RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 07 Maret 2009

Love Love Love Eps 6

Love for you Love for my family Love for my friend
written by: Glorious Angel
helped by: Prince Novel
6.

Kalah Taruhan!

“Pensi SMP Harapan Bangsa?” kata Mark dan Daniel melihat surat undangan warna pink yang diberikan Grace pada mereka. “Di hari Valentine?”

Grace mengangguk. “Abang bisa datang kan?”

“Gimana, ya” gumam Mark. “Aku sih udah nyusun rencana buat off di hari Valentine, soalnya…,” wajah Mark memerah. “Gimana, ya, Dek. Ajak Evan aja, deh”

“Bang Evan udah janji sama ITB buat bikin pesta Valentine. Tiga hari ini dia nggak bakal pulang katanya.”

“Harry gimana?” kata Daniel.

“Kak Harry dan Bang Drew udah ada janji dengan perusahaan. Kan ada acara Valentine Perusahaan. Yang nganggur cuma abang berdua.” Kata Grace. “Bang Kim juga bakal ngisi acara di pesta Perusahaan Papa.”

Daniel dan Mark saling pandang.

“Aku sih masih ada shooting, biasanya para aktor bikin acara pada saat malam Valentine. Jadi nggak tahu juga acaranya bakal selesai cepat atau nggak,” kata Daniel.

Grace menatap Mark yang kelihatan bingung.

“Sori, Grace. Mark kusewa dulu!” kata Evan muncul dibelakang mereka.

“Apa maksudmu?” kata Mark tidak terima.

“Mark, kau harus membantuku dihari Valentine.” Kata Evan.

“Ha?” kata Mark tidak mengerti.

“Aku udah janji sama anak ITB buat menghadirkanmu. Ayolah bantu aku. Kalau aku nggak bisa mendatangkanmu, aku bisa malu. Kami juga mengundang anak UGM, Unpad, UI sama universitas beken lainnya.”

“Salahmu sendiri!” Mark bangkit dari kursinya dan pergi dikuti Evan.

“Yah… jadi Grace pergi sendiri, ni,” kata Grace lesu.

“Ajak Mum dan Dad aja, Dek,” kata Daniel.

“Mama sama Papa kan mau makan malam berdua. Masa’ Grace ganggu,” kata Grace. Daniel menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya udah, Dek. Abang datang,” kata Daniel menyerah.

“Yeah!” Grace berseorak memeluk Daniel.

***

14 Februari, St. Valentine Day

Geng Pecinrai dan para cewek baik jelek maupun cantik, gendut maupun kurus, tua dan muda, berderet rapi di depan gerbang sekolah.

Ada apa, sih, kok rame?” kata Grace heran.

“Aduh, Grace, masa’ nggak tahu. Ini kan Valentine!” kata Stevani mengambil coklat dari tasnya.

“Terus?” kata Grace heran.

Stevani mengecak pinggang.

“Bangun, dong, Grace. Kita mau kasih kado sama Pangeran Sekolah,” kata Stevani. “Hari ini aku mau Rachael dan Refan menerima coklat dariku.”

“Nggak jera juga, ya, Stev. Tahun kemarin bukannya Refan menolak setiap coklat bahkan dari guru sekalipun,” kata Grace geleng-geleng kepala.

“Tetap aja ini Valentine!” kata Stevani keras kepala. “Aku mau kesana dulu!”

Stevani mengerutkan dahinya melihat Stevani bergabung dengan cewek-cewek lain. Ya ampun… mereka bisa bekerja sama ya kalau Valentine.

Mobil BMW biru gelap milik Refan memasuki gerbang dengan hati-hati. Soalnya anak-anak cewek berhimpit-himpitan untuk mengejar mobil Refan. Sang Sopir sendiri susah payah untuk membukakan pintu bagi si Tuan Muda.

“Refan! Refan!”

Cewek-cewek meneriaki nama Refan saat Refan keluar dari mobil. Gaya Refan masih sama, tidak peduli, cuek, dengan tatapan mata dingin.

“Fan, ini coklat dari Evol,” kata Evol mengibaskan rambutnya.

“Makan aja sendiri,” kata Refan dingin melewati mereka.

“Terima coklat kita, dong, Fan,” kata Ananda.

“Nggak mau.”

Sama seperti tahun lalu, batin Grace saat Refan melewatinya dan melirik sekilas kearahnya.

Teriakan yang lain membuat perhatian Refan dan Grace teralih. Kali ini motor ninja milik Rachael masuk. Rachael melepas helmnya, cewek-cewek histeris.

“Rachael! Terima coklat kita, dong!”

“Taruh aja di mejaku, ya,” kata Rachael ramah. Dia melewati kerumunan dengan senyum malaikatnya yang sangat ampuh. Jika Refan bisa mengatasi mereka dengan wajah Iblis, maka Rachael adalah malaikatnya.

“Grace, coklat untukku mana?” kata Rachael pada Grace.

“Ha? Aku nggak buat,” kata Grace.

Rachael kelihatan kecewa. Dia berbalik pada Refan.

“Pagi, Fan,” katanya ramah.

Refan hanya mengangguk kecil dan berjalan pergi.

Sejujurnya, Grace sudah menyiapkan satu coklat. Tapi dia sendiri tidak tahu coklat itu mau dikasih siapa. Kalau dikasih sama Rachael, rasanya mubazir. Soalnya coklat yang menumpuk di meja Rachael udah lebih dari seratus bungkus. Kalau dikasih sama Refan… entar dia kegeeran lagi. Mending dikasih sama Bang Daniel aja, deh.

“Grace nanti pergi ke bareng siapa?” kata Stevani.

Ada, deh,” kata Grace.

Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat. Soalnya anak-anak Osis akan melakukan persiapan untuk Acara Pesta dansa ntar malam. Orang di rumah juga udah berkurang. Yang ada di rumah sekarang hanya dia dan Daniel.

“Kira-kira Refan bakal mengajak siapa, ya?” kata Stevani dengan mata menerawang. “Aku kepengen banget dansa bareng Refan.”

“Sama Rachael aja,” kata Grace menyusun bungkusan kostum nanti malam.

“Rachael udah ada pasangannya,” gerutu Stevani.

Grace pulang lebih dulu dari yang lain. Dia berjalan kaki dengan lesu memegangi kotak coklat miliknya. Sejak tahun kemarin dia cuma memberi coklat Valentine sama Daniel. Dia juga kepingin memberikan coklat bagi Refan, tapi kalo nggak mau ngapain juga dipaksa ya…

Grace meletakkan coklat itu ke tong sampah terdekat. Kalau ngasih ke Bang Daniel melulu rasanya bosan.

Hey, you!

Lagian Bang Daniel bisa gendut kalo makan coklat melulu.

Hey you, Girl! Wait a minute!

Grace berhenti dan menoleh ke belakang.

Seorang cowok bule dengan rambut coklat gelap tebal dan tampan ada di belakang Grace. Dia memegang bungkusan coklat milik Grace. Mata biru cemerlang cowok itu membuat Grace terpaku beberapa saat. Bibirnya yang kecil dan merah tersenyum pada Grace. Rambutnya yang menutupi dahi tertiup angin.

Gosh!, jantung Grace berdegup kencang.

Is it yours?” kata cowok itu menunjukan bungkusan coklat miliknya. Nadanya dalam dan menyenangkan.

Grace mengangguk dalam diam.

Can I eat it?” katanya.

“Ha?” Grace bingung.

Well, it’s my first time to come to Indonesia and I lost my Driver. He left me alone. And, as you know, I’m hungry,” katanya cepat. “I think it is chocholate cause St Valentine’s today, right?

“Yeah,” kata Grace.

Cowok bule itu membuka bungkusan coklat Grace dan memakannya.

You did it?” katanya dalam usahanya memakan coklat.

“Yes,” jawab Grace. Walaupun dia kecewa tidak memberikan coklat pada Refan seidaknya ada yang memakan coklat itu sehingga tidak terbuang. “Where’s you come from?

London, that’s in UK,” katanya ramah. “My name—

Young Master!” seorang laki-laki berseragam datang dnegan terengah-engah. “I’m sorry to leave you alone, Sir.

It’s ok,” kata cowok bule itu.

We must go home, Young Master,” kata si Sopir.

I must go. Thank you for your chocholate. It’s very delicious,” katanya lagi mengecup tangan Grace. “I wish we will meet again.”

Grace memegang tangannya yang tadi dikecup si Bule.

Oh, kenapa Tuhan bisa menciptakan cowok cakep kayak dia?

***

Semua anak sudah berkumpul di aula beserta dengan para orang tua. Ada yang membawa kakak dan abang mereka jadi kayak semacam acara cari jodoh untuk para jomblo begitulah. Dan yang menarik perhatian adalah sosok Grace yang bersama Daniel—itu karena Daniel memakai pakaian serba hitam dari atas sampai ke bawah.

“Bang, Grace ke belakang panggung dulu, ya?” kata Grace pamit.

Daniel hanya mengangguk dalam senyuman kecil sebelum mengecuk pipi Grace.

“Gila, Grace! Cakep banget! Pacarmu?” kata Stevani ketika Grace udah ada di belakang panggung. Grace menggeleng. “Terus siapa?”

“Mau tahu aja,” kata Grace cuek.

Refan sudah ada di belakang panggung bersama dengan Rachael dan Ibu Lyla. Grace terpaku sesaat ketika melihat Refan sudah memakai pakaian kebesaran untuk anak bangsawan.

Refan yang melihat kedatangan Grace mengerutkan dahi. “Kenapa? Apa karena aku begitu cakep membuatmu nggak bisa gerak?”

“Idih!” kata Grace tersadar dengan lamunannya sendiri. Dia mengedikan bahu sedikit dan masuk ke kamar ganti perempuan.

Pede banget, sih tuh cowok. Baru kali ini aku ngeliat ada orang senarsis dia, Grace membatin melepas pakaiannya. Cakep, cakep… emang, sih tapi kan nggak perlu kayak gitu banget. Huh!

Grace memakai gaun panjang besar yang membuatnya sesak napas. Rasanya dia belum pernah memakai gaun itu sebelumnya. Tapi kok rasanya pas sekali di tubuhnya. Grace mengancing risleting di belakang punggungnya dan keluar setelah melepas ikat rambutnya.

“Wah, Grace! Kamu cantik banget!” kata Dony yang sudah memakai pakaian kurcaci berwarna hijau lumut.

Wajah Grace merona merah.

Rachael sementara itu hanya menatap Grace dengan tidak percaya dari atas sampai ke bawah. Refan terpaku tidak berkedip saat melihat Grace.

“Sini aku sisirin rambutmu, Grace,” kata Stevani menarik tangan Grace. Dia mendudukkan Grace di salah satu kursi yang menghadap ke cermin.

“Anak-anak, ayo semuanya cepat!” Bu Lyla datang ke balik panggung.

Refan dan Rachael tersadar dari lamunan mereka.

“Aduh, kamu tampan sekali, Sayang,” kata Lyla pada Refan. “Kamu juga Rachael, seandainya ada dua Pangeran, maka kamu adalah Pangeran yang satunya.”

“Terima kasih, Bu,” kata Rachael tersenyum kecil.

“Grace, kamu cantik sekali,” puji Bu Lyla. “Setelah selesai satu lagu ini, kita akan mulai. Anak-anak cepat ke belakang panggung. Grace dan Refan, Ibu harap kalian jangan gugup oke? Evol, cepat ke belakang panggung.”

Evol mengibaskan rambut panjangnya. Dia kelihatan amat berkilauan dengan bagita banyak perhiasan di tubuhnya. Apalagi gaun berbulu yang dia punya itu rupanya punya sendiri, belum lagi mahkota yang dia pakai.

Anak-anak lain segera ke belakang layar untuk memepersiapkan diri. Choki segera minggat ke balik cermin. Dan yang lainnya mengintip di layar lain mengintip untuk menonton adegan Evol.

Refan bersandar di dinding, menunggu panggilan Bu Lyla untuk tampil. Dari tadi dia meneguk ludah dengan panik. Masa’ sih dia begitu gugup?

“Kau baik-baik saja?” kata Grace mendatangi Refan yang mulai agak berkeringat. “Minum air dulu biar tenang.”

“Nggak usah. Terima kasih. Aku cuma kepanasan. Kostum yang kupakai gatal dan sempit,” gumam Refan melihat ke arah lain.

“Hm… gitu, ya,” timpal Grace. “Kau yakin?”

Refan mengangguk cepat. “Menjauh sana. Kau membuatku tidak nyaman.”

“Apa maksudmu?” kata Grace tersinggung. “Aku kan tidak membentak-bentakmu! Masa’ diperhatiin dikit aja marah?”

“Bukan begitu. Penampilanmu itu membuatku tidak nyaman!” kata Refan masih melihat ke arah lain.

“Memangnya salah aku memakai gaun ini? Kau punya gaun pantas yang bisa kupakai? Jangan mengeritik terus, dong! Lain kali kau harus memberi jalan keluarnya!” timpal Grace panas. Ini orang, dari tadi rasanya menyindir dia terus!

“Aku nggak bilang penampilanmu sangat buruk, justru sebaliknya,” kata Refan menutup wajahnya dengan punggung tangannya. “Kau… sangat cantik…”

Eh? Apa? Dia bilang apa barusan?

“Kau bilang apa?” kata Grace.

Refan menatapnya dengan tidak percaya. “Makanya kalo punya kuping dipake, dong!” kata Refan mengeakkan diri dan keluar dari ruang ganti.

Kalau Grace tidak salah lihat, ada rona merah di wajahnya. Dan kalau Grace tidak salah dengar tadi Refan bilang dia cantik.

Grace tersenyum kecil, wajahnya memerah.

“Eh, Grace. Giliranmu dan Refan,” kata Rachael datang. Dia melihat Grace lagi dari atas sampai ke bawah. Jantungnya berdegup kencang.

“Oke,” Grace keluar dan melewati Rachael, tapi Rachael memegang tangannya. “Rachael? Ada apa?”

Rachael menelan ludahnya. Dia menatap mata hitam Grace.

“Grace, aku cuma akan bilang ini sekali. Dan aku tidak pernah mengatakannya dengan tulus pada cewek lain kecuali kamu….”

Dahi Grace mengerut.

“Kau cantik sekali…”

Wajah Grace merona merah. Rachael cowok ke dua yang membuat jantung Grace tidak karuan malam ini.

“Aku…,” kata-kata Rachael terputus. “Sebaiknya kau naik ke panggung.”

Grace baru sadar kalau dia harus tampil saat Rachael melepas pegangannya.

Grace mengangkat gaunnya dan berlari menyusuri koridor. Refan sudah ada di balik panggung beserta dengan pemeran lain.

“Grace, kok lama, sih? Rachael mungkin memanggilmu ke Hong Kong kali ya,” kata Dony nyengir lebar.

“Ayo, semuanya. Kita mulai!” kata Bu Lyla.

Daniel melepas kaca mata hitamnya saat lampu di aula sudah padam. Untunglah dia ada di tengah-tengah penonton, jadi dia tidak terlalu diperhatikan walaupun warna bajunya begitu mencolok.

“Si Adek ntar gimana mainnya, ya?” gumam Daniel tidak sabar. Pasti Grace mewarisi kemampuan actingku. Pasti lancar, deh….

***

Rachael melongok ke atas panggung. Dia salut melihat adegan Grace yang luar biasa. Melihat Grace tertidur di atas sana membuatnya seperti seorang Putih Salju sungguhan. Refan melewatinya untuk masuk ke adegan berikutnya dan Rachael—tanpa sengaja—mengulurkan kakinya yang terasa pegal karena capek berjongkok terus.

“Wa!” Refan kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Grace dan—membuat kaget seluruh penonton—mencium Grace tetap di bibirnya.

Evol dan Pecinrai melotot dan menutup mulut tak percaya, para penonton berdiri takjub, Rachael menganga dan Grace serta Refan terpaku beberapa saat.

Refan sendiri tidak bisa bergerak sampai saat Grace mendorong Refan dan berlari turun dari panggung.

“Aduh, kacau! Tutup tirainya!” kata Lyla pada beberapa anak di belakang panggung.

Penonton bertepuk tangan, ada yang bersiul dan berteriak-teriak. Daniel sendiri tidak menyangka kalau adegan tadi ternyata real! Dia salah satu yang tidak menyangka adegan itu menjadi salah satu sorotan public yang paling laris.

Dan tampaknya tidak ada satu pun epenonton yang menyadari kalau adegan itu justru diluar scenario.

***

“Gue nggak terima!!” Ananda berteriak histeris pada gengnya. “Itu ciuman pertama Pangeran dan Grace yang menerimanya! Gue nggak setuju!!”

“Itu kan kecelakaan,” kata Rachael. Itu juga kan karena kesalahanku juga. Mana itu ciuman pertama Grace lagi.

“Tetap aja namanya ciuman!” kata Ananda bersikeras. “Mana Pangeran?”

Semua orang tampaknya menyadari kalau Grace dan Refan menghilang.

“Cepat cari mereka!” kata Ananda sebal.

Grace sendiri mencuci mulutnya dengan air sejak dia turun dari panggung. Dia sendiri terengah tidak percaya kalau Refan benar-benar berani mencium dia.

Awas dia! Itu kan ciuman pertamaku! Harusnya aku berciuman dengan Pangeran Tampan yang kucintai tapi sialnya sama Bocah Iblis tidak punya hati!

“Dek, ngapain, sih?” Daniel menepuk punggung Grace dan membuat Grace melonjak kaget. “Cuci mulut ya? Emang mulut Refan bau?”

Grace menyikut perut Daniel, sebal sendiri.

“Grace malu, Bang,” kata Grace mengeringkan bibirnya dengan sapu tangan dari Daniel. “Itu adegan paling menjijikan yang pernah Grace lakukan.”

“Itu malah acting yang bagus. Lagian, Refan juga nggak nyangka kan?” kata Daniel mengusap-usap kepala Grace.

“Tapi tetap aja, Bang… padahal dia udah janji nggak bakal nyentuh Grace,” kata Grace sebal. Daniel tersenyum dan merangkul Grace. “Grace mau pulang. Ini malam Valentine yang paling buruk!”

“Ya udah, ganti baju sana,” kata Daniel.

Grace mengangguk dan cepat-cepat kembali ke ruang ganti. Dia mendesah dan berdoa sambli menguatkan dirinya, karena pasti akan ada cercaan untuknya. Ternyata dia salah….

“Apa-apaan, nih? Lepaskan!”

Grace mengucek matanya saat melihat adegan di depan matanya.

Refan diikat di kursi dan dikelilingi oleh cewek-cewek drama malam ini. Para cowok hanya melihat Refan dengan wajah pilu penuh simpati. Ada apa, sih?

“Mereka mau apa?” kata Grace bertanya pada Dony yang hanya mengangkat bahu. “Choki?”

“Nggak tahu, Grace. Tapi yang pasti sesuatu yang amat buruk bagi Pangeran Sekolah kita,” kata Choki melipat tangannya.

“Maksudnya?” kata Grace masih belum mengerti.

“Tadi cewek-cewek itu mencari Refan dan bersama-sama membawanya kesini. Terus diikat, deh… nggak tahu Refan-nya mau diapain,” kata Rachael agak geli.

“Maafkan kami, ya, Pangeran. Kami tidak bermaksud melakukannya, tapi Pengeran yang lebih dahulu memancing emosi kami,” kata Ananda membawakan sikat gigi lengkap dengan odol di atasnya.

“Ap—hentikan!”

Refan menutup mulutnya saat Ananda berusaha memasukan odol itu ke mulut Refan. Ternyata Refan salah persepsi, yang mereka incar ternyata bukan gigi Refan tapi bibir Refan.

Grace ngeri sendiri saat Ananda dengan penuh kemarahan menggosok bibir Refan. Dia tidak tega melihat Refan menutup mata dengan penuh kesakitan.

“Hentikan!” Grace mengambil sikat dari tangan Ananda dan melemparnya ke lantai. Ananda mundur menjauh. “Kalian gila, ya? Kalian bisa dimasukin penjara! Itu namanya penyiksaan! Memangnya salah Refan apaan?”

“Itu karena dia mencium elo!” kata Ananda yang disoraki anak-anak lain.

“Kau tahu sendiri kalau itu kecelakaan!” kata Grace menunjuk dada Ananda dengan berang. “Harusnya kau tahu itu!”

“Tapi tetap saja namanya ciuman!” timpal Ananda dengan alasan yang sama.

“Kau gila!” kata Grace. “Kau dan semua orang yang mencoba menyiksanya itu gila! Kau dan orang-orang ini tidak pernah memakai otak untuk berpikir secara realistis!”

Ananda mengerjap, begitu juga dengan anak-anak lain.

“Kau—apa?”

Mata Grace menyipit berbahaya. Ananda mundur. Kali ini Evol yang maju.

“Kau nggak perlu bela-belain Refan, deh,” kata Evol centil mengibaskan rambutnya. “Mentang-mentang dicium Refan…”

“Aku juga nggak sudi dicium sama dia!”

“Oh yeah?” kata Evol meremehkan. “Kau nggak tahu, ya, perbedaan antara orang miskin itu amatlah jauh berbeda. Ada jurang antara kau dan Refan. Refan seorang Pangeran dan kau itu adalah binatang yang mengais sampah di kotoran bau.”

Rachael berdiri. Grace mengatupkan mulutnya.

“Evol,” kata Rachael dingin. “Jika aku mendengar kau bicara begita lagi tentang Grace, akan kupastikan kau tidak akan tinggal di Indonesia untuk selamanya.”

Evol mundur selangkah, dia meneguk ludah.

“Kamu kok belain orang Kampung ini sih, Rachael?” kata Evol tidak percaya.

“Jangan katai dia begitu!” bentak Rachael meninju meja di belakangnya. Suasana hening sejenak. Choki dan Dony mundur menjauh saat merasakan aura tidak menyenangkan dari Rachael. “Aku sudah memperingatkanmu!”

Evol meludah dengan sombong.

“Rachael… kok kamu bisa, sih manaruh perhatian sama orang miskin kayak Grace… benar-benar, deh…”

“Maaf saja kalau aku miskin, Evol Eiffel Stovtesck,” bisik Grace berbahaya. “Tapi aku lebih bangga menjadi orang miskin yang punya harga diri dan disayangi teman-temanku dari pada jadi orang kaya seperti kau yang begitu sangat dibenci karena segala kesombongan yang membuat orang muak. Aku lebih bangga menjadi orang miskin dan dilihat dengan kacamata pengertian dan harapan daripada jadi orang kaya yang tahunya hanya menghasbiskan uang orang tuanya. Aku lebih bangga menjadi orang miskin dimana aku bisa berkata kalau aku bahagia akan hidupku daripada jadi orang kaya yang mengejar-ngejar harta orang tak punya. Aku lebih bangga jadi orang miskin yang melihat penderitaan orang lain daripada jadi orang kaya yang bahkan tidak mau melihat ke bawah bahwa banyak orang mengemis untuknya.”

Evol mengatupkan mulutnya dan hendak menampar Grace tepat saat Daniel menangkap tangannya.

“Wah, jangan sampai tanganmu menyentuh wajah Adekku,” kata Daniel.

Evol menarik tangannya. Daniel melihat ke sekeliling.

“Kalian tahu kan Hukum Pidana dan Perdata bagi orang yang melakukan Penyiksaan, Pencemaran Nama Baik dan Pemaksaan?” kata Daniel. “Aku bisa menuntut kalian semua. Ada Saksi, bukti dan korban disini.”

Anak-anak cewek saling pandang panik.

Daniel geleng-geleng kepala.

“Kalian masih kecil tapi tingkah kalian menakutkan sekali untuk anak seusia kalian,” gumam Daniel mengeluarkan pisau dari sepatu boot-nya. “Nah, Refan, Ayo ucapkan sesuatu supaya aku melepasmu.”

“Lepaskan aku,” kata Refan datar.

“Aduh, bukan begitu,” kata Daniel geleng-geleng kepala. “Kau harus bilang: ‘Kakak Altrax yang baik hati, berbudi luhur dan tampan, tolong bukakan tali yang membelit ditubuhku ini. Aku akan sangat berterima kasih.’ Ayo cepat bilang.”

Refan menatapnya. “Nggak sudi!”

“Ya udah, selamat disiksa saja untukmu,” kata Daniel. “Ayo, Dek, pulang.”

Daniel baru saja melangkahkan kakinya menuju pintu saat Refan bicara.

“Tunggu.”

“Apa?” kata Daniel berbalik.

“Aku…,” Refan berpikir sejenak. Tabahkan hatimu, Refan. “Tolong bukakan talinya, Kak Altrax. Aku akan sangat berterima kasih.”

Dahi Daniel mengerut.

“Kata-katanya tidak sama, tapi baiklah akan aku bukakan,” kata Daniel berbalik lagi dan memotong tali ikatan Refan.

“Aku akan mencuci mulutku dengan sabun,” gumam Refan memegang mulutnya yang berdarah dan membengkak dengan sangat ajaib.

“Aku rasa tidak akan bisa jika melihat kondisi bibirmu,” timpal Grace.

Refan menatapnya.

“Apa?” tantang Grace.

“Terima kasih,” kata Refan. Wajah Grace memerah.

“Terima kasih juga untukmu, Rachael. Soalnya kau sudah membela Grace. Itu sangat menolong,” kata Daniel. “Ayo, Grace kita pulang.”

Refan menatap cewek-cewek di dalam ruangan itu, setelah itu dia pergi dengan perasaan dongkol. Rachael juga melakukan hal yang sama, dia bahkan sampai membanting pintu.

***

15 Februari

Cuaca mendung, Grace berpikir hal itu akan terlihat sama dengan anak-anak cewek lain yang kemarin mengerjai Refan, tapi ternyata dia salah.

Sama seperti kemarin pada tanggal 14 Februari, kali ini kerumunan cewek-cewek ada di depan gerbang. Orang-orang yang ada disana masih sama dan mereka juga membawa kotak kado dengan berbagai ukuran.

Memangnya hari ini ada hari special? Grace membatin.

Grace memperhatikan kalau ada yang berbeda dengan cewek-cewek kali ini. Ng? kok rasanya mereka semua menggeraikan rambut dengan bando putih yang dipakai Grace kemarin, ya?

“Stev, ada apa, sih ini? Ada hari yang special?” Grace menarik Stevani yang mencoba berbaur dengan cewek-cewek itu.

“Aduh Grace! Masih nggak ingat juga hari ini hari apa?” kata Stevani tidak percaya. Dia juga memakai bando putih.

“Apa karena masih suasana Valentine makanya mereka berusaha memberikan coklat sama Refan?” Grace menebak. “Sama kayak tahun lalu?”

“Bukan, Dodol!” kata Stevani sebal. “Hari ini hari ulang tahun Refan!”

Ha? Ulang tahun Refan?

“Terus, kenapa kau dan orang-orang itu memakai Bando Putih?” kata Grace masih belum mengerti.

“Aduh! Dasar Grace!” kata Stevani capek. “Gara-gara kamu dicium Refan kemarin, orang-orang sepakat apa yang kamu pake kamarin dijadikan jimat.”

“Ha?”

“Udah dulu, ya aku mau ngasih kado buat Refan. Ntar keduluan lagi dari yang lain,” kata Stevani bergabung dengan anak-anak lain.

Di hari Ulang Tahun Refan mereka memakai Bandoku untuk dijadiin Jimat?

Mobil Refan datang, cewek-cewek secara serempak berkata “SELAMAT ULANG TAHUN, REFAN!” saat dia keluar dari mobil. Ada yang tidak biasa bagi Refan hari ini. Dia memakai masker. Grace paham, pasti bibirnya membengkak karena ulah Ananda kemarin. Kalau dipikir-pikir lucu juga.

“Fan, ini kado…”

Ananda dan anak-anak lain yang begitu antusias memberi Refan hadiah sepertinya harus mengurungkan niat mereka karena Refan tampak masih marah karena kejadian kemarin. Dia melewati Grace dengan tidak peduli, meliriknya pun tidak.

“Pagi, Fan,” Rachael merangkul Refan.

Refan tidak menjawab, tapi dia menyingkirkan tangan Rachael dari bahunya.

“Nih, kado. Met ulang tahun, ya?” kata Rachael memberikan kotak kado besar pada Refan. Refan berbalik ke arah berlawanan dan tidak mempedulikan Rachael.

“Nggak bisa ngomong ya, Fan? Kasihan banget,” ledek Rachael. “Tahu nggak Fan, menolak hadiah saat hari ulang tahun bisa bikin sial, loh.”

Refan berbalik lagi dan menuju kearah Rachael. Dia mengambil kado di tangan Rachael dan masuk kembali ke kelasnya.

“Kuharap kau menyukai kadoku, Fan,” kata Rachael tertawa.

Melihat Rachael berhasil memberikan kado pada Refan, anak-anak yang lain berebut masuk ke kelas Refan dan memberikan Refan. Refan sendiri, dengan sangat terpaksa, menerima kado itu karena takut sial seperti yang dikatakan Rachael.

Akhirnya, kado-kado itu bertumpuk di depan wajah Refan dan memenuhi mejanya sehingga dia tidak bisa melihat ke depan. Dia pun menelepon salah seorang pengasuhnya untuk membereskan barang-barang itu dan disuruh agar dibawa ke rumah.

“Hah…,” Refan menghela napas sambil melepas maskernya. Dia ada di atas atap, merenungi nasib. Rasanya akhir-akhir ini dia sial terus, emosinya pun sering naik-turun, tapi justru itu ada yang menarik. Dia merasa kalau hidupnya tidak membosankan.

“Ternyata ada disini.”

Refan berpaling mendengar suara yang tidak asing itu. Itu suara Grace. Refan cepat-cepat menutup kembali mulutnya dengan masker.

“Nggak usah ditutupin kayak gitu,” kata Grace duduk disampingnya.

“Mau apa?” kata Refan datar melepas maskernya.

Grace membuka bungkusan yang dia bawa. Ada kotak makanan dan sebotol minuman berwarna bening disitu.

“Aku bilang sama Kak Harry kalau bibirmu mengalami pendarahan yang parah,” kata Grace, Refan melotot, “Jadi Kak Harry membuatkanmu pudding. Bukannya kau suka makan pudding buatannya? Kak Harry yakin sekali kalau kau pasti belum makan apapun. Katanya pudding makanan enak bagi orang yang kena penyakit sepertimu.”

Refan ingin membantah, tapi masalahnya dia tidak bisa bicara.

“Kak Harry juga membuatkanmu Jus Leci,” kata Grace membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke gelas kecil yang dia bawa. “Nah, makan dulu.”

Refan mengambil kotak makanan dari tangan Grace dan menyendokannya ke mulutnya sendiri. Rasanya enak, dingin pudding itu rasanya masuk ke dalam sel-sel Refan dengan sangat baik.

“Gimana rasanya?” kata Grace. Refan hanya mengangguk. “Kak Harry memang jago masak. Cita-citanya pengen jadi koki, tapi apa boleh buat, Papa pengen dia meneruskan jejak Papa sebagai Pengusaha.”

“Kau belum bilang ‘Selamat Ulang Tahun’ untukku,” kata Refan pelan.

Grace bengong. Harus banget, ya?

“Selamat Ulang Tahun, ya,” kata Grace mengalah. Refan mengadahkan tangannya. Grace mengerutkan dahi tidak mengerti. “Apa?”

“Hadiahnya?” kata Refan.

Ini orang… dikasih hati minta jantung!

“Aku nggak bawa kado. Lagian aku baru tahu kalau hari ini kau ulang tahun,” kata Grace melipat tangan.

Refan mengatupkan mulutnya dan meminum jus leci. Tuh kan dia ngambek.

“Ya udah, deh aku ngalah karena hari ini kau ulang tahun. Kau mau apa sebagai hadiahnya?” kata Grace, lagi-lagi, mengalah.

Refan menunjuk ke arah Grace, lalu tangannyaturun dan tepat menunjuk ke jam tangan yang dikenakan Grace.

“Ini?” kata Grace.

Refan mengangguk.

Ini kan jam tangan yang dikasih Kak Harry… kalau dia tanya gimana ntar ya?

“Ya udah, deh,” Grace melepas jam tangannya dan memberikannya pada Refan. Tapi tangan Refan sudah menjulur ke arahnya. Dengan sangat terpaksa, Grace memasangkan jam tangannya ke tangan Refan.

“Makasih, ya,” kata Refan meminum kembali Jus Leci-nya.

Grace hanya mengangguk. Tumben.

“Ah, iya!” Grace tiba-tiba berteriak. Dia baru saja mengingat sesuatu. Dan akibat teriakannya itu, Refan sampai terbatuk-batuk dan menyemburkan jus yang baru setengah jalan ke kerongkongannya.

Ada apa, sih?” kata Refan masih terbatuk-batuk. Matanya berair.

“Kau kalah taruhan. Kau sudah janji nggak akan menyentuhku dalam Pensi, tapi kenyataannya kau malah menciumku! Aku menuntut ganti rugi!” kata Grace berapi-api, wajahnya merah padam.

Refan memutar matanya. “Ya sudah, kau mau apa?”

Grace memutar otak. Sesuatu hal yang bakal membuat Refan jera untuk menghina orang… hm… apa, ya… apa, ya….

“Cepetan, dong!” kata Refan.

“Temani aku belanja hari Sabtu ini. Sanggup?” kata Grace.

“Maksudmu kencan?” kata Refan dengan nada meledek.

“Nggak! Enak aja!” wajah Grace merah padam. “Pokoknya aku menunggumu di taman kota sendirian!”

“Wah… kau mau berbuat apa padaku?” goda Refan masih dengan nada meledek.

“Jangan salah paham gitu, dong!” Grace bangkit dari tempatnya. Dia cepat-cepat kabur sebelum Refan mengejeknya lagi.

Refan sendiri tersenyum geli saat melihat wajah Grace yang merah padam.

***

Refan menendang kado yang menghalangi jalannya saat masuk ke kamarnya. Dia melempar tasnya ke temppat tidur. Rasanya kamarnya sangat besar tapi gara-gara kado menumpuk yang tak jelas itu, kamarnya justru terasa sesak.

Dia melepas dua kancing baju sekolahnya, melempar dasi sekolahnya, mengambil bukunya disisinya dan duduk di lantai. Dia mengambil satu kado kecil yang berada di dekat jangkauannya. Dia membukanya. Isinya iPod.

“Lumayanlah buat nambah-nambah koleksi,” gumam Refan meletakan iPod itu ke tumpukan iPod di dekat meja belajarnya. Dia membuka yang lain, kali ini buku.

“Keluaran terbaru,” gumam Refan meletakan buku itu ke lemari bukunya yang terasa penuh dan sesak. Dia membuka kotak kado coklat besar dan menari ke luar kain putih berkilauan dari dalam. “Gaun Pengantin? Apa-apaan ini? Siapa orang bodoh yang mengirimi aku ini?”

Refan menggulung gaun itu dengan asal dan melemparnya jauh-jauh, ada benda jatuh saat dia melempar gaun itu, Refan mengambilnya. Sebuah pena berwarna emas, kalau Refan tidak salah, cukup mahal. “Yah… bolehlah…”

Kaos warna pink.

“Buat Grace saja, warnanya norak.”

Laptop.

“Buat Grace saja, dia kan sekretaris Osis.”

Sepatu Sport pink.

“Warna pink mulu, kasih Grace saja.”

Jaket Pink.

“Aduh… nggak ada warna lain apa? Buat Grace aja.”

Wig.

Refan memakainya sejenak dan melihat dirinya di cermin. “Hm… oke juga…”

“Tuan Muda.” Salah seorang pembantu datang dari balik pintu. “Ada telepon.”

Refan melepas wignya dan mengambil telepon parallel di dekatnya. “Halo?”

“KARIAAAAAAAAAAAAAAAAA!!! H—”

Refan menutup teleponnya. Orang yang meneleponnya berteriak tak jelas, membuat telinganya berdenging.

“Dasar gila…”

***


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.