RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 11 Maret 2009

Love Love Love Eps 8

Love for you Love for my family Love for my friend

written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel

8.

Rachael versus Refan

Grace dan Daniel melongok ke arah balkon saat mendengar suara pecahan kaca dari seberang jalan. Tidak lama kemudian terdengar lagi suara pecahan kaca yang lain. Rasanya suara itu makin menjadi-jadi, dan sepertinya bukan hanya satu atau dua barang yang pecah melainkan berpuluh-puluh.

“Apa, sih itu?” Geon keluar dari kamarnya. “Siapa yang berisik tengah malam begini? Ini saatnya untuk tidur.”

Suara pecahan kaca menjawab pertanyaan Geon.

“Sepertinya suara itu berasal dari arah rumah Rachael,” kata Kim mengucek-kucek matanya yang sembab.

Tarandra geleng-geleng kepala.

“Anak-anak zaman sekarang memang suka sekali menghancurkan barang. Atau mungkin dia sedang menonton TV dan suaranya dibuat maksimal,” gumam Tarandra. “Pa, sebaiknya tegur saja dia. Rachael kan tinggal sendiri bersama Pengasuhnya disana.”

Geon mengambil mantelnya dan menyelimuti tubuhnya yang masih memakai piyama dengan mantel itu. Anak-anaknya yang lain mengikuti dari belakang. Saat Geon hendak keluar dari pintu gerbang, tiba-tiba Rachael sudah nongol duluan.

“Oom, boleh nginap disini nggak?”

Mereka heran sekali melihat Rachael masih memakai pakaian lengkap dengan rambut awut-awutan dan—agak kaget—saat Rachael membawa perlengkapan tidur. “Saya mau ngungsi. Bolehkan?”

“Ngungsi?” ulang Mark dengan nada heran.

PRANK BRUK PRANG KOMPRYANG, suara pecahan kacanya makin menggila saja.

“Ada siapa di rumahmu? Kenapa berisik sekali?” kata Geon mencoba melongok tapi Rachael menghalanginya.

“Maaf, Oom, tapi sebaiknya Oom tidak mencampuri urusan pribadi mereka. Bisa gawat nanti,” kata Rachael.

“Racha! Racha Sayang! Kamu ada dimana?” terdengar suara wanita dari seberang. “Racha ikut Mami pulang, ya? Racha!”

Rachael menelan ludah.



“Itu Mama kamu kan? Kenapa tidak dijawab?” kata Geon dengan tatapan meminta penjelasan. “Cepat jawab. Dia pasti mencari kamu.”

“RICK!” kali ini terdengar suara laki-laki. “RICK! Rick harus ikut Papi ke Mesir! Dia tidak bisa kamu didik dengan baik!”

“Apa? Jangan sembarangan ya? Bukannya kamu yang sibuk mengurusi minyak di Mesir? Dia malah kamu kirim ke Swiss!” balas wanita itu.

“Aku nggak ngirim dia ke Swiss! Dia sendiri yang meminta kesana!”

“Nah, kan… itu bukti kalau Racha tidak suka tinggal sama kamu!” suara wanita itu meninggi dan terdengar suara kaca pecah lagi. “Racha akan ikut aku ke Paris!”

“Nggak bisa! Aku kepala rumah tangga disini!”

“Dimana kau saat dibutuhkan? Kau sibuk mengurusi minyak dan gurun dan unta bersama kaktus yang tidak ada airnya!”

“Aku kan sudah minta kamu dan Rick untuk tinggal di Mesir!”

“Kau gila? Aku tidak mau tinggal disana dan meninggalkan kecantikan dan bisnisku di Paris! Gara-gara kamu Racha jadi menghilang!”

“Itu juga karena kamu tidak bisa mendidik Rick dengan baik! Padahal kamu itu Maminya! Dimana kasih sayangmu sebagai Ibu? Sejak dulu kamu selalu menitipkannya sama Pengasuh!”

“Aku tidak begitu!”

“Iya kamu begitu! Sejak Rick berusia setahun kamu selalu tidak ada di rumah! Pantas saja dia tidak suka ada di rumah! Keluyuran tiap malam!”

“Kita masuk saja, Oom,” kata Rachael menarik tangan Geon untuk masuk ke dalam. “Oom tidak akan mau mendengarkan omelan mereka.”

“Mereka… orang tuamu?” kata Geon tidak percaya.

“Bagaimana denganmu?” suara wanita itu berteriak. “Kau sendiri tidak pernah ada disampingnya! Bahkan saat kelahirannya pun kau tidak datang! Kau sibuk dengan rapat minyak dan sahammu itu! Padahal Racha anak kita satu-satunya!”

“Plis, Oom. Ayo kita masuk,” kata Rachael dengan wajah memohon.

Geon mengangguk dalam diam. Dikegelapan seperti ini, Geon tidak dapat melihat dengan jelas kalau ada rona di wajah Rachael. Geon merangkul Rachael dan menggiringnya masuk ke dalam. Anak-anak Richard melihatnya dengan penuh simpati.



“Apa yang terjadi?” kata Geon saat Rachael didudukan disalah satu sofa. “Mereka orang tuamu kan?”

Rachael hanya mengangguk dalam diam. Wajahnya pucat.

“Kenapa mereka berantem? Ada masalah?” kata Kim duduk disamping Rachael. Harry kembali dari dapur dengan segelas teh jahe yang baru dibuatnya dan diberikan pada Rachael.

“Ah itu, sih udah biasa,” kata Rachael tertawa lemah. “Mereka selalu berantem kalau bertemu, jadi aku juga nggak terlalu peduli. Kalian kan sudah dengar sendiri perkataan Mami. Aku jadi malu, nih sama keluarga Richard.”

Harry dan Mark saling pandang.

“Maksudmu apa?” kata Kim bingung.

“Jadi begini, Mami dan Papi itu sudah lama tinggal berpisah. Mami ada di Paris dan Papi ada di Mesir. Mereka berdua sibuk dengan kehidupan masing-masing. Dan begitu juga denganku, aku sibuk dengan kehidupanku.”

Rachael menatap wajah keluarga Richard satu per satu.

“Er… jadi… bisakan aku tidur semalam disini?” katanya ragu-ragu. “Mami selalu memecahkan sesuatu kalau sudah berantem dengan Papi. Jadi aku tidak punya tempat lagi buat tidur. Bisakan, Oom?”

Geon menghela napas, dia kasihan pada Rachael. Tapi walaupun agak kasihan, Rachael adalah anak yang patut dibanggakan, walaupun dalam kondisi keluarga super parah seperti itu, dia tetap bisa mendapatkan nilai yang bagus di sekolah.

“Boleh. Ada satu kamar tamu, kamu bisa tidur untuk sementara disana,” katanya.

“Makasih, ya, Oom. Oom baik banget, deh,” kata Rachael.

Geon mengangguk-angguk.

“Drew antar dia, kamarnya kan disebelah kamarmu,” kata Geon. “Dan yang lain segera tidur, ada yang harus kalian kerjakan besok kan?”

Drew mengantarkan Rachael ke kamar tamu yang ada disamping kamarnya. Setelah menguap karena kelelahan, dia pun melambai lemah pada Rachael dan masuk ke kamar.

Keesokan paginya, Rachael pamit untuk pulang dan bersiap-siap ke sekolah. Dia menjemput Grace terlebih dahulu. Katanya, sih sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengijinkannya untuk tidur satu malam di rumah Grace, paling tidak dia membalas jas dengan mengantar Grace ke sekolah.



Grace agak heran sama sikap Rachael yang tidak peduli akan kepulangan dan kepergian orang tuanya. Padahal Maminya sudah terisak-isak memintanya untuk balik ke Paris, tapi dia tetap tidak peduli dan memilih untuk tinggal sendiri di Indonesia. Papinya Rachael nggak kelihatan, katanya udah berangkat duluan.

“Kenapa nggak ikut salah satu dari mereka?” Grace bertanya saat Rachael memarkirkan motornya. “Mereka sudah bercerai?”

“Aku malah berharap mereka segera bercerai daripada berantem melulu dan membuatku pusing.” Kata Rachael tidak peduli. Dia memakai rangselnya.

Grace mengerutkan dahi.

“Masalahnya mereka tidak pernah mau aku membahas itu di depan mereka. Contohnya Mami, dia akan berpura-pura lupa memakai make up waktu ku-usulkan begitu. Papi malah bilang dia sibuk mengurusi unta.” Kata Rachael enteng.

Grace makin mengerutkan dahi, sepertinya orang tua Rachael agak lucu juga.

“Yah… mungkin mereka masih saling mencintai, hanya saja nggak mau ngaku. Ego mereka tinggi banget, sih,” kata Rachael lagi.

“Wah… ada pasangan baru, nih,” Choki menyapa mereka sebagai ucapan selamat pagi. Di belakangnya ada Refan yang membaca buku sambil bersandar di dinding. “Udah tiap hari ketemu, rumah berhadapan, sekarang malah naik motor berdua.”

“Siapa yang pasangan baru? Enak aja!” gumam Grace, wajahnya memerah. Refan meliriknya sekilas, kira-kira dia dengar nggak ya?

“Aku cuma mengantarnya karena kemarin aku diijinkan tinggal di rumah Grace,” kata Rachael polos, yah menurut cara dia berbicara, tapi sebenarnya dia mau memanas-manasi Refan. Lihat saja si Refan, dia sudah menutup bukunya.

“Tinggal di rumah Grace?” kata Choki nggak percaya.

“Cuma semalam. Kemarin ada emergency,” kata Grace menjelaskan, jangan sampai entar ada kesalah pahaman.

“Tapi kalian pasangan serasi kok. Saling pengertian. Nggak kayak Refan yang kerjanya berantem melulu dengan Grace,” kata Choki mengedikan bahunya.

“Jangan bawa-bawa aku, ya,” kata Refan.



Choki berhenti melihat kerumunan cewek-cewek yang ada di depan madding. Mereka kelihatan sangat antusias sekali melihat isi madding. Choki yang menjadi Ketua Osis segera melihat apa sebab musababnya, ternyata ada sesuatu yang tidak penting tertempel di dinding.

“Aduh, Daniel kok keren banget, ya? Gosipnya dia punya pacar tiga, loh!” kata Ananda melihat foto Daniel yang terpampang di madding.

“Itu nggak mungkin,” Evol datang sambil mengibaskan rambutnya sehingga mengenai anak cowok di belakangnya. “Menurut sumber yang bisa dipercaya, Daniel masih belum punya pacar dan dia masih focus dengan sekolah dan karirnya.”

“Elo tahu dari mana?” kata Yani sebal.

“Ya tahulah, emangnya aku norak kayak kalian. Berita tentang Daniel sih kecil banget buat didapetin,” katanya lagi.

Grace geleng-geleng kepala. Ini sudah kelima kalinya dalam dua tahun terakhir kalau Daniel digosipkan punya pacar lebih dari satu. Padahal Daniel sendiri, melihat tingkahnya sehari hari oleh Grace, tidak pernah sekalipun ada terlepon dari cewek yang dianggapnya. Semuanya dari kantor dan kampus.

“Siapa yang menempel ini disini?” Choki menarik foto-foto Daniel yang tertempel di madding. Anak-anak cewek protes. “Ini kan madding sekolah bukannya tempat menempel foto artis!”

“Chok, elo cemburu banget, sih?” kata Ananda sebal. “Itu foto Daniel yang baru tahu! Elo kan nggak bisa dibandingin sama dia!”

Choki tidak menggubris, dia membawa foto-foto Daniel yang dipajang dan pergi menuju Seksi Mading. Kelihatannya Choki bakalan mengobrak-abrik ruangan Pengurus Madding.

“Trus, Fan, gimana hari-harimu? Menyenangkan?” Rachael merangkul Refan—yang tangannya langsung disingkirkan Refan. “Aku dengar hari ini ada pertandingan, ya? Butuh bantuanku nggak? Aku cukup berbakat, loh dalam basket.”

“Aku akan minta bantuanmu kalau semua pemain di timku mati,” kata Refan datar, dia masuk ke kelasnya. Rachael tersenyum tipis.

Hm… kalau gitu aku lukai aja satu orang…

***

Refan menganti seragamnya dengan kaos putih yang dilapisi dengan seragam basket berwarna hijau. Nomor empat besar tertempel di belakang punggung Refan. Tepat saat dia 

menjejalkan kepalanya melewati lubang seragam basketnya, salah seorang anggota basket menggebarak ruangan klub.

“Kapten ada hal gawat!”

Refan tidak langsung merespon karena pada akhirnya sang pembawa pesan pasti akan langsung mengatakan hal yang gawat itu.

“Napa lo, Dik?” kata Faldo, salah seorang anggota basket.

“Biyon jatuh!” kata Dikha dengan wajah panik.

“Cuma jatuh doang jadi masalah.” Kata Lev, anak basket yang lain. “Cepetan surun Biyon kemari, kalau nggak kita nggak bisa main, nih.”

“Itu dia masalahnya,” kata Dikha. “Biyon jatuh dari tangga dan kepalanya terbentur, belum sadar, tuh. Malah sekarang dibawa ke rumah sakit.”

Tangan Refan terhenti saat hendak mengikat tali sepatunya. Anggota tim pun terpelongo untuk beberapa saat.

“Eh? Apa lo bilang?” kata Lev seakan yang didengarnya tadi belum cukup.

“Biyon jatuh dan sekarang belum sadar di rumah sakit.”

“Ah, serius dong lo. Kita mau tanding, nih,” kata Faldo. “Anggota kita udah kurang ditambah pula lagi yang pingsan.”

“Mana Sandy nggak masuk lagi,” timpal Dikha mengecak pinggang.

“Aroz kemana?” Refan bertanya.

“Cabut, Ten sama Ilham dan Roy,” kata Faldo.

Refan melipat tangan, otaknya berpikir.

“Gimana, nih, Ten? Masa empat lawan lima? Kita juga nggak punya pemain cadangan,” kata Lev ikut-ikutan panik.

Refan mengerutkan dahinya.

Aku dengar hari ini ada pertandingan, ya? Butuh bantuanku nggak? Aku cukup berbakat, loh dalam basket.

Kata-kata Rachael terngiang ditelinga Refan. Sebenarnya dia tidak mau, tapi kalau sudah begini… apa boleh buat.

“Lev, minta Choki sama Dony dan Sammy jadi pemain cadangan sementara,” kata Refan datar member perintah.

“Trus yang jadi pemain inti satu lagi siapa?” kata Dhika.



“Aku punya satu orang,” kata Refan keluar dari ruangan.

Dia melewati koridor dengan cepat. Cewek-cewek histeris saat dia lewat dengan seragam basket. Biasanya Refan cuma lewat dengan seragam begitu kalau bareng timnya. Sekarang agak lain.

“Rachael mana?” dia bertanya pada salah seorang cewek yang wajahnya memerah kayak kepiting rebus.

“Eh? Racha—Rachael…”

Kelamaan, Refan membatin dan masuk ke dalam kelas. Ruangan itu kosong. Dia keluar dengan cepat dan berlari dengan kepala menoleh kesana kemari.

“Lihat Rachael?” Refan bertanya lagi pada cewek yang gelagapan menjawabnya.

Ya, ampun… cewek di sekolah ini nggak bisa ngomong, ya?

“Rachael! Ngapain disana?”

Kepala Refan langsung menoleh ketika mendengar suara itu. Dia melihat Rachael ada di atas pohon. Dia membaca salah satu buku yang kelihatan cukup tua.

“Rachael,” panggil Refan.

Rachael menoleh ke bawah.

“Eh, ada apa, Fan?” kata Rachael menutup bukunya sambil tersenyum.

“Bisa bicara sebentar?” katanya.

Rachael hanya mengangkat bahu dan turun dari pohon.

“Apa?” kata Rachael. “Kau mau minta tolong, ya?”

“Aku butuh kau sebagai anggota basket. Timku kekurangan orang,” kata Refan.

Rachael mengaruk-garuk pipinya.

“Mau tidak?” kata Refan mulai kesal dengan sikap Rachael.

“Ya boleh.” Kata Rachael. “Aku harus pakai seragam, ya? Terus aku harus memanggilmu ‘Kapten’? Kau Kapten tim kan?”

“Itu nanti saja. Sekarang ikuti aku saja.”

Refan berlari lebih dulu, Rachael mengikuti dari belakang.

“Terus, kita mau kemana? Lawan kita kuat tidak? Anak mana?” Rachael ngoceh sepanjang perjalanan. Lama-lama Refan jadi sebal melihat tingkah lakunya.

“Lev, suruh dia pakai seragam dan jelaskan segala hal yang dia tanya,” kata Refan saat membuka ruangan klub basket. “Kalian kutunggu di lapangan.”



“Kau mau kemana, Fan?” kata Rachael saat Refan berlari menjauh.

“Melapor sama Pelatih kalau ada pertukaran Pemain.”

Rachael melongok sambil tersenyum kecil. Agak curang, sih mendorong jatuh Biyon dari tangga dan menghasut pikiran Aroz, Ilham dan Roy buat cabut nonton konsernya Ungu. Yah… keberuntungan juga kalo Sandy nggak datang… sori, ya, Fan.

“Oi, Rachael, cepat ganti seragammu,” kata Dikha membuyarkan lamunannya. “Emangnya kau bisa main basket? Kok aku nggak pernah tahu, ya?”

“Aku dulu Kapten tim waktu masih di Prancis,” kata Rachael enteng.

Setelah mengganti seragam, Rachael dan beberapa anak tim basket yang masih tersisa ditambahi dengan Choki, Dony dan Sammy segera ke lapangan. Refan sudah ada disana, dia tampak sangat serius berbicara dengan Pelatih yang juga merupakan Guru Olah Raga.

“Loh? Rachael juga main?” Grace mendatanginya dan heran melihatnya memakai seragam kebanggan Tim SMP Harapan Bangsa.

“Iya. Cuma bantuin Refan sedikit. Grace sendiri mau pulang?” kata Rachael ramah. Stevani yang ada disamping Grace kelihatan terhipnotis Rachael.

“Iya, nih mau ngerjain PR. Udah banyak yang numpuk.”

“Nonton kita dulu deh sampai selesai,” kata Rachael lagi. “Mau, ya? Entar aku yang ngatarin pulang, aku juga bakal membantumu ngerjain PR, aku juga deh yang menjelaskan sama Tante Tarandra kalau kau pulangnya telat.”

“Makasih, Rachael, tapi aku rasa nggak perlu, deh,” kata Grace bingung.

“Nonton aja apa susahnya sih Grace?” celetuk Stevani. “Tenang aja deh, Rachael, Grace bakal nonton.”

“Tapi—”

“Rachael main aja dengan tenang, ya?” kata Stevani menarik Grace menuju bangku penonton.

“Apaan, sih, Stev? Aku nggak mau nonton! Ada PR!” kata Grace berbisik.

Stevani menggeleng kuat-kuat.

“Nggak bisa. Rasanya selama dua tahun kau sekolah disini, belum pernah sejarahnya kau nonton basket.”



“Di rumah aku bisa nonton tiap hari kalau aku mau,” kata Grace. Wajar dia berkata begitu, karena lapangan basket di rumah nggak pernah absen dari abang-abangnya yang sibuk taruhan dan bertanding one on one.

“Ini pertama kalinya Refan dan Rachael main basket bareng! Belum tentu akan ada lagi hari dimana mereka bisa main.”

“Bisa tidak sih kalian ke tempat bangku penonton dan bukannya ditengah lapangan?” kata Refan yang datang ke arah mereka. Tanda di lengan kirinya membuktikan dia adalah Kapten. “Minggir.”

“Iya, Fan, kita minggir,” kata Stevani menarik tas Grace.

“Para Kapten harap segera ke tengah lapangan,” kata Juri.

Refan masuk ke tengah lapangan. Rachael dan tim yang lainnya masuk ke lapangan. Tim lain yang mengenakan seragam coklat kelihatan geli saat melihat anggota tim SMP Harapan Bangsa hanya ada delapan orang.

“Fan, oper kebelakang. Kita kerja sama,” kata Rachael.

Refan tidak mendengarkan atau mungkin pura-pura tidak peduli.

Sang Juri melempar bolanya ke udara, Refan menekuk kakinya dan melompat. Dia berhasil mengambil bola dan mengopernya pada Lev.

Nice shoot!” kata Lev mendrible bolanya. Dia dihadang sama salah seorang anggota tim lawan. Jujur saja, wajahnya seram.

“Lev! Oper!” Rachael berteriak.

Lev melempar bolanya dan ditangkap dengan mulus oleh Rachael. Dia membawa bolanya melewati satu orang.

Duk, bola itu melewati sela-sela kaki lawan.

Dua orang…

Rachael mengecoh dengan gerakan yang cepat.

Tiga orang…

Dia berpura-pura mengoper pada Refan, tapi ternyata bolanya memantul dan kembali ke arahnya. Dan disaat yang sangat cepat, dia melompat dan melakukan slam dunk.

“YEAH!”

Pendukung SMP Harapan Bangsa bersorak.



“Keren!!” Stevani berteriak, membuat gendang telinga Grace mendenging. Aduh, ampun, deh. “Lakukan lagi, Rachael! Luar biasa!”

“Jangan main sendiri,” Refan bergumam pada Rachael. “Ini permainan tim.”

“Yang penting bolanya masuk kan Fan,” kata Rachael enteng menepuk punggung Refan.

Permainan dimulai kembali, kali ini tim lawan berusaha menerobos pertahanan tim SMP Harapan Bangsa. Namun, sayang sekali, Dikha berhasil merebut bolanya kembali dan mengopernya pada Refan.

“Jaga Kaptennya!”

Tiga pemain langsung menghadang Refan.

“Fan! Oper!” Rachael berteriak.

Dilihat dari kondisi, hanya Rachael yang bebas, namun Refan sudah mengambil langkah antisipasi. Dia melompat dan melempar bolanya.

Masuk.

“KYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”

Grace menutup telinganya, sorakan Pecinrai dan Evol membuat kepalanya pusing. Apalagi mereka membawa toak.

“Go! Go! Refan! Rachael! Go! Go!”

“Banyak orang aneh dimana-mana,” Grace menggumam saat anggota cheerleaders menari-nari dengan pom pom ditangan.

“Refan, ini permainan tim, tadi itu gegabah sekali,” kata Rachael menyindirnya.

“Yang penting bolanya masuk,” kata Refan tidak peduli.

Rachael tersenyum kecil.

Yeah, show time!

Faldo membawa bolanya, namu tiba-tiba Rachael mengambil bolanya dan membawanya seorang diri.

“Ap—”

Refan mengerutkan dahi. Apa yang dia lakukan?

Rachael melewati Kapten tim lawan, dia melompat dari jarak jauh dan bolanya masuk.

“Apa yang kau lakukan?” Refan mendatangi Rachael yang mengangkat tangannya dengan bangga pada para pendukung SMP Harapan Bangsa.

“Apa? Yang penting bolanya masuk kan?” kata Rachael enteng.



Grace yang melihat dari arah penonton hanya terbengong-bengong saja saat permainan dimulai kembali. Nilai SMP Harapan Bangsa selalu naik dan naik sehingga sulit dikejar tim lawan, tapi rasanya ada yang berbeda dengan permainan hari ini.

Kok rasanya Refan dan Rachael kayak bertanding, ya? Grace membatin melihat Refan memasukan bola ke keranjang tim lawan.

Beberapa menit kemudian, Rachael yang memasukan bola.

Sepertinya yang mulai menyadari keanehan permainan tim SMP Harapan Bangsa bukan hanya Grace saja. Choki, Dony dan Sammy yang ada dibangku cadangan pun mengerutkan dahi saat Refan dan Rachael berkejar-kejaran memperebutkan bola. Dan, kelihatannya, mereka tidak menganggap tim lawan, bahkan tim mereka sendiri.

Faldo berhenti berlari saat Rachael mengambil bola dari tangannya. Dia menatap Lev yang mengangkat bahu dengan bingung.

Anggota tim lawan pun sempat terheran-heran saat Dikha dilewati begitu saja oleh Refan dan mengejar Rachael yang mendribel bolanya.

“Rachael!” Refan berteriak. “Oper bolanya!”

“Coba saja ambil sendiri,” kata Rachael enteng.

Refan mempercepat larinya dan menghadang Rachael.

Grace dan Pelatih berdiri secara serentak. Apa, sih yang mereka lakukan dari tadi?

“Minggir, Fan,” kata Rachael memantulkan bolanya berusaha melewati Refan, tapi Refan dengan sigap menghadangnya dan berusaha merebut bola dari tangannya.

Time Out!” Pelatih berteriak memberikan kode pada wasit.

Sang wasit cuma bisa terbengong-bengong saat dia meniupkan peluit. Namun walaupun peluit dibunyikan, Refan dan Rachael tidak juga berhenti.

Penonton terbengong saat Refan dan Rachael masih saja bertarung. Kemudian, gang Pecinrai-lah yang membuat suasana gaduh.

“Pangeran!! Jangan Kalah!”

“Rachael!!”

Dan akibat ulah mereka, penonton lebih antusias melihat permainan Refan dan Rachael dan tidak mempedulikan tim lain.

“Refan! Rachael! Apa kalian tidak mendengar time out?”

Percuma saja Pelatih mereka berteriak, mereka tidak mendengarkan.



“Maaf, Pak, pertandingannya mau dilanjutkan atau tidak?” kata Wasit mendatangi bangku Pelatih SMP Harapan Bangsa.

“Tapi, mereka masih ada disana,” kata Pelatih serba salah.

DUG.

Bola dari tangan Rachael lepas dan keluar lapangan.

Refan dan Rachael berhenti, tubuh mereka berkeringat dengan napas yang ngos-ngosan. Rachael menghapus keringat dari dagunya, beberapa cewek histeris.

“Hebat juga kau, Fan,” Rachael tersenyum.

“Kau juga,” gumam Refan.

“Kapan-kapan kita tanding lagi,” kata Rachael.

“Ya. Setelah pertandingan ini.”

Pertandingan dilanjutkan lagi dengan kemenangan di tim SMP Harapan Bangsa.

***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.