RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 07 Maret 2009

Love Love Love Eps 7

Love for you Love for my family Love for my friend
written by: Glorious Angel
helped by: Prince Novel

7.

Pembantu Satu Hari

“Nih, untukmu,” Refan memberikan Grace berbungkus-bungkus plastik yang amat berisi pada Grace saat ada di atap.

Grace bengong sejenak.

“Apa ini?”

“Kado yang nggak kubutuhkan,” kata Refan duduk di lantai dan kembali membaca bukunya. “Udah kupilih yang cocok untukmu. Coba aja kalau mau.”

Heran dan takjub karena mendapatkan hadiah dari Refan, Grace membuka barang-barang itu. Grace menganga melihat isi plastik itu. Ada jaket, laptop, ponsel, kaos, sepatu, topi dan barang-barang mahal lainnya. Gila banget, deh orang-orang yang ngasih Refan hadiah.

Grace menatap Refan sekali lagi, Refan tidak bereaksi apapun. Grace mengenakan topi, jaket, iPod, sepatu dan bergaya kayak artis Ibu Kota yang mau manggung. Dia berjalan dengan lagak model ke depan Refan dan berpose dengan gaya aneh.

Refan mengerutkan dahinya.

“Sedang apa?” kata Refan heran.

“Mencoba hadiahmu,” kata Grace bergaya lagi.

Refan menaikan alisnya. O, o…

“Tahan sebentar,” kata Refan. Grace diam. Refan mengeluarkan ponselnya dan memotret Grace tanpa diduga Grace. “Bagus, kok.”

Wajah Grace merona merah. Rasaya ada yang beda dengan Refan hari ini…

***

Harry, Mark, Kim, Evan, Daniel dan Drew heran bin ajaib melihat Grace masuk ke dalam rumah dengan pakaian mencolok yang tidak biasa. Rasanya Grace memakai seragam sekolah tadi pagi… ini kok pake baju begituan…?

“Cantik banget, Dek,” kata Kim. “Ada acara Kecantikan ya di sekolah?”

“Nggak.” Kata Grace melepas sepatunya.

“Terus, siapa yang dandanin?” kata Daniel. “Ini apa?” Daniel mengambil plastik dari tangan Grace.

“Kado dari Refan,” jawab Grace. “Dia ngasih ke aku soalnya kemarin dia ulang tahun. Karena banyak yang kembar dia ngasih sebagian sama aku.”

“Dia ngasih kamu laptop, hape sama iPod?” kata Mark tidak percaya melihat bungkusan dalam plastik. “Bahkan ada gaun pengantin segala. Dia mau melamarmu?”

“Ha? Masa’?” kata Harry dan Grace bersamaan.

Mark menarik keluar gaun putih berkilauan dari dalam plastik.

“Itu… Grace sendiri juga nggak tahu,” kata Grace dengan wajah merah padam. “Soalnya, Refan cuma memberikan hadiah yang diterimanya kemarin.”

Ada orang yang memberikannya gaun pengantin? Lucu sekali!” ledek Mark.

“Abang-abang sendiri kok udah rapi?” kata Grace heran melihat ada yang nggak biasa dengan abang-abangnya. Mereka sudah mengenakan stelan jas terbaik, bahkan Daniel, Mark dan Evan yang nggak biasa mengenakan dasi saja hari ini memakai dasi.

“Oh, hari ini ada Pesta Pemegang Saham,” jawab Harry simpel.

“Harry mau dinobatkan sebagai Pemegang Saham keluarga kita, Dek,” kata Daniel. “Cepat siap-siap sana. Satu jam lagi kita berangkat. Dandan yang cantik ya?”

“Mau dibantuin, Dek?” kata Kim. “Abang udah beli gaun yang pas tuh.”

“Boleh.”

Atas bantuan Kim yang amat sangat handal dalam hal mendandani Grace, keluarga Richard akhirnya bisa datang tepat pada waktunya.

Harry hanya tersenyum simpul saat dia dipotret oleh berbagai media bersama Geon dan Tarandra. Daniel dan Mark dipotret dengan alasan sebagai tamu undangan—tidak ada yang tahu kalau mereka bersaudara dan anak Geon—hanya Evan dan Grace yang tersisih, bedanya Evan langsung ngacir ketika ada cewek kenalannya yang menyapanya saat masuk ke dalam pesta.

“Halo, Grace!”

Grace kaget melihat Rachael sudah ada di sisinya. Dia sendiri memakai stelan jas dengan dasi hitam. Rachael kelihatan berkilau malam ini.

“Rachael, apa yang kau lakukan disini?” kata Grace heran. Dia senang ternyata masih ada orang yang dia kenali disini.

“Aku disini karena disuruh Papi. Aku senang, deh kau datang. Kupikir cuma Refan ternyata ada kau juga,” kata Rachael lagi.

“Refan?” ulang Grace tidak mengerti.

Rachael menunjuk ke depan. Di balkon depan, dekat pintu ada Refan bersama dengan Pria Tampan. Mereka kelihatannya cukup akrab karena Refan sepertinya tidak marah saat Pria itu menepuk kepala Refan.

“Itu Papanya Refan,” kata Rachael. “Aku tadi tanya sama Papi.”

Pantas saja, batin Grace.

“Oh, iya sepertinya kau tidak menyadari kalau Evol juga ada. Dia sibuk mencari sosok Refan dari tadi,” kata Rachael lagi menunjuk ke seberang, tidak jauh di belakang Refan, ada Evol. “Kayaknya bakal ada perang.”

Evol berhasil menemukan Refan dan langsung merangkulnya. Refan, yang sepertinya baru menyadari kedatanga Evol dan tidak menyangka kalau Evol ada disini, langsung menepis tangan Evol dan kabur.

Rachael dan Grace mengikik geli.

“Yuk masuk, acaranya mau dimulai,” kata Rachael menarik tangan Grace.

Di dalam jauh lebih hangat daripada di luar, tapi yang pasti disini penuh sesak. Sudah banyak orang yang berkumpul disini. Masing-masing memakai stelan terbaik dengan wanita-wanita cantik terhormat disisi sang pria.

“Mohon perhatian,” Sang Pembawa Acara naik ke atas panggung dengan mic di tangan dan segelas anggur di tangan yang lain. “Merupakan kebanggan bagi saya membawakan acara pada malam ini. Ladies and gantlemen yang terhormat, saat ini kita akan memperkenalkan para ahli waris dari pemegang saham yang akan meneruskan perjuangan serta persahabatan para Pengusaha selama ini.”

Dia mengangkat gelas anggurnya. “Karena itu, marilah kita mengangkat tinggi-tinggi gelas kita dan saling berkata ‘Cheers’”

“Cheers,” kata para hadirin dalam suara pelan.

“Kami mengucapkan selamat datang pada Profesor Geon Nunz Richard dan Istrinya yang cantik,” kata MC lagi. Lampu sorot mengarah pada Geon dan Tarandra yang mengangkat gelas mereka dengan lagak terhormat. “Dan pada Alexandro Harry Richard, Putranya dari Richard Corporation.”

Harry tersenyum simpul dan mengangkat gelasnya. Grace bisa melihat dengan jelas kalau wanita-wanita disana kelihatan sangat antusias saat melihat Harry.

“Kemudian, kami mengucapkan selamat datang pada Mr. Rostavson dan ahli warisnya, Rachael Rostavson, yang sudah capek-capek datang dari Mesir beserta Isterinya dari Prancis, Velove.”

Rachael yang disorot tepat disamping Grace hanya tersenyum saja.

“Kemudian kepada Si Tampan Mr. Hesekiel dan Refan. Kalian sungguh memukau para gadis,” katanya lagi.

“Lepaskan!” bentak Refan pada Evol yang dari tadi merangkulnya.

Suasana hening saat Refan berbicara begitu.

“Dan yang disampingnya, Miss Evol Eiffel Stovtesck, Putri dari Pemilik Perusahaan Mobil terbesar di Asia.”

“Halo…,” kata Evol anggun.

“Sandris Philipus Kedesy yang sudah capek-capek datang dari Amerika bersama dengan Mr dan Mrs Kadesy.”

Pemuda Remaja berjas dan beranting banyak kelihatan sangat sibuk melihat kesana-kemari saat dia disoroti cahaya. Ada rantai menjulur dari kantong jasnya ke kantong celananya. Model kayak gitu lagi ngetren, ya?

“Mr dan Mrs Southernheart dan Putranya Drew dari Kanada.”

Drew yang disorot hanya mengangkat tangan.

“Askelon Dirrel Yudea yang datang sendiri mewakili Mr Yudea karena Mr Yudea sedang sibuk di Inggris.”

Grace melihat cowok bule berambut coklat bermata biru dengan celana jeans dan mengenakan dasi biru dibalik jeket kulit birunya. Rasanya dia kenal…

“Ananda dan keluarga.”

Ha? Ananda?

Grace melihat Ananda melambai centil pada si Cowok bule saat disoroti lampu.

“Doktor Daris Harryawan beserta Putranya Hosea Derren Harryawan.”

Cowok berambut hitam dengan tatapan mata dingin di balik kaca mata hitamnya mengenakan stelan warna putih dari atas sampai ke bawah. Dia kayak malaikat.

“Charles dan anaknya Ethan Jacobvanio.”

Cowok barambut hitam hanya mengangguk kecil beserta dengan gadis yang dia gandeng. Grace melihat kalau mereka pasangan serasi.

“Kemudian yang terakhir, Desta Darwin, satu-satunya Pengusaha Muda disini,”

Anak bernama Desta Darwin berambut coklat dan bermata biru pucat. Dia bersandar di dinding dan tidak merespon sedikitpun. Dia malah kelihatan amat menakutkan jika dilihat dari jauh.

“Banyak orang aneh, ya,” komentar Rachael.

Grace mengangguk.

“Lapar nggak? Mau kuambilkan sesuatu?” kata Rachael ramah.

Grace menggeleng.

“Jalan-jalan aja, yuk,” kata Rachael lagi.

Grace mengikuti langkah Rachael yang membawanya mengelilingi arena pesta. Dia melihat Harry bersama beberapa Pengusahawan dan gadis-gadis yang Grace duga sebagai anak pengusaha itu.

“Bagaimana menurut Anda soal perdamaian dunia, Tuan Harry Richard?” kata salah seorang gadis. Harry hanya tersenyum kecil.

Melewati Harry, Grace melihat Daniel dan Mark dikelilingi oleh Ananda dan Evol yang memotret mereka dengan penuh antusias.

“Daniel bisa duet dengan Mark kalau mau! Kalian serasi sekali!” kata Yani.

Saat melewati Refan bersaa Papanya, Grace mendengar sedikit.

“Gadis itu menyukaimu, Nak.”

“Dia seperti Mak Lampir.”

Grace mengikik geli.

Bruk.

Grace ternganga melihat orang yang dia tabrak. Jas putih milik salah seorang Pemegang Saham langsung berwarna merah. Gelas ditangan orang itu menjatuhkan anggur merah.

“Ma—maaf,” kata Grace panik saat Derren menatapnya dengan dingin. “Aku tidak sengaja. Sungguh.”

“Kalo jalan pake mata,” kata Derren datar.

“Dia kan sudah minta maaf,” Rachael bicara.

Derren menatap tajam ke dalam mata Rachael. Grace menyadari kalau ada dalam diri Derren yang agak menakutkan.

Ada tangan menjulur ke arah Derren. Grace dan Rachael melihat Desta mengulurkan selembar sapu tangan pada Derren. Grace mengidik merasakan ada aura yang berbeda dari Desta.

Derren mengambil sapu tangan Desta dan berbalik pergi. Desta sendiri hanya diam ditempat sampai Derren benar-benar pergi.

“Jangan berurusan dengan dia,” gumam Desta pergi dari hadapan Grace dan Rachael.

“Seram sekali auranya. Lebih parah dari Refan,” bisik Rachael.

Mereka melanjutkan perjalanan, Grace melihat ada Kim yang memainkan biolanya di atas panggung. Evan sendiri berbicara dengan nada cool pada beberapa gadis. Ya ampun, baru kali Grace melihat kalau abang-abanngnya agak berbeda malam ini.

***

Sabtu, Taman Kota

Refan melirik jam tangannya—jam yang dihadiahi Grace—sudah jam sepuluh lewat. Grace telat sepuluh menit dari waktu yang dijanjikan. Maunya tuh cewek apaan, sih? Bukannya dia bilang on time?

“Sori telat, Fan,” kata Grace dengan wajah berkeringat. “Tadi aku mesti cari alasan dulu sama abang-abangku.”

Refan melihat Grace mengenakan kaos biasa dengan celana jeans panjang. Dia juga memakai sepatu sport biru dan handband hijau.

“Kita mau kemana?” kata Refan.

“Pasar.”

Dahi Refan mengerut. Pasar? Istilah itu sangat asing di telinganya. Maksudnya pasar itu yang ada di tengah jalan ya? Refan berpikir sendiri. Ngapain Grace mengajak dia ke tengah jalan?

“Ya udah,” kata Refan, karena dia kalah taruhan dia harus menuruti apapun permintaan Grace hari ini. “Ta—”

Grace menurunkan tangan Refan yang hendak memanggil taxi yang ada diseberang jalan. “Mau apa kamu?”

“Memanggil taxi,” jawab Refan.

“Kita nggak butuh taxi. Kita naik angkot,” kata Grace menyetop bus besar. Refan melotot tidak percaya saat Grace naik tanpa ditolong ke atas bus. “Ayo, Fan.”

“Tapi, Grace… itu kan kotor…,” kata Refan tidak percaya.

“Naik!” kata Grace memaksa.

“Aku nggak mau,” kata Refan.

“Pacarnya manja amat, sih, Neng,” kata kenek angkot.

“Refan, NAIK!” suara Grace meninggi.

Refan kelihatan sangat berat hati sewaktu kakinya melangkah masuk ke dalam bus. Dia mengerutkan hidung saat berhimpit-himpitan dengan orang-orang dalam bus.

“Jalan, jalan!” kata si kenek memukul badan bus.

“Aku bisa mati disini,” bisik Refan saat dia duduk di tempat kosong. “Grace, kenapa kita nggak naik mobil aja, sih? Minimal naik taxi daripada naik angkot butut kayak gini.”

“Sekarang yang kalah taruhan itu siapa, ha?” tuntut Grace.

“Tapi, kan—”

“Nggak ada tapi-tapian,” kata Grace. Hatinya tersenyum senang. Rasain!

Refan menutup hidungnya dengan sapu tangan. Kok jadi begini, sih? Kencan macam apaan? Ternyata si Grace cuma mau ngerjain aku doang! Mana bau lagi!

Ptok, ptok…

“Waa,” Refan merapat ke tubuh Grace. Dia kaget sekali melihat ada ayam didekatnya. “Ngapain sih ayam dibawa-bawa ke sini? Jorok banget!”

“Eh? Apa ente bilang?” si Bapak yang menggendong ayam itu tampak marah. Kumis lebatnya bergoyang-goyang berbahaya. “Anak kencur macam ente apa tahunya tentang ayam? Ayam ane bersih begini, tahu! Tiap hari ane bersihkan, dimandiin lagi!”

“Grace, kita turun aja. Disini banyak orang nggak waras.” Kata Refan ngeri sendiri melihat wajah para penumpang yang mulai marah.

“Aduh, Refan, yang nggak waras itu kamu,” gumam Grace. “Cuekin aja!”

“Aku nggak bisa duduk bareng Ayam!” kata Refan lagi.

“Dek,” kata Si kenek. “Kalau mau lapang, naik mobil sendiri aja.”

“Aku akan telepon sopirku, kita turun disini oke?” kata Refan mengeluarkan hapenya dan dia merasakan ada yang tidak beres dengan saku belakangnya. “Eh, Copet!”

Refan bangkit dari tempatnya saat melihat ada cowok bertopi lari keluar dari angkot. Refan menyingkirkan tubuh orang-orang yang ada disekelilingnya untuk mengejar si Copet. Grace menghela napas dan mengikuti Refan, namun dia tidak ikut turun karena Refan sudah berhasil menangkap si Copet dan memukul pingsan si Copet.

“Bocah Edan!” kata Si Kakek yang bertongkat.

“Refan!” Grace berteriak saat Refan mengantongi dompetnya. Angkot milik Grace sudah jalan terlebih dahulu tanpa menunggunya. “Lari!”

Refan melotot tidak percaya, tapi dia berlari menyusul angkot itu.

“Cepat, Fan! Anggap aja lagi main basket!” kata Grace dari dekat pintu. “Lari!”

Refan mempercepat larinya dengan susah payah.

“Kasihan, Neng, pacarnya,” kata Ibu-ibu yang lain. “Ganteng-ganteng disuruh lari. Lagi marahan, ya, Neng?”

Grace cuma terkikik geli saat Refan berhasil menyejajarkan langkahnya di belakang angkot.

“Suruh angkotnya berhenti Grace!” teriak Refan diantara usahanya berlari dan mengambil napas. Grace geleng-geleng kepala.

“Mana bisa. Udah susul aja,” kata Grace. “Cepat sedikit, Tuan Muda.”

“Lagi ngerjain pacarnya, ya, Dek?” kata Si Sopir dari depan.

“Dia bukan pacarku kok, Bang,” kata Grace enteng. “Cuma pembantu satu hari.”

Refan berhasil menangkap palang rintang dan naik tepat pada waktunya. Orang-orang dalam angkot bersorak seketika itu juga. Refan berulang kali mengambil napas panjang, dia ngos-ngosan dan keringatnya bercucuran.

“Mau minum, Tuan Muda?” tawar Grace memberikan Refan sebotol air mineral yang dikeluarkan Grace dari tasnya. Refan mengambil minuman itu dengan sebal dan menghabisi separuh. Grace mengulurkan sapu tangannya. Refan mengambil tanpa perkataan apapun.

“Asik juga melihatmu berlari,” kata Grace tersenyum penuh kemenangan. Refan ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. “Apa? Mau bilang apa?”

Refan melipat tangannya dan melihat ke luar pintu dengan sebal.

“Minta hape,” kata Grace.

“Buat apa?” kata Refan refleks.

“Nggak usah banyak tanya.” Kata Garce. Refan memberikan hapenya.

Grace melihat hape Refan yang berkilauan.

“Minta dompet,” kata Grace lagi.

“Buat apa?” kata Refan lagi.

“Pembantu satu hari nggak usah banyak tanya,” kata Grace mengecak pinggang.

“Apa maksudnya Pembantu Satu Hari? Jadi sekarang itu julukanku?” Refan tampak tidak terima.

“Di sekolah kau dipanggil Pangeran sama anak-anak cewek, di rumahku kau dipanggil Bocah Iblis sama Abangku, disini kupanggil kau Pembantu Satu Hari. Nggak apa kan? Cuma satu hari kok, nggak akan merusak image-mu sedikitpun. Kau cukup memberikanku dompetmu, aku tidak akan menggunakannya.”

“Aku—”

“Lupa ya kalau kau sudah kalah taruhan?” Grace mengadahkan tangannya. Refan mengeluarkan dompetnya dan menyerahkannya pada Grace.

“Untuk apa kau menyita hape sama dompetku?” kata Refan.

“Supaya jangan hilang,” kata Grace enteng. “Lagian, aku nggak mau kau memanggil salah satu penolongmu, seperti sopir, pembantu atau apalah. Jadi hari ini, akan kupastikan kau menikmati rasanya menjadi rakyat biasa, Tuan Muda.”

Refan hanya melipat tangan dengan sebal. Grace sendiri bersiul-siul senang.

“Pasar itu dimana?” Refan bertanya setelah beberapa saat.

“Sebentar lagi nyampe kok,” kata Grace singkat. “Kau selama ini cuma jalan ke mall naik mobil, sekali-kali harus ke tempat kotor yang apa adanya.”

“Ha?” Dahi Refan mengerut.

“Pinggir, Bang! Kiri!” Grace berteriak. Dia menarik tangan Refan dan turun setelah membayar dengan uang sepuluh ribu beserta dengan penumpang lainnya.

“Ini namanya Pasar. Pasar Tradisional!”

Refan melotot tidak percaya melihat pemandangan di depannya.

Ada berbagai macam toko dibuka dan ada yang ditengah jalan. Mereka menjual berbagai macam daging, ada yang digantung begitu saja, diletakan begitu saja, bahkan dihinggapi lalat. Refan serasa akan pingsang ketika melihat pemandangan di depannya.

“Kita mau apa kesini?” kata Refan pelan.

“Belanja,” kata Grace. “Mama tadi nitip beliin daging ayam, Kak Harry nyuruh kita beliin bebek, terus…” Grace mengeluarkan catatannya. “Yah, pokoknya kita beli aja dulu. Mungkin ada baiknya kita lihat-lihat dulu.”

“A—disini nggak higienis dan steril!”

“Cerewet banget, sih. Pembantumu juga biasa beli disini. Makanan yang dibuat Kak Harry dan yang kau makan kan dibeli disini.”

Refan melotot tidak pecaya. Tidak mungkin… berarti selama ini cacing-cacing berbahaya telah masuk ke dalam ususnya… dia bisa sakit perut.

“Ayo, pergi!” Grace menarik tangan Refan yang diam terpaku.

Refan melihat kesana-kemari, dia bingung sekali melihat hiruk pikuk disekelilingnya. Sesuatu yang sangat tidak biasa baginya. Dan Refan, seperti biasa, jadi tontonan sama orang-orang yang tidak pernah melihat Pangeran Tampan seperti dia.

“Pak,” Grace berhenti ke salah satu toko yang memamerkan daging. “Daging ayamnya berapa sekilo?”

“Daging ayamnya cuma lima belas ribu,” kata si Bapak dengan logat Batak yang mengaggetkan Refan. “udah murah itu dibandingkan sama ayam lain.”

“Nggak bisa ditawar lagi, Pak?” kata Grace melihat ayam-ayam yang lagi dikuliti si Bapak Batak. “Masa sekilo mahal amat.”

“Grace, itu kan udah murah, kok ditawar lagi?” kata Refan.

“Nah, si Ucok ini aja bilang udah murah,” kata si Bapak Batak. Dahi Refan mengerut. “Aku setuju itu.”

“Aku bukan ‘Ucok’, aku Refan,” kata Refan. Grace menyikut perutnya.

“Gini aja, deh, Pak, beli tiga kilo empat puluh ribu, ya?” kata Grace. “Jarang-jarangkan Pak ada yang beli banyak-banyak. Ntar saya sering-sering kesini, deh.”

“Aduh, gimana ya, Butet—”

“Dia bukan ‘Butet’, dia Grace,” kata Refan. Grace menginjak kakinya. “Aduh!”

“Cerewet kalilah kau, Ucok. Boru ini aja nggak marah kupanggil ‘Butet’, kau pula lagi yang protes,” kata si Bapak Batak. “Udahlah, ambil kau lah tiga kilo empat puluh. Nanti kutikam pula haholonganmu itu.”

“Haholongan?” ulang Grace bingung.

“Pacar maksudnya, Dek,” kata penjual disampingnya.

Wajah Grace merona merah.

“Dia bukan pacarku, Pak,” kata Refan memegang kakinya yang tadi diinjak.

“Benar, Pak. Dia itu ‘Pembantu Satu Hari’ saya,” kata Grace enteng. Si Bapak Batak dan Penjual disampingnya tertawa.

Setelah membayar—dengan uang Refan (awalnya Refan protes, tapi karena dipelototi Grace, Refan tidak bisa bilang apa-apa)—mereka melanjutkan ke toko selanjutnya. Kali ini toko Bebek.

“Bebeknya tiga, Pak,” kata Grace semangat.

Sang Bapak hanya mengangguk sambli mengikat kaki si bebek dan menyerahkannya pada Refan sebagai pengangkut barang.

“Kakinya jorok banget, Grace. Banyak lumpur!” Refan protes.

“Makanya kau yang pegangin,” kata Grace enteng.

Refan mengangga, tapi dia tidak bisa bilang apa-apa dan mengikuti Grace. Dia melewati lumpur dengan sangat hati-hati suapaya tidak mengenai sepatu sport-nya yang mahal. Tapi apa boleh buat, Grace—dengan sengaja—mendorongnya ke lumpur dan membuat sepatu, celana, bahkan baju dan jeketnya menghitam kena lumpur.

“Masih banyak lagi?” Refan mengeluh ketika Grace berhenti membeli cabai di pinggir jalan. Selama ini dia hanya menikmati dari apa yang dibelikan Bi Ram—pengasuhnya sejak kecil—jadi tidak menyangka kalau belanja ternyata seberat ini.

“Masih,” kata Grace meletakkan bungkusan cabai yang dia beli ke tumpukan belanjaan Refan. “Bang Evan minta dibeliin sepatu bola. Kita ke sana.”

Grace menarik Refan.

Ya, ampun… nggak bisa beli sendiri apa? Refan membatin sebal.

Grace berjongkok di depan deretan sepatu kumal—menurut pandangan Refan—yang dipajang dipinggir toko. Grace mengambil satu sepatu yang berwarna coklat. Dia melihat sana sini dan menawar pada sang penjual.

Dahi Refan mengerut, rasanya selama perjalanan dia dengan Grace, tidak pernah sekalipun—rasanya—Grace setuju dengan harga yang dikatakan sang penjual. Dia malah meminta harga—menurut pandangan Refan lagi—dibawah harga yang ditawarkan dan rasanya terlalu murah. Padahal dalam lelang, oaring-orang membeli dengan harga yang lebih tinggi.

“Dua lima deh, Pak,” kata Grace. “Biar saya jadi pelanggan tetap.”

“Ndak bisa, Dik. Itu udah pas enam puluh.”

“Tawarnya seratus aja napa sih, Grace,” Refan tiba-tiba berbicara. “Ngotot amat, sih beli dua lima. Harganya kan nggak mahal-mahal amat.”

Grace melotot, sang penjual juga, begitu juga dengan orang yang mendengar.

“Kamu kan bisa ngambil seratus ribu dari dompetku. Aku nggak marah kok,” kata Refan lagi. Grace menepuk dahinya sendiri.

“Nggak jadi deh Pak,” kata Grace bangkit dari tempatnya. Dia menarik Refan dengan sebal. “Kita ke tempat lain, Fan.”

“Kenapa, sih?” kata Refan saat Grace mengecak pinggang di tempat yang tidak ada orang. “Aku mengatakan hal yang salah, ya?”

“Aduh, Fan… kau ini nggak pernah belajar ilmu ekonomi, ya?” kata Grace kesal. “Tahu prinsipnya nggak?”

“Tahu. Mendapatkan untung yang sebesar-besarnya dari modal yang sekecil-kecilnya kan?”

Grace geleng-geleng.

“Baca buku tapi nggak diterapin.” Gumam Grace. “Gini, ya Fan. Ditempat ini setiap orang akan menawar. Dan itu dibawah harga yang ditawarkan. Jadi kau sebaiknya diam aja saat aku belanja.”

“Tapi—”

Refan memutar matanya dan kembali mengikuti Grace. Kali ini Grace ke toko barang bekas. Mau ngapain, sih nih, Cewek?

“Bagus, nih, Fan.”

Dahi Refan mengerut saat Grace melihat kaos kusut berwarna biru gelap. Itu kaos basket dengan angka enam besar disampingnya.

“Cocok buatmu.”

“Apa? Aku nggak mau pake kaos butut kayak gitu.”

“Ya ampun, Fan, aku kan belu beliin kado ulang tahun,” kata Grace melihat kaos itu dengan penuh antusias.

“Udah,” Refan menunjukan jam tangan Grace.

“Itu emang punyaku tapi Kak Harry yang beliin. Dia marah sekali waktu aku bilang kalo jam tanganku dikasih padamu,” kata Grace.

“Dia bilang apa?” kata Refan tampak tersinggung.

“Nggak ada sih, hanya saja sekarang dia ikhlas kok ngasih itu buatmu.”

Grace tidak mungkin mengatakan kalau Harry membeli jam tangan itu dari Amerika dan khusus dibuat untuknya. Jam tangan itu bahkan dikelilingi oleh berlian yang sudah lama dikumpulkan Harry, jadi nggak mungkin dia bilang kalau jam tangan itu merupakan hal yang berarti bagi Harry.

“Yakin?”

Grace hanya mengangguk.

“Aku beli ini dulu untukmu terus kita makan.”

Refan terpaksa menerima hadiah kaos bulukan kusut dengan harga yang amat murah itu dari Grace sebagai hadiah ulang tahunnya. Dia juga terpaksa makan di warung pinggir jalan, walaupun uring-uringan, toh dia menikmati hari ini juga.

Ada yang membuatnya tidak bisa melupakan hari ini.

“Kalau kau mau makan malam bersama, Kak Harry akan memasak Bebek Peking untukmu,” kata Grace saat Refan mengantarnya sampai rumah.

Refan menggeleng.

“Aku capek, mau pulang.”

Grace mengangguk. “Oh iya, ini hape sama dompetmu.”

Refan menerima kembali barang-barangnya yang disita Grace.

“Dah, janga lupa mandi ya, kau kucel sekali.”

Refan sebenarnya ingin membalas, tapi Grace sudah menutup pintu gerbang rumahnya. Refan menghela napas dan menelepon sopirnya. Dia membuka dompetnya. Tidak ada isi dompetnya yang berkurang, satu rupiah pun tidak. Refan membuka ponselnya, ada SMS yang belum dibuka.

From : GNR01051990B

To : ZRH15021990A

Hati-hati di jalan

--Grace.

Refan tersenyum saat melihat pesan itu.

***

Grace merebahkan tubuhnya yang kecapekan. Selesai makan malam dia memutuskan untuk bersantai, mumpung lagi malam minggu. Akhir-akhir ini dia sering kecapekan gara-gara ngerjain PR yang rasanya nggak pernah habis-habis.

Dia melihat bungkusan plastik yang tergeletak di sudut kamarnya. Itu plastik yang isinya hadiah-hadiah pemberian Refan, selama ini Grace belum membukanya. Dia bangkit dan membongkar isinya. Ada laptop, ponsel, iPod, kamera, handycam, dan gaun pengantin—Grace agak heran, siapa, sih yang mengadiahi Refan gaun pengantin?

Grace menyimpan barang-barang yang lain dan membawa laptop itu ke sisi tempat tidurnya. Dia kepengen chatting, mumpung ada pulsa yang baru dikirimin Evan.

“Hai, Fan! Happy birthday!”

Grace kaget sekali melihat wajah Coki muncul ketika dia menghidupkan laptop itu. Kelihatannya program itu sudah dirancang Choki.

“Ini kuhadiahi laptop, memang sih nggak sebarapa. Tapi, lihat saja isinya. Kita mulai, ya?”

Di layar mucul nomor empat… tiga… dua… satu…

Dug… dug… dug…

Dilayar mucul bola basket yang dipantulkan. Gambar itu semakin difokuskan dan memperlihatkan Refan yang sedang mendrible bola. Dia melewati beberapa lawan. Kelihatannya sedang pertandingan.

Kemudian gambar itu pudar dan menunjukan sosok Refan yang membaca. Kelihatannya di perpustakaan, tapi Grace tidak tahu persis di posisi mana. Yang pasti posisi pengambilannya sangat cocok karena Refan kelihatan kayak malaiakat disitu.

Lalu kali ini muncul Refan yang tertawa di balik bukunya—hah? Masa’ sih? Refan tertawa?—Grace melihat dengan teliti suasana tempat Refan tertawa. Di kantin. Memangnya Refan pernah tertawa di kantin?

Tak lama kemudian keliahatan Refan yang sedang mengganti seragam sekolahnya dengan seragam basket.

Kurang ajar, nih si Choki. Dia mengambil gambar Refan tanpa sepengetahuan Refan. Kalau Refan sampai melihat ini, bisa-bisa Choki dibunuhnya.

“Fan, sori banget ya aku mengambil gambarmu secara diam-diam, habis aku pengen banget jadi kameraman dan sudah kuputuskan bahwa kaulah yang jadi objeknya. Aku terima deh diperintah-perintah sama kamu.” Terdengar suara Choki.

Dasar, Choki!

“Gimana gambarnya? Keren kan?”

Banget, Chok!

“Oh, iya selain video ini masih ada yang lain. Ada fotomu juga, loh. Kalau bagus jangan kaget kalau misalnya suatu hari nanti ada orang yang memintamu jadi model. Hehe… udah dulu ya… Happy Birthday, Refan!”

Grace membuka folder picture. Didalam masih ada folder yang lain. Grace terbengong begitu melihat ada banyak foto yang berhasil di dapatkan Choki. Ya ampun, Chok… gimana caranya kau mendapatkan foto Refan, sih? Banyak banget…

Jari Grace menyentuh wajah Refan yang kelihatan jelas di laptop itu. Kamu keren banget, deh, Fan… ternyata kamu nggak seperti yang kupikirkan….

***

Refan keluar dari kamar mandi dengan handuk masih di kepala. Rambutnya masih basah. Dia melihat kantong plastik yang berisi hadiah dari Grace. Sambil mengerutkan dahi, Refan mengambil kantong plastik itu.

“Nggak jelek juga kok,” gumam Refan, tersenyum kecil.

Dia menjejalkan kaos itu melewati kepalanya dan melihat dirinya dicermin. Kaos basket itu sangat pas untuknya. Bahan kaos itu juga dingin, lembut dan ringan.

Lagi-lagi Refan tersenyum kecil.

“Nak, makan malam!” terdengar suara Papanya dari bawah.

Refan melempar handuk dan turun tanpa melepas kaosnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.