RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 11 Februari 2009

Love Love Love Eps 4

Love for you Love for my family Love for my friend



written by : Glorious Angel
helped by : Prince Novel

4.

Pemeran di Pentas Seni

“Refan! Makan!” teriak Kim dari bawah.

Grace yang sedang memakai bando segera mengerutkan dahinya. Dia heran sendiri. Refan? Refan siapa? Perasaan anak itu nggak tahu tempat tinggalku, deh, batin Grace. Grace segera turun dari kamarnya.

“Siapa tadi, Bang?” tanyanya pada Kim yang memasukkan makanan ke mangkuk anjing. “Kok makanan Refan disitu?”

“Loh? Refan kan anjing, Dek. Masa' makan pake piring?” kata Kim heran.

Hee? Grace bengong. Refan si anjing masuk sambil menggonggong.

“Nah, Grace. Ini yang namanya Refan,” kata Kim memperkenalkan Refan.

Mampus aku!

“Papa,” kali ini terdengar suara Evan yang masuk ke dapur bersama dengan Goen. Evan kelihatan merengek dan mengikuti Geon terus. Harry masuk sambil merapikan dasinya. Evan juga masuk dengan ponsel ditelinga. Sementara Daniel mendengarkan musik dan tangan yang satunya sibuk main game. “Papa kok nggak bilang Evan kalo Papa memblokir semua kartu kredit Evan, sih? Memangnya salah Evan apaan, Pa?”

“Altrax tidak memberitahu kamu apa kesalahan kamu?” kata Geon tidak percaya.

Evan menggeleng perlahan.

“Papa memblokir kartu kredit kamu karena kamu berani memfitnah Papa selingkuh! Sampai dua bulan depan tidak ada uang jajan!” kata Geon tegas. Dia membuka koran paginya.

“Kak Kim...” rengek Evan. “Tolongin, Adikmu ini dong!”

“Mulai deh rayuan gombal Evan,” kata Daniel memasang tampang mau muntah.

“Ayah...” Kim mulai bicara dengan wajah polosnya. “Kasihan Evan, Ayah.”

“Tidak, Kim. Jangan bujuk Papa. Plis!” kata Geon yang mulai gelisah. Dia sama sekali tidak pernah tahan melihat tampang memelas Kim.

“Evan pasti cuma bercanda, Yah,” kata Kim lagi memijat bahu Geon. “Kasihan kan Ayah. Dia nanti harus pergi-pulang ke Bandung. Kalau nggak ada uang jajan, gimana dia bisa makan. Nanti Evan malah mati kelaparan lagi.”

Harry dan Mark tertawa saat mendengar “mati kelaparan”, memangnya Evan pernah merasa kelaparan? Dia itu kan boros banget.

“Yah... baiklah,” kata Geon menyerah. “Papa akan mengembalikan semua kartu kredit Evan seperti sedia kala.”

“Terimakasih, Ayah.” kata Kim.

“Yei! Makasih ya Kim!” kata Evan.

“Kalau ada maunya aja manggil 'Kakak',” komentar Mark.

Ting Tong

“Kok ada tamu pagi-pagi begini ya?” kata Tarandra. “Grace Sayang, buka dulu sana.”

“Aku aja, deh,” kata Geon bangkit berdiri.

“Dan, kau nggak shooting?” kata Harry pada Daniel yang sibuk makan. “Nanti gemuk loh kalo makan sebanyak itu.”

“Bawel. Aku kan dalam masa pertumbuhan,” kata Daniel tidak peduli.

Geon membuka pintu dan melihat pemuda asing berwajah bule ada di depan pintu rumahnya. Ada sekitar empat anting di telinga kirinya. Rambutnya pirang diwarnai merah. Alisnya tebal.d ia juga membawa-bawa koper dan tas besar.

“Selamat pagi, Oom,” kata Pemuda itu dengan logat yang aneh.

“Pagi. Eh, siapa ya?” kata Geon agak tidak suka melihat penampilannya. Rambut dicat, pake anting lagi. Jangan-jangan berandal.

“Saya Drew, Oom. Drew Shouthernheart,” kata Drew sopan. “Daddy bilang kalau aku—eh, saya harus kesini. Katanya untuk belajar.”

“Shouthernheart?” ulang Geon dengan dahi mengerut. “Maksudmu, kau anak dari Hendry Shouthernheart, Businessman dari Kanada itu?”

“Benar, Oom.” kata Drew.

“Buat apa dia mengirimmu kesini?” kata Geon heran.

“Loh? Daddy bilang kalau saya harus belajar dari Oom. Daddy bilang kalau saya boleh tinggal di rumah Oom untuk jadi good-boy bagi Daddy.”

Dahi Geon makin mengerut. Apa?

***

“Apa maksudmu mengirim anakmu ke tempatku?” Geon menggerutu, hampir saja berteriak, di telepon. Setelah mempersilakan Drew masuk, dia segera ke kantornya dan menelepon salah satu teman sejawatnya.

Hendry Shouthernheart malah tertawa saja di seberang telepon.

“Heh, jangan tertawa!”

“Jadi Drew sudah sampai, ya?” katanya. “Maaf, Geon. Bukannya aku tidak mau memberitahumu, tapi aku tidak punya waktu.”

“Bilang saja kalau kau sengaja! Jika dia disini, dia pasti tidak bisa kuusir pulang!”

“Aduh, Geon. Jangan sadis begitu,” kata Hendry. “Anakku itu begitu bersemangatnya untuk menemuimu. Soalnya dia agak mirip dengan Evan. Kurasa dia pasti mudah akrab dengan yang lain.”

“Masalahnya, satu Evan saja sudah membuatku hampir gila. Apalagi dua!” timpal Geon. “Kalau dia macam-macam disini, aku akan mengirimnya pulang dengan paket ekspres!”

Hendry hanya tertawa saat Geon menutup telepon.

Geon mengambil napas dalam-dalam. Mencoba menenangkan diri. Dia keluar dari kantornya dan mendapati Drew sudah duduk di samping Tarandra dan Harry.

“Drew, ayo ke kantor,” kata Geon.

“Dia baru sampai, Yah,” kata Kim. “Biarkan dia istirahat dulu. Kasihan dia lelah.”

“Ah, tidak apa-apa, Pretty Boy. Aku kuat kok, lagipula aku pengen kerja, nih. Mau lihat kantor Oom Geon.” kata Drew asal aja.

“Drew,” kata Harry menepuk bahunya. “Jangan sekali-kali memanggil Kim dengan sebutan 'Pretty Boy' atau kau bakal ditindas disini.” tambahnya sambil tersenyum mengerikan. “Dan jika kau coba-coba menyentuhnya, akan kupastikan mayatmu akan dicincang. Kim itu laki-laki tulen dan bukan homo walaupun dia kayak perempuan. Kau mengerti?”

“I, iya,” kata Drew ketakutan. “Baiklah. Rileks, ok? Aku juga tidak berminat sama anak laki-laki. Lagian, isi di rumah ini rasanya laki-laki semua.”

“Kau mau kucincang?” kata Harry lagi.

“Oom, Putra Anda seram sekali,” kata Drew.

“Sudah. Jangan bertengkar.” kata Geon. “Ayo semua, kita ke kantor.”

***

Grace masuk ke perpustakaan untuk mencari topik kerja kelompok. PR yang tadi baru diberikan Guru Kewarganegaraan. Dia melihat ada buku yang dbituhkannya diatas rak. Dia mencoba mengambilnya namun tidak terjangkau. Tiba-tiba ada tangan yang mengambilnya.

“Nih,” kata Refan. Dia memberikan buku itu pada Grace.

“Eh, makasih,” kata Grace.

“Nggak masalah. Kamu kan pendek,” kata Refan

“Dasar judes!” gumam Grace sebal. “Nggak bisa ngomong lebih baik apa?”

“Jangan berisik di perpustakaan,” kata Refan lagi.

UUUGH!!!

“Kepada seluruh pengurus Osis, harap segera datang ke ruang Osis,” suara Choki terdengar diseluruh penjuru sekolah melalui radio panggil sekolah.

“Dasar Ketua Osis berisik,” gumam Refan.

“Kau sendiri mencela melulu,” gumam Grace. Dia berjalan keluar perpustakaan. Refan mengikutinya. “Ngapain ngikutin aku?”

“Loh? Aku kan pengurus Osis. Lagian, jalan ini yang menuju ke ruang Osis.” kata Refan melewati Grace begitu saja. Grace mensejajarkan langkahnya dan mengikuti Refan tanpa bicara apa-apa.

“Kok nggak ngomong?” kata Refan lagi. “Biasanya kau berisik seperti burung.”

“Yang burung itu sekarang kau kan?” timpal Grace. Dia memalingkan wajahnya dan masuk ke ruang Osis. Anak-anak Osis sudah ngumpul. Ada Rachael juga.

“Ngapain dia disini?” kata Refan agak heran melihat Rachael. “Sebaiknya yang bukan anggota Osis segera keluar dari ruangan.”

“Kita butuh dia sebagai pembantu urusan Grace,” kata Choki.

“Oh, dia jadi babu sekarang?” kata Refan. Grace menginjak kakinya. “Aduh! Dasar cewek kasar! Punya mata dipake dong, itu kakiku!”

Grace menjulurkan lidahnya dan duduk disamping Rachael.

“Duduk,” perintah Choki. “kita mulai rapat.”

Refan duduk disamping Grace, menghindari Pecinrai—yang merupakan anggota Osis juga. Dia bersandar dan membuka bukunya. Membaca.

“Ini ruang rapat bukan perpustakaan,” bisik Grace.

“Aku tidak peduli.”

“Semuanya,” Choki mengambil alih kekuasaan. “kita akan melakukan Pensi dua bulan lagi. Kata Bu Lyla, guru bahasa Indonesia kita, sekolah kita akan melakukan drama. Nah, kali ini judulnya Putih Salju.” kata Choki. “Kita akan mengambil pemerannya dari semua anak. Kecuali Pangerannya, Refan.”

“Apa?” kata Refan mengadahkan kepalanya. “kau saja.”

“Kau harus ikut berpartisipasi dan itu diluar tanggung jawabku. Bu Sora sudah meminta secara khusus tahu,” kata Choki.

“Tapi—”

“Keberatan ditolak. Tidak ada bantahan.” kata Choki. “Nah, kita harus mengambil dana dari mana? Grace akan dibantu oleh Rachael soal urusan mengumpulkan siswa yang mau berpartisipasi. lalu—”

Sura ringtone hape terdengar saat Choki bicara. Ternyata hapenya Refan.

“Bisa dimatikan tidak? Kita sedang rapat,” kata Choki.

“Halo, Pa?” kata Refan mengangkat telepon dan tidak memedulikan Choki. “Masih di sekolah. Ada rapat. Iya, nanti aku datang.”

“Kita lanjutkan,” kata Choki seakan Refan tidak mengganggu. “Soal acara akan diatur seksi Pecinrai. Oke? Nah, yang lain akan mengatur perlengkapan dan pentas. Jangan lupa musik dan hal-hal yang berhubungan dengan itu ya? Ada pertanyaan?”

Tidak ada yang menjawab.

“Oke, semua melakukan kegiatan masing-masing,” kata Choki. “Grace dan Rachael, umumin ke seluruh sekolah agar ngumpul di aula ya?”

“Tenang saja. Grace aman ditanganku kok,” kata Rachael. “yuk, Grace.”

Grace, Rachael dan Refan bangkit.

“Mau kemana, Fan?” kata Dony.

“Mau ngembaliin buku.” jawabnya datar.

Grace berjalan beriringan dengan Rachael sementara Refan mengikuti dari belakang.

“Grace nanti pulangnya sendirian? Mau kuantar?” kata Rachael ramah.

“Nggak usah, deh. Kita kan berlawanan arah,” kata Grace.

“Bentar lagi jadi searah kok,” kata Rachael tersenyum ramah. “Omong-omong,” Rachael berbalik, “Jalan ke perpustakaan nggak dari sini loh, Refan. Tapi disana.” kata Rachael menunjuk ke belakang.

“Aku mau ke toilet dulu.” katanya datar. “Salah kalau aku lewat sini?”

“Nggak sih,” kata Rachael. “Aku pikir kau cemburu.”

“Sori. Cewek kayak dia, aku tidak berminat. Dia beringasan.” kata Refan melewati mereka. Grace melempar kertas yang tadi dia pegang. “Aduh! Apaan, sih?”

“Cowok nggak mutu!” gerutu Grace melewati Refan. Huh! Dasar nyebelin!

***

“Selamat siang, Anak-anak,” kata Bu Lyla berdiri di depan aula. Dia diapit Choki dan Refan, yang dipaksa untuk naik diatas panggung.

Geng Pecinrai-lah yang menjawab paling keras.

“Nah, kita akan melakukan drama Putih Salju. Disini sudah ada Pangerannya,” kata Bu Lyla menunjuk Refan dengan semangat.

Refan, sementara itu, cuma memasang tampang datar.

“Ibu sudah mengambil secara acak siapa yang bakal menjadi pemeran-pemerannya. Ehm, dan itu sudah diacak. Saksinya adalah Refan dan Choki.” kata Bu Lyla mengambil catatannya. “Nah, ini dia. Evol menjadi Ratu.”

Murid-murid bertepuk tangan.

“Lalu yang jadi tujuh kurcaci adalah: Rachael, Rati, Rita, Yani, Ananda, Stevani, dan Choki. Selamat, ya?”

Murid-murid bertepuk tangan lagi.

“Nah yang jadi Putri adalah Ester dari kelas IX-3.”

“BU!” terdengar suara dari ujung. “Esternya di rumah sakit, tuh! Baru kecelakaan! Belum sadar!!”

Murid-murid heboh. Sayang banget membuang kesempatan bareng Refan.

“Yah baiklah. Choki, ambil kertas lain,” perintah Bu Lyla. Choki nurut. “Refan Sayang, ambil satu kertas yang bakal jadi pendampingmu di drama nanti.” katanya menyuruh Refan mengambil salah satu kertas dari sekian banyak kertas di dalam botol kaca.

Refan mengambil satu dan memberikannya pada Bu Lyla.

“Baiklah. Disini tertulis Gracelia Natalie,” kata Bu Lyla membaca kertas yang diberi Refan.

Ha?

“Siapa yang namanya Grace?” kata Bu Lyla.

Grace, yang bengong tidak percaya, mengangkat tangannya dengan perlahan.

Oh, jadi namanya Grace, batin Refan.

“TIDAAAAK!” teriak Evol. Dia histeris, begitu juga dengan Pecinrai. “Saya tidak setuju, Bu! Masa' upik abu kayak dia jadi Snow White? Nggak cocok!”

“Mending gue!” kata Ananda.

“Hey, sudah! Tadi sudah jelas kalau Refan-lah yang memilih pendampingnya sendiri,” kata Lyla. “Tadi itu kan diambil secara acak.”

Grace mengangkat tangan. “Bu, kalau mereka semua tidak setuju. Saya digantikan saja dengan Evol. Saya tidak keberatan kok.”

Evol mengibaskan rambutnya. “Bagus kalo kamu nyadar.”

“Bu, saya tidak mau jadi Pangeran kalau bukan Grace yang jadi Putih Saljunya!” kata Refan tegas. “Kalau Grace tukar peran, lebih baik Choki saja jadi Pangerannya.”

“Apaan, sih? Kok aku dibawa-bawa?” kata Choki sebal. “Aku selalu menggantikanmu!”

“Maumu apa, sih?” kata Grace pada Refan. “Evol kan lebih cantik dari aku! Setidaknya lebih baik untuk jadi pendampingmu.”

“Masalahnya,” kata Refan, “Aku tidak suka dekat-dekat cewek centil kayak dia!”

“Centil? Jahat, ih!” gerutu Evol.

“Refan, diakan cocok denganmu!” kata Grace masih bersikeras.

“Aku maunya cuman samamu saja! Aku nggak mau yang lain! Titik!”

Aula hening beberapa saat. Grace bengong. Dan saat Evol berbicara, “Refan kok bersikeras kayak gitu, sih?” barulah suasana heboh.

“Wah! Refan naksir Grace!”

“Suit... suit... jadi panas, nih!”

“Cie... Grace, kemek-kemek ya?”

“Bilang kalo Refan udah nembak ya? Eksklusif loh!”

“Maumu apa, sih?” kata Grace mengatasi suara gemuruh aula. “Bukannya kamu nggak suka sama cewek beringasan dan kasar kayak aku?”

“Justru karena itu aku ja—” Refan menutup mulutnya. Dia melihat keatas, kekiri ke kanan. “Kamu kan cewek beringasan yang bisa diandalin kalo ada cewek mendekat untuk dijadiin tameng.”

“DASAR KURANG AJAR!!!”

***

Huh! Cowok nyebelin! Nggak punya hati! Nggak dididik! Setan alas! Manusia Iblis! Terkutuk kau!

Grace memaki dalam hati sambil memasukan buku-bukunya ke dalam tas.

Kau pasti kubalas! Lihat saja! Menyebalkan! Dasar ular!

“Grace, kau baik-baik saja?” kata Rachael agak takut. “Sejak meninggalkan aula wajahmu seram sekali.”

“Aku nggak apa-apa!” katanya menggandeng ranselnya. Dia keluar dan menabrak Refan yang baru saja lewat.

“Cieee,” kata anak-anak lain yang melihat. “Panas... panas...”

“Minggir jelek,” kata Grace. “Kau buat semak tahu!”

Dahi Refan mengerut. Bahaya, nih.

“Apa? Kau mau bilang apa?” tantang Grace.

“Yang jelek itu kau tahu,” kata Refan dan dia langsung ngacir.

Uuuuuuuuuuuhg!!!!!!!!!!!!!!!!

Grace menggigit bibir bawahnya dan berjalan melewati koridor. Dia keluar melewati lapangan basket. Dimana Refan sudah ngumpul dengan anak-anak basket.

Honey!

Grace berhenti melangkah ketika melihat cowok memakai kaca mata hitam dan topi bowler bersandar di mobil BMW merah. Itu Mark. Mark segera kearahnya.

“Abang ngapain kesini?” kata Grace heran. Dia melihat ke kiri dan ke kanan. Panampilan Mark sungguh menarik perhatian. Bahkan Refan. “Nggak takut dikenali?”

“Nggak. Aku kan mau ngajak kamu pulang, Cinta,” kata Mark.

“Eit, nanti dulu. Aku yang akan mengantar Grace,” kata Evan menarik Grace.

“Siapa bilang? Aku yang akan mengantar dia,” kata Daniel merangkul Grace.

“Enak aja,” kata Kim. “Lebih baik sama aku, dong.”

“Jangan sembarangan,” kata Harry. “Grace akan pulang bareng aku.”

Grace bengong melihat ke lima abang-abangnya ngumpul secara tiba-tiba dan menarik perhatian yang tidak perlu.

“Mau apa kalian semua berkumpul disini?” kata Grace cemas.

“Mau jemput kamu, dong, Cinta!” kata mereka bersamaan.

“Jangan seenaknya, Grace itu cuma satu doang,” kata Harry. “Aku...”

“So pasti aku yang mengantarnya,” kata Evan pede.

Impossible. Grace mana mau jalan sama orang macam kau,” kata Mark.

“Mending sama aku, deh,” kata Daniel bangga.

“Sama abang saja ya Grace,” kata Kim tersenyum.

“Kim, jangan asal main serobot!” kata Evan kesal.

“Ng...,” Grace tak tahu harus bilang apa. Soalnya kalau menyangkut tentangnya. Abang-abangnya tak pernah mau mengalah. Baik itu Kim.

“Yuk, kuantar pulang.”

“Eh?”

Grace bengong saat Refan menarik tangannya dan menerobos kerumunan abang-abang Grace. “Rumah kita searah, jadi aku bisa mengantarmu.”

“Tunggu! Hei! Siapa kau?” kata Evan kesal. Refan tidak peduli. Dia tetap menarik Grace. “Yah... dia dibawa pergi...”

“Dari mana kau tahu kalau rumah kita searah?” kata Grace heran.

“Bukan urusanmu,” kata Refan masih menariknya.

“Heh! Lepaskan tanganmu! Aku bukan sapi yang bisa kau tarik-tarik!”

“Aku tidak bilang kau sapi, kau yang bilang.”

“Lepasin!”

Refan melepas pegangannya sehingga Grace jatuh kebelakang.

“Wah,” kata Refan. “kau ini ceroboh sekali.” dia membantu Grace berdiri. “tidak luka kan? Ada yang sakit? Perlu dibawa ke rumah sakit nggak?”

“Aku cuma jatuh ke jalan, bukan jatuh ke jurang,” kata Grace melihat Refan dan bengong sendiri melihat wajah Refan dari dekat.

“Apa?” kata Refan.

“Ng—nggak,” kata Grace gugup. Dia baru sadar kalau ada warna biru di sekeliling mata hitamnya. “Makasih.”

“Yuk jalan lagi,” kata Refan menarik tangan Grace lagi.

“Eh, tung—”

“Apa lagi?” kata Refan. Grace diam, bingung harus bilang apa. “oh, iya, kita belum kenalan.”

“Ha?” kata Grace bengong.

“Aku Refan.” kata Refan mengulurkan tangannya.

“Grace.” kata Grace.

Kalau dipikir-pikir kami emang belum pernah kenalan ya?

“Ayo jalan. Aku ada urusan sebentar lagi,” kata Refan, lagi-lagi, menarik tangan Grace.

Grace melihat tangannya yang ditarik Refan. Lalu ke punggung Refan. Bingung sendiri. Aku ini ngapain sih? Kok mau-maunya ditarik sama dia?

“Tunggu, woi!” kata Grace. “Jalanmu cepat sekali!” katanya kesulitan mengikuti Refan.

“Kau harus banyak minum susu biar tinggi,” kata Refan lagi.

“Maksudmu apa, sih?” gerutu Grace sebal. “Jangan menarikku! Aku bisa jalan sendiri!” kata Grace lagi. “Dengar tidak sih?”

“Nanti kau jatuh lagi,” kata Refan.

Din din, sebuah mobil berjalan perlahan disamping mereka. Seorang laki-laki tua memunculkan wajahnya dari jendela mobil.

“Tuan Muda, Refan, tidak naik mobil?” katanya.

“Aku ngantar dia dulu,” kata Refan datar.

“Tapi Tuan Muda, Tuan Besar butuh Anda sekarang. Tuan Muda harus ikut rapat perusahaan kan?”

“Bilang pada Papa kalau aku bakal telat. Ada yang lebih penting dari rapat.” kata Refan.

“Tuan Muda, Cah Ayu itu pacar Tuan Muda, ya? Cantik loh.”

“Siapa? Dia? Dia sih bukan Cah Ayu, tapi Cah Garang,” komentar Refan.

Plak!

“Aduh,” Refan menarik tangannya yang baru saja dipukul Grace. “Cewek kasar!”

“Manusia batu! Mulut ular! Manusia Topeng! Bocah Iblis! Tidak berperikemanusiaan! Dasar sadis! Huh!”

Grace berjalan melewatinya dengan tidak peduli. Refan bengong sejenak.

“Tuan Muda,” kata sopir. “Kisah cinta Anda mirip sama kisah Tuan Besar dulu loh. Tuan Besar juga dulu dibenci Almarhum Nyonya.”

“Cerewet.” kata Refan. “Oi, cewek! Tunggu!”

“Kau nggak bisa manggil namaku apa?” kata Grace sebal.

“Kau mau kupanggil 'rumput'?”

“Kau mau kupanggil dewa?”

“Ha?” dahi Refan mengerut.

“Refan-kan salah satu nama Dewa yang dibenci Tuhan.”

“Ap—apaan, sih!” kata Refan. Wajahnya yang pucat merah padam. “Setidaknya namaku lebih bagus darimu!”

“Geer banget!”

“Harusnya kamu berterima kasih karena bisa main drama samaku.”

“Aku nggak sudi tahu! Lagian siapa tadi yang maksa supaya aku yang main? Kamu kan? Apa salahnya sih main sama Evol?”

“Siapa itu Evol? Sudahlah. Nggak penting. Aku mau main sama kamu soalnya aku su—” Refan menutup mulutnya lagi.

“'Su' apa? Tadi 'Ja' sekarang 'su'! Apa, sih? Ngomong yang jelas! Memangnya berapa kilo sih kalo bicara?”

“Su—paya kamu nggak udik lagi, makanya kamu kupaksa ikut,” kata Refan melihat ke kanan. “Ja—jadi aku mau cuman kamu saja. Lagian, aku nggak su—sudi juga main bareng kamu. Kamu ja—jangan salah sangka gitu, dong.”

Grace bengong. Heran. Takjub.

“Pantas saja kau dapat nilai Bahasa Indonesia yang tinggi. Jago ngarang ternyata.”

“Apa maksudmu?” kata Refan tersinggung. “Dengar ya, aku sendiri nggak minat buat ikutan tapi Lyla menyuruhku.”

“Bu Lyla.”

“Apalah.”

“Jadi gara-gara itu. Kamu takut nilai bahasa Indonesia-mu hancur?”

“Bukan. Aku nggak bisa kalau dipaksa.”

“Oooo,” kata Grace baru tahu. “Jadi kamu harus dipaksa ya?”

Refan menutup mulutnya lagi. Sial!

“Aku punya refrensi bagus, nih. Aku bisa nyuruh Pecinrai untuk memaksamu membeberkan rahasiamu, dong.”

“Dasar Pengadu,” kata Refan. “Baru kali ini aku ketemu cewek keras kayak kamu.”

“Loh, selama ini kemana aja?” kata Grace. “Bukan aku aja yang cewek keras. Pecinrai juga 'iya'.”

“Siapa itu Pecinrai? Dari tadi kamu ngomong nggak jelas. Aku tidak kenal siapa yang kau katakan.”

Ini orang benar-benar di sekolah nggak, sih? Pecinrai yang selalu nempel aja dia nggak kenal. Apalagi yang nggak dekat.

Grace geleng-geleng kepala. “aku udah mau nyampe nih. Pergi sana.”

“Cowok sejati harus mengantar sampai rumah.”

“Cowok sejati?” ulang Grace heran. “kau itu kan bocah!”

“Ayo, jalan!” Refan menarik tangan Grace lagi. Grace menarik tangannya lagi.

“Aku bisa jalan sendiri! Tanganku sakit dipegang-pegang!”

“Nggak mungkin. Tanganku halus!”

Nih, cowok... pede banget, sih?

“Heh, kita buat perjanjian aja. Jika kamu berani menyentuhku saat drama nanti. Kamu harus dihukum.” kata Grace mengecak pinggang.

“Apa untungnya buatku? Aku kan sama sekali tidak rugi atau untung!” kata Refan.

“Pokoknya, jika kamu berani menciumku, kau harus dihukum!”

“Tapi kan—”

“Titik! Tidak ada bantahan!” kata Grace berjalan lebih dahulu.

Refan mengerutkan dahinya. Yah... sudahlah...

***

Grace memeluk Refan dengan perasaan galau. Tubuh Refan yang hangat berhasil mengusir dinginnya malam.

“Dek, nggak makan?” Kim muncul dari balik pintu. “Ngapain, sih meluk Refan terus? Nanti Refannya manja loh.”

Guk, guk, Refan menggonggong.

“Dia selalu menyahut kalau dipanggil Refan, ya?” komentar Kim. Refan menggonggong lagi. “Ada masalah, Dek?”

“Kenapa, sih Bang, Grace nggak boleh mudah jatuh cinta sama cowok keren?” kata Grace. Kim bengong. “Habis... Kak Harry bilang kayak gitu.”

Kim hanya tersenyum lalu merangkul Grace. “Mungkin karena kebanyakan cowok keren itu cuman tahu menyakiti hati cewek aja.”

“Berarti Bang Kim sering banget nyakitin cewek, ya?” kata Grace.

“Nggak. Aku kan dari dulu cuman cinta sama pacarku saja,” kata Kim mengelus rambut Grace. Grace mengerutkan dahinya.

“Bang Kim punya pacar? Siapa?”

“Namanya Lo—eh, nggak penting!” kata Kim, wajahnya merah padam. “Abang masuk dulu, ya, dingin, nih. Jangan lupa makan malam.”

Grace hanya tersenyum-senyum saja melihat Kim yang salah tingkah seperti itu. Ternyata Bang Kim sudah punya pacar, toh. Lo... kayak nama cowok, deh. Tapi, mustahil ah kalau Bang Kim pacaran sama cowok.

Grace mempererat pelukannya pada Refan. “Kita masuk yuk, Fan.”

Grace menggendong Refan dan membawanya masuk ke dalam. Saat dia memasuki ruang depan, dia melihat ada yang beda disitu. Ada Rachael.

“Ini dari Mummy, Kak,” kata Rachael memberikan sebuah kotak kado pada Harry. “Katanya sebagai tetangga baru harus ada oleh-oleh, gitu.”

“Oooh, makasih, ya.” kata Harry ramah. “Siapa namamu?”

“Rachael? Ngapain kau ada disini?” kata Grace heran. “Apa itu?”

“Puding.” jawab Rachael.

“Loh? Grace kenal sama tetangga baru kita ini, ya?” kata Evan heran.

“Kami satu kelas, Kak,” kata Rachael ramah. Grace heran. Tetangga baru?

“Grace, rumahku ada di depan rumahmu, tuh. Mulai hari ini kita tetanggan.” katanya.

Pantas saja tadi dia bilang akan searah!!

“Kau tinggal sendirian di rumah itu?” kata Daniel membuka isi kotak dan puas sekali. Dia jadi lapar.

“Iya. Mummy ada di Paris dan Papi ada di Mesir. Jadi aku cuma tinggal sendirian.”

Ha? Kasihan banget hidupnya.

“Kalau ada apa-apa datang aja kesini ya?” kata Kim ramah. Rachael hanya mengangguk.

Dan esok harinya, Rachael mampir ke rumah Grace.

“Grace!! Ayo berangkat!”

Abang-abangnya hanya mengangkat bahu saat Grace keluar rumah.

“Kayaknya tetangga baru kita itu menyukai Grace,” kata Mark.

“Kelihatannya begitu.” kata Kim lagi.

“Mungkin Grace bisa jatuh cinta sama dia.” kata Evan lagi.

“Mustahil. Grace sudah punya orang yang dia sukai,” kata Harry memakan rotinya.

“Eh? Siapa?” kata Daniel.

“Refan.”


***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.