08
Crush
==========
GABRIELLE(POV)
“Rayne Simons berpasangan dengan Gabrielle
McKenley-Cattermole.”
Aku menghela napas lega, menoleh pada Rayne yang
melambai padaku kemudian cepat-cepat bangkit dari kursinya dan duduk di
sebelahku.
“Aku bersyukur sekelompok denganmu, Gab,” kata Rayne,
meletakkan tasnya. “Bayangkan bila aku menghabiskan waktu dengan
manusia-manusia tak penting.”
Aku memutar bola mata, menatap white board, dimana Mr Clark Morietti sedang menulis tugas kami
kali ini selagi dia memanggil beberapa orang lagi untuk kelompok yang berbeda.
Beberapa dari siswa mendengus, protes di sana-sini, yang lain melirik kami
dengan tak suka, sedangkan yang lain lagi tampak pasrah.
Sejak aku masuk ke sekolah ini, tak pernah ada
satupun yang menyukaiku. Aku tak tahu apa masalah mereka. Tapi aku memilih tak
peduli. Semua ini dimulai dengan mereka mendatangiku dan bertanya macam-macam,
karena aku biasanya merespon dengan anggukan dan gelengan, mereka akhirnya
menyerah dan gosip menyebar dengan cepat. Para guru juga sudah menyerah
mengajakku bicara. Tapi, dari sekian banyak manusia yang ada di sini, hanya
Rayne, Wyalt dan Fanesca yang tak menyerah. Mereka, justru sebaliknya, menempel
padaku seakan aku mainan menarik, seperti teman-teman Oliver dan adik-adiknya
Jeremiah.
Mereka bilang aku “unik” dan “lain”. Aku tahu itu
bukan pujian.
Rayne (baca: Rai-ni) adalah orang yang pertama
menegurku di sini. Aku dan dia bertemu di koridor di hari pertamaku di sekolah.
Dia pemuda berambut coklat gelap. Matanya berwarna coklat, nyaris kuning
seperti mata elang. Dia tinggi dan tampan, nyaris tidak memiliki ekspresi.
Sekali saja aku melihatnya, aku tahu dia salah satu siswa populer di sini,
karena setiap kali dia lewat siswa lain akan menoleh padanya. Dia menempel
padaku dengan alasan bahwa aku tak banyak bicara dan itu yang dia butuhkan. Dia
sudah bosan berhubungan dengan para siswa yang sering ngiler melihatnya seakan
dia orang aneh. Tiap kali aku menghindarinya, tiap kali itu pula dia akan
muncul. Capek dengan tingkahnya, aku memilih membiarkannya.
“Jadi, bagaimana liburanmu?” tanyanya membuka
bukunya. Aku mendengus. “Aku juga merasakan hal yang sama. Kuharap hari ini tak
seburuk itu.”
Mr Morietti membagikan selebaran. “Tugas kali ini
adalah memberikan laporan mengenai galaksi yang kalian ketahui. Semakin banyak
informasi yang kalian berikan, semakin baik nilai kalian.”
Rayne membaca selebaran itu dengan tidak berminat.
“Untunglah aku jenius,” gumamnya dan aku mendengus lagi. “Dan untung saja aku
juga sekelompok dengan jenius.”
Aku menoleh padanya, memberikan tatapan yang
menyuruhnya untuk serius, tapi dia malah memberikan senyuman menyebalkan. Ok,
aku tak akan berbohong mengenai kejeniusan kami berdua. Aku dan Rayne selalu
mendapatkan nilai A+ dalam setiap pelajaran. Kami nyaris bersama dalam setiap homeroom, jadi aku bisa mengerti kenapa
dia bisa bertingkah begitu.
“Bukankah tak adil menjadikan dua orang jenius dalam
satu kelompok?” terdengar protesan, memberikan kami pandangan menusuk dan tak
suka. Oh, ayolah. Aku tahu mereka mengincar Rayne. Siapa yang tak ingin
sekelompok dengan Pangeran Sekolah?
Rayne mendengus. “Itu justru adil. Kalau aku
sekelompok dengan salah satu kalian, maka aku akan berakhir mengerjakan tugas
itu sendiri.”
“Mr Simons,
manner.” Mr Morietti memperingatkan, lalu melirikku. “Bagaimana menurutmu,
Mr McKenley-Cattermole?”
Aku mengangkat kedua bahu dan Rayne berbicara lagi,
“Oh, tidak. Aku tak akan melepasnya.”
“Baiklah, aku tak akan mengganti kelompok. Aku
memilih kelompok secara acak. Jadi kalian tak perlu protes.” Mr Morietti
kembali pada selebarannya, tidak mengacuhkan protesan para siswa.
Selesai dengan pelajaran hari ini, aku dan Rayne
bersama-sama keluar dari kelas menuju kantin. Rayne menungguku untuk meletakkan
buku-bukuku ke dalam lokerku. Wyalt dan Fanesca sudah menunggu kami berdua di
meja kantin. Mereka berdua melambai gembira pada kami.
Wyalt (baca: Wialt) berambut biru—benar, biru. Sebelum liburan, rambutnya
berwarna hijau. Dia juga salah satu manusia yang kutolerir keberadaannya. Pemuda
ini seorang seniman, jadi aku tak akan pernah kaget dengan gayanya yang
mengenakan skinny jeans yang robek di
sana-sini, atau sabuk tengkorak yang besar sekali di pinggangnya, atau
bandananya bertuliskan “You Die” di kepalanya, atau kalung rantai di lehernya.
Dia seperti Rayne, tidak banyak bicara. Dia menempel padaku karena hanya aku
yang tak merasa masalah pada penampilannya. Dia sempat terheran kenapa aku
tidak meliriknya dengan aneh. Tak ada yang salah darinya. Penampilannya cukup
oke.
Kemudian, ada Fanesca. Gadis itu cantik, mungil,
kecil, tapi energik. Rambutnya coklat keriting dan tebal, tergerai di bahunya
dengan bando merah sederhana di kepalanya. Dia juga tidak sama dengan yang
lainnya, mungkin itu sebabnya kenapa Rayne dan Wyalt tak masalah dengan
keberadaannya. Awalnya, saat kami berkumpul, kami hanya menghabiskan waktu
saling memandang satu sama lain, sampai akhirnya Rayne membuka pembicaraan.
“Kenapa kalian lama sekali?” Fanesca bertanya,
mencondongkan tubuhnya dengan bersemangat.
Rayne meletakkan tasnya, duduk di sampingnya
sementara aku duduk di samping Wyalt.
“Oh, siapa peduli,” Wyalt memutar bola matanya. “Kau
tahu apa yang diberikan Houdson pada kami hari ini?”
“Tidak. Apa?” Rayne bertanya. Wyalt dan Fanesca punya
kelas sepanjang jalan. Mereka jadi dekat karena itu.
“Kami akan punya bayi!” Wyalt nyaris menjerit ketika
mengatakan itu. Baik Rayne dan aku memandang Wyalt tanpa ekspresi berarti. “Oh,
ayolah, guys! Ini bayi! Bayi! Kalian bisa bayangkan itu? Aku masih lima belas
tahun! Bagaimana mungkin aku akan punya bayi?”
Rayne melirik Fanesca. “Selamat. Untunglah aku sudah
mengambil kelas itu tahun lalu, jadi aku tak perlu repot dengan urusan bayi.”
Lalu dia melirikku, tersenyum kecil. “Dan untunglah Gabrielle tak masuk kelas
itu karena dia murid baru.”
Wyalt menatap kami dengan tak percaya. “Guys, bisakah
kalian serius? Ini mengenai bayi!”
“Wyalt, itu cuma bayi robot. Kau hanya perlu merawatnya
selama dua puluh empat jam, lalu persentasi dan semuanya akan baik-baik saja,”
Rayne geleng-geleng kepala. “Berhenti melebih-lebihkan masalah. Merawat bayi
tak semengerikan itu. Kau hanya memastikan bayi itu tak mati.”
Wyalt tak mendengarkannya. “Aku akan gagal di kelas
ini! Aku tak akan pernah lulus! Oh me god,
kenapa aku harus mengambil kelas itu?”
Fanesca memutar bola matanya. “Aku suka kelas itu,
Wyalt.”
“Itu karena kau perempuan.”
“Diamlah. Merawat bayi tak seburuk itu.”
Lalu terdengar jeritan nyaring di kantin. Aku
menengadah, begitu pula dengan mereka bertiga—tentunya, seluruh orang di
kantin—dan menganga melihat siapa yang menjerit.
“Gabrielle!” Seorang gadis menjerit, menunjukku
dengan antusias. Di belakangnya ada tiga orang Pemuda tinggi, yang lalu menoleh
padaku ketika mendengar jeritannya.
Rayne menatapku. “Kau mengenalnya?”
Aku menelan ludah, tak mampu menjawab. Wyalt menahan
napas, lalu berbisik, seperti terhipnotis, “Bukankah itu keluarga Huges? Siswa
SMA?”
Mereka mendekat, membawa makanan mereka
masing-masing. Aku melihat ketika mereka lewat, mata seluruh sisiwa menoleh
pada mereka. Aku ingin sekali kabur dari sini secepatnya.
“Gabrielle,” gadis yang sama memelukku. Rambut hitam
bergelombangnya nyaris menutupi seluruh wajahku, apalagi sangat tak membantu
ketika dia nyaris mencekikku sampai mati. “Aku tak menyangka akan bertemu
denganmu lagi di sini, Baby. Harusnya
kau bilang kalau kau sekolah di sini. Aku senang sekali bisa bertemu denganmu
lagi. Aku lupa menanyakan nomor teleponmu!”
“Jamine, kau mencekiknya.” Suara lain terdengar.
“Ups, sori.” Jamine terkikik, lalu melepas pelukannya
dan duduk di sebelahku. “Kalian tak keberatan kalau kami ikut bergabung kan?”
Gadis itu menanyai Rayne, yang mengerjap. Sebelum mendapat jawaban, tiga orang
pemuda lain sudah bergabung, meletakkan nampan makanan mereka dan duduk di meja
kami.
“Kau tak akan mengenalkan kami pada mereka?” Jamine
bertanya, menoleh antusias pada Rayne, Wyalt dan Fanesca.
Aku mengerjap dan bertanya, “Kenapa kalian ada di
sini?”
Rayne, Wyalt, dan Fanesca ternganga, lalu menjerit
tertahan.
“Kau bicara?” Wyalt nyaris histeris. “Man, aku suka
suaramu! Bicara lagi!”
Aku memberikan pandangan menusuk untuk menyuruhnya
diam. Lalu menoleh pada keempat Huges. Mereka berempat adalah adik-adiknya Remi.
Mereka berempat memilki umur yang sama karena mereka semua adalah anak angkat. Dari
cerita Cassandra, hanya Jeremiah dan Kakak Laki-lakinya, River, anak kandung
keluarga Huges. Dengan kata lain, Remi punya enam adik angkat: Eleanor,
Cassandra, Ezekiel, Michael, Raphael, dan Jamine.
Jamine gadis yang cantik: berambut hitam, tinggi dan
langsing. Si kembar Raphael dan Michael, yang masing-masing berambut hitam dan
berkulit seputih salju dengan mata biru mereka yang nyaris keunguan, selalu
tampil misterius. Dan Ezekiel yang berambut coklat, nyaris kekuningan dengan
kulit coklat pucat, memiliki ekspresi tenang dan bijaksana. Keempat Huges ini
benar-benar menarik perhatian.
Ezekiel memberikan senyuman memikatnya dan berkata
dengan nada tenang dan dalam. “Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di
sini.” Lalu dia menoleh pada Rayne, Wyalt dan Fanesca. “Halo, aku Ezekiel, yang
ini Jamine, Michael dan Raphael. Maaf mengganggu kalian.”
Rayne mengerjap, tampak terkesan dengan sikap
Ezekiel. Yeah, aku juga terkesan. Ezekiel memang memberikan efek yang mampu
membuat terhipnotis. “Aku Rayne, yang ini Wyalt dan Fanesca. Sejak kapan kalian
mengenal Gabrielle?”
“Kemarin,” jawab Jamine, memelukku dengan bersahabat.
“Ayahnya teman Kakak kami.”
“Oh,” kata Rayne. “Kenapa kau tak pernah
mengatakannya?”
“Karena dia tak pernah bicara,” jawab Wyalt.
“Gabrielle, kita sudah berteman selama dua bulan dan itu pertama kalinya mendengar
suaramu. Aku suka suaramu! Mau jadi vo—”
“Tidak,” aku memotong dan Wyalt mendesah, bergumam,
“Suaramu indah sekali.”
“Jadi, kau masih SMP,” kata Raphael, “Senior?”
Belum lagi aku menjawab, Michael menyambung. “Itu
bagus. Berarti tahun depan kau akan bergabung dengan kami.”
Lalu Raphael menyambung lagi. “Aku tak sabar saat itu
tiba. Kami senior dan kau junior.”
Mereka berdua selalu seperti itu, berbicara
bergantian seakan bisa membaca apa yang ada dalam pikiran masing-masing,
membuatku tak bisa bicara.
“Jadi, apa yang kalian kerjakan?” Fanesca bertanya
penasaran.
“Oh, banyak hal,” jawab Jamine. “Aku tak terlalu suka
kegiatan sekolah. Tapi malam ini ada pesta. Kalian mau ikut?”
Wyalt mengangguk setuju. Rayne juga melakukan hal
yang sama. Fanesca juga setuju. Mereka semua melihat padaku, yang menggeleng.
“Kenapa?” mereka bertanya bersamaan.
Aku mengangkat kedua bahu.
“Gabrielle, kau tak pernah ke pesta apapun sejak kau
datang kemari,” kata Rayne. “Ayolah, ikut walau cuma sekali.”
Aku memutar bola mata. “Tidak, terimakasih,” kataku
dan bangkit dari tempatku, membawa tasku. “Aku ke perpustakaan. Sampai nanti.”
Lalu berlalu cepat meninggalkan mereka sebelum mereka sempat menghentikanku.
Pesta. Tempat dimana akan banyak manusia berkumpul
dengan musik dan kegilaan. Bukannya aku skeptis, tapi aku paling tak suka
datang ke tempat seperti itu. Aku merasa tak aman bila datang ke tempat ramai.
Bila aku mendatangi tempat-tempat seperti itu, paling tidak aku berada di dekat
Jeremiah atau Fran. Hanya saja, itu tak mungkin kulakukan kan? Mana mungkin
mereka datang ke pesta para remaja.
Mendorong pintu kaca, aku masuk ke perpustakaan untuk
mengerjakan tugas Trigonometriku.
***
FRAN(POV)
Jeremiah hari ini datang lagi ke kantorku. Aku
meliriknya dari balik kaca mataku, mengerutkan dahi dengan keheranan. Biasanya,
dia tak akan pernah peduli dengan keberadaanku dan sekarang dia muncul terus
bahkan saat aku sangat sibuk, meski dia bukan seorang mahasiswa perfilman.
“Aku bosan!”
Itu lagi. Setiap kali datang kemari, dia akan
melaporkan hal yang sama. “Cepat berbaikan dengan Cody dan hidupmu akan kembali
berwarna.”
Sejak Cody menendangnya, Cody memberikan lampu merah
luar biasa pada Jeremiah, jadi sangat tak mungkin bagi Jeremiah untuk datang ke
hadapannya. Aku juga tak bisa bertanya banyak karena Cody sangat sibuk. Aku
kasihan pada pria itu, dia punya tanggung jawab dan pekerjaan yang menggunung.
“Tak segampang itu mendapatkan maaf dari Cody,”
katanya, lalu menopang dagunya sementara sikunya di atas meja. “Dia masih marah. Jika aku memaksa mendekat, dia
akan memasukkanku ke rumah sakit. Itu tak perlu diragukan. Aku pernah patah
tulang karena dia.”
Aku mengerinyit, memastikan bahwa aku tak akan pernah
membuat Cody marah hanya karena masalah sepele. “Lalu karena itu kau memilih
untuk datang kemari? Agar bisa menggangguku?”
“Kau tahu, aku senang mengganggumu.” Dia nyengir
lebar. “Itu sudah jadi hobi baruku.”
Irama jantungku melonjak satu oktaf lebih cepat.
“Lagipula, yang kau lakukan di sini kan cuma membaca
jurnal, apa salahnya menemaniku ngobrol?” katanya, lalu mengerutkan bibir. “Cody
benar-benar beruntung kuliah di sini. Para Dosennya masih muda sepertimu,
sementara di kampusku, semuanya seperti manusia yang bangkit dari liang kubur:
tua dan keriput.”
Aku tertawa geli. “Jangan sampai mereka mendengarmu.”
Dia mengedipkan salah satu matanya, membuat jantungku
yang tadi sempat tenang kembali berdetak gila lagi. “Kau tak akan
menceritakannya. Aku membantumu mendapatkan Marcee.”
Detakan itu hilang dalam sekejap. “Oh, ya.” Aku
kecewa. Tentu saja. Apa yang kau harapkan?
Jeremiah tampak begitu penasaran dan perhatian ketika
bertanya. “Bagaimana hubungan kalian?”
Kedua bahuku terangkat tak peduli. “Kami baik-baik
saja.”
“Bung, pasti ada kalimat lain selain kalimat klise
itu kan? Itu bahkan bukan satu paragraph!” Dia mendesak seperti anak kecil. “Aku
butuh detail.”
Aku menghela napas. “Tidak ada yang berubah,
Jeremiah. Kami berteman. Aku meneleponnya, menanyakan kabar dan sebagainya.
Tidak terlalu berbeda ketika aku berbicara dengan kolegaku.”
“Ew, Fran! Aku malu sekali jadi mentormu!” dia
menggerutu sebal. “Harusnya kau ajak dia kencan. Seorang pria harus membuat
perubahan terhadap sebuah hubungan.”
Aku menghela napas. Jemariku mengetuk gelisah di atas
meja. “Tapi, Jeremiah, aku sudah bilang kalau aku tak merasakan apapun pada
wanita ini.”
“Sekarang belum. Tapi nanti? Siapa yang tahu?”
Pria ini benar-benar masalah. Aku tak mengerti kenapa
Cody bisa bertahan berteman dengannya. Dia selalu memaksa orang untuk melakukan
segala sesuatu. Tidak, yang tepat itu terjun
bebas tanpa parasut. Apa dia tak mengerti bahwa akulah yang sekarang
menjadi aktor dan dia jadi sutradaranya?
“Berikan ponselmu,” katanya. Aku mengerutkan dahi,
tapi memberikan ponselku padanya. “Aku kasihan padamu karena tak bisa membuat
perubahan. Ingat. Kau tak harus jadi air danau!” Dia berbicara sambil
mengutak-atik ponselku.
“Tapi aku juga tak ingin jadi air terjun, Jeremiah,”
kataku, menyandarkan tubuhku.
“Air terjun masih belum seberapa dibandingkan dengan
air hujan.” Jeremiah menatapku, memberikan pandangan serius. “Karena bila kau
air terjun, itu artinya kau jatuh bersama dengan butiran air lain, sedangkan
air hujan jatuh sendirian. Setetes demi setetes. Bahkan mereka jatuh dari
tempat yang lebih tinggi dari air terjun.”
Pria ini… bagaimana mengatakannya… dia tak pernah
terduga. Apa yang dia katakan selalu membuatku terdiam.
Ponselku berbunyi. Perhatian Jeremiah teralih dan
senyumannya melebar. “Kau ada kencan sore ini dengan Marcee.”
Mataku membulat. “Apa?”
“Oh, tak perlu berterima-kasih,” katanya, lalu
meletakkan ponsel itu ke atas mejaku sehingga aku bisa membaca pesan yang
diberikan Marcee padaku. “Selamat bersenang-senang dan jadilah seorang pria.”
Otakku terasa macet sehingga aku tak bisa
menghentikan Jeremiah kabur karena aku ingin membunuhnya karena merancangku
kencan dengan Marcee. Kenapa, dari sekian banyak manusia yang kukenal, harus
dia yang menjadi mak comblangku?
***
Jeremiah brengsek. Semoga kau mendapatkan hukuman
karena sudah melakukan hal ini padaku! Aku mengutuki Jeremiah sepanjang
perjalananku menuju café tempat Marcee menungguku. Aku tak mungkin membatalkan
kencan itu karena Jeremiah memakai namaku. Kemarahanku padanya melupakan rasa
gugupku karena aku harus menghadapi seorang wanita. Sejak aku mengenal
Jeremiah, tak pernah sekalipun hal baik yang berjalan sesuai dengan
keinginanku. Sebaliknya, aku merasa duniaku jungkir-balik tak karuan.
Perasaanku yang biasanya tenang dan terkendali sekarang mulai tak karuan. Aku
malah menemukan diriku sekarang ingin sekali membunuh Jeremiah.
Aku menemukan café tempat Jeremiah merancang masalah
ini. Setelah keluar dari mobil, akhirnya ketakutanku muncul lagi. Menggertakan
gigi, aku memaksa kakiku melangkah masuk. Marcee sudah menungguku di meja
khusus untuk dua orang.
Sore ini wanita itu mengenakan terusan putih nyaman
dengan heels putih yang juga nyaman. Rambutnya tergerai indah. Make upnya tidak berlebihan. Dia cantik
dengan gayanya sendiri.
“Hai, bagaimana kabarmu?” tanyanya.
Senyumku muncul melihatnya ikut tersenyum. “Baik.”
Aku menjawab otomatis. “Bagaimana denganmu?”
Wanita itu menghela napas. “Oh, sibuk seperti biasa.”
Dia mengetuk jemarinya. “Aku ada operasi besar besok dan aku gugup sekali. Hari
ini kami sibuk dengan pasien dari kecelakaan lalu lintas dan sama sekali tak
punya waktu untuk istirahat. Tapi aku menyukai pekerjaanku, jadi aku bertahan.
Nyawa orang lain sangat berharga.”
Aku mengangguk setuju. “Kau hebat, mampu bertahan.”
Marcee tertawa. “Terima kasih,” katanya dengan wajah
merah padam. “Jadi, ada masalah di kampusmu? Kau tampak lelah sekali.”
“Tidak selelahmu. Aku biasanya menghabiskan waktu di
depan komputer dan jurnal.”
“Benar,” Marcee mengangguk. “Itu pekerjaan yang
santai.”
“Andai saja mata dan otakku tak bekerja.”
Marcee tertawa lagi. “Kau lucu, Fran.”
Seorang pelayan datang. Aku memesan kopi susu dan
Marcee memesan dua skotel untuk camilan tambahan. Kami mengobrol banyak. Aku
bisa memastikan bahwa Marcee benar-benar wanita yang baik. Dia ceria, cerdas
dan percaya diri. Dia pantas mendapatkan seseorang yang sepadan dengannya. Aku
bukan orang yang cocok dengannya karena aku tidak selevel dengannya. Aku orang
yang membosankan, penyendiri dan pendiam. Kami bagai langit dan bumi.
“Jadi, aku pukul saja dia karena sudah berani
mencampakanku!” Marcee mengakhiri ceritanya sambil memberikan tinju di udara,
lalu tertawa. Aku ikut tertawa padanya sambil geleng-geleng kepala. Wanita ini
benar-benar lucu. Dia bukan wanita yang sama ketika makan malam denganku
beberapa waktu lalu.
“Apa di kantormu tak ada wanita lajang yang menarik?”
Marcee bertanya penasaran.
Aku menggeleng. “Mereka semua kolega.”
“Ah, ya, benar,” katanya. “Apa setelah ini kau ada
pekerjaan?”
“Tidak. Kenapa?”
“Mau jalan-jalan sebentar?”
Aku mengangguk setuju.
Kami keluar dari café dan berjalan-jalan sebentar di
pinggir jalan. Untunglah saat ini musim gugur dan udaranya begitu dingin
sehingga tidak begitu banyak manusia yang berkeliaran. Apalagi café ini dekat
dengan taman buatan yang berada di tengah kota. Pohon-pohon yang sekarang sudah
tidak memiliki daun lagi kini tampak menyeramkan begitu malam semakin larut.
Entah berapa lama kami mengobrol, aku tak tahu.
Marcee wanita yang suka bersosialisasi. Sejak tadi dia tak berhenti berbicara
dan menceritakan hal-hal lucu yang membuatku tertawa. Bila dengan wanita
seperti dia, aku rasa aku bisa jatuh cinta. Mungkin. Tapi, bisakah seseorang
memilih siapa orang yang dicintainya?
“Marcee!” Seorang pria berteriak marah, memegang
lengannya dengan sebal. Wanita itu tampak kaget dan juga tercengang. “Apa-apaan
ini?” dia menatapku dengan marah. “Apa sekarang kau berkencan dengannya?”
Aku mengerjap. Well,
sepertinya aku berada dalam masalah serius.
“Lepaskan aku, Chris. Kita sudah putus!” Marcee menyingkirkan
tangannya dan memegang lenganku. “Aku dan kau tak punya hubungan apapun lagi,
jadi itu bukan urusanmu bila aku berkencan dengan siapapun.”
“Tentu saja itu jadi urusanku. Aku mencintaimu!” Pria
itu menatapku dengan jengkel, lalu kembali menoleh pada Marcee.
“Bila kau mencintaiku, harusnya kau memilihku dan
bukannya geng bermotormu itu! Aku memintamu keluar untuk kebaikanmu! Untuk
keselamatanmu! Aku tak ingin punya calon suami seorang gangster!”
“Mereka teman-temanku dan kami bukan gangster!”
“Oh ya? Masuk ke toko orang, merusak barang mereka
tanpa membayar, lalu pergi begitu saja bukan gangster? Ngebut di jalan dan
mengacaukan jalanan sampai membuat kecelakaan bukan gangster? Mengganggu orang
lemah bukan gangster? Aku ingin kau berubah, Chris! Agar kita punya kehidupan
yang lebih baik. Agar kita bisa bahagia. Agar kita normal!”
“Kita harus bicara,” katanya.
Marcee bersikeras memegang lenganku. “Tidak. Aku
memilih meninggalkanmu! Kita sudah berakhir, Christoper!”
Christoper menganga tak percaya. “Jadi kau lebih
memilihnya daripada aku?” katanya berang, menunjukku. Aku mundur selangkah,
menelan ludah. Aku bisa menduga kemana akhir cerita ini.
“Setidaknya dia lebih baik daripadamu!” Marcee balas
membentak. “Dia tidak sepertimu dan masa depannya jelas! Terlebih lagi dia
memperlakukanku dengan baik!”
Kemarahan Christoper terpancing dan sedetik kemudian
tinjunya melayang ke wajahku. Marcee menjerit tertahan. Apalagi saat Christoper
menarikku lagi dan memberikan tinju yang lain ke wajahku. Sakit yang luar biasa
membutakan penglihatanku. Seluruh tubuhku berdenyut, menerima tinju Christoper.
“Hentikan! Jangan pukul dia! Chris, apa yang kau
lakukan?”
“Kau lihat? Menurutmu, dia lebih baik dariku?”
“Dan kau pikir memukulnya akan mengubah pandanganku
padamu? Kalau kau berani memukulnya, membentakku, siapa yang tahu apa yang akan
kau lakukan padaku kalau aku menikah denganmu? Kau tak menunjukkan kalau kau
lebih baik dari dia!”
Suara mereka tak terdengar menjauh karena telingaku
berdengung. Aku merasakan pukulan lagi di perutku, membuatku jatuh ke jalanan,
memegang perutku. Aku terbatuk, mencoba mengambil napas yang terasa terhenti.
Tubuhku sakit luar biasa. Jeritan dan bentakan tak lagi kudengar. Pandanganku
gelap dan tubuhku sakit.
Kemudian tangan yang hangat dan lembut menyentuh
wajahku.
“Fran… Profesor…” Suara itu terdengar begitu lembut
dan perhatian, juga khawatir. “Brengsek, dia melukaimu parah sekali.”
Aku mengerang ketika dia memegang dadaku, kemudian
meringkuk seperti anak kecil dengan napas tersenggal-senggal. Dadaku sakit,
seperti ditusuk dan air mataku mengalir karena tak bisa menahan rasa sakitnya.
“Jeremiah…” gumamku, mencengkram mantelnya.
“Aku di sini,” katanya.
“Dadaku sakit,” kataku, lalu mengerang lagi.
“Aku tahu,” gumamnya. “Sssh, tidak apa-apa. Sakitnya
hanya sementara.”
Aku hanya mencengkram mantel Jeremiah ketika dia
menggendongku ke rumah sakit.
***
Write: Medan,
29 September 2013
0 komentar:
Posting Komentar