RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [23]



23
Broken Heart
==========

FRAN(POV)
Dia mengerjap.
Jantungku berdetak tak nyaman. Aku nyaris tak bisa menarik napas karena begitu ketakutan. Selama aku tahu aku gay, aku ingin sekali mengatakan hal ini pada Jeremiah. Tapi ketakutan mengonsumsiku seperti oksigen. Kepalaku selalu dipenuhi dengan pemandangan mengerikan dimana Jeremiah akan membenciku.
Hanya saja, aku tak bisa diam lagi. Aku capek menghadapi Jeremiah yang memaksaku untuk berkencan dengan para wanita itu. Aku tak tertarik pada mereka. Aku tertarik pada Jeremiah.
Jeremiah masih belum mengatakan apa-apa. Dia malah mengerjap beberapa kali untuk mencerna perkataanku. Sepertinya, ini bukan ide yang bagus.
“Huh?” katanya. “Kau gay?”
Kepalaku mengangguk kaku. Dia akan membenciku! Aku menunggu dengan panik melihatnya kembali mengerjap, mulut terbuka lebar.
“Kenapa kau tak bilang dari dulu sih?” katanya tiba-tiba, memutar bola mata seakan itu bukan masalah besar. “Pantas saja kau tak melirik para wanita yang kusodorkan padamu. Ternyata kau berada di haluan yang berbeda.”
Kali ini aku yang mengerjap. “Kau… kau tak marah?”
Dia kebingungan. “Kenapa pula aku harus marah? Aku dikelilingi oleh para gay: Aroz, James, River bahkan, dulu, Cody. Setelah dipikir-pikir lagi, aku seperti magnet buat para gay.”
Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Aku bernyanyi dalam hati.
“Kalau begitu, aku tak akan menjodohkanmu para wanita tapi pria.” Pria itu tersenyum culas.
“Jeremiah, please, aku tak membutuhkan—”
Dia mengibaskan tangannya, menghentikan omonganku. “Kau tahu aku tak akan mendengarkanmu. Coba kuingat siapa teman sekerjaku yang cocok denganmu dan gay.”
“Jeremiah, aku benar-benar tak butuh—”
Telunjuknya mengetuk-ngetuk di dagunya. “Hmm, aku mengenal beberapa bisexual dari kantorku. Ada manager bagian humas. Salah satu bagian sistem juga ada dua orang. Di broadcasting ada tiga orang. Atau mungkin kau akan kukenalkan dengan aktor yang gay. Tapi kurasa tidak, mereka biasanya menyebalkan.”
“Jeremiah, aku tak membutuhkan perjodohan,” kataku geram.
Alisnya menaik. “Kalau kau tak butuh itu artinya kau sudah punya pria taksiran.”
Aku tergagap. “H-h-huh?”
Matanya berkilat bersemangat. “Siapa pria beruntung itu?”
Kau. “T-t-tak ada.”
“Kau jelas tak bisa berbohong, Fran. Kau selalu gugup bila berbohong.”
Wajahku merah padam. Uh, bagaimana bisa dia tahu?
“Sekarang, coba beritahu padaku siapa pria ini.”
Aku mencuci tanganku. “Tak ada, Jeremiah,” kataku, lalu keluar dari dapur, mencapakkan celemekku ke kursi. Suara kaki Jeremiah mengikuti dari belakang, begitu pula dengan suaranya.
“Ayolah, Fran. Aku tahu kau punya pria taksiran. Setiap orang punya pria taksiran. Oh, itu tak benar, biar kuperbaiki. Setiap orang punya orang taksiran. Nah, itu baru benar. Dan kau bukan terkecuali karena kau manusia.”
Aku masih tak mendengarkan, memilih duduk di sofa di ruang tengah. Dengan sengaja memperkeras suara televisi. Tapi yang menyebalkan, Jeremiah malah mematikannya, langsung pada sumbernya.
“Jeremiah!” kataku jengkel.
Dia melipat tangan. “Kau tahu kalau aku tak akan membiarkanmu begitu saja kan? Ini pria taksiran pertamamu! Kau harus memberitahuku siapa dia.”
“Kenapa sih kau bersikeras begitu? Aku kan sudah bilang kalau aku tak punya orang yang kutaksir.”
Liar,” katanya dan ikut duduk di kursi. “Nah, sekarang beritahu aku siapa.”
“Jeremiah—”
“Kita ini sahabat,” Uh, aku tak suka dia membawa-bawa masalah ini, “dan di antara sahabat tak ada rahasia. Kalau aku mengenal pria yang kita bicarakan ini, mungkin aku bisa memberikan pendapatku dan jika tidak, aku bisa mencari tahu apakah dia baik untukmu atau tidak. Aku ingin dia jadi orang yang terbaik untukmu, siapa tahu dia itu cinta pertamamu.”
Kau itu cinta pertamaku!
“Dan,” katanya bersemangat, “aku tak sabar mendengar cerita pria idamanmu ini. Kau bisa curhat apapun padaku mengenai dia.”
Aku tak mungkin curhat tentangmu padamu, Idiot. “Apa kau sadar kalau kau terdengar seperti anak remaja saat ini?”
“Memangnya kenapa? Para pria juga senang mendengarkan gosip. Apa kau tak tahu kalau tempat paling aman untuk bergosip ada di kamar mandi? Bukan hanya para wanita yang bergosip di kamar mandi. Itu sebabnya aku punya kamar mandi sendiri karena aku tak mau mendengar karyawanku bergosip tentangku. Mereka sepertinya berpikir kalau kamar mandi tempat paling aman untuk bergosip.”
Aku malah tertawa mendengarnya. Pria ini selalu tahu bagaimana membuat lelucon. Apalagi begitu melihatnya tersenyum manis seperti itu. Aargh! Kenapa dia harus memesona begitu sih? Satu senyumannya membuat wajahku panas dan dadaku terasa penuh. Aku seakan memeluk dunia.
“Wajahmu merah padam. Kau pasti memikirkan pria taksiranmu kan?”
Aku memikirkanmu. Selalu. Tiap detik.
“Uh!” kataku. “Haruskah kita membicarakan ini.”
“Tentu saja karena aku ini mak comblang terbaik.”
“Aku tak tahu kalau dulu kau pernah menjodohkan Cody.”
Tangannya berada di jantung seolah aku menusuknya. “Teganya! Aku memang tak pernah menjodohkan Cody, tapi aku selalu membantunya berbaikan dengan pacarnya tiap kali mereka bertengkar. Apa kau tak tahu kalau memperbaiki hubungan lebih sulit daripada membuat hubungan yang baru?”
Jeremiah mungkin tak menyadari apa yang dia katakan, tapi kalimatnya barusan membuatku tertegun. Jika aku mengatakan kebenaran, apakah hubungan kami akan tetap seperti ini atau malah rusak? Jika sudah rusak, apakah hubungan kami bisa diperbaiki kembali?
“Kau selalu punya kalimat bagus, Jeremiah,” gumamku.
“Huh?” dia mengerjap, memandangku beberapa detik sebelum akhirnya menangkap apa maksudku. “Itu pujian atau sindiran?”
“Maksudmu?”
“Selama ini aku bergaul dengan Cody yang tak suka berbelit-belit, jadi aku sering membuatnya jengkel dengan perkataanku. Sekarang aku bertemu dengan orang yang bisa mengerti maksudku, aku tak tahu apakah aku bahagia atau jengkel.”
“Ayahku pernah bilang kalau ada banyak sekali tipe kecerdasan di dunia ini. Ada yang cerdas dengan otaknya, pandai menghitung, serius, tipikal orang yang terjebak di laboratorium, itu kau.” Dia tertawa kecil, lanjutnya lagi. “Ada yang cerdas dengan fisik, sampai-sampai tak bisa menahan adrenalinnya untuk bersaing dengan orang lain, itu Chris. Lalu ada mereka yang cerdas karena sosialnya sampai tak bisa diam, itu aku. Dan masih banyak jenis lainnya. Tapi, dari banyak tipe kecerdasan itu, hanya ada dua tipe makhluk di dunia ini: mereka yang pasrah dan mereka yang berjuang. Nah, kau ada di bagian yang mana?”
Aku terdiam memikirkannya, lalu tersenyum kecil. “Aku seorang pejuang, Jeremiah. Tapi ada beberapa hal di dunia yang harus dipasrahkan.”
“Seperti pria taksiranmu?”
Aku mengerang. “Kita masih membicarakan ini?”
“Tentu saja. Aku juga seorang pejuang yang keras kepala. Sebelum aku mendapatkan apa yang kumau, jangan harap aku akan diam begitu saja.”
“Itu namanya memaksakan kehendak.”
“Dalam kasusmu, kurasa tidak.”
“Jeremiah!”
“Fran!” Dia membalas, tersenyum kecil seperti anak-anak, membuatku cemberut lalu melipat tangan. “Jadi, kau akan memberitahuku siapa dia.”
“Tidak,” kataku keras kepala.
“Oke, kalau begitu beritahu aku seperti apa dia.”
Hidungku mengerut, meliriknya penuh curiga. Tapi dia hanya tersenyum polos. Senyuman yang membuat pertahananku luluh. Kenapa pria besar sepertinya punya tampang memukau sih? Kenapa dia harus baik hati, lalu lucu, humoris, menyenangkan dan… dan… aarrgh!
Wajahku merah padam begitu melirik Jeremiah yang menunggu dengan sabar dalam diam. Menekuk kakiku dan memeluknya di dada, kucoba kusembunyikan wajahku yang memanas. Aku tak ingin membicarakan ini di depannya. Tapi aku tahu kalau dia tak akan berhenti. Dia bisa mendatangiku setiap hari hanya menunggu jawabanku. Aku tak akan bisa menghindarinya.
“Erm… dia,” kataku, berdeham, “dia tampan…”
“Uhu. Lalu?”
“Dia… dia juga menyenangkan…”
Untuk sejenak terjadi kesunyian. Kulirik Jeremiah yang tidak mengatakan apa-apa dan menatapku dengan penuh perhatian. Saat itulah keberanianku muncul. Ucapanku keluar begitu saja.
“Dia orang yang humoris dan selalu membuatku tertawa dengan perkataannya. Hanya dengan melihat sebuah senyumannya, aku merasa duniaku akan berwarna dan indah, seperti di dunia mimpi. Tiap kali bertemu dengannya, jantungku berdetak cepat dengan sendirinya. Dadaku terasa sesak karena kebahagiaan. Tetesan darah yang mengalir di tubuhku seakan memanggil namanya, berdesir tiap kali dia berbicara, atau memandangku. Matanya sangat indah, aku sangat menyukainya karena di sana aku selalu bisa menemukan kejujuran walau tanpa kata. Meski tak bertemu dengannya, hanya dengan mengingatnya saja di dalam kepalaku, aku selalu bisa tersenyum.”
Semua yang kuucapkan kulakukan dengan memandangi wajah Jeremiah. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu aku punya keberanian.
Tapi pria itu malah terdiam lama sekali, mencerna perkataanku.
“Aku… aku terlalu puitis!” erangku, menutup mataku, malu sendiri. Aku baru saja menyatakan kekagumanku dengan sendirinya pada Jeremiah.
“Itu tak puitis. Itu kalimat terindah yang pernah kudengar.”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Aku sampai tak tahu harus bilang apa. Wow,” desahnya.
Wajahku merah padam lagi, senang dia menyukai perkataanku.
“Kau pastilah menyukainya dengan sepenuh hati. Kau jatuh cinta padanya, Fran. Deep.”
Aku mengangguk kecil, tapi dia tak melihatku karena dahinya mengerut dalam, berpikir keras.
“Kau harus menyatakan perasaanmu padanya, Fran.”
Huh? APA? “Itu tak mungkin!” kataku segera.
“Kenapa?” Jeremiah mengerutkan dahi. “Apa kau tak dengar perkataanmu barusan? Kau memujinya seakan dia dewa. Kau bahkan tak mengeluarkan satu kata jelek pun untuknya. Kau mencintainya, Fran. Ini bukan saatnya memikirkan keegoisan atau harga dirimu. Kalau kau tak segera menyatakan perasaanmu, cintamu akan terbuang begitu saja. Dia harus tahu bahwa ada seseorang di sana yang mencintainya sepenuh hati. Cinta tak bisa dilakukan kalau hanya di satu pihak saja.”
“Tapi aku tak bisa melakukannya,” kataku.
“Kau bisa.”
“Tidak. Aku tak bisa!”
“Kenapa?”
“Karena dia bukan gay!”
Ruangan tengah sunyi senyap. Napasku memburu, jantungku seakan terhenti. Jeremiah menatapku dengan tak percaya.
Satu perkataanku berhasil membuatnya tak bisa bicara.
“Oh.”
“Ya, oh.”
Aku kembali memeluk kakiku, menunggu Jeremiah untuk bicara. Aku tak mau bicara.
Karena dia bukan gay.
Jeremiah bukan gay. Aku tahu itu. Itu sebabnya aku harus menyerah. Tapi, kenapa aku tak bisa? Aku tahu aku sedang membunuh diriku pelan-pelan. Tapi aku tak bisa melakukan apapun. Aku kencanduan rasa cintaku pada Jeremiah sehingga tanpa dia aku tahu kalau aku akan mati dengan segera.
“Jadi, kau akan menyerah?” tanyanya setelah sepuluh menit dalam diam.
“Aku sudah bilang kalau ada beberapa hal di dunia ini yang harus dipasrahkan,” gumamku.
“Dan kau memasrahkan cintamu,” sambungnya.
Rasanya aku ingin menangis. Mataku sudah kabur karena menahan air mata.
Kau memasrahkan cintamu. Aku memasrahkan cintaku. Aku memasrahkan Jeremiah karena aku tahu kalau dia tak akan bisa kujangkau, bagaimana pun aku melakukannya.
Jeremiah menghela napas. Dahinya masih mengerut. Punggungnya bersandar di sofa dengan pandangan mata lurus ke layar televisi.
“Aku tak tahu seperti apa sifat dan pendapat pria taksiranmu, Fran, tapi bila itu aku, kurasa aku akan jadi orang paling bahagia di dunia.”
Kau tahu saat dimana lehermu hendak patah karena bergerak tiba-tiba sampai tulangnya berderik? Nah, seperti itulah yang kurasakan. Aku begitu kaget sampai mengadahkan kembali wajahku pada Jeremiah, yang tampak begitu berkonsentrasi, dengan pandangan tak percaya.
“Huh?”
“Kau tak merasa begitu? Bila ada seseorang di luar sana yang mencintaiku sepenuh hati dan ingin membahagiakanku, aku akan dengan senang hati menyambutnya dan mengajaknya berkencan, lalu melihat ke arah mana perjalanan kami.”
“Ke-kenapa?”
“Karena…”dia berhenti, mengerutkan dahi, “karena cinta tak akan berjalan tanpa adanya sebuah tindakan. Bagaimana kau bisa mengatakan kalau kau mencintai bila kau tak mengatakannya? Bagaimana bisa kau mengatakan kalau kau mencintai seseorang sementara kau hanya memendamnya dalam hati dan tak menunjukkannya? Bagaimana bisa kau menuntut orang yang kau cintai bila dia bersanding dengan orang lain bila kau tak pernah bilang ‘I love you’ yang akan membuatnya menoleh padamu?”
Suaraku bergetar menanyakan, “Meskipun dia pria?”
Aku menunggu Jeremiah mengatakan “Eew, aku bukan gay” seperti yang kuperkirakan, tapi Jeremiah malah mengangguk dan dengan mantap berkata, “Meskipun dia pria.”
Aku seakan mendengar musik biola, harpa, piano dan nyanyian berada di belakang punggungku lengkap dengan angin lembut dan cahaya keperakan yang bersinar di sana.
“Je—”
“Oh, sebentar. Ponselku bergetar.” Dia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel zaman hitam putih yang ringtone-nya malah masih berbunyi bip-bop-bip-bop layaknya kode morse dan mengangkatnya. “Hallo? Hei, Daphne!”
Daphne?
“Uhu, aku sudah melihat fotonya. Ya, mereka sangat manis. Maafkan aku tak bisa menemanimu hari ini tapi aku janji akan melakukannya bulan depan. Kenapa? Oh, aku tak keberatan.”
Senyumanku menghilang. Suara musik di belakangku juga ikut terendam tiap kali mendengar untaian kalimat yang dikeluarkan Jeremiah. Daphne. Seorang wanita, yang membuat mata Jeremiah bercahaya hanya karena memanggil namanya dan senyuman lebar menghiasi wajahnya.
Hatiku retak lagi. Puing-puingnya jatuh ke bawah dan tak terlihat.
Aku patah hati.
“Fran, aku pulang dulu. River hari ini menginap di rumah dan aku tak mau dia menghabiskan isi kulkasku.” Dia bangkit, menyimpan ponselnya. “Kita bicarakan lagi masalah ini nanti ya?”
Aku tak ingin membicarakan apapun, tapi toh aku mengangguk.
Tangan besarnya menyapu rambutku. Dia berteriak pada Gabrielle yang dibalas Gabrielle dengan teriakan. Setelah itu pria itu keluar dari rumah.
Aku segera naik ke kamarku begitu mobilnya menghilang di kejauhan, masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower. Tanpa melepaskan pakaianku, aku segera berdiri di bawahnya. Air meluncur turun membasahi wajahku yang memang sudah penuh dengan air mata.
“Uh…”
Aku tak bisa lagi menahan isak tangisku dan menangis sejadi-jadinya di kamar mandi tanpa suara.
Jeremiah, aku tahu bahwa kau akan memberi kesempatan pada orang yang menyatakan cinta padamu. Tapi aku tak buta dan tak peka untuk tidak melihat cinta yang kau berikan pada orang lain.
Kau memang tipe pejuang.
Namun, detik ini, aku jadi pecundang.

***

GABRIELLE(POV)
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Fran, tapi dia lebih pendiam daripada biasanya. Sejak sarapan dia hanya melamun saja, nyaris menghabiskan seluruh isi makanan di kulkas ketika memasak sampai dia sadar waktu aku menegornya dan mengusirku untuk sekolah.
“Ok, Papa, aku berangkat sekarang,” kataku, mengambil tasku setelah memakai mantelku. Meski Cody bilang kalau aku sudah bisa menjaga diriku sendiri, tapi aku tetap mau latihan. Latihan pagi sudah menjadi keharusan dan aku tak peduli di luar sedang salju.
“Gabrielle,” Fran menghela napas, memasukan termos berisi teh jahe ke salah satu kantongan tasku. “Jangan lupa menghabiskan ini. Tubuhmu bisa kedinginan bila terlalu lama di luar.”
Aku hanya bisa mengangguk. Setelah mengecup dahiku, aku berangkat, berlari sekuat tenaga menuju sekolah. Topi kuplukku basah karena keringat, jadi aku melepasnya.
“Gabrielle!”
Suara itu membuatku memutar bola mata. Rory berlari dari ujung lorong ke ujung lorong satunya—tepatnya ke tempatku berada. Senyuman lebarnya muncul begitu melihatku, matanya berkilat bahagia. “Pagi! Wow, kau keren sekali dengan potongan rambut itu.”
“Thanks. Aku mau mandi dulu,” kataku, memasukkan tasku ke dalam loker.
“Boleh aku ikut.”
“Oh, boleh, kau menunggu di luar pintu.”
Dia cemberut dan aku meninggalkannya. Setidaknya, Rory bukan tipe orang mesum yang tidak mendengarkan orang dan menerobos masuk kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku memakai pakaianku, dan keluar. Rayne dan Wyalt sudah datang, menunggu di lokerku bersama dengan Rory.
Mereka—Rory dan Rayne—sedang bertengkar.
“Kau orang terbodoh yang pernah kutemui,” desis Rayne.
“Dan kau jelas orang tersombong yang pernah kutemui,” balas Rory.
“Aku tak mau mendengar pendapat dari orang bodoh yang bahkan tak mengerti hukum Archimedes.” Rayne mengayunkan tangannya.
“Hei, aku tersinggung!” Wyalt melipat tangannya. “Tak mengerti hukum Archimedes bukan berarti kami bodoh.”
“Tingkat kepintaran kalian berdua memang perlu dipertanyakan,” Rayne memutar bola matanya.
“Bukan salah kami bila kau nerd. Menghabiskan waktumu di depan buku tanpa melakukan apapun sama juga dengan nol.” Rory membalas tak kalah jeniusnya.
“Dan menurutmu kau sudah melakukan sesuatu dengan mengikut Gabrielle kemana-mana?” Rayne menaikan alis, tampak jengkel.
“Setidaknya, aku berusaha.”
“Yep, usahamu tanpa hasil.”
Rory berteriak jengkel, mengangkat kedua tangannya, nyaris saja mencekik Rayne. Wyalt cepat-cepat memeluk pinggangnya.
“Lepaskan aku. Aku mau mengorek mulutnya!” gerutu Rory. Kakinya tak lagi menginjak lantai karena Wyalt menggendongnya. Rayne sendiri tampak santai, bersandar di salah satu loker, tersenyum puas pada Rory yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak peduli dilirik oleh nyaris seluruh siswa.
“Bisakah kalian tak bertengkar setiap hari? Aku bosan menjadi wasit kalian,” Wyalt mengeluh jengkel. Lalu, dia menoleh padaku. “Hei, Gabrielle! Boleh minta bantuan?”
“Rory, tenangkan dirimu. Rayne, jangan menggerecokinya lagi,” kataku.
Rory cemberut, tapi tak lagi berkutat, jadi Wyalt melepaskannya.
“Gabrielle, potongan rambutmu boleh juga,” Wyalt nyengir lebar. Bila kalian belum tahu, hari ini rambutnya dicat warna putih, jadi wajahnya tampak bersinar dan tak terlihat.
Aku tak membalas ucapannya, memilih mengeluarkan buku-buku pelajaranku. Fanesca bergabung dengan kami begitu aku memasukkan buku-bukuku ke tas.
“Hei, kalian!” sapanya, begitu melihatku, matanya terbelalak. “Gabrielle?”
“Dia cakep kan, Fanesca?” Rory merangkul tanganku. “Matanya yang biru jadi terlihat!”
“Oh… wow,” katanya, mengerjapkan mata. Dahiku mengerut melihat ada rona merah di wajahnya. Wyalt melirik kami bergantian, berdeham dan merangkul Fanesca.
“Aku akan mengantarmu ke kelas. Sampai jam makan siang.” Cepat-cepat Wyalt menarik Fanesca, meninggalkan kami bertiga.
“Ada apa dengannya?” kataku pada akhirnya.
Oblivious seperti biasa,” gumam Rayne.
“Huh?”
“Gabrielle, kau akan mengantarku ke kelas kan?” Rory mengaitkan tangannya dengan tanganku, kemudian menarikku ke kelasnya. Karena aku sudah bosan menyingkirkan tangannya, maka aku membiarkannya melakukan hal yang dia suka. Sejak kejadian di loker waktu itu, aku dan Rayne selalu mengantarnya ke kelas—meski Rayne selalu ngomel.
“Mereka kan tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa pergi sendiri,” kata Rayne.
“Aku kan tak menyuruhmu ikut.”
“Kau menculik temanku.”
“Tapi aku pacarnya.”
“Sejak kapan kau jadi pacarnya?”
“Sejak aku memutuskan begitu.”
“Otakmu tak waras.”
Otakmu yang tak waras.”
Aku hanya mampu memutar bola mata.
Sisa hari kuhadapi dengan berusaha untuk berkonsentrasi dengan pelajaranku dan menghindari para anak perempuan yang mencoba untuk menggodaku. Aku tersanjung mendengar mereka menyukai rambut baruku, tapi aku tak peduli. Pendapat mereka tak ada artinya bagiku.
“Gabrielle!” Jamine berteriak nyaring, mendatangi meja makan siang kami. Ezekiel dan si kembar mengikuti dari belakang sambil geleng-geleng kepala. Seperti biasa, Jamine memeluk dan mencium pipiku lalu duduk di sampingku. “Oh my sweet angel. You look gorgeous!
“Aku tahu,” kataku tanpa sadar yang membuat Raphael dan Michael tertawa.
“Dia pasti sudah mendengar hal itu berulang kali,” Ezekiel tersenyum padaku. “Ngomong-ngomong, Gabrielle, malam Natal nanti kau ada acara?”
Fran tak mengatakan apa-apa soal kegiatan Natal. Biasanya kami hanya disuruh berkumpul untuk makan besar saat ada di panti asuhan. Dan aku tak lagi di panti asuhan, jadi aku tak tahu apa yang biasa dilakukan orang normal di hari Natal.
“Sepertinya tak ada,” kataku.
“Bagus. Kita bisa bersenang-senang!” Si Kembar berkata berbarengan.
“Jika menyangkut kalian berdua, aku tak yakin bisa bersenang-senang,” gumamku.
Mereka tak mendengarkan dan menyahut bergantian, seperti biasa.
“Datang ke rumah kami.”
“Ajak Fran.”
“Kita berkumpul.”
“Makan kue.”
“Tukar kado!”
“Barbeque!”
“Main bantal!”
“Lempar salju juga menarik!”
Ezekiel memotong mereka sebelum mereka mengeluarkan kalimat tak jelas lagi.
“Di malam natal nanti semua orang berkumpul di rumah kami. Tak banyak, hanya keluarga kami dan Cody. Karena tahun ini terjadi perubahan besar dengan menikahnya Cody dengan wanita dan pulangnya River, Natal tahun ini tak seperti biasanya. Sudah lama kami tak berkumpul seperti ini, nyaris selama sepuluh tahun. Jadi—”
“Cass memaksa kami untuk mengundangmu. Tanpa disuruh pun aku akan mengudangmu!” Jamine berkata bersemangat. “Noah dan kawan-kawan rencananya juga akan datang.”
“Noah dan kawan-kawan?” ulangku ngeri.
“Yep. Noah, Jimmy, Troy, Ben dan Oliver.”
Uhu. Luar biasa. Rumah mereka akan seperti arena pertempuran.
“Aroz juga akan ada di sana?”
Ezekiel menggosok dagu. “Sepertinay tidak. Dia akan menghabiskan waktunya dengan pacarnya. Memangnya kenapa, Gabrielle?”
“Uh, aku mau makan kuenya.”
“Nanti kami akan pesan yang banyak. Jadi, kau akan ikut kan?”
“Kalau Papaku setuju.” Kalau Fran setuju, aku bisa bilang apa?
“Oh, itu tak perlu kau khawatirkan. Aku yakin Papamu akan setuju.”
Yep. Dan aku yakin satu-satunya orang yang membuatnya setuju hanya Remi.

***

JEREMIAH(POV)
“Fran, mungkin ini cuma perasaanku, tapi entah mengapa aku merasa kau menghindariku,” kataku, menyipitkan mata. Salah satu tanganku menopang dagu di meja kerja Fran.
Fran—pria menyebalkan itu—seperti anak kecil ketahuan mencuri, segera mengalihkan perhatiannya pada berkasnya meski dia tak membacanya. Setiap kali dia berbohong, dia tak akan bisa melihat mataku. Orang ini bisa ditebak.
“Apa aku melakukan kesalahan?”
Dia menggigit bibir. “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Kau tahu benar kalau aku tak akan termakan ucapan sampah itu.”
Lagi-lagi, dia menggigit bibirnya. “Aku sedang sibuk, Jeremiah. Bisakah kau meninggalkanku sendirian?”
“Sibuk apa? Dari tadi kau cuma memelototi kertas itu.”
“Aku sedang memeriksa penelitian mahasiswaku.”
“Dengan mata yang tak bergerak?”
Dia menghela napas, menurunkan kacamatanya sehingga aku bisa melihat mata hijaunya. “Apa maumu, Jeremiah?”
“Harusnya aku yang tanya apa maumu.”
“Bila kau lupa, kau sendiri yang datang ke kantorku.”
“Oh, jelas aku akan datang ke kantormu karena tempat ini satu-satunya tempat persembunyianmu yang paling tepat. Kau tak mungkin kabur bila aku sudah menemukanmu di sini.”
Aku yakin sekali dia sedang memakiku di kepalanya yang kecil itu, tapi aku tak peduli.
“Bisakah kita selesaikan masalah di antara kita secepatnya?”
“Yep, bisa saja. Aku hanya ingin tahu kenapa kau menghindariku beberapa hari belakangan ini.”
“Entahlah, Jeremiah. Sepertinya aku sangat sibuk dengan pekerjaanku belakangan ini sampai lupa ada kau yang harus diingat.”
Oh, sekarang dia sudah mulai pintar untuk sarkastik terhadapku? “Kau sangat sibuk sekali ya sampai untuk mengangkat telepon saja tak bisa?”
“Memangnya, ada urusan apa kau meneleponku? Biasanya, kau menghubungiku saat kau bosan atau saat kau butuh bantuan saja. Kau pikir aku apa? Badut penghiburmu?”
“Wow, Fran, kau mendapatkan kata baru di kamusmu.” Dia menggigit bibirnya, merasa bersalah? “Sekarang, aku yakin seratus persen bahwa kau marah padaku dan aku tak tahu apa itu. Bila kau tak mengatakannya padaku, bagaimana aku bisa tahu?”
“Berapa kali aku harus bilang kalau kau tak salah apapun?”
“Lalu kenapa kau jadi menjengkelkan seperti ini?”
“Aku…” dia berhenti, menghela napas. “Kurasa, aku hanya sedikit stress.”
Suaraku melembek. “Fran, kau terlalu banyak bekerja.”
“Aku tak terlalu banyak bekerja.”
“Ok, aku ganti bahasanya. Fran, kau terlalu banyak berpikir.”
Kali ini, dia mendelik jengkel padaku. “Jeremiah, apa maumu?”
“Malam natal nanti aku akan menjemput kalian ke rumahku.”
“Jeremiah, aku bisa datang sendiri ke rumahmu. Kau tak perlu repot-repot menjemputku.”
“Maksudku, rumah orang tuaku.”
Dia mengerjap. “Huh? Kenapa?”
“Karena Natal kali ini tak seperti biasa.” Dia tak merespon, jadi aku melanjutkan. “Rumahku akan ramai dengan keluarga dan teman-temanku. Cody akan di sana, dan aku ingin kau juga ada di sana.”
“Apa kau yakin aku tak akan mengganggu?”
“Jangan bodoh,” kataku memutar bola mata. “Aku selalu membawa teman-teman dekatku ke rumah di acara-acara penting. Kami biasanya berkumpul saat Thanksgiving dan Natal. Tahun baru juga. Tapi tidak terlalu sering karena kantor biasanya memiliki acara tahun baru bersama.”
“Urm… aku harus bawa apa?”
“Kau tak harus bawa apa-apa. Aku akan beli kado natalnya sendiri—”
“Aku ikut.”
Alisku menaik. “Ok. Besok kita beli kadonya. Siapkan waktumu. Gabrielle juga bisa ikut, kalau dia mau.”
Dia mengangguk.
“Karena kau tak ingin diganggu. Maka lebih baik aku minggat dari tempat ini. Sampai jumpa besok, Fran,” kataku, bangkit dari tempatku.
Tiba-tiba saja, dia memegang lenganku saat aku ada di depan pintu.
“Ya?”
“Jeremiah, aku sungguh-sungguh minta maaf dengan sikapku tadi. Kau sungguh tak salah apa-apa.”
Aku tersenyum. “Aku tahu, Buddy, kalau tidak aku pasti sudah berlutut di kakimu untuk mendapat maafmu.”
Dia tak tersenyum. Wajahnya malah serius sekali. “Aku menyukaimu, Jeremiah.”
Senyumanku semakin mengambang. “Aku tahu. Aku juga menyukaimu, Fran. Kapan-kapan kita harus jalan-jalan lagi.”
“Uh… ok,” katanya, menggaruk-garuk lehernya. Wajahnya merah padam. “Sampai jumpa, Jeremiah.”
Dahiku mengerut begitu dia menutup pintu tepat di depan wajahku. Sedetik kemudian, aku bisa mendengar suaranya yang berkata, “Idiot!” Yang aku yakini ditujukan padaku. Pria itu jelas punya masalah terhadap otak dan hatinya. Tidak ingin mendengar dia menyumpahiku, aku memilih pulang.
Sesampainya di rumah, aku menemukan pintu rumahku sudah terbuka lebar dan tak terkunci. Satu-satunya manusia yang aku yakini berbuat seperti ini hanya River.
“River!” suaraku menggelegar. “Demi Neptunus, aku sudah melarangmu untuk merusak pintu rumah—WHAT THE FUCK!”
Aku menganga melihat ruang depan rumahku sudah berantakan, penuh dengan salju dan tetes-tetesan air yang menggenang dari pintu menuju dapur. Koalaku memanjat dengan susah payah menuju pohonnya. Ada bekas garukan di lantai kayuku. Meja ruang tengah ditutupi dengan sampah plastik dan kalengan. Begitu memasuki dapur, yang sama kacaunya dengan ruang tengah, aku tak tahan lagi.
“RIVER!” seruku jengkel, melangkah panjang-panjang menuju kamarku karena aku bisa mendengar suara tawanya di kamar Cody. Bila dia membawa pacarnya ke kamar Cody, aku akan membantainya! Ada hotel yang bisa dia gunakan!
Aku membuka pintu kamar, tak peduli apakah mereka sedang bercinta di sana atau tidak dan berteriak, “RIVER, APA YANG KAU LAKUKAN PADA RUMAH—ANAK SIAPA ITU?”
Pertanyaanku berhenti di tengah kemarahan dan berganti menjadi keterkejutan begitu melihat ada anak kecil di dada River, yang mendudukinya sambil tertawa.
River melihatku, nyengir lebar. Begitu pula dengan anak kecil itu.
“Hei, Xavier. Kau sudah pulang? Perkenalkan, ini Nikolein.”
Aku melirik anak kecil berusia—setidaknya—dua tahun yang ada di dada River. Wajahnya putih pucat dengan mata besar bulat berwarna hitam yang sama dengan rambut hitam lurusnya. Anak laki-laki itu punya wajah yang mungil dan senyuman yang lebar di bibirnya yang merah.
“Uhu, dan siapa dia, tepatnya?”
River memilih untuk duduk, menggendong Nikolein di pangkuannya. “Kau ingat waktu aku bilang kalau aku ada di perbatasan Gaza?”
Alisku menaik. Menyandarkan tubuhku ke dekat pintu, aku melipat tanganku, menunggu dia berbicara, “Yep, aku mengingatnya sejelas kemarin.”
“Jadi, ada sedikit kesalahan waktu itu.”
Entah mengapa aku tak akan suka lanjutannya.
“Jadi, teman-temanku menganggap bahwa lucu sekali menyuntikku dengan obat bius yang membuatku berhalusinasi—”
“Narkoba, maksudmu?”
“Heroin,” dia memperbaiki. “Dan, tiba-tiba saja ada pria yang paling menarik di seluruh dunia di depan wajahku, lalu tanpa basa-basi lagi aku—kau bisa menebaknya sendiri. Keesokan harinya, aku menemukan kalau pria ini berubah jadi wanita. Dan kau tahu seberapa parahnya kondisi di sana, jadi aku melarikannya dan dia bilang kalau dia mengandung dan menghasilkan Nikolein. Aku luar biasa kan? Siapa yang menyangka kalau gay sepertiku akan punya anak dari perempuan dan bukannya adopsi?”
Yep, aku benar-benar tak menyukai cerita River.
“Lalu, dimana ibunya?”
“Tertembak di perbatasan Gaza karena orang tuanya merasa dia sebagai aib karena melahirkan anak tanpa hubungan yang jelas.”
“Aku akan membunuhmu.”
“Aku sudah tahu.”
“Begitu pula dengan kedua Mr Huges.”
“Kalau itu, aku tak perlu ragu lagi.”
Hebat, Natal kali ini benar-benar berbeda!

***
 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.