RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Kamis, 12 Februari 2009

Charlie Eps 1


written by: Prince Novel


CHARLIE

Hidup bukan sesuatu hal yang mudah diraih begitu saja...

Kadang hidup bukanlah sesuatu hal yang dapat diperoleh dengan mudah...

Hidup juga bukan merupakan permainan takdir, karena kau sendiri yang menjalani hidup itu...

Dan saat kau merasa bahwa hidup sudah tidak berarti, maka pada saat itulah...

hidup akan meninggalkanmu...

Pernahkah kamu berkata pada dirimu sendiri...

Bahwa aku hidup dan ingin lebih lagi?

Kecuali pengharapan, aku tidak memiliki apa-apa lagi...

Prince Novel

1.

Charlie

Hay, aku Charlie! Aku anak biasa-biasa saja. Yah... tidak bisa dibilang begitu juga, sih. Aku ini anak teladan di sekolah. Selalu nomor satu. Aku jago olahraga spesialisasi bela diri—tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal ini. Aku juga anak yang mudah bergaul, temanku sangat banyak. Namun, aku punya satu kekurangan yang amat fatal. Aku sama sekali tidak bisa bersikap seperti anak perempuan.

“Charlie! Turun dari sana!”

Papaku tersayang, namanya Bram berteriak dari bawah. Aku ada di atas genteng, memperbaiki antena sekalian seng yang bolong. Aku melongok ke bawah dan meilaht Papaku ada disana.

“Turun! Biar aku saja yang memperbaikinya!” teriaknya lagi.

“Aku sudah selesai kok!” aku balas berteriak. Aku menepuk-nepuk tanganku yang berdebu dan menghapus keringat dari dahiku.

“Biar aku ambilkan tangga ya?” kata Papa lagi.

“Nggak usah! Naggung!” jawabku. Aku turun dengan hati-hati menginjakan kakiku diantara tembok-tembok beton yang licin. Aku melompat saat mendekati tanah. Kulihat Papa menghela napas lega saat aku sudah sampai ke tanah dengan selamat.

“Ya ampun, Nak. Lain kali jangan naik ke atas genteng,” kata Papaku mengacak rambut coklatku. “Cepat makan. Papa sudah bikin makan malam kesukaanmu.”

“Oke.”

Sejak Mama meninggal empat tahun lalu, aku tinggal dengan Papa. Hehe, Papaku tersayang cukup ditaksir banyak cewek-cewek, loh. Hanya saja Papa nggak mau mencari Mama baru untukku. Well, mungkin itulah yang membuat aku makin sayang padanya.

“Wuih! Kelihatannya enak!” kataku takjub melihat masakan Papa yang dihiasi dengan sangat cantik dan rasa yang kelihatan juga sangat enak.

“Yah... makanlah. Untuk Putri-ku apa, sih yang tidak?” kata Papa lagi-lagi mengacak rambutku. “Papa hari ini akan lembur. Jaga rumah, ya? Jangan telat bangun.”

“Oke.”

Papaku bekerja sebagai Editor Film. Dia cukup ahli mengotak-atik tali-tali film. Dia juga sering lembur. Aku juga dilarang kalau ke kantornya. Katanya takut mengganggu aku yang belajar. Kadang-kadang dia malah membawakan buku dari sana. Aku, sih senang-senang saja. Soalnya aku suka membaca. Tapi aku sering berpikir, kalau Papa bekerja di perfilman, berarti Papa juga cukup dikenal artis, dong.

Biarpun begitu, sepertinya tidak ada satupun mengenai pekerjaan yang keluar dari mulutnya kalau dia berduaan denganku. Katanya, pekerjaan dan keluarga amat berbeda. Tuh, kan... aku semakin menyayanginya.

“Mama, hari ini Papa mengurusku dengan sangat baik,” kataku mengecup foto Mama sebelum aku tidur. Kebiasaan jelek sejak Mama meninggal adalah aku selalu tidur dengan televisi menyala, apalagi kalau tidak ada Papa. Aku lebih suka kalau ramai. Apalagi semua tugas dan PR juga udah selesai. Saatnya tidur.

RRRRRR, suara dering telepon yang ada disudut ruangan. Aku membiarkannya sejenak. Tapi rupanya teleponnya tidak berhenti-berhenti juga. Siapa sih yang menelepon larut malam begini?

“Halo?” kataku mengangkat telepon.

“Charlie, ini Papa,” kata orang yang diseberang. “Nak, maaf mengganggu ya. Bisa tidak kau antarkan dulu CD pekerjaan Papa? Ada di kamar. Papa nggak sempat lagi, nih. Tolong, ya.”

Sebelum aku menyetujui, Papa sudah mematikan teleponnya. Sepertinya dia sangat sibuk. Kulirik jam dinding, sudah jam sebelas malam. Papa tidak biasanya mengizinkan aku keluar malam, tapi karena dia benar-benar butuh, mungkin dia tidak punya cara lain.

Tidak baik bagi gadis—walaupun jago karate—sepertiku berkeliaran ditengah malam. Karena itu kuambil antisipasi. Aku memakai wig milik Ayah—yang dulu dipakainya untuk drama—dan kacamata milik Mama, lalu topi dan jeket. Kuperhatikan diriku dicermin.

Aku ganteng juga ya kalau jadi cowok, batinku.

Kuperhatikan tubuhku yang kecil, wig hitam yang luwes dan menutupi sebagian dahiku, wajahku yang manis—idih! Pedenya aku—dan mata hitam cemerlangku. Oh, gosh! Kelihatannya akan banyak cewek yang naksir padaku. Apa pendapat Papa ya kalau aku bergaya begini? Dia pasti kaget.

Kuambil CD pesanan Papa, ada alamat perusahaannya disitu. Aku segera menaiki speda motorku dan melesat pergi menerobos udara mala yang dingin. Untung saja aku pakai banyak baju dalam sehingga nggak kedinginan. Akhirnya setelah setengah jam, aku sampai juga di Digital Entertainment. Ada satpam yang melirikku sejenak.

Kantor itu sunyi sekali. Mungkin para pegawainya sudah pada pulang. Aku merapatkan jeket hitamku. Kantor Papa dimana. Ya? Gara-gara aku nggak pernah kesini, aku jadi nggak tahu, deh.

“Bagaimana kau ini? Masa kau belum memotret juga? Apa yang kurang?”

Aku mendengar ada suara dari balik dinding diseberang. Dua orang laki-laki sedang berbicara disitu. Yang satu kelihatan yang lebih tua, dan dia kelihatannya memarahi pria bertubuh langsing yang memegangi kamera besar dengan raut wajah sebal.

“Aku nggak bisa motret kalau aku nggak pingin,” kata yang muda. “Sudahlah, Adi, jangan memaksaku terus. Nanti kalau aku sedang mood aku pasti motret.” kata yang muda.

“Diaz, ini kariermu!”

“Permisi,” kataku. “Eh, maaf tiba-tiba mengganggu.” kataku lagi ketika melihat wajah mereka.

“Ada apa? Kau siapa? Paparazi? Apa kau mendengar percakapan kami tadi?” kata Adi dengan wajah sangar. Aku baru sadar kalau dia memiliki tindik di hidung. Selain itu, cara bicaranya pun agak aneh, seperti banci.

“Yah... sedikit. Sebenarnya—”

“Awas kalau kau bilang-bilang pada orang!” kata Adi. Kulirik Diaz yang diam saja tanpa reaksi.

“Anu, aku kesini cuma mau ketemu Pak Bram. Dimana aku bisa bertemu dengannya, ya?”

“Ada urusan apa kau dengan Bram?” kata Diaz tiba-tiba.

“Aku mau mengantar CD pekerjaannya,” jawabku.

“Dia ada lantai dua, studio tiga,” jawab Diaz.

“Eh, terima kasih, ya? Permisi.”

Jujur saja, aku takut melihat tatapan Diaz. Dia itu kelihatan seperti akan menelanku hidup-hidup. Hii rasanya mengerikan, deh. Aku naik lift dan turun di lantai dua. Kemudian berjalan lagi sambil mencari studio tiga. Ternyata di lantai ini cukup banyak orang yang hilir mudik. Akhirnya aku menemukan studio tiga.

“Permisi,” kataku perlahan saat membuka pintu studio tiga. Dan aku kaget sekali melihat isinya.

Didalam sana ternyata ada bnayak orang. Beberapa diantaranya aku kenal sebagai artis, tapi nggak tahu artis yang mana. Ada yang sibuk memegangi kaca, cermin, kamera, make up. Urusan itu belakangan aja, aku lebih memilih untuk bertemu Papa dulu.

“Siapa kau?” terdengar suara laki-laki. Laki-laki yang tampan. Wajahnya dingin, matanya tajam, rambutnya hitam dicepak. Kelihatanya wajahnya tidak asing. Siapa, ya? “Orang luar dilarang masuk.”

“Aku mau bertemu Pak Bram,” kataku perlahan sambil berusaha melihat ke dalam. “Dia ada?”

“Tidak ada. Keluar.”

“Eugene, kau sedang apa?” terdengar teriakan dari dalam.

“Aku sedang mengusir orang asing. Kelihatannya dia fans,” kata laki-laki yang bernama Eugene. Aku mengerutkan dahi. Siapa yang penggemarnya. Aku saja tidak kenal.

“Aku cuma mau bertemu Pak Bram. Setelah itu aku pergi. Ada barang yang harus kuberikan padanya,” kataku sebal. “Minggir.”

Orang-orang dalam ruangan itu sekarang melihat kearahku.

“Kalau mau mencari Bram bukan disini. Tapi di Editing House, dilantai tiga studio empat,” kata anak laki-laki lain. Kali ini wajahnya lebih ramah dengan rambut coklat kepirangan.

“Tapi orang yang bernama Diaz menyuruhku mencarinya kesini.” kataku bersikeras.

“Diaz?” ulang suara yang lain. Laki-laki lagi, berapa banyak sih laki-laki di ruangan ini. Kali ini laki-laki yang lebih dewasa dengan stelan rapi kearahku. Tampan juga, sih. “Yang bawa kamera?”

“Iya. Nah, bisa aku bertemu dengan Pak Bram?”

Laki-laki berstelan rapi itu melihatku dari atas sampai ke bawah dengan penuh minat. Dia mengitariku seakan tidak pernah bertemu manusia sebelumnya.

“Tubuhmu kecil,” dia bergumam. “Wajahmu manis... boleh juga, sih. Agak beda sedikit. Mungkin cowok imut-imut bisa menarik selera. Siapa namamu?”

“Charlie!”

Akhirnya aku mendengar suara yang kukenal. Papa kelihatan habis lari marathon aja, ada keringat di bajunya.

“Kalau sudah sampai seharusnya nelepon! Papa nungguin kamu di parkiran selama sejam, loh! Ngapain kamu disini?” kata Papa panik.

“Bram, ini anakmu?” kata cowok berjas itu. Papa hanya mengangguk. “Tampan. Mirip denganmu. Kau tidak keberatan kalau aku bicara dengan dia berdua saja?”

“”Maaf, Tim, dia berurusan denganku. Sebaiknya kau mengurusi anak didikmu saja.” kata Papa. Dia menarik tanganku. “Ayo, Lie.”

Aku mengikuti Papa naik ke lantai tiga. Disana lebih sunyi dan gelap. Papa membuka pintu yang menunjukan sebuah ruangan yang hanya berhiaskan lampu hijau.

“Pa, ini dimana?” kataku heran.

“Kantor Papa.”

“Tapi kok gelap banget,” komentarku, “Papa betah ya kerja disini.”

“Tugas Papa memang disini. Filmnya bisa rusak kalo kebanyakan cahaya. Kamu kok ada disana tadi? Bukannya langsung menemui Papa.”

“Habis kata Diaz kalo Papa ada di lantai dua studio tiga.”

“Diaz?”

“Papa hebat, deh masih bisa mengenaliku walaupun aku berpakaian begini.”

“Walau bagaimanapun kau kan anakku Charlie,” kata Papa. Dia duduk di belakang meja yang kelihatan penuh dengan berbagai alat yang dibutuhkannya. “Sebaiknya kau tidur disini. Papa akan membangunimu kalau sudah subuh. Nggak baik pulang malam-malam begini.”

“Oke, Pa.”

Aku merebahkan diriku di sofa dan mulai terlelap saat Papa tiba-tiba berkata. “Lie, mana CD pesanan Papa?”

***

“Charlie, bangun.”

Aku bangun ketika mendengar suara Papa di dekat telingaku.

“Ini kopi. Kau akan merasa lebih segar,” kata Papa lagi memberikanku secangkir kopi.

“Thanks, Pa.” kataku menerima cangkir pemberian Papa.

“Setelah ini kamu sarapan, terus kamu pulang ya. Kamu nggak boleh bolos.”

“Papa?”

“Ada pekerjaan yang harus Papa urus.”

Papa menghirup kopinya. Aku juga melakukan hal yang sama.

“Nah, perlu Papa antar sampai ke bawah?” kata Papa lagi.

“Nggak usah, deh, Pa. Aku bisa sendiri.” kataku buru-buru bangkit. “Papa istirahat saja dulu. Papa kan harus kerja lagi nanti.” aku mengecup dahi Papa. “Charlie pergi ya, Pa.”

“Hati-hati dijalan.”

Aku cuma terseyum sekilas ketika menutup pintu. Aku menguap lagi. Aduh, kelihatannya aku terlalu capek semalam. Mataku masih ngantuk. Belum lagi hari ini kebanyakan mata pelajaran yang isinya ceramah melulu. Tahan nggak ya mataku untuk nggak tidur?

“Hei, kamu.”

Aku lapar. Makannya di sekolah, di rumah atau dijalan aja, ya? Mesti mandi lagi. Ini dimana, ya? Kok ruangannya sama semua...

“Cowok kerdil bertopi di depan sana! Tunggu sebentar!”

Aku berhenti melangkahkan kakiku. Cowok kerdil bertopi? Maksudnya aku?

Aku berbalik untuk melihat si empunya suara. Ternyata Diaz. Apa yang dilakukannya pagi-pagi begini? Masih memakai baju dan kamera yang sama lagi. Dia nggak pulang ya?

“Apa? Kau memanggilku?” kataku dengan sikap menantang.

Diaz mendekatiku dan menatapku dari atas sampai ke bawah.

“Sudah bertemu Bram? Aku dengar kalau Bram itu Ayahmu. Benarkah?” katanya.

Kok dari kemarin mereka bertanya soal Papa terus ya?

“Iya. Kenapa?” kataku lagi.

“Aku boleh memotretmu sekali kan?” kata Diaz lagi.

“Untuk apa?” kataku heran.

“Soalnya, aku lagi kepingin motret. Bisa kan?” kata Diaz mengangkat kameranya.

“Maaf. Tidak.” kataku melewatinya. Enak saja. Ngapain dia moter-motret aku?

“Charlie.”

“Apa?” kataku berbalik.

Jepret. Lampu blitz yang keluar dari kamera Diaz membuatku kaget. Mataku berkunang-kunag.

“Makasih, ya?” katanya ngeloyor pergi.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.