.

“Jangan marah-marah, dong!” timpal Grace sebal.

Mau apa kau datang kesini?” kata Refan.

“Aku juga nggak berniat datang kalau nggak disuruh tahu.” Kata Grace lagi. Dia masuk sambil mengecak pinggang. “Nih, dari penjaga perpustakaan. Katanya kau belum mengembalikan buku perpustakaan!”

Refan melongo.

Jangan bercanda! Aku sudah mengembalikan semua buku perpustakaan! Kenapa sekarang—”

“Jangan tanya aku, dong!” timpal Grace sebal. “Mana aku tahu yang begituan. Jangan tanya-tanya padaku. Nih! Lagian suaramu menggelegar sampai ke ujung perpustakaan tahu! Nggak ada yang menyuruhmu untuk mengajar mereka sehingga membuatmu marah-marah pada tiap orang.”

Grace menyodorkan kertas dari penjaga perpustakaan. Refan mengambilnya dengan kasar sampai membuat kertas itu sobek.

“Huh!” Grace berbalik dengan sebal dan keluar dari kelas itu.

Refan menatap lekat-lekat kertas yang sobek itu. Dahinya mengerut dalam. Di kertas itu tertulis kalau dia belum mengembalikan buku sebanyak tiga buah. Dan masalahnya buku yang dia pinjam itu sudah pernah dia baca beberapa bulan lalu. Kenapa tiba-tiba dia diminta untuk mengembalikan buku lagi?

Ini perlu dikonfirmasi ulang. Pasti ada kesalahpahaman.

“Pangeran, lalu kita melanjutkan pelajaran?’ kata Ananda.

“Kerjakan semua soal dalam buku paket. Dikumpulkan besok,” kata Refan sambil lalu dan keluar dari kelas itu menuju perpustakaan.

Dia mempercepat langkahnya ketika menuju perpustakaan. Tidak pernah dalam sejarah kehidupannya dia dipanggil dari perpustakaan karena telat mengembalikan buku.

“Permisi, Bu.”

Refan mengetuk pintu perpustakaan dan mendapat penjaga perpustakaan menoleh kearahnya. Dia tersenyum hangat pada Refan. Refan adalah salah satu anak yang dia sukai setelah Rachael. Refan memang tampan tapi Rachael lebih ramah dan periang.

“Bu, saya mau mengkonfirmasi soal bu—”

Belum lagi Refan menjelaskan duduk perkaranya, sang penjaga perpustkaan sudah menyerocos duluan.

“Ah, saya juga hendak membahas itu, Nak. Tidak biasanya kamu terlambat seperti ini. Memang kamu tidak pernah terlambat sebelumnya tapi jika hal ini dibiarkan berulang-ulang, kamu bisa kebiasaan. Apalagi kamu belum mengembalikan tiga buku perpustakaan. Sebagai Ketua Osis dan murid teladan keberadaanmu amatlah diperlukan. Karena itu saya tidak menolerir keadaan seperti ini. Kemudian....”

Refan keluar dari perpustakaan dua jam kemudian dari perpustakaan dengan kuping sakit mendengar ceramah. Dia memang pernah mendengar dari Choki kalau penjaga perpustakaan kalau menasehati orang, tidak pernah melihat waktu. Rasanya dia mau pingsan saja saat keluar dari sana. Dia bahkan tidak sempat mengatakan kalau dia tidak pernah meminjam tiga buah buku perpustakaan, baik dalam keadaan sadar maupun tidak. Namun sang penjaga perpustakaan sama sekali tidak memberinya kesempatan bicara. Tidak sedetikpun.

Oh, hay, Fan,” Rachael menayapanya. Dia kelihatannya gembira sekali. Ada tiga buah buku di tangannya dan Refan mengenali buku buku itu.

Itu buku yang dituduh dia pinjam.

Kenapa itu ada ditanganmu?” kata Refan menunjuk buku ditangan Rachael.

Rachael melihat arah tatapan Refan.

Oh, ini aku pinjam dari perpustakaan tapi telat. Kemarin aku pinjam surat ijin peminjamannya dari Choki. Oh, iya, Fan, Choki bilang dia ngambil surat keanggotaan perpustakaan darimu, jadi aku—intinya—memakai surat keanggotaanmu. Soalnya punyaku ketinggalan.”

Refan sekarang tahu alasan dia dipanggil ke perpustakaan. Ini semua karena Choki. Seenaknya saja dia menggunakan surat keanggotaan Refan.

“Sudah, ya, Fan. Aku mengembalikan ini dulu. Entar dimarahi. Katanya penjaga perpustakaan galak banget. Kalau ngomel nggak kenal waktu.”

Refan memaki dalam hati.

Sial! Rachael yang minjam, Refan yang kena getahnya!

***

Keesokan harinya...

Refan sedang menuliskan huruf lima dibuku latihannya saat ada ketukan di pintu. Seluruh kelas mengalihkan perhatiannya pada Pecinrai yang mengetok pintu setiap nol koma lima detik. Bu Guru yang sedang mengajar menyuruh mereka masuk.

“Ada apa, Ananda?”

Refan mengalihkan pandangannya ke bukunya lagi saat Pecinrai melambai genit padanya.

“Begini, Bu. Kami mau ngumpulin tugas untuk Pangeran,” kata Ananda lagi. Dia menunjukan buku tebal ditangannya. Bukan hanya dia saja, yang lain juga memegang buku yang sama.

Refan mengerutkan dahinya saat Bu Guru dan seluruh siswa menatap padanya. Pecinrai kearahnya dan dengan penuh semangat memberikan buku tebal itu pada Refan. Mereka sempat melambai senang sekali lagi pada Refan saat menghilang dari balik pintu.

Ketika Refan hendak melanjutkan pekerjaannya, lagi-lagi ada pengganggu yang masuk. Kali ini siswa cowok. Dia terengah memberikan lima buah buku tulis tebal pada Refan. “Maaf, telat. Ini PR.”

Dahi Refan mengerut dalam dan setiap lima menit muncul siswa memberikannya buku. Buku-buku itupun menumpuk diatas mejanya dan menenggelamkan penglihatannya. Bu Guru kelihatan kesal akan gangguan itu.

“Refan, lain kali jangan begini!”

Itu katanya sebelum akhirnya meninggalkan kelas lebih awal sepuluh menit dari bel yang diperkirakan.

Refan geleng-geleng kepala.

Akhirnya sekolah membunyikan bel. Cepat-cepat Refan membereskan bukunya. Dia menggendong tas punggungnya dan membawa buku-buku tebal di mejanya dengan susah payah dan segera keluar dari kelasnya. Semua siswa meliriknya saat dia—tidak seperti biasanya—membawa begitu banyak buku.

“Loh, Fan?” Grace muncul bersama Stevani disisinya. Dia memiringkan kepalanya agar dapat melihat Refan dari tumpukan buku. “Ngapain?”

“Bukan urusanmu.”

Refan berjalan ke depan dan menyenggol Stevani yang tidak menghindar. Buku ditangannya jatuh semua. Grace ikut membantu Refan memungut bukunya sementara Stevani masih terbengong takjub.

“Mau dibawa kemana?” tanya Grace.

“Atap.”

Grace mengangguk. “Mau ikut, Stev?”

“Ngapain ngajak dia? Ayo pergi.”

Seperti biasa, tidak pernah ada orang yang bisa membantah Refan. Dia memang tipikal orang yang diktator. Grace sendiri hanya bisa diam saja saat dia menyejajarkan langkahnya mengikuti langkah panjang Refan. Tidak biasanya Refan mau membawa barang-barang berat begini. Biasanya dia akan meminta bantuan sama pengasuhnya yang selalu siap dua puluh empat jam untuk sang tuan muda melalui telepon.

“Cuma kau yang beda,” Refan bergumam ketika mereka bersama-sama naik ke atas tangga.

Langkah kaki mereka bergema disepanjang lorong menuju atap. Grace mengerutkan dahinya. Dia tidak mengerti.

“Beda kenapa?” kata Grace heran. “Karena aku selalu galak padamu?”

Refan tersenyum kecil. “Salah satunya.”

Grace memonyongkan mulutnya. Sebal sendiri.

“Kau satu-satunya cewek normal di sekolah ini. Mungkin begitu.”

“Maksudnya?”

“Kau tidak seperti cewek-cewek lain yang melongo atau berteriak atau terbengong saat aku lewat. Jujur saja, mereka membuatku ngeri.”

“Mungkin karena kau terlalu tampan.”

“Oh, jadi menurutmu aku ini tampan, ya?”

“Begitulah.”

Grace menggigit bibirnya saat Refan tersenyum penuh kemenangan padanya. Dia sangat menyesal mengatakan hal itu di depan orangnya secara langsung. Huh, dia pasti kegeeran. Lihat aja tuh mukanya. Menyebalkan.

“Masuk sini.”

Refan membukakan pintu untuk Grace dan membiarkan Grace lewat duluan. “Lady’s first” katanya. Sok Inggris ah!

“Eh, mau kemana?” kata Refan saat Grace sudah ada di depan pintu untuk keluar dari atap setelah dia meletakan tumpukan buku yang dia bawa.

“Pulang.”

“Kau nggak boleh pulang.”

“Kenapa?”

“Kau harus membantuku mengoreksi ini semua.”

“Apa?”

Grace benar-benar heran sekarang.

“Heh, masa aku yang harus memeriksa pekerjaan itu?”

“Sekretaris Osis harus membantu pekerjaan Ketua Osis.”

Apa hubungannya? Lagian kau bukan Ketua Osis! Kau itu Wakil!”

“Apalah! Aku tidak peduli. Sekarang kerjakan!” Refan menyerahkan tumpukan buku yang baru dia ambil dan diberikannya ke tangan Grace. “Jangan salah. Kalau kau lelet, kita bisa keluar sampai malam dari tempat ini.”

Grace menghentakan kakinya. Gemas sekali pada Refan. Kalau nggak karena jabatan Wakil Ketua Osis dan siswa teladan udah Grace jambak tuh rambut. Huh!! Ngeselin!

“Ngapain bengong di depan pintu? Masuk sini.”

Refan menggerakan tangannya untuk menuju kearahnya.

Sial. Awas kau nanti.

Grace memaki sambil menuju kearah Refan. Dia meletakkan buku ditangannya, tas dan merogoh isinya untuk mengeluarkan pena. Setelah itu dia duduk dan membuka buku, seketika itu juga dia melotot melihat isi dari buku itu.

“Yang mana yang mau diperiksa?” tanya Grace takjub.

“Semua.”

“Oooh. Hah? Apa semua? Maksudmu dari lembaran pertama—”

“Sampai lembaran terakhir. Benar sekali.” Kata Refan kalem. Dia tersenyum kecil sambil memain-mainkan alisnya.

Grace menggertakan giginya. HUUUUUUUUUUUUUUUH!!

“Lembar jawabannya mana?” tanya Grace sementara tangannya mengadah.

“Kita nggak perlu itu. Kau kan punya otak yang bisa digunakan sebagai lembar jawaban. Sekarang periksa saja.”

“Kau bermaksud mengatakan padaku kalau aku harus mengerjakan soalnya juga?” kata Grace ternganga. Dia benar-benar tidak percaya pada perkataan Refan. “Kau benar-benar sudah gila!”

“Aku tidak perlu pendapatmu soal itu. Sekarang kerjakan saja.”

Grace mendengus dongkol. Dia membuka buku yang lain. Dahinya mengerut dalam, kayaknya jalan pengerjaannya tidak asing. Grace melihat buku yang lain. Ini juga sama.

Grace tersenyum.

Hehehe, kalau nyontek begini, pasti sama.

Grace membuka sepuluh buku sekaligus dan langsung mencoret tanda silang setiap kali dia menemukan jawabannya yang sama. Dalam waktu tiga puluh menit, dia sudah menyelesaikan pekerjaannya.

“Bego, ini salah,” Refan menggumam sambil memberi tanda silang pada salah satu buku yang dia periksa. “Tidak punya otak. Masa dua tambah dua sama dengan lima. Huh, ini juga sama saja. Benar-benar, deh.”

Grace memutar matanya.

Oh, gosh...

“Udah siap belum, Fan?”

Refan mengalihkan perhatiannya. “Kenapa kau tidak mengerjakan pekerjaanmu?”

“Aku sudah selesai.”

“Sudah selesai?” tanyanya heran. Kelihatannya dia takjub akan otak Grace yang lebih cepat darinya. “Kok bisa?”

“Yaiyalah, soalnya jawabannya sama semua dan salah semua. Jadi aku tinggal ngasih nol besar aja pada tiap buku.”

Refan geleng-geleng kepala. Pada akhirnya dia mengikuti cara Grace.

Hasilnya ada satu orang yang dapat nilai, Ananda, dengan nilai sembilan puluh tiga.

***


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.