RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 11 Februari 2009

Love, Love, Love Eps 2


Love for you Love for my family Love for my friend


written by : Glorious Angel
helped by : Prince Novel

2.

Richard’s Family

Soekarno-Hatta Airport

“Nggh!!” Daniel Altrax meregangkan tubuhnya yang pegal karena duduk berjam-jam di pesawat. Dia memperbaiki kacamata hitamnya yang melorot, memperbaiki syalnya dan memakai topi rajutan yang bertuliskan UK besar-besar. “Aduuuh, capeknya. Nggak ada yang berubah dari tempat ini.”

Bersiul-siul pelan. Dia menarik kopornya hitamnya dengan perlahan. Dia tidak berniat untuk buru-buru saat ini. Melemaskan kaki itu ada gunanya, loh… apalagi ditempat yang senyaman ini. Nobody’s know him! Yipie!!

“Loh, Daniel?”

Anjrit! Kok bisa-bisanya ada manusia yang mengenali aku?

Tangan Daniel yang daritadi ada di udara seketika berhenti. Dia berbalik dan mendapati sosok yang tidak dia inginkan saat ini ada dibelakangnya. Sebenrnya dia kangen juga sama anak itu. Namun, sebaiknya ketemu dia di rumah, bukan di bandara! Bisa kacau nanti!

“Evan? Ngapain kau disini?” kata Daniel berbasa-basi. Agak kaget juga, sih. Yang Daniel tahu, Evan ada di Bandung, ngapain dia di airport, bawa-bawa koper segala!

“Aku baru pulang dari Italy nengok keadaan Kim. Mama mengutus aku, katanya Kim sakit flu. Ternyata bukan dia, tapi ayam!” jawab Evan.

Daniel mengikik geli.

By the way, where’s Papa?” kata Evan melihat kesekeliling.

“Masih di UK. Ngurusin entah apa. Kau sendiri kok nggak bareng Kim?” kata Daniel. Mereka berjalan berdampingan melewati pintu.

“Dia masih konser. Lagian, mana mau aku ngurusin binatang peliharaannya sampai dia selesai konser,” gerutu Evan. “Lemot tapi binatangnya banyak banget. Ada ular segala!”

Daniel geleng-geleng kepala.

“Eh, Dan, kita mampir dulu yuk? Makan untuk menikmati suasana karena udah lama nggak ketemu. Sebagai saudara yang—“

“Ogah! Ujung-ujungnya pasti aku yang bayar!” kata Daniel.

“Ayo, dong, Dan… aku lapar. Yang ada di Italy cuman spaghetti doang. Mana bisa aku makan yang begituan. Lagian masakan Kim nggak pernah enak, gosong melulu,” Evan merangkul Daniel dengan nada memohon. “terus, dompetku udah tipis, nih.”

“Memangnya kau beli apa aja di Italy?”

“Aku beli bola sepak. Keren loh, Dan—“

“Dasar gila! Ngapain beli bola sepak kesana? Disini kan ada! Minta aja sama Papa kalau mau sepuluh ribu bola sepak. Pasti dikasih!”

“Daniel… Daniel… ini bola sepak langka. Pernah ditendang sekali sama Ronaldino. Aku beli dengan harga sekitar sepuluh juta loh, Dan. Barang langka, tuh!”

“Kamu itu ditipu dodol! Ternyata ada yang lebih lemot dari Kim!” kata Daniel. “Percaya banget, sih sama yang begituan? Bola apaan tuh kalo cuma ditendang sekali?”

“Ayo, dong, Dan… plis”

“Nggak jauh-jauh sana. Aku mau pulang.”

“Aku lapar…”

“Pergi!”

“DANIEL ALTRAX!!” Evan berteriak dan melepas topi serta kacamata Daniel. “WAH! AKU MINTA TANDA TANGAN!! AKU NGEFANS LOH!! DANIEEEEL!!”

Evan…brengsek!!!

Daniel langsung ambil langkah seribu begitu melihat perhatian orang-orang yang ada di bandara melihat kearahnya.

“Awas kau, Evan!!’ teriak Daniel.

“Hahaha, selamat berjuang, ya, Dan?” kata Evan melambai padanya.

Daniel berlari cepat. Dia bahkan tidak tahu dia menabrak apa saja. Dan masalahnya, setiap dia menabrak, orang yang dia tabrak malah mengejarnya.

“DANIEEEEL!!!”

Oh, God!!

Mata Daniel membulat ketika melihat kebelakang. Orang yang mengejarnya entah sudah berapa banyak. Dia kembali berlari dan menarik kopernya. Dia bahkan hampir jatuh tergelincir saat berlari menikung. Kalau ada wartawan yang melihat dia saat ini juga. Tamatlah riwayatnya dalam waktu sepersekian detik.

“Niki! Niki!”

Daniel berlari lurus kearah kumpulan orang-orang yang berteriak nama salah seorang yang diketahui Daniel. Masa bodoh karena mungkin tidak akan ada yang mengenalinya jika dia menghilang dikerumunan, Daniel melesat dan lewat ditengah-tengah gerembolan penjaga Niki.

Daniel berlutut tepat pada waktunya saat didepan ada tali panjang. Dia meluncur dan melewati tali itu dengan cepat. Merasa panas akan dengkulnya, dia kembali berlari.

“Ada apa, sih?” kata Niki pada penjaga-penjaganya. “Itu tadi siapa?”

“DANIEEEL!!” kerumunan fans Daniel menyusul dari belakang dan memporak-porandakan karpet merah tempat Niki berdiri. Mendengar nama “Daniel”, fans Niki langsung ikut mengejar dari belakang. Pamphlet, karton dan segal hal yang mendukung Niki terbang dan jatuh begitu saja. Tidak dipedulikan.

Panik dan ngos-ngosan, Daniel masuk kedalam toilet dan mengunci toilet itu. Untung Tuhan masih besertanya. Toilet itu kosong!

Dia melihat kesekeliling. Aduh, gimana caranya buat kabur, ya?

“Daniel, keluar, dong! Keluar!”

Para fans yang brutal diluar menggedor-gedor pintu.

Daniel memanjat westafel. Dia mengintip dari balik jendela kecil. Jendela yang tidak mungkin dilalui orang dewasa, tapi tidak untuknya. Tubuhnya yang atletis dan terawat cukup untuk melewati jendela itu.

Pertama-tama, Daniel mengangkat kopernya yang berat dan berusaha menjejalkan koper itu melewati jendela. Berhasil. Bunyi bluk pelan membuktikan kalau koper itu sudah mendarat dengan selamat.

“Daniel!! Buka!! Buka!!”

“Dobrak aja!! Dobrak!!”

Waduh!!

Daniel melompat dengan sigap dengan kepala memasuki jendela. Perlahan-lahan dia menggeser tubuhnya agar dapat melewati jendela. Suara dobrakan diluar semakin kencang.

Kubunuh si Evan kalau aku ketemu dia!!

Bluk!

Daniel meringis memegangi pinggangnya dan lehernya. Namun, sakit itu belum terasa jika dia tidak segera pergi dari bandara. Daniel menarik kopernya lagi dan melewati rumput dan semak-semak. Suara gebrakan membuktikan kalau toilet sudah terbuka.

“Daniel??”

“Dia kabur tuh!”

“Cepat kejar. Dia pasti belum jauh!”

Mimpi buruk apa aku semalam?

Daniel berlari ke arah basement dan bersembunyi di balik mobil ford merah saat ada orang yang berlari-lari sambil memegang kamera. Gawat, wartawan sudah datang! Cepat banget, sih beritanya? Kayak kilat!

“Coba cari disekitar sini. Dia pasti belum jauh!”

Mengendap-endap, Daniel membuka pintu mobil tempat dia bersembunyi. Tidak terkunci. Tersenyum kecil, dia masuk kedalam dan menghela napas lega. Untuk sementara dia selamat. Hufh…

***

Tidak biasanya bagi Edwin Mark melihat suasana airport begitu riuh dan berisi oleh orang dari berbagai jenis. Para wartawan sibuk berbicara di depan kamera yang disorot. Beberapa cewek diwawancarai. Artis yang dikenali Mark, sebagai Niki kelihatan marah-marah. Bahkan penerbangan mengalami keterlambatan. Para petugas yang menertibkan justru dibentak-bentak.

Ada apa, sih? Masa ada orang yang tahu kalau aku pulang hari ini? Rasanya mustahil. Aku kan berangkat tanpa pemberitahuan. Jadi nggak mungkin aku yang diincar wartawan.

“Saya tidak terima! Saya tidak mendengar kabar kalau Daniel ada shooting disini! Dia mengacaukan segalanya! Dimana harga diri saya coba?” kata Niki berapi-api. “Kenapa Daniel terus sih yang cari gara-gara?”

Daniel??

Mark cepat-cepat keluar sebelum dia dikenali. Tidak baik ada di dekat-dekat wartawan. Apalagi jika ada kabar Model Remaja Nomor Satu Internasional Daniel disini. Ditambah dengan Edwin Mark sang Penyanyi Legendaris, bisa gawat!

“Halo?” terdengar suara Daniel dari ponsel Mark. Suaranya lemah sekali.

“Dan, ada dimana?” kata Mark, khawatir. Nggak biasanya Daniel ceroboh seperti ini.

“Nggak tahu.”

“Ha?”

“Aku ada dibagasi mobil orang. Nggak tahu dibawa kemana!”

Mark terkikik. “Ada aja ya cara buat kabur. Disini heboh banget tahu.”

“Ini gara-gara Evan tahu! Tempeleng kepalanya untuku ya?”

“Beres. Aku dapat apa?”

“Pujian dariku.”

“Huh! Ya udah, kalo udah berhenti hubungi aku, ya?”

Mark mendegar suara lain, kali ini teriakan gadis.

“Daniel Altrax ada di mobil gue???”

“Hahahaha, selamat berjuang ya Dan?” Mark menutup hubungan. Entah apa yang terjadi pada Daniel. Yang pasti sesuatu yang buruk dan tidak bisa diganggu. Semoga kau dapat pencerahan, Dan. Hahahaha!

***

Evan menginjakan kakinya memasuki gerbang besar yang menutupi sebuah rumah besar. Ada beberapa helai dan yang jatuh karena hembusan angin. Evan tersenyum dan menghirup udara dalam-dalam. Ada bau yang membuatnya lapar!!

Mama masak apa, ya? Batin Evan mengusap-usap perutnya yang berbunyi. Kemudian dia mengingat perlakuan yang dia buat pada adik laki-laki bungsunya itu. Dia tersenyum lebih lebar. Rasain kau, Dan!! Hehehe!

Evan mengendap-endap masuk. Dia meletakan tas ransel beratnya di rerumputan. Dia bersembunyi ketika melihat wanita cantik setengah baya sedang bersenandung ria sambil sibuk memasukkan beberapa bumbu. Evan keluar dari tempat persembunyiannya dan berteriak mengejutkan wanita itu.

“Evan! Kamu ini bikin Mama jantungan! Anak nakal!” katanya mencubit hidung Evan. Evan tertawa renyah dan memeluk wanita itu.

“Mama... kangen, nih!”

“Padahal kamu baru seminggu di tempat Kim.” kata Mama melepas pelukannya. “Cepat mandi Evan. Kau bau keringat. Kim mana?”

“Masih di Italy. Kayaknya enak nih, Ma,” kata Evan mengambil paha ayam goren dari piring. “Iya, iya, Evan mandi.”

Evan masuk ke ruang tengah dan menarik kopernya memasuki kamar dekat tangga. Remah-remah paha ayam goreng berjatuhan. Saat dia masuk ke kamarnya, dia langsung merebahkan diri.

Memang lebih enak di kamar sendiri, batinnya mengamati kamarnya yang gelap, berantakan dan berdebu—bahkan ada sarang laba-laba di beberapa sudut. Di kamar Kim terlalu wangi. Dia bahkan kayak perempuan. Mama salah ngelahirin kali, ya?

Drrrrt...drrrrt...

Bergerak sedikit, Evan mengambil ponsel yang ada di saku belakangnya. Dahinya mengerut saat melihat ada tulisan 'Harry' di monitor ponselnya.

“Apa, Harry?” kata Evan mengambil tulang dari mulutnya. “Tumben.”

“Van, kau ada dimana?”

“Ya di rumah. Ini baru nyampe.” Evan melempar tulang ayam begitu saja.

“Bilang sama Mama kalau kami baru nyampe besok, ya? Ada urusan, nih.”

“Kami siapa?”

“Ya kami. Papa, aku, Kim.”

“Kim ada disana?”

“Nggak. Tapi dia janji kalau kami nanti berangkat bareng ke rumah dari bandara.”

“Oooh.”

“Daniel udah nyampe belum?”

Evan menahan tawa. “Yah... kau dengar kabarnya aja dari sana.”

“Kau apakan dia? Heh, Evan! Jangan di--”

Tut...tut...

Evan memutuskan hubungan begitu saja. Dan melempar ponselnya ke tumpukan baju kotor yang sudah menumpuk disana selama dua minggu.

***

Grace melirik jam dinding. Dalam waktu lima detik, bel akan berdering dan dia akan segera melesat untuk segera menemui abang-abangnya tersayang sebentar lagi.

Lima... empat... tiga... dua... satu... TING TONG

Grace mendesah lega. Dia cepat-cepat membereskan barang-barangnya untuk segera minggat. Bu Guru sudah meninggalkan kelas ketika Stevani, teman sekelasnya datang.

“Grace, nonton tanding basket, yuk?”

Grace menatap gadis cantik berambut panjang lurus itu.

“Sori, nggak bisa. Ada urusan penting,” kata Grace menggeleng. Dia menggandeng tas ranselnya. Stevani menyejajarkan langkah mereka.

“Ada urusan apa?” kata Stevani. “Hari ini kan Refan yang main. Grace.”

“Emangnya kenapa kalau Refan yang main? Memangnya dia itu artis, ya?”

“Eh, siang, Refan!” Stevani melambai pada Refan yang lewat di depan mereka beserta anak-anak basket. Grace terpelongo. Panik. Dia dengar tadi nggak ya aku bilang apa?

“Minggir.” kata Refan pada Grace. Dia menatap tajam Grace.

Kelihatannya dengar, timpal Grace dalam hati. Grace menyingkir.

Anak-anak basket yang sudah berseragam basket—warnanya putih biru—mengikuti Sang Kapten melewati Grace dan Stevani. Ada dari antara mereka yang tersenyum ramah pada Grace.

“Cool,”kata Stevani dengan mata berkaca-kaca.

“Kulkas maksudmu?” timpal Grace. Dia berbalik ketika menyadari kalau Stevani menyadari perkataannya barusan.

“Kenapa, sih kau benci banget sama Refan?” kata Stevani mengikutinya.

“Cowok cuek kayak dia apa bagusnya, sih? Lagian ngomongnya cuma per kata. Nggak pandai bahasa Indonesia. Apalagi...”

“Apalagi...?”

Apalagi aku belum lupa perbuatannya setahun lalu sama aku! Huh!

“Lupain aja.” kata Grace melewati koridor. Stevani belum puas.

“Ada sesuatu yang terjadi antara kau dan Refan ya? Cerita dong! Jangan-jangan kau emang udah kenal Refan sejak SD, lagi. Kasih tahu, dong—“

“Stev, kalo mau nanya sal Refan jangan samaku. Tanya aja tuh sama ahlinya,” Grace menunjuk kerumunan Ananda and the gank (yang terdiri dari Rita, Rati dan Yani), yang menamakan diri mereka Pecinrai (Pecinta Refan). Grace pernah ditawari masuk, tapi Grace ogah, deh! Ihi! Bikin merinding!

“Sama Pecinrai? Nggak mungkinlah. Mereka itu kan amat dibenci Refan.” kata Stevani memandang ngeri geng Pecinrai. “Refan itu emang misterius, ya? Nama lengkapnya aja kita nggak tahu, nama orang tuanya, alamatnya, nomor teleponnya.”

Ehehe, kalao nomor telepon, sih aku ada. Dan setelah kutanya lebih lanjut sama ahlinya yaitu Kak Harry. Dia bilang kalo itu bukan nomor telepon biasa.

“Hm... nomor telepon ini dibuat khusus, Dek. Bisa dibilang untuk golongan konlomerat gitu, deh—bisa dibilang setingkat dengan bangsawan. Nah, yang punya nomor kayak gini, juga ada di rumah ini, Dek.”

“Oh, ya? Siapa?”

“Loh, nggak pernah tahu, ya? Aku, Papa, Mark, Kim, Daniel, Evan mungkin punya juga,” kata Harry menggosok-gosok dagunya.

“Eh? Tapi aku kok nggak tahu?”

“Itu nomor bisnis, Dek. Nomornya hanya bisa masuk bagi mereka yang tipe nomornya sama. Itu sebabnya, orang-orang kayak Daniel, Mark dan Kim amat susah dicari informasi.”

Emangnya dia itu orang hebat apa? Huh, sok penting!

“Aku duluan, ya?” kata Grace melewati lapangan basket yang masih kosong.

“GRAAACE!! Plis, dong!! Temenin aku!!”

“Nggak mau!”

“Kalian berdua ngapain, sih?” Choki muncul sambil memperbaiki kaca matanya. “Bentar lagi pertandingan tapi kalian ada di tengah lapangan.”

“Jangan ikut campu, deh, Ketua Osis!” kata Stevani sebal.

Choki adalah Ketua Osis SMP Harapan Bangsa dengan catatan “JABATAN YANG DIBERIKAN LANGSUNG OLEH REFAN”. Sebenarnya, Refan-lah yang menang dalam acara demokrasi sekolah itu. Hanya saja Refan, yang ternyata dipaksa oleh guru bahasa Indonesia agar ikut berpartisipasi, tidak berminat jadi Ketua Osis dan memberikan jabatan itu pada Choki.

“Aku jadi Ketua Osis kan?” kata Refan pada Choki di depan podium.

“Iya,” kata Choki sebal.

“Semua perkataan Ketua Osis mutlak untuk para anggota kan?” jata Refan lagi.

“Iya,” kata Choki lagi. Dia jadi tidak mengerti.

“Nah, kuperintahkan kau menggantikan posisiku sebagai Ketua Osis mulai sekarang.”

“Ha?”

begitulah kejadian yang sebenarnya. Sungguh tidak bertanggung jawab kan? Grace benar-benar tidak menyangka ada makhluk seperti itu dimuka bumi ini. Ditambah lagi dia itu manusia!

“Sebaiknya kalian menyingkir, deh.” kata Choki lagi.

“Ayo, dong Grace!!” Stevani merengek dan menarik-narik tangan Grace. “Apakah urusan itu lebih penting dari Refan?”

“LEBIH PENTING DARI REFAN!” kata Grace menarik tangannya dan mengenai punggung Refan yang lewat di belakangnya. Grace, Stevani dan Choki menganga.

“Lain kali hati-hati, ya?” kata Refan, nadanya sinis dan menyebalkan.

Grace lemas. Aduuuh! Salah lagi...

***

Tarandra membuka pintu ketika bel berdering selama beberapa kali dari pintu depan. Dahinya mengerut ketika melihat Pemuda berkaca mata ada di depannya. Dia langsung memeluk Pemuda itu sampai keluar air mata.

“Oh... Mark... Mama kira kamu tidak pulang!”

“Aku sengaja ngambil cuti,” bisik Mark mengecup pipi Mamanya. “Evan mana, Mom?”

“Di kamar. Kamu kok tahu kalau Evan udah pulang?” kata Tarandra heran. Mark menarik kopernya ke dalam.

“Evan membuat masalah buat Daniel, Mom. Mungkin sekarang Daniel dalam masalah yang cukup mempertaruhkan karirnya.” kata Mark lagi.

“Altrax pulang? Apa yang dilakukan Evan padanya?”

“Dia membuka penyamaran Daniel di bandara, dan—,” Mark tidak melanjutkan. Dia menghidupkan televisi dan mencari saluran gosip. Ternyata tidak sulit karena semua acara sibuk membicarakan Daniel.

“Dilaporkan bahwa Daniel Altrax, Model UK dan terkenal sangat berkelas ini ditemukan di bandara leh sejumlah penggemarnya. Ini merupakan sesuatu yang tidak biasa, mengingat Daniel sedang sibuk melakukan shooting di Nepal. Apakah—“

“Evan... dia nakal sekali mengerjai adiknya sendiri!”

TING TONG TING TONG TING TONG

“Istirahatlah, Nak. Mama buka pintu dulu,” kata Tarandra menuju pintu. Dia membuka pintu dan terkejut melihat Daniel adda di hadapannya.

“Halo, Mummy! Sehat?” kata Daniel, wajahnya penuh keringat dan ddebu. Dia tidak membawa koper melainkan tas ransel kecil yang berhasil diselamatkannya dari cewek-cewek brutal yang merupakan fans beratnya. Napasnya tidak teratur.

“Altrax! Kamu sehat kan? Mark baru saja cerita—”

Tarandra memeluk Daniel dengan penuh kasih sayang. Tubuh Daniel basah karena keringat. Dia juga memapah Daniel untuk duduk disalah satu sofa.

“Masih hidup kau, Dan?” kata Evan turun dai tangga. Wajahnya terlihat senang sekali. “Kupikir kau bakal pulang sekitar tengah malam.”

“Maumu,” gerutu Daniel sebal.

“Bagaimana petualanganmu?” kata Evan lagi. Dia duduk disebelah Daniel. Tarandra hanya menggeleng-geleng saja, kemudian dia bangkit ke dapur. “Pasti se—ADUH! Kenapa kau memukulku, Mark? Aku salah apa padamu?” katanya memegang kepalanya yang baru saja dipukul Mark.

“Justru karena kau tidak ada salah, aku jadi makin ingin memukulmu,” kata Mark nyengir lebar pada Daniel.

“Pukulan yang sangat hebat!” puji Daniel.

“Thank you,” kata Mark.

“Bang? Udah pulang?” Grace yang baru datang menghambur kearah mereka dan memeluk mereka bertiga sekaligus. “Grace kangen, nih. Bang Daniel kenapa?”

“Habis lari marathon keliling Jakarta, hampir aja ke Puncak,” kata Daniel.

Evan, Mark dan Grace tertawa.

“Papa mana?” kata Grace duduk diantara Mark dan Daniel.

“Masih di London. Ada rapat gitu, deh abreng teman-temannya.” kata Daniel menyeka keringatnya. “Aduh haus, nih. Dek, ambilin minum.”

“Ok.” Grace bangkit dan Tarandra muncul membawa pudding yang dingin kesukaan Daniel. Evan merengut.

“Aku nggak percaya kalo Papa rapat. Papa pasti selingkuh.” kata Evan. Tangan Tarandra yang tadi meletakan nampan seketika itu juga berhenti di udara. “Papa itu kan ganteng, kaya, jenius, sendirian lagi di UK. Pasti banyak tuh yang ngegodain Papa. hm... bisa kuduga kalo Papa pasti mengambil sekretaris canti seksi sebagai isteri kedua.”

“Dad bukan orang yang kayak gitu,” kata Daniel menempeleng kepala Evan.

“Aku tahu orang seperti apa Daddy kita. Jadi itu amat mustahil. Kalau dia mau isteri baru pasti udah dulu-dulu. Ngapain nunggu sampai punya anak enam? Udah dewasa lagi kayak kita,” timpal Mark. Tapi, percuma saja berkata begitu, karena Tarandra sudah termakan ucapan Evan.

***

Geon Nunz Richard menganga tidak percaya. Dia melihat layar laptop yang menampilkan Daniel seakan tidak pernah melihat Daniel sebelumnya. “Evan bilang kalau Papa selingkuh? Dasar anak kurang ajar!”

“Benar, tuh Dad. Aku aja dikerjain dia waktu sampai di bandara.” kata Daniel mengangguk-angguk setuju.

“Dia harus dihukum! Memangnya Papa salah apa, sih? Enak aja dikatai selingkuh sama Sekretaris. Sekretaris Papa kan laki-laki! Jadi Papa selingkuh sama laki-laki begitu? Idih, amit-amit! Miss Universe aja Papa nggak doyan!”

“Benar tuh, Dad. Hukum aja!”

“Baiklah. Hukuman apa yang pantas bagi Evan?” Geon berpikir.

“Cabut aja semua uang jajan Evan, Dad. Evan tanpa uang jajan pasti membuat dia kapok tuh buat ngusilin orang.”

“Baiklah. Papa akan tutup semua uang jajan Evan.”

hehehe, rasain kau Evan!

***

Tarandra hanya menyipit tajam berbahaya ketika mobil BMW hitam berhenti di depan gerbang. Geon, Kim dan Harry turun dari mobil dan segera masuk ke dalam mobil. Kim yang langsung mendapatkan pelukan yang pertama sebagai anak yang palaing disayangi di rumah ini—paling lemot, sih, kata Evan.

“Kau kurus sekali, Nak. Cukup makan tidak, sih di Italy? Lihat wajahmu pucat begini. Oh, Harry!”

Gantian, kini giliran Harry, sang Putra Sulung yang dipeluk.

“Kau tampan sekali. Gagah. Mama bangga.”

dan saat giliran Geon sebagai kepala keluarga...

“Ayo semuanya masuk ke rumah!” Tarandra membimbing anak-anaknya masuk ke rumah dan berpura-pura kalau Geon tidak ada disitu.

“Loh, Mama? Papa kok nggak disambut?” kata Geon tersinggung ketika ditinggalkan seorang diri di pintu depan.

“Mama nggak mau menyambut orang yang selingkuh!” kata Tarandra.

Dahi Kim dan Harry mengerut. “Selingkuh?”

***

“Mama,” Geon mendekati Tarandra dalam sekian ratus kali usahanya meminta maaf. “Papa nggak selingkuh. Papa cuma cinta sama Mama.”

“Rayuan buaya! Berapa banyak cewek yang kamu rayu dengan cara itu?”

“Cuma Mama doang. Suer, deh!”

Evan mengendap-endap naik keatas tangga. Ditangannya ada handycam yang menyala. Daniel yang heran melihat tingak Evan mengerutkan dahi.

“Sedang apa?” kata Daniel.

“Shhhttt!” Evan menempelkan telunjuknya ke bibir. Dia membuka pintu secara perlahan dan mengintip. Tidak lupa dia merekam kejadian itu.

“Nagapain, Bang?” kata Grace pada Daniel. Daniel hanya mengangkat bahu.

“Heh, Evan! Itu kan privasi!” kata Harry yang mengintip apa yang Evan lihat.

“Apa, sih? Kalian ngapain ngumpul-ngumpul di depan kamar Dad-Mom?” kata Mark yang baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah.

Daniel mengintip dari balik pintu, tepat dibawah Evan. Harry mengintip di atas kepala Evan, dan Mark ada di atas kepala Harry—dengan tangan sibuk diatas kepala. Kim—yang baru keluar dari ruang musik, mengerutkan dahi melihat tubuh-tubuh saudara-saudaranya yang saling menghimpit.

“Ada apa, Dek?” katanya pada Grace yang hanya mengangkat bahu. Kim melihat sekilas. “Oh. Ayah mencoba membujuk Mama.”

Tidak mau kalah, karena Kim juga ikut mengintip di atas kepala Mark. Grace juga ikut. Masalahnya, dialah yang paling pendek. Oleh sebab itu, dia menyisip ke bawah tubuh Daniel.

“Geser dikit, Bang.” bisiknya.

“Mama,” terdengar suara Geon. “Jangan percaya ucapan Evan. Mama yang paling tahu siapa Papa yang sebenarnya. Mana mungkin Papa selingkuh. Teman-teman dan orang kepercayaan Papa kan hanya sebatas teman kantor, tidak lebih. Hanya Mama yang ada di hati Papa.”

“Gombalannya boleh juga, tuh,” kata Mark berbisik. Evan mengikik geli. Daniel memasang tampang mau muntah.

“Mama nggak percaya,” kata Tarandra manja.

“Kok gitu, sih, Ma?” Geon mulai lagi dengan bujuk rayunya. Dengan lembut dia meraih tangan Tarandra. Evan makin mengikik geli. “Percaya, deh sama Papa. Tiada wanita lain selain Mama. Badai pun bisa Papa lewati untuk Mama.”

“Papa bisa juga tuh buat puisi,” bisik Harry geli. Nggak nyangka kalau Papanya yang super cool di mata bawahannya bisa jua bergombal-ria.

“Janji, ya nggak ada yang bisa menggantikan Mama,” kata Tarandra.

“Papa janji.”

Geon memeluk Tarandra.

“Cerita yang happy ending,” bisik Kim takjub.

Grace yang keram dari tadi, mengangkat kepalanya dan terantuk kepala Daniel. Kepala Daniel juga terkena siku Evan. Handycam evan jatuh, tangan yang satunya tergelincir dan mereka semua jatuh ke depan.

“HUWAAA!!!”

Geon dan Tarandra refleks bangkit dan menoleh. Mereka kaget melihat anak-anak mereka saling tindih di lantai.

“Ngapain kalian disana?” kata Geon, wajahnya merah padam,”kalian mengintip, ya?”

“Pa-Papa!”

Ada tangan kecil menggapai-gapai di udara.

“Pa, tolong Grace!!”

“Ya, Tuhan, Grace!!” jerit Tarandra.

Grace terjepit paling bawah dan hanya tangannya yang kelihatan.

***

Geon berjalan bolak-balik diantara kelima Putranya yang berjejer rapi dari yang tua sampai ke yang muda dengan urutan: Harry, Mark, Kim, Evan dan Daniel. Dia menatap mereka semua.

“Jadi, tingkah kalian berlima sungguh memalukan. Kalian berlima menimpa adik kalian yang paling kecil. Perempuan pula! Kalian ini lebih besar dari Grace, tapi berani melakukan tindakan tidak terpuji itu. Adik cuma seorang saja, tapi tidak bisa dijag!” gerutu Geon duduk di sofa dimana Grace dan Tarandra duduk disitu juga.

Harry mengangkat tangan dengan perlahan.

“Apa pembelaanmu, Harry?” kata Geon.

“Pa, Harry nggak punya seorang adik tapi lima,” kata Harry pelan.

Geon menggeleng-geleng lemas. Kepalanya sakit.

“Idiot,” gumam Mark.

“Maaf, Ayah. Kami salah,” kata Kim menunduk bersalah. Sebentar lagi dia mungkin bisa menangis.

“Papa akan menghukum kalian supaya kalian jera dengan perbuatan kalian,” kata Geon. “Harry, kau harus memasak. Mark membersihkan rumah. Altrax cabuti rumput halaman. Evan kamu ngepel—”

“Yah... hitam, deh,” kata Daniel melihat kulitnya.

“Oh tidak. Altrax gantian dengan Evan. Lalu, Kim—”

Semua menatap keaah Kim.

“Kim ikut kami jalan-jalan.”

“APA??” kata Harry, Mark, Evan dan Daniel bersamaan. “TIDAK ADIL! Kok begitu, sih? Curang banget! Dasar pilih kasih!”

“Karena cuma Kim yang meminta maaf. Dia lepas dari tuduhan. Sidang ditutup!”

***

Spalsh!

“Sial, sial, sial!” umpat Mark memeras kain pelnya dengan susah payah. “Benar-benar pilih kasih! Memang wajah Kim yang paling manis diantara kita semua. Tapi kenapa harus dia terus, sih yang dibela? Huh!”

“Semalam aku baru lari-lari,” kata Daniel mengepel di lantai dua,”kakiku masih sakit dan sekarang aku disuruh-suruh begini. Huh! Kalau ada wartawan yang melihatku, bisa hancur reputasiku!” gerutu Daniel ikut-ikutan.

“Hmmm,” Harry mucul dengan piring berisi makanan ditangan. “Lezat.”

harry bersenandung dengan ria. Dia mengelap tangannya ke celemek coklat yang dia pakai. “Maha karyaku akhirnya tercipta juga.”

“Masterpiece apa kali ini, Harry?” Daniel mengintip dari atas. Merpati Kim—yang memang sesuka-suka hatinya terbang seakan ini kandang miliknya—berterbangan hilir mudik di atas kepala mereka.

“Daging rendang ala Harry,” kata Harry bangga.

CROT

Harry menatap tidak percaya ke atas piring miliknya. Ada benda lain yang tidak ada disitu. Tahi burung. Harry melihat ke atas dan melihat si Merpati terbang mengitarinya di atas.

“Burung jelek... KUPANGGANG KAU!!”

Harry berlari mengejar si Merpati. Tangannya memegang spatula yang mencoba untuk memukul si Merpati. Merpati Kim terbang ke atas, belum menyerah. Harry juga ikut mengejar.

“Sini kau burung jelek!” teriak Harry.

CROT

“AAAHH!!” Daniel berteriak melihat lantai yang tadi berkilat kini penuh dengan kotoran burung.

Bluk... blak!!

Harry menabrak ember milik Daniel. Airnya tumpah dan jatuh ke tangga. Air itu membasahi lantai bawah, tepat saat Mark sedang menyapu. Ember bahkan masuk ke kepalanya.

“Daniel!!!” teriak Mark dari gaung ember.

“Sorry Mark! Gara gara si Merpati, nih!” kata Daniel, dia berteriak dan jatuh tergelincir. “Aduuuuuhh!”

“Sini burung! Akan ku pastikan kau akan jadi makanan yang lezat!” Harry berapi-api, dia melempar spatula. Spatula itu menghantam foto dan memecahkan keramik Tarandra.

“MERPATI!!!” Mark dan Daniel menyerbu dari belakang. Mereka udah kayak pasukan tempur.

Merpati mengepak-ngepakkan sayapnya dengan panik. Dia terbang melalui jendela. Harry yang masih panas, membuka pintu dengan bunyi bedebam.

“Aku akan bilang sama Kim kalau kau baru saja membuat kami susah tahu! Biar Kim yang memanggangmu!” kata Daniel panas memegang kain pel, dan Mark memegang gagang sapu.

Si Merpati hinggap di kepala Evan yang sibuk mencabuti rumput, sambil menggerutu. “Kim, rumput, Kim, rumput, Kim, rumput.”

TOK

“WADAW!!”

Mark baru saja melayangkan gagang sapunya ke kepala Evan. Maksudnya, sih hendak mengenai si Merpati, namun salah sasaran. Mission is failed.

“Kalian ini tega banget, sih? Salahku apa?” kata Evan meringis memegang kepalanya. Dia dapat merasakan ada benjolan yang muncul melewati rambutnya. “Mark, ngapain kau mukulin aku terus? Kulapor entar sama polisi!”

“Sini burung!!”

Seakan tidak mendengarkan Evan dan gerutuannya, mereka berlari lagi mengejar si Merpati yang telah terbang beberapa meter ke depan. Evan mengikuti dari belakang. Tapi mereka berhenti mengejar ketika melihat si Merpati sudah hinggap di bahu majikannya. Kim.

“Ngapain kalian ngejar-ngejar Merpati?” kata Kim heran melihat kondisi mereka.

Harry yang ngos-ngosandengan spatula ditangan. Daniel yang memegang kain pel sementara dia memegangi pinggangnya juga. Mark yang basah deengan sapu yang juga basah dan Evan yang memegangi kepalanya dan rumput di tangan yang lain.

“Serahkan burung peliharaanmu itu. Dia banyak membuat masalah. Aku akan memanggangnya untuk dijadikan makan siang,” kata Harry dengan tangan mengadah.

Kim membulatkan mata.

“Tidak mau. Enak saja. Aku menyayangi dia.” kata Kim

“Kau kan masih punya banyak peliharaan lain. Si Anjing, si Babi, si Parkit, si Ular dan semua binatang yang nggak mau kau namai kecuali dengan nama aslinya,” kata Evan sebal.

“Ada apa ini?” kata Geon keluar dari mobil untuk mengambil situasi kepemimpinan. Dia sudah tahu kalau Kim bakal dikeroyok kalau tidak segera di tolong.

“Loh, Daddy nggak jadi pergi jalan-jalan?” kata Daniel heran.

“Ini Papa mau mengambil SIM Yang ketinggalan. Papa kesini sebenarnya mau mengajak kalian untuk ikut dan melupakan masalah itu atas permintaan Kim.”

“Huh, sok baik,” kata Mark.

“Nah, Kim, kamu sudah dengar? Mereka tidak mau, jadi sebaiknya kita pergi saja sekarang,” Geon merangkul Kim dan menariknya masuk mobil.

“Bego!” kata Daniel, Harry dan Evan bersama-sama menempeleng kepala Mark.

***

Sekilas mengenai Keluarga Grace

Di rumah Grace ada delapan orang penghuni rumah. Dan keluarga Grace biasa disebut sebagai keluarga Richard.

Geon Nunz Richard adalah Kepala Keluarga dirumah ini. Usianya sekitar 45 tahun. Geon bekerja sebagai Presiden Direktur sekaligus Pemegang Saham dari perusahaan yang bernama Richard Coorperation. Beberapa perusahaan itu juga ada di beberapa di negara Dunia. Salah satunya Inggris, Amerika, Indonesia dan Jerman.

Tarandara Richard, Ibu dari semua anak-anak di rumah. Usianya mungkin 44 tahun. Sering merasa kesepian kalau semua anak-anaknya tidak di rumah. Kadang malah dia dan Grace saja yang tinggal dirumah besar itu. Dia tidak suka memakai pembantu. Selain tidak perlu, bikin repot privasi anak-anaknya yang kelewat tampan.

Putra Sulung Pertama bernama Alexandro Harry Richard. Dia sudah dewasa dan aktif membantu Geon mengurusi perusahaan. Kelak menjadi pewaris perusahaan itu. Orangnya cool, macho, intelek, super perfect dan nggak mau kalah. Tapi kadang kalau di kerjain bisa marah habis-habisan juga. Oh, ya usianya sekitar 23 tahun. Tapi belum ada tanda-tanda kalau dia punya cewek. Mungkin nggak laku.

Putra Kedua adalah Edwin Mark Richard. Penyanyi Internasional. Dia sangat dicintai oleh para fans karena suaranya yang amat menggemparkan. Mulutnya sadis sekali. Kadang malah bicara tanpa memikirkan perasaan. Diusianya yang ke-21, bayak artis remaja yang mengejar-ngejar cintanya. Tapi, saat ini belum ada yang mengetahui kisah pribadinya.

Putra Sulung Ketiga adalah Hans Kim Len Richard. Namanya emang kayak orang Korea, soalnya dia lahir disana. Walaupun tua, dia sering jadi objek penindasan terutama oleh Evan. Wajahnya manis sekali seperti perempuan. Anak kesayangan Geon dan Tarandra. Dia sangat ahli dengan biola, bahkan yang menyayat hati sekalipun. Walaupun sering dikatai lemot, bukan berarti dia tipe orang yang bisa kalah. Dia sibuk di Italy. Usianya sekitar dua puluh tahun. Perjalanan cintanya juga tidak terlalu terlihat. Soalnya gadis-gadis tidak terlalu menganggapnya, walaupun begitu, dia laki-laki tulen, loh.

Putra Keempat merupakan yang terjahil seantero rumah, Evan Eldin Richard. Mahasiswa jurusan Informatika ITB yang merangkap asisten dosen di UI dan UGM kadang malah mendapat panggilan mengajar di Unpad ini merupakan mahasiswa cool—di kampus—saja dan paling usil—di rumah. Dia suka membuat masalah. Cukup di kenal di berbagai kampus, temannya kebanyakan anak perempuan kaya raya. Dia membuat semacam bisnis begitulah. Dia juga calon pemegan saham, namun entah kapan kepercayaan itu diberikan padanya. hm... usianya mungkin 18 tahun.

Nah, anak laki-laki paling bungsu adalah Daniel Altrax Richard. Dia adalah model sekaligus aktor Legendaris nomor satu Internasional. Orang yang amat misterius. Bentuk tubuhnya amat ideal walaupun banyak makan. Diusianya yanh ke-16 tahun, dia malah sudah masuk ke salah satu universitas internasional. Hanya saja mungkin memakai sistem belajar on line karena dia amat sibuk.

Kemudian yang paling bungsu adalah Gracelia Natalie Richard. Siswi SMP kelas 2 di SMP Harapan Bangsa. Cewek biasa yang manis, tapi walaupun biasa-biasa saja, banyak cowok diam-diam naksir padanya. Dia paling disayang sama Abang-abangnya, apalagi Kim yang sering ngasih dia barang-barang cewek yang manis-manis.

Kayaknya Kim ada bakat buat jadi perempuan, deh... hehehe. Itulah sekilas tentang keluarga Grace.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.