RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 11 Februari 2009

Love Love Love Eps 3


Love for you Love for my family Love for my friend


written by : Glorious Angel
helped by : Prince Novel


3.

The Handsome Prince and The Beautiful Princess

“Aku minta maaf,” Kim datang ke arah Mark yang membaca buku di dekat taman. “Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membuat kalian semua dihukum. Kau marah ya Mark?”

Mark melirik sekilas dari atas bukunya. Dia menghela napas, menutup bukunya, bangkit dan membanting buku itu ditempat dia duduk. “Udah tahu, nanya lagi!” bentaknya. Lalu dia pergi meninggalkan Kim.

Kim menghela napas berat. Hari ini, setelah pulang dari jalan-jalan, saudara-saudaranya sama sekali tidak mau menegurnya. Malah dengan sengaja berbicara seakan dia tidak ada disamping mereka. Kim bangkit dari tempatnya dan masuk ke rumah.

“A-adu-duh! Pelan-pelan, dong Grace! Sakit tahu!” suara Daniel terdengar dari arah ruang keluarga. Kim melihat Grace sedang menempelkan koyo ke punggung Daniel yang biru-biru. Grace mengikik geli. “Kenapa tertawa?”

“Habis... coba, deh Abang becermin. Masa' aktor dan model ganteng dunia dipenuhi koyo kayak gini. Bisa hancur reputasi abang,” kata Grace menempel koyo lagi.

“Habis! Burung si Kim itu... kotorannya dimana-mana!” gerutu Daniel.

“Sini, Dek, biar Abang aja yang nempelin. Grace belajar aja.” kata Kim mengambil koyo dari tangan Grace. Grace hanya mengangguk dan pergi.

Daniel menyipit berbahaya. Dia masih sebal pada Kim.

“Sini! Aku bisa nempelin sendiri!” kata Daniel mengambil koyo itu dengan paksa. Dia bangkit dan susah payah naik ke atas tangga. “Grace! Grace!”

“Kenapa, Bang?” Grace keluar dari kamarnya.

“Ayo, bantuin Abang nempelin koyo,” kata Daniel menarik Grace masuk ke kamarnya. Tidak berapa lama kemudia kedengaran suaranya yang merintih kesakitan. “Aduuh!”

Kim menghela napas lagi. Dia sedih sekali melihat perubahan drastis saudara-saudaranya. Padahal dia baru pulang hari ini dan merindukan kehangatan mereka. Tapi dia mengacaukannya. Dia bangkit dan mengetok pintu kamar Harry. Namun karena tidak ada jawaban, Kim membuka pintu itu secara perlahan.

“Aku sibuk. Tidak ada waktu mendengarkan ocehanmu. Keluar!' kata Harry yang sibuk mengotak-atik laptopnya. Dia bahkan bicara tanpa harus berpaling sedikitpun.

Semakin sedih, Kim duduk di dekat anak tangga.

JEJEJEJENG!!

Dahi Kim mengerut. Rasanya dia mendengar sesuatu dari arah ruang musik.

“I HAAATEEEE!”

Itu suara Mark. Dia berteriak secara gila-gilaan. Lalu terdengar suara gitar listrik yang dimainkan secara rock and roll.

“UWWWOOOOOO!!! AAARRRGGH!!!!”

JEJENG!! JEJENG!! NGIIIIIK!!

Geon dan Tarandra keluar dari kamar. Begitu juga dengan Harry, Daniel, Grace, dan Evan yang keluar dari dapur.

“Suara apa itu? Seperti suara gunung meletus!” komentar Daniel.

“IYEEEEEEEEEH!! IYEEEEEEEEE!”

“MARK!!” Geon menggedor pintu ruang musik. “Lagu apa itu? Kuping Papa sakit mendengarnya?”

“DADDY!! INI NAMANYA ROCK AND ROOOOOL!! YUUUUUHUUUU!”

“Berhenti!! JANTUNG PAPA SAKIT!! MARK!!” kata Geon menggedor pintu lagi.

“Percuma, Papa,” kata Evan yang melewati Kim sambil menutup kedua telinganya. “Mark nggak mungkin mau dengar. Dia sudah gila.”

“DIAM KAU EVAN!!” teriak Mark dari dalam.

“Eh? Dengar, ya? Aduh!”

Evan memegang dahinya yang baru saja ditimpuk marakas oleh Mark. Mak dengan sekejap, menghilang lagi dari balik pintu.

“IYEEE!!!” kata Evan memainkan gitar yang tidak kelihatan. “WE HATE YOU!!”

“Suara yang bagus,” komentar Daniel menarik Grace lagi ke kamar.

“THANKS DANIEL!” kata Evan dan Mark bersamaan.

Harry geleng-geleng kepala sebelum dia masuk ke kamarnya.

JEJENG!

“MARK!! BERHENTI! TETANGGA BISA NGAMUK!!”

***

“Mama, kita harus menambal ruang musik,” keluh Geon mengelus-ngelus dadanya. “Padahal Mark itu penyanyi pop, tapi dia bernyanyi gila-gilaan. Hampir saja gendang telinga Papa pecah.”

“Iya, Pa. Mungkin Mark sedang kesal. Jadi melampiaskannya ke ruang musik,” kata Tarandra.

“Bagaimana kalau Kim hibur?” kata Kim yang muncul sambil membawa biolanya.

“Ide bagus, Nak. Ayo, lantunkan sebuah musik yang indah,” kaya Geon kembali bersemangat. Kim hendak menggesok biolanya ketika terdengar suara dari lantai dua.

“Dasar Tukang Pamer,” kata Mark.

“Daripada suaramu yang berisik,” timpal Geon sebal.

“Menurutku bagus kok, Pa,” kata Harry naik ke atas tangga. “Musik Mark lebih berkharisma.”

Sok tahu, batin Daniel, berkharisma apaan?

TUNG TTUNG TUNG, Evan muncul dari dapur membawa panci dan sendok.

“Ladies and gentlemen! Marilah kita mendengarkan musik yang keluar dari dapur!!” kata Evan memukul panci.

Kim mungkin saja akan tertawa seperti saudara-saudaranya yang lain jika seandainya mereka tidak membencinya hari ini.

Dia bangkit dan keluar membawa biolanya. Udara malam terasa sangat segar dan menentramkan hatinya saat ini. Dia memainkan biolanya dekat kolam. Memainkan musik yang menunjukkan suasana hatinya saat ini. Rasanya sakit dan sedih luar biasa melihat saudara-saudaranya menatapnya dengan penuh kebencian. Padahal sebenarnya dia ingin sekali dihukum bersama-sama mereka. Geon dan Tarandra tidak pernah menghukum dia sejak dia lahir sampai sekarang karena dia selalu jadi anak baik.

Daniel dimarahi saat dia berusia tiga tahun ketika mematahkan tangan dua orang temannya saat berkelahi. Harry dimarahi saat menghancurkan vas bunga kesayangan Tarandra. Mark juga dihukum saat dia berkata tidak sopan pada beberapa orang tua. Dan Evan... tidak perlu ditanya lagi, dia punya rekor tersendiri tentang kepuasan mengerjai orang. Grace sendiri pernah dimarahi Tarandra ketika dengan lancang memanggil Daniel tanpa embel-embel. Sedangkan dia tidak pernah.

“BA!”

“UWA!!”

Kim kaget sekali melihat ada wajah jelek dibelakangnya secara tiba-tiba. Dia mundur kebelakang dan jatuh ke kolam.

***

“Hachi! Uhuk uhuk!”

Kim terbatuk parah dan tergetak di tempat tidur lengkap dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Dia kena demam dan flu. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dan sekali lagi, Harry, Mark , Evan dan Daniel disidang malam itu juga.

“Ayo katakan pada Papa, siapa yang mendorong Kim ke kolam?” kata Geon panas. Dia sebal sekali pada anak-anaknya yang membuat Kim sampai sakit seperti ini.

“Nggak tahu,” kata Harry.

“Jangan bohong! Ayo, cepat katakan siapa?”

Tidak ada yang menjawab.

“Baiklah. Karena kalian tidak ada yang mau mengaku, Papa akan menghukum kalian!”

“Apa?” teriak Harry, Mark, Evan dan Daniel bersamaan.

“Ayah, tidak ada yang mendorong Kim, kok. Kim jatuh karena ceroboh,” kata Kim lemah. Wajahnya merah berkeringat.

“Jangan bohong, Kim! Papa tahu kalau kau didorong!”

“Sok tahu,” gumam Daniel.

“Memangnya Dad ada bukti?” timpal Mark.

“Ada! Kim yang menyayangi biolanya tidak akan mau menceburkan diri ke kolam beserta bioalnya. Nah sekarang, tidak ada bantahan. Hukuman kalian adalah tidur di luar!”

“APA?”

“Pa—”

“Tidak, Kim. Jangan membela mereka. Mereka sudah keterlaluan.” kata Geon. “Ayo cepat keluar. Apa yang kalian tunggu?”

“Ck! Iya, Dad,” kata Harry malas. Dia menggiring saudra-saudaranya keluar dari kamar Kim.

***

Evan melemparkan kayu bakarnya begitu saja ke tanah dnegan wajah merengut sebal. “Huh! Ada-ada aja, sih! Masa' tidur diluar?” keluhnya.

“Bagus juga, sih. Sekalian kemping.” kata Daniel membawa setumpuk selimut dari dalam rumah. “Udah lama nggak kemping, nih.”

“Siapa, sih yang menjatuhkan Kim ke kolam? Cari penyakit aja, nih,” gerutu Mark, dia memukul bantalnya dan menarik selimut menutupi kepalanya.

“Itu, tuh si Tukang Iseng,” kata Harry yang sudah merebahkan diri disamping Daniel, yang hampir terlelap. “Kalau aku sakit gimana?”

“Ngapain sih, Evan?” kata Mark membuka kembali selimutnya ketika dia mencium sesuatu yang wangi. Dai melihat Evan masih sibuk di luar tenda dan menghidupkan api unggun sambil memanggang sesuatu.

“Bakar marsmello. Mau coba? Enak, nih,” tawar Evan yang membakar marsmellonya.

“Ada makanannya, ya? Mau dong! Hay, Dan, ayo bangun,” Harry menrik tangan Daniel dan mereka duduk mengelilingi api unggun sambil memakan marsmello.

“Dad, mau? Enak, loh!” kata Mark pada Geon yang mengintip dari arah beranda Kim. Tarandra dan Grace keluar kamar.

“Sepertinya abang-abang semua senang kemping, Pa,” kata Grace.

“Dasar. Hukuman Papa ditaruh permainan,” kata Geon agak kesal.

Kim muncul disamping Tarandra.

“Suruh aja mereka masuk, Yah. Kalau mereka sakit kan Ayah yang repot. Apalahi ini musim hujan. Cuacananya dingin lagi.” kata Kim. “Kalau Mark dan Daniel sakit, bisa-bisa karir mereka terancam.”

“Kim, kau harus masuk. Kondisi tubuhmu masih lemah,” kata Tarandra dengan lembut.

“Tapi...”

“Ehem!” Daniel berdeham dengan suara keras. Dia bangkit dan memasang tampang serius yang marah. Evan, Harry dan Mark menatapnya.

“Ngapain kau, Dan?” kata Mark heran.

“Aku mau latihan. Lihat, ya?” kata Daniel. Dia merapikan pakaiannya dan dengan lagak sombong, dia melihat keatas dan berkata, “Pulang kau! Pulang sana! Jangan kembali lagi!”

“Hahahaha!” Harry, Mark dan Evan tertawa. Mereka tahu kalau Daniel menyindir Kim.

“Altrax, sedang apa kau?” kata Geon dari atas.

“Latihan acting, Dad. Daddy mau dengar?” kata Daniel. Dia berdeham lagi,” Pulang kau! Pulang sana! Jangan kembali lagi!”

“Memangnya apa judul filmnya?” kata Trandra yang cemas melihat wajah Kim.

“I hate you!” kata mereka berempat bersamaan lalu tertawa bersama.

“Aku dibenci,” gumam Kim masuk ke kamarnya diikuti yang lain.

“Aku kelewatan, ya?” kata Daniel pada abang-abangnya.

“Nggak kok. Itu malah acting yang bagus sekali,” kata Harry mencium marsmellonya. “Kelihatannya aku harus mulai memproduksi filmmu, Dan.”

“Kita marahnya cukup untuk satu hari ini saja, ya. Kim udah mau nangis, tuh,” kata Evan yang diikuti anggukan kepala Mark.

“Kita beli hadiah apa sebagai permintaan maaf?” kata Mark. “Anjing?”

“Ide bagus. Supaya si Merpati ada saingan.” kata Daniel, dia masih kesal dengan kejadian tadi siang. “Burung itu...'tabungannya' dimana-mana.”

“Hahaha,” tawa Mark.

“Sekalian kita mampir, yuk. Cuci mata,” kata Evan.

“Boleh!” kata Daniel semangat, tumben asal setuju aja. “Aku mau! Harry dan Mark ikutan juga ya? Ajak Grace juga.”

“Kim?”

“Pulang sana ke Italy!” kata Evan meniru lagak Daniel, lalu sama-sama tertawa terkekeh. Apa yang akan terjadi besok, ya? Batin Harry. Karena biasanya Daniel malas ke tempat ramai. Takut dikerjai Evan.

***

“Hoahm,” keempat saudara ini bangun secara serempak. Tepat saat itu, Grace melewati mereka dengan seragam sekolah.

“Pagi Kak Harry, Bang Mark, Bang Evan, Bang Daniel, Grace berangkat ke sekolah dulu!”

“Cepat pulang ya?” kata Harry.

“Kita mau jalan-jalan,” kata Mark.

“Belajar yang baik,” kata Daniel.

“Hati-hati di jalan, cinta,” kata Evan.

“Kalian berempat disuruh sarapan sama Mama,” kata Kim yang muncul di depan mereka. Wajahnya murung sekali.

“Aah, pagi-pagi sudah ketemu wajah yang paling malas aku lihat,” kata Mark.

“Makan!” kata Harry.

“Aku mau mandi dulu, ah,” kata Daniel.

“Celaka! Aku lupa nelepon dosenku,” kata Evan.

Dan dalam sekejap, mereka meninggalkan Kim.

***

Sebuah mobil ford merah metalik berhenti dilapangan basket SMP Harapan Bangsa. Siswa-siswi segera heboh melihat siapa kira-kira orang yang diantar dengan mobil yang baru pertama kali muncul itu. Supir mobil itu keluar dan membukakan pintu dengan kepala tertunduk.

“Silakan, Miss.”

Seorang cewek cantik berparas Eropa turun dari mobil. Dia memiliki rambut panjang indah yang disosis. Roknya pendek diatas dengkul. Tangannya cantik dan dihiasi kuku-kuku panjang yang indah. Dia mengibaskan rambut pirangnya sehingga dia tampak seperti diterangi sinar matahari.

“Hmm...” gumamnya berjalan dengan gaya model.

Dia melewati siswa-siswa yang terpelongo melihatnya. Choki yang lewat pun sampai terbengong. “Buset, dah! Bidadari dari mana, tuh?”

Brum... brum...

Kali ini ada motor ninja biru tua yang masuk ke pekarangan sekolah. Sesuatu yang tidak biasa. Mereka juga melihat, siapa yang datang!

Motor biru metalik itu berhenti. Cowok itu membuka helmnya yang tertutup rapat.

“Oh, my gosh!”

Siswi-siswi menjerit histeris ketika melihat wajah cowok itu.

Cowok berwajah Eropa muncul dari balik helm itu. Rambutnya hitam bergelombang. Wajahnya juga tampan dengan mata bersinar. Cowok itu juga bertubuh tinggi dengan postur tubuh langsing yang ideal.

“Uhu! A Handsome Prince,” kata cewek Eropa itu yang juga melihat cowok itu.

Sambil membawa helmnya. Cowok itu berjalan melewati para cewek-cewek. Dia berhenti melihat cewek Eropa itu.

“New Student?” kata cewek Eropa itu.

“Yeah.” kata cowok Eropa itu melewatinya. Karena tidak lihat-lihat jalan dia menabrak Grace yang kebetulan keluar dari toilet.

“Sori,” kata cowok Eropa itu.

“Nggak apa.” kata Grace melewatinya dan berjalan dengan tidak peduli.

“Tunggu sebentar,” katanya. Grace berbalik. “Bisa beritahu dimana ruang Kepsek?”

“Lurus, belok kiri, naik ketingkat dua. Lima pintu dari kanan,” kata Grace berbalik lagi dan pergi begitu saja.

Kok, cewek itu rasanya beda, ya? Batin anak itu. Dia mengikuti instruksi Grace dan mendapati ruang Kepsek dimana cewek Eropa itu juga ada di dalam.

“Ah! Kalian berdua pasti murid baru itu kan?” kata Kepsek saat melihat kedua anak yang tidak biasa itu. “Bapak mengucapkan selamat datang ke sekolah ini. Ini seragam kalian yang baru dan ini mengenai petunjuk kelas kalian.”

Kedua murid itu kelihatan amat bersemangat mendengar perkataan Kepsek.

“Evol Eipel Savtek...”

“Bukan, Pak!” protes si gadis. “Nama saya Evol Eiffel Stovtesck (baca: Ivol Eyfel Stavtes) ucap si gadis Eropa.

Kepala Sekolah bengong sesaat kemudian mengibas-ngibaskan tangannya sambil berkata. “Ya itu-lah itu. Kamu di kelas VIII- 4.”

“Ooow... empat angka keberuntungan!” jawab Evol dengan gaya centil.

“Bukannya angka kematian?” sahut cowok disebelahnya.

“Dan kamu, Rachael Rostavson, di kelas VIII-3.”

“Baik, Pak,” jawab anak yang bernama Rachael.

“Sudahlah. Pergi ke kelas kalian.” usir Sang Kepsek.

Kedua anak itu keluar dari kantor Kepsek dan berjalan mencari kelas mereka masing-masing.

“Kamu cakep, ya? Wah, asyik banget baru pertama kali sekolah sudah ketemu cowok cakep,” tegur Evol.

“Terimakasih. Kau juga cantik.” jawab Rachael malas.

“Kalau boleh tahu, kau pindahan dari mana?” kata Evol lagi centil.

“Paris.”

“Loh? Kok sama? Kenapa kita nggak pernah ketemu, ya?” kata Evol berpikir.

“Kamu pikir Paris itu sebesar daun apa?” gumam Rachael.

“Apa?” kata Evol penasaran. Rachael menggeleng.

“Bukan apa-apa. Aku disini. Sudah ya?” kaat Rachael. Dia mengetuk pintu perlahan. Kelas langsung heboh—terutama anak cewek yang buru-buru menyisir rambut mereka.

“Kita kedatangan murid baru, anak-anak. Seperti yang Ibu katakan tadi. Dia dari Paris. Ayo, Nak. Perkenalkan dirimu.”

“Hay, namaku Rachael. Salam kenal.”

Grace hanya melihat sekilas saja, karena dia langsung membenamkan dirinya kebuku pelajaran yang tadi dia baca. Rachael yang melihatnya jadi agak kesal. Anak itu, sudah dua kali bersikap cuek padaku, batin Rachael.

“Baiklah, Rachael. Kau duduk disamping Stevani,” kata Bu Guru. Stevani langsung mengangkat tangan dengan semangat. Rachael hanya tersenyum sekilas saat duduk disamping Stevani. Dia membalikan tubuhnya untuk melihat Grace yang masih sibuk dengan bukunya.

“Namaku Rachael.” katanya pada Grace.

“Grace,” Grace menjabat tangannya secara sekilas. Lalu membenamkan dirinya ke buku lagi.

***

Istirahat siang datang. Stevani cepat-cepat kabur membawa Rachael untuk memperkenalkan seluk beluk sekolah pada Pangeran baru sekolah. Dia juga memaksa Grace untuk ikut. Rachael kelihatannya senang-senang aja dibawa Stevani, sedangkan Grace sudah tahu niat Stevani untuk dekat-dekat Rachael... lumayan gebetan ganteng buat diajak jalan.

“Nah, disini kantin,” kantin Stevani saat mereka memasuki kantin.

“Oh.” kata Rachael singkat. Dahinya mengerut. “Kantinnya kecil, ya?”

“Memangnya kantin di sekolah Rachael seperti apa?” kata Stevani tampak tertarik.

“Dua kali dari kantin ini.” Rachael duduk dibangku yang kosong. Cewek-cewek juga melihatnya dengan antusias. Ada anak kelas satu yang melambai malu-malu padanya, Rachael membalas dengan senyuman manis. “Grace biasanya makan di kantin?”

“Kadang.” jawab Grace.

“Biasanya jajan disini,” celetuk Stevani,”tapi langsung kami bawa ke kelas. Lebih enak makan di kelas, sih.”

“Biasanya Grace makan apa?” kata Rachael lagi.

“Erm...”

“Kalau Stevani, sih suka gorengan,” kata Stevani lagi. Grace menginjak kaki Stevani. Centil banget, sih. Cowok cakep aja tingkahnya udah selangit.

“Wah, kita ketemu lagi, Rachael.”

Rachael menoleh untuk melihat si empunya suara seksi itu. Ada Evol. Evol tersenyum genit sambil memelintir rambutnya.

“Oh. Hai.” kata Rachael. “Perkenalkan, nih—”

“Nggak penting.” Evol duduk disamping Rachael. “Buat apa memperkenalkan rakyat biasa? Mereka kan nggak level dengan kita.”

Grace geleng-geleng kepala dan menarik Stevani sebelum Stevani meledak dan membuat perang di kantin. Stevani yang panas cuma nurut aja ditarik Grace ke meja yang kosong.

“Gimana pelajarannya Rachael? Asik, nggak? Kalau Evol, sih bosan.” kata Evol lagi.

“Gitu, ya,” timpal Rachael singkat.

“Eh, ada murid baru,” celetuk Ananda yang baru datang ke kantin bersama gengnya. Grace merasa akan ada perang sebentar lagi. Untung saja dia sudah menarik Stevani untuk minggat. Kalau nggak, Stevani bakal kena masalah sama orang-orang nggak penting itu.

Pecinrai kelihatan sangat bersemangat melihat wajah baru ganteng di kantin.

“Hay,” sapa Rachael tersenyum ramah pada mereka. Ternyata cewek-cewek Indonesia cantik juga, ya? Batinnya.

“Wah, Pangeran kita ada saingan, nih. Pindahan dari mana?” kata Ananda duduk disamping Rachael. Evol kelihatan akan segera meledak.

“Paris.”

“Jangan coba-coba,” kata Evol dengan bisikan maut, “mengambil gebetan aku, ya?”

“Uuuh... takut,” kata Yani. Rita dan Rati tertawa.

“Aduh, elo masih baru aja udah belagak,” kata Ananda. “Emang lo siapanya Tuan Muda Ganteng ini, ha? Kelihatannya dia nggak suka, tuh dekat-dekat elo, Centil.”

Evol berdiri. Ananda juga berdiri.

“Maksudmu apa, ha?” kata Evol.

“Maksud gue...,” Ananda menarik napas tertahan saat melihat kedepan. “Oooh, Pangeran... dia datang...”

Rati, Rita dan Yani juga menahan napas. Anak-anak di kantin juga melihat arah pandang mereka.

Refan baru saja datang ke kantin dengan tatapan mata lurus yang dingin sambil membawa bukunya. Dia datang kearah penjaga kantin dan berbicara dengan nada datar yang dapat didengar penghuni kantin. “Teh botol.”

Penjaga Kantin segera mengambil pesanan Refan yang botolnya telah dibersihkan terlebih dahulu dan memberikannya dengan ekstra hati-hati pada Refan. Catatan: segala macam yang disentuh Refan harus higienis. Refan membayar, mengambil teh botolnya dan duduk di meja paling sudut dan memulai membaca lagi.

Pecinrai segera menghambur duduk mengelilingi Refan dan berbicara seperti burung beo. Entah siapa yang mau didengar.

“Hay, Fan. Kemarin kamu mainnya keren banget, deh!” kata Yani.

“Slam dunk kemarin dipersembakan untukku kan?” kata Rati.

“Fan, minta nomor hape, dong,” kata Rita.

“Refan mau kecupan dari Ananda nggak?” kata Ananda lagi.

Dahi Rachael mengerut melihat Refan masih saja bisa membaca tanpa terganggu sedikitpun oleh suara mereka. Tiba-tiba Evol bangkit dan menuju kearah Refan. Rachael langsung mengambil kesempatan untuk duduk di dekat Grace.

“Kalian seharusnya tidak mengganggu dia,” kata Evol mengibaskan rambutnya, lalu melipat tangannya. Geng Pecinrai dan Refan menatapnya.

Dia ini siapa? Batin Refan, dahinya mengerut.

“Oh, hay Tampan,” katanya pada Refan.

“Mau lo apa, sih?” kata Ananda. “Gue dekat sama Pangeran elo, elo marah. Sekarang gue dekat dengan Pangeran gue, elo juga marah. Urusin aja gebetan elo dan gue ngurusin gebetan gue.”

“Namaku,” katanya lagi mengibaskan rambutnya yang panjang, “Evol Eiffel Stovtesck. Dan kamu?”

“Yaichs,” gerutu Yani jijik.

“Ngomong, dong Ganteng,” katanya lagi menyentuh dagu Refan.

Dreeek.

Ananda, Rati, Rita dan Yani langsung berdiri menghadapi Evol.

“Wah... bakal ada perang,” kata Grace. “Cowok kayak gitu ngapain sih diperebutkan? Kurang kerjaan.” tambahnya geleng-geleng kepala.

Rachael mengerutkan dahi dan tersenyum.

“Heh! Jangan coba-coba nyentuh Refan, ya!” raung Ananda berang. “Gue aja yang naksir setahon nggak pernah nyentuh dia!”

Evol tertawa mengejek.

“Ooow... takut... kamu nggak tahu siapa aku?” kata Evol.

“Siapa elo itu nggak penting tahu!” seru Yani dan Rita bersamaan.

“Aku... Evol Eiffel Stovtesck,” katanya mengibaskan rambutnya lagi untuk ketiga kalinya di kantin. “Adalah Putri dari Direktur Perusahaan mobil terbesar di Asia.”

Refan mengerutkan dahi dan melihat dari Evol, Pecinrai, lalu ke Evol lagi saat mereka mulai adu mulut. Merasa terganggu dengan suara mereka dan tingkah mereka yang mulai menggebrak-gebrak meja. Refan memutuskan dengan sangat bijaksana untuk segera pindah termpat. Dan dia memutuskan untuk duduk, tepat disamping Grace.

Grace dan Stevani ternganga. Rachael mengerutkan dahi.

Dan dengan lagak tidak peduli. Si bocah iblis kembali membaca.

“Siapa namanya?” bisik Rachael pada Grace. “Kelihatannya bukan orang biasa.”

“Iya, memang. Namanya Refan.” kata Grace.

“Cuma itu saja?” kata Rachel lagi. “Profilnya?”

“Aku bukan pembantunya sehingga tahu profil lengkapnya. Tanya aja sendiri sama orangnya,” kata Grace cuek. Refan mengadahkan kepalanya dari buku dan melihat Grace seakan baru sadar kalau ada manusia di dekatnya. “Apa?” kata Grace lagi.

“Nggak.” kata Refan kembali membaca.

“Refan itu Wakil Ketua Osis, Kapten Tim basket dan siswa terbaik di sekolah kami.” kata Stevani berbisik pada Rachael. Kurang ajar banget kan? Ada orangnya tapi berani-beraninya bicara kayak gitu.

“Ooh,” kata Rachael manggut-manggut.

“Dengar ya? Gue adalah bos di sekolah ini dan hanya gue yang boleh dekat dengan Refan!” kata Ananda dengan suara menggelegar. “Iya kan, Fan? Loh? Refan mana?”

Penghuni kantin agak geli ketika Pecinrai plus Evol mencari sosok Refan.

“Itu. Disana,” kata Yani menunjuk ke arah meja Grace.

“Stev, ngungsi, yuk,” ajak Grace ketika Pecinrai dan Evol menyerbu meja mereka.

“Refan kok pindah kesini, sih?” kata Ananda centil. “kita balik lagi kesana, ya?”

“Refan, Sayang... bareng aku aja ya?” kata Evol lagi.

“Gue kan udah bilang. Jangan urusin gebetan gue!” kata Ananda naik pitam.

“Tapi aku kan udah bilang kalau Evol Eiffel Stovtesck,” dia mengibaskan rambutnya lagi sehingga mengenai Grace yang kebetulan bangkit dari kursinya. “Merupakan cewek tercantik di sekolah ini.”

“Pede banget lo!” seru Rita.

“Tolong, ya...” gumam Grace marah. Wajahnya merah padam. “Rambut itu jangan dikibas-kibaskan. Memangnya cuma kamu yang punya rambut?”

Refan mengadah. Rachael juga.

Evol kelihatan kesal. Giginya menggertak. “Apa katamu? Memangnya kamu siapa? Berani banget melawan aku!”

Grace, dengan marah, menuju penjaga kantin. Dia memukul meja dan dengan tegas berkata, “Pak! Nama saya Gracol—”dia mengibaskan rambut panjangnya mengikuti gaya Evol, “Pesan risol, nggak pake dodol, yang penting teh botol!”

“Hahahahaha.”

Penghuni kantin tertawa melihat tingkah Grace. Wajah Evol merah padam ketika melihat senyum kemenangan Grace. Bahu Refan juga bergetar sementara wajahnya terbenam di bukunya.

“Ap—berani banget lo!”

“Pak, saya Stevanol,” kata Stevani centil, ikut-ikutan mengibaskan rambutnya. “Temannya Gracol, bak gitar Spanyol... dah...begol!” kata Stevani.

Grace mengibaskan rambutnya lagi dan dia berjalan melenggang meninggalkan kantin.

“Hihihi,” kikik Rachael. “Cewek menarik.”

***

Refan masuk ke dalam kantor guru untuk menemui Guru bahasa Indonesia, salah satu guru yang tidak disukainya—dan salah satu guru yang amat mencintainya.

“Ada apa, Bu?” tanyanya datar.

“Begini, Sayang. Sebentar lagi kita kan akan melakukan pentas seni. Tolong sampaikan pada pihak Osis bahwa kita akan melakukan kegiatan Drama.”

“Bu, itu kan tugas Choki.”

“Tapi kamu kan Wakilnya.”

Refan diam. Malas membantah.

“Nah, katakan saja pada pihak Osis kalau mereka harus menggalang dana untuk Pentas kali ini. Yah... bagaimana baiknya, kalian lakukan saja, ya?”

“Iya.”

Refan berbalik pergi tanpa pamit.

“Tunggu sebentar, Nak,” katanya lagi saat Refan sudah ada di depan pintu. “Jangan lupa, ya agar kau berpartisipasi.”

“Ya.”

Dia pergi dengan tidak peduli. Ketika berbelok di koridor, dia bertemu dengan Choki yang berjalan-jalan bersama Evol dan Rachael—dan Grace, ngapain coba Grace ikut-ikutan?

“Oh, hay, Fan!” sapa Choki. “Aku baru saja keliling sekolah untuk memperkenalkan dua anak baru ini seluk beluk sekolah kita.”

“Dia?” tanyanya menunjuk Grace.

“Jangan nunjuk-nunjuk. Nggak sopan tahu!” Grace memukul tangan Refan. Refan mengangkat alis sambil memegang tangannya yang tadi dipukul Grace. “Apa?”

“Jadi cewek anggun dikit, dong.” katanya.

SIALAAAAN!!!

“Oh, Rachael lebih suka kalau ada Grace yang menemani dia keliling sekolah. Katanya kalau ada teman sekelas lebih asyik.” kata Choki agak heran melihat tingkah mereka.

“Rachael?” ulang Refan.

Choki menunjuk Rachael. Rachael hanya tersenyum kecil saja.

“Bu Sora bilang kalau kau harus bilang bahwa Osis akan melakukan acara Pensi. Terserah kau mau kau apakan pensi itu. Aku tidak peduli.” kata Refan menatap Rachael dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Nah,” katanya kembali menatap Choki. “Itu tugasmu sebagai Ketua Osis.”

“Jadi tugasmu apaan?” timpal Grace sebal.

“Kalau ada Ketua Osis buat apa Wakilnya bekerja?” kata Refan.

“Tugasmu membantu Ketua!” timpal Grace panas. “Bukannya mengambil jabatannya!”

“Aku bukan babunya. Kalau kau mungkin iya.” kata Refan berbalik pergi dan tidak peduli saat Grace berteriak. “DASAR IBLIS!!”

“Sudah... sudah...” kata Choki geleng-geleng kepala. “Kalian ini berantam terus sejak jadi anggota Osis. Sabar... memang sikapnya begitu.”

“Cowok kayak dia harus diberi pelajaran!” kata Grace. “Aku lebih suka gaya Senior Reliz dulu! Huh, biar tahu gimana penderitaan orang!”

“Sabar, Grace,” kata Choki lagi.

“Hey, Ketua Osis,” Rachael berbicara untuk pertama kalinya. “Memangnya Pensinya kapan?”

“Kira-kira dua bulan lagi.”

“Aku boleh berpartisipasikan?” kata Rachael. “Aku mau kok membantu Grace.”

“Boleh saja.” kata Choki. Kayaknya agak aneh, deh... kok rasanya alasan Rachael Grace melulu ya?

***

“Aduh, capek!” kata Grace merebahkan diri di sofa. Abang-abangnya entah ngilang kemana. Katanya mau jalan-jalan tapi nggak seorangpun yang kelihatan. Suasananya sunyi lagi.

“Tolong!!”

Grace menegakkan diri. Rasanya kupingnya mendengar suara seseorang. Suara Kim. Grace cepat-cepat naik ke atas. Kalau Kim belum sembuh, harusnya dia masih di kamar. Tapi kamar itu kosong.

“Bang? Dimana?” kata Grace. Dia jadi takut. Jangan-jangan ada maling lagi.

“Woi, Kim! Ngapain kau di atas genteng?” kali ini terdengar suara Evan. “Mau berjemur jangan disana! Ke pantai tahu!”

Grace keluar menuju kearah taman. Semuanya lengkap disana. Harry, Mark, Evan, Daniel—minus Kim. Grace melongok ke atas dan melihat Kim ada disana.

“Bang, ngapain disana?” kata Grace heran.

“Dek, ambilin tangga!” kata Kim ketakutan. Dia memegang anak kucing.

“Oalah! Ngapain kau diatas sana cuman buat ngambil anak kucing! Dasar pecinta binatang!” kata Mark duduk di rumput dan membuka buku. “Sebelum naik harusnya kau tahu diri dulu, bisa turun lagi nggak?”

“Dek, tangganya!” kata Kim pada Grace.

Grace melihat Daniel dan Harry tampak sibuk dengan tangga. Ngapain, sih mereka? Megang-megang tangga tapi kayak nggak mau nolongin Kim.

“Bang, tangganya. Kasihan tuh Bang Kim,” kata Grace.

“Tangganya masih dipake, Dek,” kata Harry tersenyum. Tapi ada aura iblis di belakangnya.

“Dipake buat apa?” kata Grace heran sekaligus ketakutan.

“Buat ngitung daun. Jangan tanya-tanya lagi, deh. Mandi sana. Kita mau pergi.” kata Daniel menghitung daun ditangannya. “seratus tiga enam. Seratus tiga tujuh...”

“Tapi...”

“Mandi aja, Dek,” kata Harry, Mark, Evan dan Daniel bersamaan. “Anggap aja kau nggak melihat apapun.”

Grace cuman bisa pasrah aja membiarkan Kim ada diatas genteng. Dia cepat-cepat mandi sebelum abang-abangnya ngamuk lagi.

“Dan, Harry!” terdengar suara Kim. “Tangganya, dong! Aku takut, nih.”

“Kau mendengar sesuatu nggak, Mark?” kata Daniel memegang telinganya.

“Entahlah. Daritadi aku sibuk membaca,” kata Mark cuek.

Grace hanya dapat geleng-geleng kepala saja saat mereka benar-benar tidak peduli Kim bisa turun atau tidak.

“Udah siap nih, Bang,” kata Grace pada mereka.

“Wah, adekku cantik sekali. Yuk, kita pergi,” kata Harry merangkul Grace.

“Tapi... Bang Kim...?”

“Nggak usah pedulikan dia.” kata Daniel.

“Dia nanti bisa turun sendiri,” kata Mark.

“Kim, tangga ada disini. Ambil aja sendiri ya?” teriak Evan.

“Kalian!! Jangan tinggalin aku!!!”

Sambil mengikik geli. Mereka masuk ke dalam mobil dan berhimpit-himpitan. Grace duduk dibelakang. Diapit Evan dan Daniel. Sedangkan di depan ada Mark dan Harry sebagai sopir.

“Jalan, Harry,” kata Mark.

“Beres,” kata Harry menstater mobilnya.

“Bang, nggak apa nih kita biarkan Bang Kim di atas sana?” kata Grace takut.

“Tenang aja, Dek. Bentar lagi Mama pulang kok,” kata Evan. “Paling kalo belum pulang, dia ada disana. Kim mana mungkin mau turun sendiri. Dia itu kan lemot.”

“Lagian, sinar matahari sangat bagus untuk orang yang kena demam,” kata Daniel.

“Supaya dia kering,” tambah Mark. Mereka tertawa. “Padahal dia kurus kering begitu. Kalau makin kering bakal jadi tulang, deh.”

“Bang, kita mau kemana?” kata Grace mengalihkan pembicaraan. Dia agak nggak enak hati meninggalkan Kim sendirian di atas genteng.

“Mall. Lihat cewek.” kata Evan.

“Sekalian mampir ke pet shop. Cewek aja yang ada dikepalamu, Evan.” kata Daniel menempeleng kepala Evan.

“Ngapain ke pet shop?” kata Grace heran.

“Beli anjing peliharaan buat Kim,” kata Kim. “Yah... sekalian minta maaf karena ngusilin dia secara sepakat.”

“Pulang kau! Pulang sana! Jangan kembali lagi!” seru mereka berempat bersamaan. Grace tersenyum. Walaupun abang-abangnya nakal. Setidaknya mereka masih punya perasaan.

“Oke. Kita sudah sampai. Yang perlu penyamaran segera menyamar. Dan Evan, kuingatkan kau untuk tidak usil disini,” kata Harry dari depan.

Mark dan Daniel segera memakai kaca mata dan topi untuk menghindari kontak langsung wajah mereka terhadap pengunjung. Mereka segera turun untuk jalan-jalan sejenak lalu mulai belanja.

“Banyak amat, sih? Untuk apa aja tuh?” komentar Harry saat melihat barang yang dibeli Evan. “Hemat dikit, dong.”

“Bawel. Duit duit aku kok,” kata Evan cuek.

“Biarin aja,” kata Daniel senyam-senyum.

“Kok Bang Daniel bilang gitu, sih?” kata Grace heran.

“Sekalian aja beli mall-nya, Evan,” sindir Mark.

“Aku bayar dulu, ya? Kalian?” kata Evan.

“Kita masih mau lihat-lihat,” jawab Daniel enteng menarik saudara-saudaranya pergi. Evan cuma mengangkat bahu lalu pergi kekasir.

“Daniel, aku udah capek. Nggak mau lihat-lihat lagi,” kata Harry mengecak pinggang. “Udah kita keluar bareng Evan aja.”

“Turutin aja apa kataku, deh,” Daniel mengintip Evan diam-diam dari balik rak yang berisi makanan ringan.

“Memangnya ada apa, sih Bang?” kata Grace.

“Tontonan menarik. Lihat, deh,” bisik Daniel.

Harry, Mark dan Grace ikutan mengintip Evan yang sedang menghitung belanjaannya.

“Tiga ratus empat puluh enam ribu, Mas,” kata kasir menatap Evan dalam-dalam.

Evan mengeluarkan dompetnya. “Nih,” katanya mengeluarkan kartu kredit.

Si Mbak Kasir melihat sejenak. “Maaf, ini tidak bisa digunakan.”

“Ha?” dahi Evan mengerut. Masa', sih? Perasaan Papa udah ngasih uang jajan deh. Evan mengeluarkan kartu kreditnya yang lain dan yang lain dan yang lain.

“Maaf, semuanya tidak bisa digunakan. Ada uang kontan?”

Kok jadi begini, sih?

Dengan perasaan dongkol. Evan membayar dengan uang kontan. Malu banget.

“Kasihan kau, Van,” kata Daniel geli sendiri.

“Kok bisa gitu, sih?” kata Mark heran.

“Itu hukuman Daddy karena Evan nuduh Daddy selingkuh,” jawab Daniel.

“Tahu rasa tuh anak,” kata Mark lagi.

Grace tidak mendengarkan karena Refan baru saja lewat di dekat pintu kaca dengan membawa barang belanjaan bersama seorang laki-laki tua.

Oh, batin Harry yang melihat arah tatapan Grace. Itu ya cowok yang disukai Grace.

“Yuk ke pet shop,” ajak Mark membuyarkan lamunan Grace.

“Kalian tunggu bentar ya? Aku kesana dulu,” kata Harry yang langsung kabur tanpa menunggu jawaban.

“Tadi katanya udah bosan lihat-lihat kan?” gumam Daniel.

Harry melihat Refan berjalan sambil berbicara pada laki-laki tua yang mengikutinya.

“Bawa saja ke mobil. Aku mau baca buku dulu.”

“Baik, Tuan.”

Refan masuk ke dalam toko buku dan Harry mengikuti dari belakang. Dengan lagak berpura-pura membaca buku, dia memperhatikan Refan.

Hebat si Grace, boleh juga pilihannya, batin Harry. Harry tersenyum kecil. Dia melihat arah tatapan Refan dan mengambil buku yang diincar Refan, tepat saat Refan hendak mengambilnya. Refan menatap Harry dengan tajam.

“Maaf, aku duluan,” kata Refan datar, menarik buku itu.

“Tapi, maaf saja,” kata Harry menarik buku itu. “Aku lebih dulu.”

“Orang dewasa harusnya ngalah sama anak kecil,” kata Refan.

“Maaf saja, anak kecillah—” Harry menempeleng Refan dengan tangan bebas buku sehingga Refan melepaskan bukunya, “—yang harus menuruti perkataan orang dewasa.”

Harry tersenyum kecil dan berbalik ke kasir. Refan kesal sekali. Dia sudah mengicar buku itu sejak lama, soalnya merupakan jenis buku yang jarang ada. Refan keluar dari toko buku dengan perasaan dongkol.

“Hey, anak kecil,” panggil Harry.

Refan berbalik. “Apa?”

“Nih,” Harry memberikan buku yang masih berplastik harga itu tepat ke kepala Refan. “karena aku berbaik hati. Kuberikan buku itu padamu.”

“Nggak butuh!” kata Refan melempar buku itu ke lantai. Dia pergi setelah menginjak buku itu melewatinya.

“Parah,” gumam Harry. “Sifatnya itu harus diperbaiki.” Harry mengambil buku itu kembali dan bergabung dengan saudara-saudaranya.

***

“Payah!” Evan menggerutu saat di mobil. “Kenapa sih semua kartu kreditku tidak bisa dipakai?” Harry, Daniel, Grace dan Mark tertawa secara sembunyi-sembunyi. “Untung aku punya uang kontan! Kalau nggak, akan dikemanakan kepalaku ini?”

“Simpan aja ke saku belakang,” usul Mark. “Hehehe.”

“Diam kau, Mark.” kata Evan kesal.

“Hahahaha.”

“Udah itu, kenapa sih bukan anjing pilihanku yang dibeli?” gerutu Evan lagi. “Masa' anak anjing Skotlandia yang dibeli?” gerutunya lagi saat anak anjing Skotlandia itu memunculkan kepalanya dari kotak kado coklat yang digendong Mark.

“Masa' kau mau ngasih anjing hearder sama Kim?” kata Daniel, lagi-lagi menempeleng kepala Evan, “pakai otakmu, bukan Kim yang akan membawa anjing itu jalan-jalan, tetapi sebaliknya anjing itu yang akan membawa Kim.”

“Hahahaha.”

Anak anjing itu menggongong, mata bulatnya bersinar.

“Anak anjing ini semangat sekali, sih,” kata Mark menutup kotak kado.

“Kita pulang!” teriak Harry mengatasi suara berisik mereka. Mereka keluar dari mobil. Hari sudah malam. “Grace sini bentar.”

“Kenapa, Kak?” kata Grace mendatangi Harry.

“Matamu melihat kemana, sih saat di mall tadi?” goda Harry. “Aku lihat loh cowok remaja bermata dingin, cool, ganteng...”

“Kakak lihat Refan?”

“Oh... namanya Refan, toh,” kata Harry. Grace cengengesan. “Nih,” Harry memberikan buku yang tadi dibelinya. “Untukmu. Bawa tiap hari ke sekolah, ya?”

“Kok kayak bekas diinjak sih Kak?” kata Grace heran melihat ada tapak sepatu disitu.

“Anggap saja lagi sial.” kata Harry. “Woi, tunggu! Barengan, dong, ngasihnya!” Harry kearah saudara-saudaranya yang lain.

“Makanya jangan ngobrol terus,” kata Mark.

“Dari mana saja kalian?” kata Geon yang nonton bareng Tarandra di ruang keluarga. “Kalian keterlaluan. Kim ada di atas genteng tapi tidak diturunin.”

“Dia kan punya kaki sendiri, Pa,” gumam Evan.

“Apa katamu?” kata Geon lagi.

“Nggak. Kim-nya mana?” kata Evan.

“Di kamar. Tidur, sepertinya lelah. Dia ada di atas genteng selama dua jam.” jawab Tarandra. Daniel dan Mark tertawa secara sembunyi-sembunyi.

“Aku duluan!” kata Mark naik ke atas membawa kotak kado itu.

“Ah, curang Mark!”

“Kita kan janji ngasih sama-sama!”

“Tungguin, dong!”

“Evaaaaaaaan, jangan tarik-tarik bajuku!”

“Ada apa dengan mereka?” tanya Geon heran.

“Kelihatannya mereka berebut ke kamar Kim,” jawab Tarandra.

“Aduuh, jangan dorong-dorong, dong! Sempit, nih!” keluh Daniel.

“Buka dulu pintunya, dodol!” gerutu Harry.

“Jangan dorong! Bisa mati, nih! Sesak!” kata Daniel.

“Evan! Ngapain kau nyelip-nyelip?” kata Mark.

BLAK, pintu kamar Kim terbuka. Kim bangun dan heran melihat saudara-saudaranya berebut ketempat tidurnya dan memeluknya.

“Halo, Kim. Apa kabar?” kata Harry.

“Nggak apa kan diatas genteng?” kata Daniel. “Kata-kataku kemarin cuma main-main.”

“Sudah sehat kan?” kata Evan mengacak rambut Kim.

“Kami beli kado, nih sebagai tanda permintaan maaf,” kata Mark menyodorkan kotak coklat itu pada Kim.

“Kami udah capek milih loh,” kata Daniel.

Kim menatap mereka satu per satu dengan tidak percaya. Dia pikir kalau saudara-saudarnya akan membencinya. Ternyata tidak. Kim mebuka kotak kado itu dan melihat anak anjing skotlandia berbulu coklat keluar dari kotak itu.

“Anak anjing,” gumamnya tidak percaya. “terima kasih.”

“Aah, jangan bilang begitu,” kata Mark mengacak rambut Kim. “Aduh, adikku ini memang manis, deh! Kau labih bagus jika tertawa.”

“Lalu, siapa nama anak anjing ini?” kata Kim. Saudara-saudranya saling pandang.

“Biasanya kau tidak mau repot-repot ngasih nama,” kata Daniel heran.

“Anak anjing ini istimewa karena dari kalian,” kata Kim.

Saudara-saudaranya berpikir. Nama yang bagus... nama yang bagus...

“Refan saja,” kata Harry.

“Nama yang bagus,” kata Mark. “Halo, Refan!”

Guk guk guk, anjing itu menggonggong.

“Hei, dia suka tuh.”

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.