RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 07 Maret 2009

Love Love Love Eps 5

Love for You Love for My Family and Love for may friend

written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel


5.

Ayo kerjain dia!

“Wahai, cermin! Katakana kepadaku siapa wanita paling cantik dimuka bumi ini?” kata Evol mengibaskan rambutnya. Dia membuka kipas ditangannya dengan tidak sabar.

Choki yang berperan ganda sebagai cermin berkata dengan nada pilu. “Wahai, Ratuku yang cantik, sejak dahulu kau adalah wanita paling cantik dimuka bumi ini. Namun, kecantikanmu itu tidak akan bertahan lama kecuali dengan munculnya keriput karena pertambahan umur dan…”

“Choki! Tega banget, sih ngatain Evol keriput!” timpal Evol kesal.

“Aaarh! Cut! Cut!” kata Bu Lyla saat Evol mengacaukan acara latihan drama di aula. “Evol, peran Choki itu udah bagus, kenapa kamu rusak?”

“Saya tidak setuju dikatai keriput, Bu!” timpal Evol.

“Itukan cuma acting. Aslinya kan kamu cantik,” kata Bu Lyla capek menerangkan berulang-ulang pada Evol kalau mereka sedang drama bukannya berantem.

“Ayo, sekali lagi!” kata Bu Lyla. “Ananda jangan tertawa! Ayo, semuanya serius!” kata Bu Lyla lagi. “Mana Refan?”

“Di perpustakaan, Bu,” jawab Grace. Refan yang ada disampingnya, yang memang lagi baca buku, mengadahkan kepalanya.

“Nggak lihat apa kalau aku ada disini?” kata Refan mengadahkan kepala.

“Nggak,” jawab Grace cuek.

“Kalian jangan berantem terus!” kata Bu Lyla. “Refan Sayang, tolong tutup bukunya.”

Refan menghela napas sebelum menutup bukunya.

“Ayo, Evol, kita mulai lagi!” kata Bu Lyla. “Siap, ya, action!”

“Wahai cermin ajaib, siapakan wanita paling cantik dimuka bumi ini?” kata Evol lagi. Tidak ada jawaban. “Cermin?”

“Cut! Cut! Mana Choki?” kata Bu Lyla berang.

“Toilet, Bu,” kata Stevani.

“Ya ampun… kita break dulu lima belas menit,” kata Bu Lyla.

Rachael yang sedari tadi cuma menonton dibawah tangga pentas segera naik ke atas membawakan minuman kaleng pada Grace.

“Nih, Grace. Kau pasti capek kan?” kata Rachael memberikan minuman itu pada Grace. Refan yang ada didekatkan menaikan alis.

“Makasih, ya. Dari tadi kau ada dimana?” kata Grace mengikuti Rachael turun pentas.

“Di tangga,” jawab Rachael. “Peranku nggak terlalu banyak, sih. Aku cuma memasang wajah sedih saja. Saying benget, ya aku nggak jadi Pengeran. Padahal aku mau jadi pasangan Grace, loh.”

“Oh… gitu, ya,” kata Grace agak aneh melihat sikap Rachael.

“Grace sini bentar!” Choki berteriak dari arah bangku penonton. Dia sudah ada disana bersama anak-anak Osis.

Grace dan Rachael ke arah mereka.

“Refan! Pecinrai! Aku mau ngomong, nih! Evol nggak usah! Kau kan bukan anggota Osis! Stev, biarin aja si Evol!” kata Choki lagi.

Evol yang tadi hendak berpartisipasi langsung memasang wajah sebal pada Choki. Dia menghentakan kakinya dengan wajah merengut.

Ada apa, Chok?” kata Stevani duduk disamping Dony.

“Kita udah kepepet banget buat rapat, jadi hari ini juga kita harus rapat untuk membiacarak masalah Pensi tahun ini. Anggarannya juga belum dibuat, begitu juga dengan proposalnya. Masalahnya, kita nggak punya tempat buat rapat, nih.”

“Loh? Kenapa?”

“Nanti ada rapat guru antar wilayah. Semua kelas dipake. Lagipula mustahil kita rapat waktu orang itu juga rapat kan?” kata Choki. “Nah, ada yang bisa menyiapkan tempat, nih?”

“Rumahmu aja, Chok.”

“Nggak bisa. Hari ini ada arisan.”

“Rumah elo aja, Stev,” kata Rati.

“Rumahku kecil. Lagian nggak mungkin deh… soalnya orang rumahku berisik. Nanti kita terganggu,” kata Stevani. “Kenapa nggak rumah Refan aja? Pasti besar, tuh.”

“Iya, Pangeran,” kata Pecinrai langsung semangat.

“Nggak bisa. Dirumahku banyak ular,” kata Refan datar.

“Pantas ngomongnya beracun,” gumam Grace.

“Apa?” kata Refan.

“Nggak.” Kata Grace melihat ke arah lain.

“Rumahmu gimana, Rachael?” kata Choki.

“Sori. Karena kemarin aku baru pindah ke depan rumah Grace, jadi masih berantakan. Kenapa nggak ke rumah Grace aja? Rumahnya besar banget. Adem lagi,” kata Rachael.

“Iya, Grace. Di rumahmu aja!”

“Betul, tuh! Kita belum pernah ke rumahmu kan?”

“Tapi—”

“Ayo, dong, Grace!!’

“Oke, deh.”

Mereka bersorak. Grace menghela napas. Gimana cara bilangnya, dih? Kalau sampai ketahuan mengenai Daniel dan Mark bisa berabe. Lagian Daniel dan Mark kan nggak suka nyamar di rumah. Kacau! Mana banyak foto keluarga lagi!

“Ayo, anak-anak! Kita mulai lagi!” teriak Bu Lyla dari atas panggung. “Cepat! Jangan lama! Kita nggak punya waktu buat main-main!”

Grace mengambil ponsel dan menghubungi nomor Daniel dan Mark. Tapi karena tidak diangkat—mungkin mereka sibuk kerja—Grace mengirim pesan.

To : DAR29070016A, EMR08100021O

Sent : Bang, hari ini teman-teman Grace mau datang ke rumah. Nyamar ya ntar.

***

“Lalalala,” Evan bersenandung ria memasuki perusahaan Richard Corporation. Dia membawa makanan yang sengaja dipesan dari rumah. Seklaian mengantar map yang ketinggalan buat rapat nanti siang. “Permisi, Mbak,” kat Evan dengan suara dalam dan tenang. Dia memasang tampang cool yang bisa bikin orang terpaku.

“Mas Evan, ada yang bisa saya bantu?” kata si Resepsionis malu-malu.

“Aku mau ngantar makanan pesanan Papa. Dimana aku bisa menemuinya, ya?”

“Anda dapat menitipkannya kalau Anda mau, Mas.”

“Aduh, maaf. Bukannya aku tidak percaya pada system keamanan di perusahaan ini. Tapi ada map yang top secret disini dan Papa menyuruhku mengantarnya secara langsung. Jadi, dimana aku bisa menemui Beliau?”

Mungkin kau tidak akan menyangka kalau Evan berkepribadian ganda.

“Oh, sekarang Tuan Richard sedang ada di kantornya. Beliau bersama dengan Tuan Harry dan seorang anak temannya dari Kanada.”

Ooow, jadi Papa sedang sama Harry dan Drew ya?

“Terimakasih, ya?” Evan mengangkat rantangan makanan Tarandra. Dia naik ke lift khusus dan baru turun di alntai 405—salah satu lantai yang peling tinggi dari 450 lantai di kantor itu.

“Jadi, Harry. Hesekiel bilang kalau dia membutuhkan investasi dan kerja sama,” terdengar suara dari dalam ruangan. “Aku sama sekali tidak tahu apa yang ada dalam pikiran orang itu.”

“Hesekiel siapa, Oom?” kali ini terdengar suara Drew.

“Salah satu investor yang bisa dikatakan sukses.” Jawab Geon. “Dia dulu bekas adik kelasku sewaktu di Harvard. Mengenai berkas yang belum ditandatangani, sudah kau susun semua, Nak? Aku tidak mau ada yang hilang.”

“Aku sudah menyusunnya sesuai permintaan Pak Direktur,” kata Harry. Di kantor Harry selalu memanggilnya dengan sebutan “Pak Direktur”. “Tuan Yudea juga mengirimkan berkas mengenai kerja sama perusahaan, Pak Direktur. Dia bilang dia akan mengirim Putranya pada saat Pesta Pemegang Saham.”

Geon mendesah.

“Katakan saja kalau kita akan menerima tawarannya. Mana surat yang kau susun itu?”

“Ini, Oom,” kata Drew membawa surat yang menggunung.

BLAK! Evan membanting pintu dan berteriak, “PAPA!! GEMPA!! LARI!! ADA KEBAKARAN!! SELAMATKAN DIRIMU!!”

“Ha? Gempa? Wa!!! Air, air!!”

Drew yang panik melempar berkas ditangannya ke udara dan berlari mengelilingi ruangan. Harry dan Geon tercengang melihat berkas-berkas yang tadi disusun itu kini berjatuhan di atas kepala mereka.

“Ups… kabur…” kata Evan meletakan map dan rantangan.

“E—EVAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN!!” teriak Geon sebal.

Evan lari dan segera turun ke bawah secepat yang dia bisa. Suara teriakan Geon masih terdengar di telinganya. Dia bahkan tidak meminta maaf saat menubruk Kim.

“Loh, Evan? Ada apa?” kata Kim heran. Ditangannya ada selembar kertas biru dan Merpati bergerak gelisah di bahunya.

Ada monster ngamuk!”

“Ha? Monster?” ulang Kim heran. Kemudian dia baru sadar apa yang terjadi, kelihatannya bengunan itu bergetar walaupun sedikit. Ada gempa, ya? Batin Kim heran.

Saat dia masuk ke kantor Geon untuk mengantarkan berkas yang tadi ketinggalan. Dia heran sekali melihat ruangan Geon berantakan. Dia juga marah-marah pada Harry dan Drew sambil menyinggung Evan berulang-ulang.

“Kenapa kantor Ayah berantakan begini?” kata Kim heran.

“Kim! Mana Evan? Awas dia! Papa akan menghukumnya!” kata Geon berapi-api. “Kau lagi Drew! Kenapa semua berkas itu kau lempar begitu saja?”

“Maaf, Oom. Saya panik,” kata Drew.

Dan Geon mulai ngomel dan ngomel lagi.

***

Anak-anak Osis SMP Harapan Bangsa berkumpul di depan gerbang sejak lima belas menit lalu. Mereka sudah merencanakan akan pergi ke rumah Grace hari ini, tapi Grace dari tadi belum kelihatan—Refan juga.

“Lama banget, sih si Grace. Ngapain aja sih di kantor guru?” gerutu Yani dengan tangan melipat. “Refan darling juga belum datang. Apa jangan-jangan mereka kencan?”

“Mustahil.” Kata Choki dan tepat saat itu kedengaran suara Grace.

“Aku nggak minta kau datang ke rumahku! Pede banget, sih! Kalau ada urusan di kantor Papa-mu, sana pergi! Aku nggak keberatan kalau kau nggak datang!”

“Apa sih itu?” kata Choki bangkit dari berdiri diikuti Stevani. “Ya ampu, emreka berantem lagi,” keluh Choki geleng-geleng kepala saat melihat Grace dan Refan menuju kearah mereka sambil beradu mulut.

“Aku juga nggak sudi datang ke rumahmu. Tapi karena kewajiban, aku terpaksa datang,” kata Refan dengan suaranya yang dingin.

“Biasanya kau tidak pernah memikirkan kewajibankan, Tuam Muda Ular?”

Dahi Refan mengerut.

“Jangan mengataiku dengan nama jelek begitu. Aku punya nama yang bagus,” kata Refan. Grace memutar matanya, sebal sendiri.

“Dari mana aja lo?” kata Ananda, “Ngapain elo bentak-bentak Pangeran gue?”

“Urus tuh Pangeranmu. Aku nggak peduli.” Kata Grace melewatinya.

“Oke, karena Grace sudah datang gimana caranya kita pergi bergerombol?” kata Choki mengambil alih suasana yang mulai kacau. “Ng… gini aja, sebagian anak Osis yang nggak punya kenderaan menumpang mobil Ananda.”

“Apa?” jerit Ananda. “Chok, mobil gue bisa lecet!”

“Nggak ada bantahan. Nah, yang punya kendaraan lain mengikuti dari belakang. Grace sendiri pergi bareng aku.” Kata Choki menaiaki motornya. “Yuk, Grace.”

Anak-anak Osis mulai menuruti perintah Choki, ada sekitar empat orang yang menaiki mobil Ananda, ada yang naik motor dan pada saat Grace mau naik ke atas motor Choki, Stevani bilang, “Aku gimana?”

“Ya udah, kau naik motor Choki aja,” kata Grace.

“Lho? Bukannya kau yang memimpin jalan?” kata Choki.

“Grace sama aku aja, deh,” kata Rachael menarik tangan Grace. “Aku bawa motor kok.” Choki hanya mengangkat bahu.

“Yah…,” keluh Stevani.

“Oi! Lama banget, sih? Sesak, nih!” kata Ananda keluar dari mobilnya. “Rachael, aku bareng kau aja, deh. Aku nggak bisa tuh bareng rakyat biasa.” Kata Ananda menaiki motor ninja Rachael.

“Lah, terus Grace-nya sama siapa? Bukannya kita mau ke rumahnya? Kok jadi dia yang ditinggal, sih? Harusnya kan dia yang memimpinjalan. Gimana, sih?” protes Dony dan disungut-sunguti anak-anak Osis yang lain.

Din din, din din.

Grace menelengkan kepalanya tepat saat motor biru gelap metalih berhenti disampingnya—diantara Grace dan Rachael. Refan membuka helmnya dan memakaikannya pada Grace.

“Naik,” perintahnya.

Bengong dan takjub, Grace naik saja ke motor Refan.

“Pegangan yang erat.” Katanya lagi.

Refan menggas motornya dan melaju lebih dulu, memimpin anak-anak Osis ke rumah Grace.

Dalam waktu sepuluh menit, Grace sudah turun dari motor Refan. Dia membuka gerbang rumahnya yang besar. Selama ini gerbang itu hanya terbuka sedikit, cumin untuk keluar masuk mobi dan motor Abang-abangnya, tapi karena sekarang suasananya ramai begini, Grace harus membuka gerbang itu secara penuh.

“Buset, dah… rumah Grace besar amat!” gumam Dony takjub.

Anak-anak Osis dan Pecinrai bengong untuk beberapa saat melihat rumah putih Grace yang seperti istana. Refan juga sempat kaget karena dia nggak sampai mengantarkan Grace sampai rumah waktu itu dan dia tidak menyangka kalau rumah Grace lebih besar dari rumah miliknya.

“Jadi Grace anak orang kaya, ya?” kata Choki. “Kok nggak kelihatan?”

“Dia cewek yang sederhana, ya? Nggak nyangka,” kata Stevani.

“Yaelah… palingd ia jadi pembantu disini. Iya kan, Grace?” kata Ananda.

“Ini rumah Grace, loh,” kata Rachael.

“Masuk semua,” kata Grace melewati grebang.

Refan memarkir motornya di dekat air mancur yang ada di tengah-tengah taman depan. Taman depan itu penuh bunga dan pohon. Hijau rumputnya benar-benar membuat tentram. Rumahnya hanya bertingkat dua dengan balkon yang luas. Ada pavilion di tengah-tengah taman dan biola disana.

“Grace, apa aja isi rumahmu?” kata Yani tampak tertarik. “Papamu kerja apa, sih?”

“Kerja—”

DUAK!!

“AUW!!” Refan berteriak saat ada bola baseball melayang dari balik rumah Grace dan menimpuk kepalanya. Refan pusing sejenak karena semuanya terlihat bergoyang.

“Refan, kau nggak apa-apa?” kata Choki khawatir. Anak-anak Osis juga mengerubutinya. “Wah, pasti sakit sekali.”

Refan mengambil bola itu dan sebal sendiri. Siapa, sih yang main baseball?

“Dek! Ada lihat bola nggak?” Evan berteriak sambil berlari dari gang sempit bersama dengan Kim dan Harry. Mereka memakai seragam putih garis-garis dengan pemukul di tangan dan sarung tangan baseball ditangan yang lain.

“Jauh juga pukulanmu, Van,” kata Harry. “Loh? Kok ramai?”

Gosh! Keren! Cewek-cewek Osis terpaku dengan wajah merah padam saat melihat mereka datang. Ganteng banget! Beda dengan cowok-cowok lain! Kayak aktor!

“Ini bolamu?” kata Refan menunjukan bola yang tadi menimpuk kepalanya.

“Ya, benar. Sini, Dek.” Kata Evan meminta bolanya kembali.

“Loh?” kata Kim memperhatikan wajah Refan yang kelihatan sebal, “Kamu anak yang kemarin kan? Anak yang menarik Grace dari kami?”

“Ha?” kata Refan tidak mengerti.

“Oh, iya benar!” daya ingat yang luar biasa, Kim!” kata Evan baru sadar. “Kau bocah tengik yang kemarin kan? Bocah Iblis tanpa ekspresi itu!”

Rachael mengikik geli. Ya, ampun Refan… bisa-bisanya kau dibenci abang-abang Grace… berakhirlah riwayatmu untuk mendapakan Grace…

“Apa maksud kalian?” kata Refan tersinggung. Kakak dan adik sama aja!

“Masih ingat denganku, Anak Kecil?” kata Harry tersenyum mengerikan. “Kita pernah ketemu loh. Gimana kabarmu?”

Kalau Harry, Refan ingat betul siapa dia.

“Bang, hari ini ada rapat Osis. Tolong jangan diganggu, ya?” kata Grace mengalihkan pembicaraan. “Plis…”

“Nggak masalah, Dek,” kata Harry mengacak rambut Grace. “Hari ini kami akan bersenang-senang. Ayo, semua, kembali ke lapangan.”

“Tapi—,”Evan protes, namun saat melihat wajah sangar Harry, dia menurut.

“Baik baik, ya, Dek,” kata Kim tersenyum ramah.

Anak-anak Osis mendesah saat melihat senyuman Kim. Abang Grace yang satu ini kok manis banget, ya?

“Gila, Grace. Cakep banget abang lo!” kata Ananda. “Lebih manis dari Refan!”

“Pantesan aja Grace nggak minat sama Refan, di rumah ada yang ganteng, sih,” celetuk Dony.

“Apa, sih maksud kalian?” kata Refan tampak tidak terima.

“Kita rapatnya di ruang tamu aja, ya?” kata Grace memimpin jalan.

Anak-anak Osis mengikuti Grace memasuki rumah besarnya dan lagi-lagi mereka harus takjub melihat isi rumah Grace. Semuanya dibuat dengan keramik bergaya Eropa. Pigura-pigura besar foto keluarga tertempel di dinding. Kursi-kursi jati berlengan empuk membuat rumah Grace lebih elegan. Ada perapian dan lampu-lampu kristal di langit-langit. Terlebih lagi, tampaknya disetiap ruangan diisi minimal satu lemari kecil dan didalamnya ada buku-buku tebal yang beragam-ragam.

“Wah!” gumam Ananda minder. Gue nggak nyangka…

“Eh, Grace,” kata Rita tiba-tiba. “Kok rasanya kedua orang itu agak mirip sama Mark dan Daniel, ya?” Rita menunjuk foto keluarga yang besar dimana wajah Daniel dan Mark kelihatan sangat jelas. Anak-anak lain pun setuju.

“Masa' sih?” kata Grace gelagapan. Gawat!

“Iya, deh. Mirip banget,” kata Stevani lagi.

“Mungkin karena muka mereka pasaran jadi kelihatan mirip banget,” kata Grace asal. “Ng... aku ganti baju dulu. Kalian duduk aja disini, ya. Ntar minumannya kuantar.”

“Kau bakal kena marah Oom, Van. Keterlaluan sikapmu.” kata Drew masuk ke ruang tamu. “Harry and I udah capek menyusun berkas and paper... tapi malah kamu rusak.”

“Bule, man!” bisik Stevani gelisah. “Jangan-jangan Abang Grace lagi. Kok banyak banget, ya abangnya si Grace.”

“Abang Grace ada lima, Grace anak bungsu dari enam bersaudara,” kata Rachael memberitahu mereka. “Semua abang Grace keren-keren dan baik loh.”

Masa, sih? Perasaan jahat banget ,deh. Ditimpuk... dihina... dikatai anak kecil lagi, batin Refan dongkol. Dari mana coba sisi baiknya?

“Wah... lima? Hebat!” kata Dony lagi. “Nggak nyangka!”

“Daniel mana, sih? Katanya mau lihat buku baru. Evan, lihat Daniel nggak?” kata Mark—dengan kacamata penyamaran—masuk ke dalam ruang tamu.

“Daniel? Ada, tuh di atas. Dia baca buku, kebiasaan jelek kalau nggak ada kerjaan.” kata Evan asal aja. “Eh, kita ngumpul, yuk. Ada yang mau aku bicarain, nih.”

***

“Itu dia bocah Iblis yang disukai Grace. Namanya Refan,” kata Harry melongok ke bawah bersama saudara-saudaranya yang lain. Mereka sudah berkumpul di lantai ke dua sambil memperhatikan Refan yang sedang rapat di ruang depan bersama anak-anak Osis yang lain.

“Ha?” kata Mark tidak percaya. “Dia?”

“Tampan, sih. Pilihan Grace boleh juga, hanya saja kepribadian anak itu harus diperbaiki. Kelihatannya tidak ramah,” kata Daniel menopang dagunya. Dia memperhatikan Refan yang hanya memasang wajah tidak peduli walaupun Choki sedang berpidato panjang.

“Memang tidak ramah,” kata Evan. “Nama anak itu sama dengan nama anjing peliharaanmu ya Kim,” komentarnya.

“Terus, apa yang harus kita perbuat sama anak itu?” kata Kim. “Kelihatannya Refan tidak menyukai Grace, berarti Grace bertepuk sebelah tangan, dong.”

“Soal itu nanti aja kita urusin,” kata Harry, “yang penting saat ini adalah bagaimana mengajarkan dia bersopan santun sama orang yang lebih tua darinya.”

“Terus, apa rencana kalian?” kata Drew. Dia bersemangat sekali melihat bahwa anak-anak Richard ternyata tidak seperti dipikirkan orang banyak—yang baik, sopan, ramah, jujur… ih, menjijikan.

Well, ayo kerjain dia!” kata Evan semangat. “Kita bagi tugas. Semua kumpul disini.”

Anak laki-laki Richard dan Drew berkumpul sambil memulai menyusun rencana.

***

“Aku haus, nih. Chok, istirahat bentar, dong. Capek nih,” keluh Ananda mengipasi rambut panjangnya dengan kipas sutra yang baru saja dia keluarkan dari tas.

“Nggak bisa. Laporannya harus dibuat sekarang juga,” kata Choki menyusun kembali kertasnya. “Nah, kita mulai lagi dengan bahasan selanjutnya.”

“Tega banget, sih!” gerutu Yani sebal. “Kita capek, mau istirahat. Lagian, dari tadi kita nggak disuduhin apapun. Males banget, sih pembantunya Grace.”

“Disini nggak ada pembantu,” kata Grace membalik kertas catatannya.

“Ha? Jadi apa dong guna rumah sebesar ini?” kata Rita lagi.

“Mama-ku nggak suka pake pembantu. Aku ambilin dulu, deh minumannya.”

“Nggak usah, Dek. Udah Abang ambilin, nih,” kata Kim yang muncul membawa nampan berisi minuman jus dingin yang menggugah selera. “Maaf, ya telat.” Kata Kim tersenyum ramah.

Ananda dan Yani terpaku melihat wajah Kim yang cute abis.

Kim meletakan gelasnya satu per satu pada anak Osis yang sangat bersemangat disuduhi minuman oleh cowok kayak Kim.

Gue bisa ke rumah Grace tiap hari, nih kalo ada Bang Kim, batin Stevani meminum jusnya sambil terus memperhatikan pesona Kim.

“Ayo diminum, Dek,” kata Kim ramah.

Sanking terpesonanya, anak-anaik Osis meminum jus itu sampai setengah secara bersamaan. Mereka tidak mampu menolak daya tarik Kim.

“Pfrt!” Refan hampir saja menyemprotkan minuman itu ke wajah Choki. Serentak anak-anak Osis dan Kim melihat ke arahnya.

“Gimana rasanya, Dek? Enak?” Tanya Kim ramah.

“Enak banget, Bang,” kata Rati menunjukan jempolnya.

Enak? Asin kayak gini! Lidahmu eror, ya? Batin Refan mendorong jauh gelas miliknya. Kim melihat ke arahnya.

“Loh? Kok kamu minumnya cuma sedikit, Refan?” kata Kim lagi. “Jangan-jangan rasanya nggak enak lagi.”

“Er…,” Refan melihat ke arah Kim yang memasang tampang memelas. Dia tidak tega mengatakan kalau rasa minumannya asin. “Enak.”

“Kalo gitu diminum lagi, dong, Dek,” kata Kim tersenyum semangat.

Refan melirik sekelilingnya. Anak-anak Osis kelihatan sangat setuju melihat usulan Kim. Sementara Refan, sejujurnya, tidak mau minum lagi. Dia bisa masuk rumah sakit kalau minum oralit kayak gini.

Welcome to the toilet, Refan, batin Refan meminum jus apelnya sampai hasbis tak bersisa. Aku nggak akan minum jus apel lagi.

“Ya udah, Kakak tinggal dulu, ya. Silakan melanjutkan rapatnya,” kata Kim ramah meninggalkan anak-anak Osis. Dia masuk ke dapur dan mendapati kalau saudara-saudaranya yang lain sudah berkumpul disana.

“Gimana?” kata Mark.

“Diminum sampai habis!” kata Kim menunjukkan jempolnya. Harry dan Daniel mengikik geli.

“Itu masih belum seberapa. Nah, semua, saatnya melanjutkan rencana kedua,” kata Evan menggebu-gebu. “Dia akan merasakan akibatnya. Lihat saja.”

Dony dan Stevani sama-sama menghela napas. Yani, Rita, dan Rati juga melakukan hal yang sama, Choki mengerutkan dahi dengan sebal. Refan sendiri hanya menaikan alisnya. Grace bersandar lelah di bangkunya. Rachael hanya melihat kesana kemari, dia berpikir, kok rasanya rumah Grace terlalu sepi.

“Oke, kita istirahat dulu satu jam,” kata Choki menyerah melihat bawahannya kelihatan tidak bersemangat. Serentak anak Osis bersorak.

“Gitu, dong, Chok. Grace, ada game nggak? Kami mau main, neh,” kata Dony bangkit dari kursinya.

Ada. Lihat aja tuh di lemari TV ada banyak game. Pilih aja sendiri,” kata Grace menunjuk televisi yang nganggur di ruang tengah.

Anak-anak cowok segera berhambur ke arah televisi. Refan dan Choki cuma berdiam diri di tempat.

“Pangeran nggak bosan?” kata Ananda menghampiri Refan.

“Aku jadi bosan ketika melihat wajahmu,” kata Refan bangkit dari kursinya dan ngacir dari pandangan Ananda.

Refan keluar dari ruang tengah dan berjalan sendiri mengelilingi rumah Grace. Harus dia akui, rumah Grace benar-benar dekoratif. Sensasi Eropanya benar-benar terasa. Dia naik ke atas, di sana dia mendapati sofa berlengan empuk. Ada gitar yang diletakan disamping biola dan seruling. Kemudian ada buku tergeletak disana.

“Kayaknya aku kenal, deh,” gumam Refan mengambil buku itu. “Ah, ini buku yang kemarin,” tambahnya melihat buku yang memiliki cap sepatu miliknya.

Plak, plak.

Refan menoleh melihat ada Merpati yang hinggap di jendela. Merpati itu keluar ketika melihat Refan. Refan juga melihat ada yang tak biasa disitu, ada kandang ular.

“Ha?” kata Refan mendekati tempat ular itu. Ada ular yang menggulung disana, kalau Refan tidak salah, dari buku yang dia baca, salah satu jenis yang berbahaya.

“Kok bisa si Grace punya peliharaan kayak gini?” gumamnya.

Sambil geleng-geleng, Refan berjalan lagi. Kali ini dia melewati beberapa lukisan yang merupakan lukisan dari pelukis mahal. Refan memegang kenop pintu yang tertutup. Terkunci. Dia melihat ada pintu yang lain, kali ini terbuka, dan saat dia melongok ke dalam, ada kamar bersih disitu, lengkap dengan buku-buku yang disusun rapi.

Merasa tertarik karena bukan sesuatu yang biasa, dia masuk ke dalam.

Kamar itu terang dengan nuansa coklat putih. Gordyn putih sutra di dekat jendela melambai-lambai tertiup angina. Refan lebih tertarik sama buku yang berderet di lemari. Ada buku tebal Sherlock Holmes cetakan pertama. Refan mengambilnya, saat dia membuka lembaran pertama, dia melihat ada tulisan.

Harry berpesan: “Jangan sembarangan mengambil barang tanpa izin.”

Refan buru-buru menutup buku itu dan mengembalikannya ke tempat. Dia juga cepat-cepat minggat dari tempat itu. Nggak nyangka kalau kamar yang dia datangi ternyata kamar milik cowok menyeramkan itu.

Kali ini Refan berjalan menuju pintu yang lain, ternyata itu perpustakaan. Merasa pasti akan lupa diri jika membaca disana, Refan memutuskan untuk menjelajahi tempat yang lain. Pintu yang lain ternyata kamar yang kotor dan berantakan. Setiap tempat rasanya terisi dengan baju dan buku.

“Siapa yang bisa tidur di tempat sampah begini?”

Geleng-geleng kepala karena berpikir bahwa orang yang tidur disini pasti gila. Refan melewati ruangan lain yang memiliki grand piano. Ada kertas dan buku disana. Selain itu ada laptop yang dibiarkan nyala, lengkap dengan kertas yang berisi soal-soal super sulit yang baru kali ini dilihat Refan. Refan membaca nama orang yang memiliki kertas itu: Evan. Dan disitu juga tertulis ITB.

Refan melewati meja yang diatasnya terletak sangkar burung kosong yang bersih. Dia juga melewati jendela yang menunjukan taman Grace yang luas, seluas lapangan sepakbola. Bahkan, ada ponsel metalik tergeletak di bingkai jendela.

Kaki Refan melangkah lagi, dia mencoba membuka kenop pintu. Namun terkunci.

“Oh, kantor ternyata,” gumam Refan melihat papan di depan pintu. Dia beralih ke pintu selanjutnya. Kali ini terbuka.

Kamar yang satu ini agak berbeda, ada banyak sekali alat-alat musik diletakan dengan rapi. Nuansa biru lautnya kelihatan nyaman dan menyenangkan.

Saat Refan membuka pintu selanjutnya, Refan tidak perlu menebak-nebak kamar siapa itu, karena dari foto berpigura besar yang tergantung di dinding, Refan sudah tahu kalau itu kamar Daniel. Di balik pintu ada catatan digital yang mengingatkan dia akan shooting, pemotretan, wawancara, jumpa pers dan lain-lain.

Nuansa hijau di kamar lain dan berisi banyaknya biola serta binatang disitu—bahkan ada anak macan yang terkurung—membuat Refan cepat-cepat menutup pintu kamar Kim.

Refan mengira kamar Grace akan bernuansa pink seperti anak-anak cewek lain—yah, melalui buku yang dia baca, sih seperti itu—tapi ternyata dia salah. Kamar Grace bernuansa putih simple. Hanya ada tempat tidur kecil, lemari, meja belajar dan kamar mandi. Di dinding dipajang foto keluarga. Dan jika melihat banyaknya foto yang dipajang Grace—baik di cermin dan dinding, bahkan figura foto dan meja belajarnya—sepertinya Grace lebih mencintai keluarganya.

Kamar yang lain berwarna abu-abu dan lebih mirip warna masa depan. Ada berbagai macam rantai tergantung disegala arah. Tidak berbeda dengan kamar yang berantakan lain, kamar yang satu ini ternyata memiliki daya tarik tersendiri bagi Refan. Sebab, koleksi musik yang dimilki Drew adalah music Jazz, Refan tidak menyangka kalau Drew memiliki semua koleksi music Jazz.

“Wah, ini kan belum keluar,” gumam Refan melihat salah satu album. “Off Record, belum dijual,” Refan membaca. “Gimana caranya dia mendapatkan ini?”

Refan melonjak kaget ketika suara ponselnya berbunyi.

“Halo?”

Ada dimana?”

“Di rumah teman, Pa,” kata Refan duduk di tempat tidur Drew.

“Sudah makan siang? Jangan lupa belajar. Papa nanti agak telat.”

“Iya. Nanti,” kata Refan melempar kaset Drew.

“Sudah dulu, ya, Nak.”

Refan mematikan ponselnya. Dia bangkit dan keluar dari kamar Drew.

“Ngapain kau masuk kamarku?”

Refan berhenti melangkah melihat Drew ada di depannya.

“Kau ini nggak tahu ya kalau kau nggak boleh masuk tanpa izin bagi orang yang tidak berkepentingan? Tahu KUHP 551 nggak, sih?” kata Drew mengecak pinggang.

“Aku nggak lihat ada papan pengumuman,” kata Refan cuek.

“Makanya pake matamu, Anak Jelek. Nggak bisa baca, ya? Nih!” Drew mengambil Papan dibalik pintu kamar. Disitu ada tertulis KUHP 551.

“Mana aku tahu kalau sudah dibalik pintu,” kata Refan sebal. Sekarang yang bego itu dia atau aku, sih?

“Makanya jangan berkeliaran!” kata Drew. “Kalau Harry sampai tahu kau masuk kamarnya, kau bakal dicincang!”

Refan geleng-geleng kepala dan pergi dari tempat Drew. “Orang gila.”

“Dari mana, Fan?” kata Choki saat Refan turun tangga. Refan tidak menjawab.

“Rachael mana, sih?” kata Stevani celingak-celinguk kesana kemari.

“Pulang sebentar. Dia mau ganti baju dulu, katanya,” jawab Choki, tangannya sibuk diatas remote control.

Merasa bosan, Refan memutuskan untuk keluar ruangan.

Dia melihat ada kertas yang berterbangan dari atas meja di beranda. Refan mengumpulkan kertas itu dan melihat ada banyak hal yang digaris bawahi.

Ren : “It’s not impossible to go to in.”

Alex: “Stupid! Don’t go anywhere!”

Dahi Refan mengerut. Apa ini?

“Ah!! Apa yang kau lakukan pada naskahku, Bocah Iblis!” Daniel datang sambil mengecak pinggang. “Pungut yang lainnya!”

“Tapi—”

“Aku bilang pungut! Sudah berbuat berani bertanggung jawab, dong!” bentak Daniel mengambil kertas dari tangan Refan.

Dongkol. Refan mengambil kertas yang berterbangan di lapangan. Saat dia melihat sekilas ke arah gerbang, dia melihat Rachael datang dengan kaos putih dan celana jeans biasa.

“Oh, babu Grace sudah datang,” gumam Refan.

POK!

“ADUH!” Refan memegang kepalanya. Dia melihat siapa yang berani menimpuk kepalanya.

“Sekali lagi kudengar ada kata-kata makian di rumahku, kucincang kau nanti!” Harry yang sebal, ternyata ada di belakang Refan. Tangannya masih mengepal. “Mulutmu itu sebaiknya dijaga. Mark saja yang ucapannya sadis nggak pernah separah kau!”

Daniel mengikik geli di beranda.

“Harry, harusnya lebih keras lagi,” kata Daniel. “Eh, Bocah Iblis! Mana kertasnya!” kata Daniel.

Refan hampir saja meledak. Untung saja dia masih mengingat kalau ini adalah rumah Grace. Bisa gawat kalau dia ngamuk disini. Dia menghindari bertatapan langsung dengan Harry dan membawa kertas-kertas milik Daniel dan segera minggat dari sana. Dia hanya mendengar dari kejauhan suara wanita yang memanggil Harry, “Harry! Tolong bantu Mama sebentar!”

Refan duduk di bangku taman, sebal sendiri.

Kok bisa-bisanya ada orang kayak Harry di rumah si Grace, ya? Main timpuk aja, lagi. Dia pikir nggak sakit apa? Papa aja nggak pernah main pukul.

Guk, guk

Refan menyipitkan matanya.

“Jangan ganggu aku,” katanya pada anak anjing Skotlandia yang mendekat ke arahnya. Dia melihat kalau ada kandang anjing kecil di belakang lapangan basket. Kok rasanya rumah Grace punya banyak hewan peliharaan, ya?

Refan melangkahi anjing itu dan mengambil bola basket yang tergeletak di lapangan. Main basket mungkin bisa meredakan amarahnya untuk sementara.

Dia melempar bola itu, dalam tembakan pertama, bola itu masuk. Dalam tembakan ke dua gagal, itu Karena anak anjing pelihraan Grace ada di depannya saat dia mau melompat. Untung nggak keinjak.

“Ya, ampun! Minggir! Dasar anjing!” kata Refan. Dia menutup mulutnya dan melihat kesekeliling. Untung nggak ada Harry, Refan menghembuskan napas lega. “Siapa, sih namamu? Dari tadi menggangu saja. Pasti namamu jelek.”

Anjing itu hanya menggonggong.

“Bocah !” Mark keluar dari balik dinding. “Apa itu yang kaupegang?”

“Apa? Aku cuma megang bola basket,” kata Refan.

“Kau nggak tahu itu bola basket apa?” kata Mark berhadapan dengannya.

“Memangnya bola basket pake jenis?” timpal Refan tidak peduli.

“Iya! Dan jenis yang kaupegang itu merupakan jenis langka!” kata Mark. Refan mengerutkan dahinya. “Itu bola yang dipake saat Michael Jordan masuk NBA! Sekarang kembalikan! Tanganmu itu bisa merusak kelembutan bola itu!”

“Dasar nggak waras,” gumam Refan memantulkan bola itu.

“Jangan dipantulkan!” kata Mark.

“Nih, ambil!” kata Refan melemparkan bola itu dan masuk ke keranjang dibelakang Mark. “Jaga aja, tuh sendiri.”

Mark mengecak pinggang saat Refan berlalu. Daniel, Kim, Evan keluar dari tempat persembunyian mereka.

“Dia nggak ngeliat Refan, ya?” gumam Kim. Refan si Anjing menggonggong. “Refan, anak manis, ikutin terus kembaranmu, ya?’ Kim berjongkok dan mengelus kepala Refan. “Ayo, Go! Go!”

Refan berbalik dan mengejar sosok Refan yang masuk kembali ke rumah.

“AARGH! Bocah! Berhenti kau!” Drew berteriak saat Refan memasuki rumah. Drew yang memegang kain pel mengecak pinggang.

“Apa?” kata Refan.

“Apa? Apa katamu? Lihat ini!” kata Drew menunjuk kebawah. “Lihat, tuh! Jejak sepatu jelekmu itu menjejak dimana-mana! Aku baru ngepel tahu! Sekarang, kau harus membersihkan jejak sepatu jelekmu! Nih!”

Drew memberikan kain pel ke tangan Refan dan pergi sambil mengikik.

Refan yang sebal, sejak dia memutuskan untuk melemaskan kaki, dari tadi dimarahi melulu. Dia menggosok lantai dengan asal-asalan dan meletakan kain pel itu begitu saja.

Guk… guk

Refan berbalik. Dia ternganga melihat lantai yang tadi dia pel sekarang menjejakan kaki Refan Si Anjing.

“Ya, ampun!” gerutu Refan, dia mengangkat Refan dan meletakannya ke atas meja. “Tunggu disitu. Aku bersihkan ini dulu,” kata Refan. Dia kembali mengepel bekas kaki Refan. “Ngapain, sih ngikutin aku terus?”

Refan meletakan kembali kain pelnya dan melihat kalung anjing yang melekat di leher anjing itu. Disitu tertulis: Refan.

“Namamu… Refan…?”

Guk…guk, anjing itu menggonggong.

“Siapa orang bodoh yang menamaimu namaku?” gerutu Refan mengangkat Refan menggunakan kalungnya saja. Refan sampai menyalak. Dia masuk ke dalam rumah. Kesabarannya sudah habis. Dia bahkan melewati anak-anak Osis yang terbengong melihat Refan membawa-bawa anjing.

“Fan, kasihan tuh!” kata Choki ngeri melihat cara Refan memegang anjing itu. “Anjingnya nggak bisa napas, tuh!”

“Ganti nama anjing ini sekarang juga,” kata Refan dalam bisikan berbahaya. Dia menunjukan Refan tepat ke depan hidung Grace. “Aku nggak suka.”

“Jadi manusia punya pri kemanusiaan napa?” kata Grace mengambil Refan dengan paksa. “Anjingku hampir mati, nih.”

“Ganti nama anjing itu sekarang juga,” ulang Refan. Anak-anak Osis mengalihkan pandangan dari Refan ke Grace—kayak nonton tennis meja.

“Dia nggak mau dipanggil dengan nama lain!” timpal Grace memeluk Refan.

“Memangnya harus pakai namaku, ya? Aku nggak terima disamakan dengan anjing jelek butut tidak berguna kayak dia!” kata Refan menunjuk Refan. Refan si Anijng menggigit jari Refan. “Aaargh!!”

Grace menganga, anak-anak Osis juga. Refan menarik tangannya yang berdarah.

“Itu anjing buas!” kata Refan mengambil sapu tangan dari sakunya dan membalut tangannya yang mengeluarkan darah. “Jangan dipeluk-peluk!”

“Dia buas karena kau memperlakukannya kayak barang! Refan itu kan bernyawa! Setidaknya dia berbeda dengan Refan manusia!”

Refan menyalak dua kali.

Refan, yang manusia, menggertakan gigi.

“Tanganmu kenapa?” kata Kim melihat Refan yang dari tadi mendengar keributan. “Loh? Kok tanganmu berdarah.”

“Digigit anjing,” kata Refan sebal. “Jangan sentuh!” Refan menarik tangannnya dari Kim. Tapi Kim yang tidak puas menarik tangan Refan lagi.

“Parah. Kelihatannya bisa diamputasi, nih,” gumam Kim. Refan, Grace, anak-anak Osis melotot. “Aku hanya bercanda,” kata Kim. “Nggak parah, kok. Refan sudah disuntik, jadi nggak mungkin membawa virus rabies.”

“Fan, kau bawa virus rabies?” kata Dony nggak percaya. “Aku nggak mau dekat-dekat, ah! Ntar ketularan lagi!”

“Bukan aku tapi itu!” kata Refan menunjuk Refan yang digendong Grace. “Nama anjing peliharaan Grace sama dengan namaku!”

Anak-anak Osis terbengong sejenak lalu serantak tertawa.

“Wahahahahahaha!”

“Diobati dulu, Dek,” kata Kim menarik Refan ke dapur. Kim tetap menariknya melewati Harry—yang memakai celemek, Daniel dan Mark—yang buru-buru memakai kaca mata hitamnya, Evan dan Drew—yang sibuk memegangi Merpati dan Tarandra menuju Kamar Mandi.

“Dicuci dulu,” kata Kim melepas sapu tangan Refan. Kalau sudah berurusan cedera langsung oleh binatang, Kim merupakan Dokter segala Dokter.

“Tangannya kenapa?” kata Daniel prihatin melihat tangan Refan yang dibalut kain oleh Kim.

“Digigit Refan,” jawab Kim.

“Ha? Refan menggigit Refan? Ahahaha!” Harry, Mark, Drew, Evan, Daniel tertawa ngakak.

Refan hanya memasang tampang sebal.

“Jangan sebal begitu ya.” Kata Harry mengacak rambut Refan. “Van, suruh anak-anak Osis masuk, biar pada makan.”

“Oke,” kata Evan.

Harry melepas celemeknya dan membuka tudung saji. Aroma sedap makanan tradisional ala Indonesia, masakan Harry membuat perut Refan baru saja merasakan lapar. Dari tadi sama sekali nggak terasa.

Anak-anak Osis yang lain masuk dan mengelilingi meja makan. Mereka ber-wah ria melihat masakan yang sudah tersedia di atas meja.

“Dimakan dulu, ya, Dek,” kata Harry ramah. Ajaib sekali, bagi Refan, melihatnya tersenyum. “Cuma ini yang bisa dimasak.”

“Ah, makanan Kak Harry kan selalu nomor satu,” kata Rachael duduk disamping Refan. “Kenapa tanganmu, Fan? Baru selesai main tinju dengan kembaran sendiri?”

“Diam,” kata Refan.

Yang terdengar selanjutnya hanya dentang denting garpu dan sendok. Emosi Refan juga sudah mulai reda saat memakan masakan Harry. Yah, andai saja tidak digerecoki Merpati milik Kim yang terbang di atas meja makan dan mengeluarkan kotoran tepat ke atas sendok yang hampir dimakan Refan.

“Huek!”

Refan bangkit dari tempatnya dan berlari menuju kamar mandi.

Anak-anak Richard dan anak-anak Osis plus Drew bingung sejenak.

“Kenapa?” kata Harry heran. Rasanya nggak ada yang salah dengan masakannya, lagian acara mengerjai Refan untuk sementara ditunda dulu. Kok tiba-tiba…

“Ini, Kak. Di piring Refan ada tahi burung,” kata Rachael polos.

Harry menoleh ke arah Kim yang memasang tampang bersalah.

“Jaga burungmu itu kalau ada orang makan, Kim!” kata Harry.

Refan keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Daniel geleng-geleng kepala. Evan langsung merangkul Refan yang mau masuk lagi ke kamar mandi.

“Dan, ambilin minyak angin,” kata Evan menarik Refan ke arah ruang keluarga. Drew mengikutinya, begitu juga dengan Mark.

“Duduk situ, Bocah,” kata Mark memaksa Refan duduk lagi saat Refan mau bangkit. “Percuma aja kau masuk kamar mandi. Nggak bakal ada yang dikeluarin.” Mark memegang dahi Refan. Dan mengambil minyak angin dari tangan Daniel. “Lain kali kupanggang Burung itu. Tahunya bikin susah.”

Mark dan Evan mengoleskan minyak angin ke dahi dan leher Refan.

“Dan, ambilin pudding,” kata Evan meletakan botol minyak angin.

“Kim, ambilin pudding,” kata Daniel menyuruh Kim. Harry menempeleng kepalanya. “Sakit tahu!”

“Kim lebih besar darimu,” kata Harry.

“Tapi dia paling lemot,” timpal Daniel.

Kim keluar dari dapur membawa sepiring pudding caramel.

“Aku nggak mau makan!” kata Refan saat Evan berusaha menyuapkan pudding padanya. “Nggak mau! Aku nggak suka makanan manis!”

“Ini nggak manis,” kata Harry. “Kalau perutmu dibiarkan kosong kau bisa pingsan. Apalagi kau belum makan siang.”

Refan hanya menurut saja saat Harry, Mark, Kim, Evan, Daniel dan Drew berebut menyuapi pudding bagi Refan.

***

Perumahan Kristal No. 10

Mobil Volvo hitam memasuki gerbang rumah berwarna emas yang menjulang tinggi. Mobil itu melewati taman dan air mancur serta pepohonan yang berderet rapi. Disana juga ada lapangan basket dan ada keranjang basket yang menumpuk disudut. Ada balkon dan buku-buku tebal bertumpuk dan sebuah garasi terbuka. Disitu terparkir mobil BMW biru gelap yang biasa di pakai Sang Tuan Muda pulang-pergi sekolah dan sepeda gunung.

“Selamat datang, Tuan,” kata salah seorang Pembantu tua.

“Bi, Tuan Muda sudah pulang?” kata laki-laki muda berwajah tampan. Dia memiliki rambut hitam kecoklatan dan mata hitam dengan warna biru disekeliling matanya.

“Belum Tuan,” kata Sang Pembantu takut-takut.

Dahi laki-laki itu mengerut.

“Loh, tapi mobilnya ada disana,” katanya.

“Tuan Muda pergi naik motor, Tuan,” kata Sang Pembantu.

Laki-laki itu berhenti melangkah ketika ada di depan pintu. “Apa?”

Dasar anak itu! Sudah dilarang jangan naik motor! Bukannya masih kecil! Kalau diserempet bagaimana?

Laki-laki itu mengambil ponselnya dan menghubungi nomor ZRH15021990A. saat orang diseberang mengangkat dan belum bilang “Halo” dia sudah berbicara duluan.

“Pulang!”

“Iya.” Kata orang diseberang.

Din… din…

Dia berbalik ketika suara motor kedengaran dari balik gerbang. Sang Satpam membukakan gerbang dengan tergopoh-gopoh. Motor ninja biru gelap masuk melewati gerbang dan berhenti di parkiran, tepat disamping BMW biru. Anak laki-laki SMP itu melepas helmnya.

Refan memutar matanya ketika melihat wajah sangar Papanya dikejauhan.

“Nak, sini!” kata Papa Refan dari kejauhan.

Siapkan telingamu, Refan. Dia mau mengomel, batin Refan mengambil tasnya dan setengah berlari mendatangi Papanya.

Loh, Pa, katanya telat,” kata Refan melewati Papanya dan masuk ke dalam.

“Kenapa bawa motor?” kata Papa Refan seakan tidak mendengar perkataan Refan. “Bukankah Papa udah bilang nggak boleh naik motor?” katanya memberikan kopernya pada sang Pembantu.

“Bosan naik mobil,” gumam Refan duduk di sofa. Dia melepas sepatunya. “Bibi! Jangan lupa dibersihin!”

“Baik, Tuan!” kata Pembantu itu.

“Kalau kamu bosan naik mobil, Papa bisa beliin kamu helicopter!” katanya mondar-mandir di depan Refan.

Refan mencibir.

“Apa kamu bilang?”

“Helikopternya mau diparkir dimana?” kata Refan tidak peduli membuka tasnya dan mengeluarkan buku yang dipinjami Harry sebagai permintaan maaf atas tingkah Merpati yang tidak bisa dijaga.

“Papa bisa bangun tempatnya,” kata Papa Refan tidak mau kalah.

“Ya ampun, itu sekolah, Pa, bukan tempat landasan,” kata Refan tidak peduli, kali ini dia mengeluarkan kotak makanan oleh-oleh dari Harry sebagai permintaan maaf karena melukai tangannya.

“Nanti Papa bicara sama Menteri Pendidikan—un”

“Terserahlah,” kata Refan membalik kertasnya sambil memakan coklat.

“Kenapa tanganmu?”

Refan melihat tangannya yang diperban dan buru-buru menyembunyikannya.

“Ulurkan tanganmu! Papa lihat tanganmu diperban!” kata Papa Refan. Tapi karena Refan tidak juga menunjukan tangannya, dia menarik keluar tangan Refan. “Kenapa bisa diperban begini?”

“Tadi jatuh,” kata Refan menatap bukunya.

“Kalau bicara tatap mata Papa!” kata Papa Refan.

“Digigit anjing, Pa,” kata Refan saat menatap mata Papanya.

“Bagaimana bisa?” katanya. “Kita ke dokter, bisa bahaya kalau digigit anjing. Nanti kamu bisa rabiesan terus kamu bisa gila, ayan, atau yang paling buruk bisa mati.”

“Ya ampun, Pa,” gumam Refan menarik kembali tangannya. “Tadi udah diobatin kok. Katanya nggak apa-apa. Cuma tergores sedikit.”

“Papa tidak puas kalau tidak dibawa ke dokter. Sekalian Papa ingin menuntut anjing yang membuatmu begini,” katanya menarik Refan.

Refan menghela napas.

“Pa, plis, dong. Aku nggak apa-apa. Kalau dibawa ke dokter, tanganku bisa diamputasi. Papa mau aku nggak punya tangan lagi?”

Papa Refan kelihatan berpikir.

“Itu lebih baik daripada—eh, Papa belum selesai!”

Refan, yang geleng-geleng kepala, menyeret tasnya dan naik ke kamarnya.

Refan membanting pintu sebagai jawaban tidak mau ikut ke rumah sakit. Dia melempar buku yang tadi dia baca, meletakkan tasnya dan memakan coklatnya. Dia duduk di meja belajarnya dan mengambil laptopnya dan melihat inbox masuk.

From : PunkBoy@3L.net

To : Perfecisonist@3L.net

Hey, Bro What’s up!

I really miss u here! Don’t forget to visit me! Oh, yeah I have a news… I have met a smart boy. He is so smart and hondsome, but I forget his name. I will send u his name if I remember, Ok?

By the way, do u have any girlfriend there? I have three here.

“Gila, ” gumam Refan. Dia membalas seadanya dan menutup laptopnya.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.