RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 13 Februari 2009

Charlie Eps 2

CHARLIE

Written by: Prince Novel

2.

New Model

Sudah seminggu sejak aku mengunjungi kantor Papa. Hari-hariku kembali normal seperti biasa, datar, membosankan dan tidak terjadi hal-hal yang mengejutkan. Kulewati beberapa anak cewek yang bergerombol sambil membuka-buka majalah. Mereka menyapaku.

Pagi, Kak Charlie!” sapa salah seorang dari mereka.

Ya, pagi.” balasku dan kembali menuju kelasku. Aku kembali menguap. Hari ini aku begadang menyelesaikan tugas Fisika. Belum lagi hari ini ada ujian Kimia.

Ada apa, sih? Lihat, dong.”

Keren banget, deh!”

Mau, deh!”

Pembicaraan biasa tiap cewek di sekolah ini adalah mengenai para model. Aku cuek. Maklum, aku tidak mengerti hal-hal yang begituan, tapi kalau mengenai rumus-rumus kimia atau fisika padaku. Aku akan menyemburkan semuanya padamu.

Pagi, Charlie!” sapa Carla secara sekilas saat aku memasuki kelas. Setelah itu dia kembali mengobrol dengan Riesan. “Cowok ini keren banget! Tapi kok cuman ada satu, sih fotonya?”

Lie, udah siap tugas Fisika? Nyontek dong!” ucap Khalil, Ketua Kelasku sekaligus Ketua Osis.

Nih, aku udah buat jalan yang beda,” kataku memberikan buku khusus—buku berisi contekan dengan jalan yang lebih berbeda dari sebelumnya.

Thanks, ya. Oi, semua! Nih, ada contekan!” teriak Khalil. Serentak seluruh anak yang belum mengerjakan tugas segera mengapitnya dan mulai berebut.

Aduh, makasih ya, Lie. Kita jadi tertolong!” kata Carla yang menuju meja Khalil.

Aku duduk menjauh dan melihat majalah yang dari tadi kelihatannya sangat familiar. Oh, rupanya itu majalah yang terus terlihat sejak aku berjalan dari koridor. Majalah “Jepret!” isinya tentang gosip semua model. Kok ada orang ya yang mau beli majalah beginian. Sambil menggeleng, aku menutup majalah itu. Cover depannya anak cowok berkaca mata dan bertopi.

Ng? tunggu. Kayaknya aku kenal, deh sama wajah itu.

OH ASTAGA!! ITU KAN AKU!!

Aku menatap lekat-lekat majalah itu. Tidak salah lagi. Itu memang aku. Siapa yang berani-beraninya menaruh wajahku disitu? Tunggu, tunggu, rasanya aku tahu deh kapan foto ini diambil. Ini foto waktu di kantor Papa.

Oh, Charlie rupanya suka melihat model itu, ya? Keren banget ya tuh cowok,” celetuk Carla dari depan. “Wajahnya segar banget. Lain dari biasanya! Dia manis banget!”

Sejak kemarin anak-anak cewek sibuk membicarakan dia terus. Apa, sih bagusnya dia?” kata Adam dari seberang ruangan. Dia sibuk menghapus papan tulis.

Tanganku gemetaran saat melihat fotoku dalam versi cowok. Shock sendiri. Apa-apaan sih ini? Kok bisa-bisanya Diaz memasukkan fotoku disini? Dasar dia itu! Apa, sih maunya? Papa juga tidak bilang apa-apa! Kok begitu, sih?

***

Papa! Ini apa maksudnya?”

Sepulang sekolah, setelah mengganti pakaianku, aku langsung melesat ke Digital Entertainment untuk menanyakan apa maksud dari majalah ini. Papa yang sibuk dengan film kelihatan kaget saat aku datang tiba-tiba. Beberapa pegawainya melihat kearahku dengan sangat berminat.

Charlie, kalau mau masuk ketuk pintu dulu, dong!” kata Papa mengusap-usap dadanya. “Papa sampai jantungan. Ada apa, sih? Kenapa kau berpakaian begitu lagi?”

Aku mau tanya soal 'ini'!” kataku meletakkan majalah “Jepret!” ke atas meja. Papa membulatkan mata dan menganga tidak percaya. Kelihatan jelas kalau dia tidak tahu mengenai majalah itu.

Loh? Kok wajahmu ada disini?” kata Papa heran melihat majalah itu lekat-lekat.

Harusnya itu pertanyaanku!” kataku sebal. “Kenapa Papa tidak melarang Diaz agar dia tidak mempromosikan wajahku?”

Eh? Diaz? Papa tidak tahu. Papa bahkan baru tahu.” kata Papa dengan wajah polos.

Mana dia?”

Aku disini.” kata Diaz dari balik pintu. Seperti biasa, dia memegang kameranya. Hari ini dia memakai T-Shirt ketat yang membentuk tubuhnya yang berotot. “Kau membuat kehebohan disini, makanya aku langsung kesini. Ada apa?”

Jelaskan padaku tentang ini! Kau pasti tahu sesuatu kan?” kataku lagi memegang majalah itu ke depan hidungnya. “Kenapa kau menaruh wajahku jadi cover majalah?”

Bagus kan? Majalah itu jadi laris.” katanya.

Apa?”

Diluar dugaan, majalah itu laris karena wajahmu. Para pembeli kecewa saat isinya tidak membahas tentangmu. Apa boleh buat, fotomu cuma satu, sih.” katanya cuek.

Aku tidak tanya soal larisnya majalah itu! Aku bertanya soal kenapa wajahku bisa ada disitu!” kataku sebal. Gigiku merapat.

Oh. Aku tidak bisa motret kalau nggak mood. Dan saat kau datang tiba-tiba mood-ku kembali, jadi aku masukkan saja fotomu karena hasilnya memuaskan. Apalagi pihak produser juga setuju. Kau tidak senang?” katanya lagi.

Tentu saja!” kataku. Ini orang, tentu saja aku nggak senang kalau tiba-tiba wajah dalam versi cowokmu muncul di majalah. Kalau ada orang kenal gimana coba?

Ya, sudah.” kata Diaz mengangkat bahu dengan tidak peduli.

Kau tidak boleh mempublikasikan wajahnya tanpa seizinnya,” Papa tiba-tiba berbicara. Nada bicaranya yang tenag dan dalam agak membuatku kaget—dan pegawainya juga.

Bram, aku hanya memotret bukannya merampoknya,” kata Diaz. “Lagipula, seharusnya dia senang kalau wajahnya muncul di majalah. Sekarang kan banyak orang yang kepingin terkenal.”

Aku tidak mau Charlie-ku terkenal,” kata Papa dingin. “Cukup aku saja yang bekerja. Kewajibannya saat ini hanya belajar. Bukannya masuk majalah.”

Oh, dia punya kesempatan, Bram!”

Kali ini muncul lagi orang asing. Laki-laki lagi. Dia memakai stelan jas dan kaca mata. Rambutnya disisir rapi. Dia kelihatan taman dengan senyum bisnis yang agak menakutkan. Dia melihat kearahku, dan tersenyum.

Ah, Charlie! Kau lebih manis dari yang difoto!”

Aku mundur dan bersembunyi di balik tubuh Papa. Ada sesuatu yang membuatku takut pada cowok itu. Tapi apa itu aku sendiri tidak tahu.

Aku Santiago Duffan, Produser Digital Entertainment.” katanya ramah. “Tolong jangan bersembunyi dibalik punggung Bram, aku tidak bisa melihatmu dengan jelas.” katanya saat aku kembali menghindarinya yang mencoba menjabat tanganku. “Jangan takut begitu. Aku cuma mau mengucapkan terima kasih. Berkat kau, majalah yang kami rilis, laris manis di pasaran.”

Aku merasa dirugikan karena keuntungan Anda,” kataku masih tetap bersembunyi.

Oh, jadi kau minta keuntungan? Boleh.”

Aku mengerutkan dahi. Masih belum percaya pada orang itu.

Dasar anak Papa, ngapain kau bersembunyi di balik tubuh Bram? Kami kan tidak memakanmu hidup-hidup.” kata Eugene yang masuk ke ruangan itu bersama dua temannya yang kelihatan tampan. “Huh! Masa' anak laki-laki bertingkah seperti itu? Bram, kau terlalu memanjakannya.”

Aku menggelembungakn pipiku. Huh!

Tolong semuanya,” kata Papa tiba-tiba. “Masalah ini akan aku anggap selesai sampai disini. Sekarang, bisakah kalian kembali ke tempat kalian masing-masing? Aku masih punya banyak pekerjaan. Masih ada yang harus diselesaikan.”

Kenapa harus terburu-buru begitu, sih, Bram?” kata Santiago. “Aku repot-repot datang kesini karena mendengar kalau Charlie datang. Ada penawaran bagus yang ingin aku beri paddanya. Kau mendengarnya Charlie?”

Kalau kau memintaku jadi Model, aku tidak mau.” kataku.

Kau anak yang cerdas, ya?” kata Santiago lagi. “Kau ada bakat buat dikenal orang loh. Aku pasti mempromosikanmu tanpa masalah. lagipula—”

Aku sudah bilang kan kalau aku tidak mau. Kau tidak dengar? Aku lebih mementingkan pendidikanku dari pada jadi terkenal.” kataku sebal.

Aku merasakan kalau ada aura mengerikan di belakang punggungnya.

Bram, bisa tidak sih kau menyuruh anakmu kehadapanku?” katanya lagi. “Aku sebal sekali padanya. Tidak masalah kan kalau dia kupukul?”

Maaf, Santiago, bukannya aku bermaksud untuk melawanmu, tapi aku tidak mengijinkan seorang pun melukai anakku. Tidak seorang pun, bahkan itu kau atau orang yang palin penting baginya,” kata Papa dengan nada dingin.

Charlie, kau tahu kan kalau kekuasaanku mutlak?” katanya padaku. Aku heran, apa maksudnya dia berkata seperti itu coba?

Papa-mu tersayang adalah bawahanku,” lanjutnya. “Kau tidak mau dia kupecat kan?”

Kalau begitu kau itu orang yang diktator,” kataku karena bisa menangkap maksudnya.

Kalau kau tidak mau jadi model. Aku akan memecat Papa-mu tersayang.”

Aku mencengkram lengan Papa. Orang ini tidak bisa digertak dnegan mudah. Sekarang dia mencoba mengatakan akan memecat Papaku. Tidak bisa dibiarkan. Papaku sangat mencintai pekerjaannya. Aku tidak bisa membiarkannya dipecat.

Aku lebih memilih dipecat, Santiago,” kata Papa. “Aku tidak berminat bekerja jika anakku merasa terbebani. Aku bisa mencari kantor lain yang bisa menerimaku.”

Papa...

Ayo, Charlie, kita pulang. Kau pasti belum makan siang kan?” Papa menarik tanganku. Aku hanya dapat mengikutinya saat dia membawaku menerobos pegawai-pegawainya beserta beberapa model dan aktor yang ada di dalam.

Pa, tunggu,” kataku mencoba menarik tanganku. Tapi percuma saja, pegangan Papa erat sekali. “Kalau Papa dipecat, Papa akan bekerja dimana?”

Papa bisa bekerja dimana saja. Papa bisa jadi teknisi kok, Papa juga bisa jadi koki. Papa tidak keberatan bekerja sebagai apapun asal dapat membesarkanmu dengan layak,” kata Papa masih menarikku melewati koridor.

Tapi...”

Papa menghela napas. Dia berhenti dan berbalik.

Tidak apa-apa, Nak. Papa lebih suka menderita demi kebahagiaanmu.” kata Papa tersenyum. Ini yang aku sukai darinya. Dia selalu bisa tersenyum disaat susah sekalipun. “Jangan takut. Semuanya akan baik-baik saja.”

Papa selalu bilang itu kalau kita sedang susah,” gumamku. Dia tertawa. “Kok tertawa?”

Sebab Papa tidak mau memikirkan hal-hal yang sulit dalam hidup,” kata Papa merangkul. “Dengar, Charlie, bagiku kau sangat berarti. Aku tidak akan membiarkanmu terjatuh. Aku sudah janji pada Mama-mu supaya tidak terlalu banyak bersedih. Hidup ini untuk dijalani, bukannya dipikirkan.”

Wuah!! baru kali ini aku mendengar kata-kata bijak seperti itu. Hehe, Papa memang hebat! Tapi walaupn Papa-ku orang yang hebat, aku tidak mau melihatnya terus berkorban.

Pa, kali ini biar Charlie aja, deh.” kataku melepas rangkulanku.

Maksudmu?” kata Papa heran.

Kali ini biarkan aku saja yang menjalani hidupku tanpa bantuan Papa. Lagipula, akhir-akhir ini aku sering merasa bosan. Nggak ada yang menarik, sih.” kataku melipat tangan sambil berpikir.

Charlie, masa' sih kamu mau—tapi nanti kau harus—j”

Sssht,” aku menutup mulut Papa. “Pa, ini rahasia kita aja, ya? Aku nggak mau Papa kehilangan pekerjaan cuman karena aku tidak setuju masalah sepele. Kali ini biar Charlie yang urus.”

Tapi—Lie!”

Aku tidak mendegarkan perkataan Papa karena aku sudah berbalik menuju kantor Papa. Disana masih berkumpul orang-orang yang tadi. Aku mengetok pintu. Perhatian langsung beralih padaku.

Charlie?” kata Santiago bangkit dari kursinya. “Kau kembali?”

Aku bersedia jadi model dengan tiga syarat,” kataku pada Santiago.

Huh, belum jadi model sudah berlagak,” gerutu Eugene.

Apa?” kata Diaz.

Pertama, aku mau pekerjaan Papa-ku kembali. Kedua, aku tidak mau tampil tanpa busana di depan kamera dan yang ketiga, aku tidak mau kalian mencari tahu identitasku.”

Santiago tercengang untuk beberapa saat. Kemudian dia mengangguk dan berkata setuju.

Well, kelihatannya hari-hari yang merepotkan akan segera dimulai.

***



0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.