22
Man Up
==========
RIVER(POV)
Aku menggosok daguku, sama sekali tak melihat layar
televisi yang memberitakan masalah kemarin. Xavier masuk lima belas menit
kemudian, membawa bungkusan. Dia tak melihatku dan segera berlalu ke dapur. Tak
lama, dia membawa nampan dengan bau sup enak menggugah selera menuju atas.
Sikap Xavier membuatku ingat apa yang dikatakan Fran
kemarin.
“Aku menyukai
Jeremiah,” suara Fran terdengar tak jelas karena dia sangat mabuk. Bibirnya
merengut, mirip seperti anak kecil yang tidak kebagian permen. “Menurutmu, apa
dia menyukaiku?”
Alisku menaik,
bersandar di kursi sambil melipat tangan. “Kurasa dia menyukaimu.”
Yang
mengherankan, dia malah tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau bohong.
Dia tak menyukaiku. Dia benci padaku.” Aku tak merespon dan dia melanjutkan.
“Dia selalu marah padaku. Apa seperti itu sikap orang yang menyukai seseorang?”
“Well, Xavier
memang seperti itu.”
“Aku tak
berbicara tentang Xavier, aku membicarakan Jeremiah.”
Orang mabuk
benar-benar tak bisa menggunakan otak mereka. “Ya, Jeremiah.”
Fran
menyipitkan matanya, kacamatanya miring sedikit. Dia mengambil gelas dan minum
lagi. Aku tak melarangnya. Kalian tahu isitilah bahwa orang mabuk adalah orang
terjujur di dunia? Nah, aku yakin bahwa itu benar. Setelah menghabiskan gelas
ketiganya, Fran mulai melakukan tingkah aneh dengan memelototi gelasnya seakan
benda itu berbahaya.
“Fran, kurasa
kau sudah terlalu banyak minum.” Betapa manisnya ekspresi wajahnya itu.
Dan tiba-tiba
saja dia bicara. “Aku mencintainya.”
Aku mengerjap.
“Huh?”
“Aku mencintai
Jeremiah,” gumamnya. “Apa dia mencintaiku? Jika aku bilang kalau aku cinta
padanya, apa dia akan membenciku? Aku tak mungkin bersaing dengan para wanita
kan? Mereka lebih baik dibandingkan aku. Hah… cinta itu tak enak. Si Bodoh. Dia
sama sekali tak menyadari perasaanku.”
Ini benar-benar diluar dugaanku. Kalau sudah seperti
ini, aku tak akan punya kesempatan dan tentu saja aku tak berniat mengambil
kesempatan. Meski aku naksir Fran, tapi bila dia menyukai orang lain, maka aku
tak berhak di antara mereka.
Masalahnya, aku cemas pada Fran.
Selama ini, Xavier belum pernah mencintai seseorang
dengan tulus. Satu-satunya orang yang dia kasihi hanya Cody, bahkan kami
sebagai keluarganya saja sama sekali tak mampu menandingi Cody. Aku yakin
siapapun yang jadi pendamping Xavier, mereka akan selalu jadi nomor dua. Kenapa
Xavier menjadi seperti itu, aku juga bertanya-tanya. Sejak dia kecil, aku tak
merasa ada hal yang aneh di antara hubungan mereka berdua. Mereka layaknya
sahabat sejak kecil lainnya. Mereka juga tak terikat hubungan romantisme atau
seksual.
Lalu, kenapa hanya Cody yang berbeda?
Mungkin terjadi sesuatu selama aku pergi? Hanya ada
satu kejadian penting yang membuat seseorang rela mati demi seseorang kan?
Tunggu dulu, kalau aku tak salah ingat, Cody pernah mengalami kecelakaan. Apa
karena itu? Sepertinya tidak, mereka sudah lebih akrab jauh sebelum itu.
Lebih baik, aku tanyakan saja langsung daripada bikin
pusing.
Tanpa berlama-lama, kulangkahkan kaki menuju kamar
dan mengintip dari celah pintu. Xavier sedang memarahi Fran, mengulangi
kalimatnya pagi ini untuk tidak minum lagi. Fran sendiri hanya mengerang
jengkel padanya dan menyuruhnya keluar agar dia bisa makan dengan tenang.
“Ini semua karena kau,” desis Xavier, menutup pintu.
“Kau tahu dia tak bisa minum banyak, tapi tetap saja memberinya minum.”
“Aaw, Xavier. Aku hanya ingin tahu semanis apa calon
pacarku saat sedang mabuk.”
Ada kilatan posesif di matanya. “Jauhi dia. Kau cuma memberikan dampak buruk.”
“Tapi aku menyukainya,” kataku, mengikutinya turun ke
bawah. “Kenapa sih kau peduli sekali padanya? Kupikir satu-satunya orang yang
kau cintai hanya Cody.”
“Karena kau memberi dampak buruk padanya.”
“Memangnya aku melakukan apa? Aku tak menyuruhnya
minum banyak. Aku“
“Tapi kau tak melarangnya berhenti,” potongnya cepat.
“Jangan bawa-bawa Cody dalam masalah ini, oke?”
Aku memutar bola mata, menarik kursi di dekatnya yang
sedang mengambil jus di kulkas. “Bukankah sudah saatnya bagimu untuk membentuk
keluarga sendiri? Cody sudah punya Keyna sekarang. Sekarang giliranmu. Kau tak akan
mau kalah dari temanmu sendiri kan?”
“Aku akan menikah jika sudah menemukan wanita yang
tepat.” Dia meneguk jusnya langsung dari kotaknya. Aku hanya memandangi Xavier,
memerhatikan figurnya.
Damn,
adikku memang seksi. Bahkan dengan rambut awut-awutan saja dia masih tetap
keren. Pantas saja Fran tergila-gila. Sifat bad
boy-nya itu juga menjadi daya tariknya, meski kadang-kadang, itu juga yang
menyebalkan.
“Aku ingin bicara serius,” kataku, mengganti intonasi
suaraku. Xavier melirikku dari ujung matanya, mengangguk dan duduk di depanku.
Meskipun keluarga Huges terkenal dengan kegilaannya, tapi kami lumayan serius.
“Ini mengenai hubunganmu dan Cody.”
Matanya menyipit. “Aku mendengarkan.”
“Kenapa harus Cody?”
Dia terdiam sejenak, memandang mataku lurus-lurus.
Aku tahu hanya dengan satu pertanyaan itu, Xavier bisa menduga berapa banyak
arti di dalamnya.
“Ada tiga alasan,” jawabnya serius. “Dia ada. Dia tak
mengecewakanku. Dia tak menghakimiku.”
Aku mengerjap. Tiga alasan singkat yang entah mengapa
menusuk jantungku. “Xavier…”
“Tidak, River. Aku tak ingin membicarakan ini.” Dia
bangkit, meneguk jusnya kembali. “Itu sudah menjadi bagian dari masa lalu. Aku
tak mau mengingatnya.”
“Xavier…”
“Bisakah kita hentikan pembicaraan ini? Aku paling
benci hal-hal yang membuat kepalaku sakit.” Meletakkan jusnya, Xavier segera
keluar dari dapur dan, kuduga, kembali ke kamarnya.
Dia ada. Dia
tak mengecewakanku. Dia tak menghakimiku.
Tiga alasan yang membuat keberadaan Cody mutlak,
bahkan oleh siapapun.
Dan itu semua karena aku.
Karena aku memutuskan untuk meninggalkannya tanpa
kabar, memberikannya seluruh tanggung jawab ke bahunya, membuatnya harus
menjadi sepertiku, membuatnya hidup dalam perbandingan oleh orang-orang…
Apa yang telah
kulakukan? Jeritku dalam hati. Aku telah melakukan kesalahan besar dengan
mengorbankan Xavier hanya untuk mendapat kebebasanku. Tanggung jawab yang
harusnya menjadi milikku kuserahkan pada seorang anak kecil. Aku bahkan tak
mampu menghadapi masalahku sendiri dan memilih untuk melarikan diri.
Ponselku tiba-tiba berdering, membuatku kembali
fokus. Pandanganku kabur dengan air mata yang cepat-cepat kuhapus. Ada telepon
masuk dari tempat yang jauh dari sini.
“Halo?” kataku dengan suara bergetar.
“River, wanita itu meninggal.”
Aku tak tahu harus bilang apa. Butuh waktu untuk
memeroses apa yang sebenarnya terjadi. “Bagaimana…” Aku menelan ludah.
“Bagaimana kejadiannya?”
“Dia tertembak pasukan militer di perbatasan Gaza
saat hendak mengungsikan anak kecil.”
Aku menggigit bibir. Air mataku sudah tak terbendung
lagi. Wanita itu sudah meninggal. Dia pergi dengan cara mengenaskan. Bahkan aku
sendiri tak bisa mengucapkan selamat tinggal padanya. “Lalu, bagaimana dengan
anaknya?”
“Anak itu selamat. Trauma dan sedih, tapi dia sehat.”
Aku menghela napas lega. Setidaknya, aku tahu dia
baik-baik saja.
“River, apa yang harus kulakukan pada anak itu? Aku
tak mungkin meninggalkannya di negara ini. Kau tahu benar hukum di negara ini
masih primitif. Dia bisa mati.”
“Aku…” Aku tak bisa bicara. Aku tahu hal itu.
“Xavier, aku tahu kontrakmu dengan militer sudah
selesai, tapi kau tak bisa meninggalkan tanggung jawabmu di sini. Dia
membutuhkanmu.”
Aku memijit ujung hidungku, menghela napas. Meski aku
tak percaya ada Tuhan di dunia ini, tapi aku yakin ada yang namanya karma dan
karma itu sedang menghukumku sekarang. Seluruh kesalahan yang pernah kulakukan
dulu, sekarang balik menyerangku bertubi-tubi.
Tapi kali ini aku tak akan kabur.
Aku sudah bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku
akan menghadapi masalahku sejak aku menginjakkan kaki kembali kemari. Aku harus
mulai melakukan segala sesuatu dengan benar. Hal itu dimulai dari sekarang.
“Kirim dia ke sini,” kataku.
“Kau yakin?”
“Ya,” kataku mantap. “Nikolein membutuhkanku sebagai
Ayahnya.”
***
JEREMIAH(POV)
Dua minggu tak ada Cody, aku bosan setengah mati. Cody
sepertinya benar-benar menikmati masa bulan madunya sampai lupa sama sekali
denganku. Si Bodoh itu bahkan tak memberikan pesan padaku! Keyna benar-benar
memonopolinya! Awas saja wanita itu, kubalas dia nanti!
Menghela napas, aku menutup berkas yang sudah
kutandatangani dan ganti melihat komputer.
Ada sebuah pesan masuk ke mailku.
Jeremiah, aku
tahu bahwa kau sangat sibuk jadi tak bisa menemaniku.
Tapi kupikir
kau ingin tahu perkembangan bayi kita.
Daphne.
Aku tersenyum melihat foto hitam putih yang dikirim
Daphne padaku. Sudah berapa lama Daphne hamil? Aku lupa sudah berapa bulan,
tapi melihat perkembangan janin di perut Daphne membuatku diliputi kebahagiaan
tersendiri. Tanpa sadar, aku sudah meraba foto itu, rasa sayangku bangkit
begitu rupa.
Aku akan menjadi seorang Ayah. Awalnya, itu ide
mengerikan yang amat buruk, tapi setelah aku mulai terbiasa, perasaan itu
berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Inikah yang dirasakan Cody saat mendengar
bahwa Keyna hamil? Aku bisa mengerti perasaan Cody dan bagaimana rasa cintanya
bertambah pada wanita itu. Dan kurasa, aku juga mengalami hal yang sama.
Perasaan cinta padaku semakin hari semakin dalam pada anakku dan pada ibunya.
Tapi, sayangnya, Daphne berada jauh dari jangkauan.
Aku menyimpan foto itu dan mencetaknya lalu
kumasukkan ke dompetku. Bila melihat foto itu, aku yakin aku bisa menjaga
diriku sendiri untuk tidak melihat wanita lain. Aku tak mau anakku dikutuk oleh
para wanita yang kutiduri. Kenapa? Kalian mengejekku yang percaya pada kutukan?
Silakan tertawa, aku tak peduli.
Selesai membereskan pekerjaanku hari ini, aku segera
turun dan masuk ke mobilku. Selama ini aku sibuk terus karena pekerjaan dan tak
sempat bergaul dengan siapapun. Siapa kira-kira yang harus kuajak ngobrol? Aku
sedang tak ingin bicara dengan para wanita. Aku hanya ingin santai.
Aroz sudah pasti tak bisa kuajak ngobrol karena dia
hanya akan menghabiskan seluruh waktunya pada James, yang seperti lintah dan
ogah meninggalkannya kemana-mana. Lagipula, aku tak ingin melihat kemesraan
mereka sementara aku sendiri jomblo. River sedang sangat sibuk. Akhir-akhir ini
dia membuktikan dirinya bahwa dia ingin mengambil alih pekerjaan Ayahku. Dia
memegang tiga perusahaan sekaligus dan menata rumah barunya. Dia juga mulai
jarang pulang karena harus terbang ke beberapa negara. Keluargaku jelas bukan
pilihan. Mereka hanya akan mengeluhkan hal yang
sama.
Satu-satunya orang yang jomblo dan santai tiap malam
hanya satu orang: Fran.
Kenapa hanya dia satu-satunya pilihan? Menghela
napas, aku memutar mobil menuju rumah Fran. Apa kira-kira alasan yang harus
kuberikan pada Fran? Dan kenapa pula aku harus memberikan alasan? Oh, benar
juga, karena aku tak mau dia salah paham pada setiap kunjunganku.
Dahiku mengerut, kebingungan sendiri. Tapi, salah paham karena apa?
Otakku yang menyebalkan tiba-tiba saja mengingat
adegan dimana Fran yang mabuk waktu itu dan tak sadarkan diri di kamarku. Pada
saat itu tanpa sadar, aku menciumnya. Setan apa yang waktu itu merasukiku
sampai menciumnya?
Tentu saja
karena saat itu kau melihatnya begitu manis tidur di atas tempat tidurmu karena River membuatnya
mabuk dan Gabrielle menyuruhmu untuk mengantarnya bertemu Oliver.
“Oh, diamlah, diriku yang satu lagi. Aku tak tanya
pendapatmu,” kataku jengkel.
Tapi yang
kukatakan itu benar. Aku adalah dirimu.
“Tutup mulutmu dan biarkan aku menyetir dengan
tenang,” balasku lagi. Ya ampun, aku mulai seperti Cody: bicara pada diri
sendiri!
Aku sampai ke rumah minimalis Fran dan hendak
mengetuk pintu sampai suara Gabrielle terdengar memanggil di belakang.
“Dad?”
“Gabrielle, kau memotong rambutmu?” kataku keheranan.
Gabrielle tak lagi punya rambut panjang merah yang membuatnya cute melainkan rambut pendek monhawk
yang memperjelas wajah dan mata birunya yang indah. Penampilan barunya membuat kepercayaan
dirinya menguar.
“Erm, ya. Baru tadi,” gumamnya, menyisir rambutnya
dengan jemari. “Rambutku sudah terlalu panjang dan sulit sekali melihat lawan dengan
rambut berkibar.”
Aku tertawa. “Kau keren.”
Dia tersenyum kecil. “Papa pasti sedang membuat makan
malam. Kau tak bawa cake?”
Aku menggeleng. “Baguslah. Aku juga sedang
kelaparan.”
Gabrielle membuka pintu dan kami masuk bersamaan.
Terdengar suara musik dari dalam. Tidak terlalu keras kedengaran keluar, tapi
cukup untuk membuat kami berdua mengerutkan dahi dan saling pandang. Tak lama
terdengar suara di antara nyanyian tersebut.
Suara Fran.
Kami kembali saling pandang. Saat Gabrielle
memberikan senyuman monalisa andalannya, aku tahu dia juga berpikiran hal yang
sama. Mengendap-endap tanpa suara, kami menuju dapur, mengintip dari balik
dinding.
Fran sedang memasak dan bernyanyi. Sekaligus juga berjoget.
Suara musik dari radio yang menggelegar di dekat meja
makan, menyanyikan sebuah lagu yang membuatku dan Gabrielle nyaris
terpingkal-pingkal.
Do I attract you?
Do I repulse you with my queasy smile?
Am I too dirty? Am I too flirty?
Do I like what you like?
Do I repulse you with my queasy smile?
Am I too dirty? Am I too flirty?
Do I like what you like?
Yeah, I could be wholesome
I could be loathsome
I guess I'm a little bit shy
Why don't you like me?
Why don't you like me without making me try?
I could be loathsome
I guess I'm a little bit shy
Why don't you like me?
Why don't you like me without making me try?
Fran
memberikan ekspresi anak kecil penuh memelas, menggunakan spatula di tangannya
sebagai mikrofon. Aku menutup mulut Gabrielle yang nyaris saja terbahak, memberikan
isyarat agar dia tak bersuara.
I tried to be like Grace Kelly
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
I could be brown, I could be blue
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
Gotta be green, gotta be mean
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Why don't you walk out the door!
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Why don't you walk out the door!
Kali
ini dia berputar-putar. Mirip seperti orang mabuk kemarin, mengangkat tinggi
spatulanya, masih bernyanyi gila-gilaan. Kami berdua tertawa tanpa suara,
nyaris keluar air mata melihat betapa kocak dan gilanya Fran sekarang.
Ternyata, selain profesor yang tenang dan kharismatik, dia juga bisa gila
seperti ini.
How can I help it? How can I help it?
How can I help what you think?
Hello my baby, hello my baby
Putting my life on the brink
How can I help what you think?
Hello my baby, hello my baby
Putting my life on the brink
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Why don't you like yourself?
Should I bend over?
Should I look older just to be put on your shelf?
Why don't you like me?
Why don't you like yourself?
Should I bend over?
Should I look older just to be put on your shelf?
Sekarang dia malah menggoyangkan
pinggangnya ke kiri dan ke kanan. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain
untuk memasukkan bahan makanan. Oh, God.
Ini pemandangan paling lucu yang pernah kulihat. Gabrielle sudah jatuh ke
lantai, memegangi perutnya, nyaris terguling-guling. Aku juga memegangi
perutku, kesakitan menahan tawa tanpa suaraku sendiri.
I tried to be like Grace Kelly
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
But all her looks were too sad
So I tried a little Freddie
I've gone identity mad!
I could be brown, I could be blue
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
I could be violet sky
I could be hurtful, I could be purple
I could be anything you like
Gotta be green, gotta be mean
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Walk out the door!
Gotta be everything more
Why don't you like me?
Why don't you like me?
Walk out the door!
Ketika dia berputar lagi, tanpa
sadar dia melihat kami berdua yang sudah keluar dari persembunyian kami karena
tak lagi bisa menahan diri melihat aksi Fran dalam kondisi mengenaskan karena
menahan tawa. Fran menjerit kaget dan kami makin terbahak karena jeritan Fran
persis seperti jeritan wanita yang ada di kamar mandi ketika pintu mereka terbuka
tiba-tiba.
“Sejak kapan kalian berdua ada di sana?” seru Fran,
dengan wajah merah padam, memegangi dadanya.
Kami semakin terbahak.
“P-P-Papa… kau… muahahahaha,” Gabrielle terbahak lagi
sama sekali tak bisa menyelesaikan kalimatnya sendiri dan berguling di
tempatnya.
Fran menggertakan gigi.
“Aku tak menyangka kalau kau hobi bernyayi, Fran,”
kataku di antara tawaku. “Oh, God.
Tadi itu lucu sekali. Tarianmu benar-benar luar biasa.”
Jika wajahnya bisa lebih memerah lagi dari sekarang,
maka aku yakin dia akan meledak. Dia mengerang jengkel, bergumam, “Memalukan”
pada dirinya sendiri, membuat kami tertawa lagi, sambil menutup wajahnya.
“Aku… aku mau mandi dulu,” Gabrielle bangkit dari
tempatnya, memegangi perutnya. “Aduh, ini hari terlucu yang pernah kualami.”
Aku geleng-geleng kepala, mendekati Fran yang
merengut ketika melanjutkan masakannya. Musik dari radio tadi masih berbunyi.
“Jadi, kau akan jadi apa saja untuk orang yang kau
sukai? Itu ekstrim sekali,” kataku, mencomot makanan yang dia hidangkan sebelum
dia menampar tanganku.
“Itu cuma lagu, Jeremiah.”
“Lagu dibuat karena seseorang pernah mengalaminya,”
kataku.
Dia tak membalasku dan memilih untuk memotong lobak
dengan kekuatan berlebihan sampai talenannya berbunyi keras. Aku cuma tertawa
kecil.
“Kenapa kau datang? Biasanya kau menelepon lebih
dulu.”
“Aku lapar.”
“Rasanya aku seperti memberi makan hewan liar di
pinggir jalan.”
“Aku tak keberatan kalau makan masakanmu yang enak.”
“Kau tak mengerti sindiran ya?”
“Aku hanya pura-pura tak tahu saja.”
Dia mengabaikanku selama memasak. Aku membantunya
menata meja makan. Begitu Gabrielle kembali, anak itu tersenyum lebar dan duduk
layaknya tuan muda di tempatnya. Fran hanya tersenyum saja, memuji penampilan
barunya karena tadi dia terlalu sibuk dipermalukan sampai lupa melihat
penampilan Gabrielle.
“Kau terlihat tampan, Gabrielle,” Fran mengecup
dahinya.
“Papa, aku bukan anak kecil,” gerutunya, menyeka
dahinya.
“Bagiku, kau tetap anak kecil,” balasku, mengacak
rambutnya yang basah. Dia membalasku dengan menjulurkan lidahnya.
Kami makan dengan tenang dan santai, menertawakan
Fran, menggodanya, lalu mngobrol tentang kejadian hari ini. Tak ada yang banyak
berubah kecuali Gabrielle. Belakangan ini Gabrielle jadi sosialis. Dia tak lagi
menutup diri pada Fran dan dia mulai tertawa pada Fran, cara bicaranya sudah
tak kaku lagi. Fran sepertinya mengalami kemajuan dalam mendidik Gabrielle.
Dan setelah Gabrielle memilih untuk naik ke kamar
mengerjakan PR-nya, aku dan Fran segera disibukkan dengan kegiatan paling
menyebalkan dalam hidupku: mencuci piring.
“Gabrielle sepertinya mulai terbuka padamu,” kataku.
Fran tersenyum kecil dan mengangguk. “Akhir-akhir ini
dia banyak bercerita tentang sekolahnya. Rasanya menyenangkan mendengarkan
dia.”
“Baguslah,” kataku, menyenggol bahunya. “Karena dia
sekarang sudah menerimamu, bagaimana kalau kau sekarang memikirkan masa depanmu
juga.”
“Jeremiah, aku sudah bilang kalau aku tak butuh
perempuan. Aku baik-baik saja tanpa mereka.”
“Tapi kau tak mungkin hidup sendiri selamanya, Fran.”
“Aku punya Gabrielle, jika kau lupa.”
“Tapi Gabrielle tak mungkin menemanimu selamanya. Dia
itu masih muda. Dia juga pasti punya kehidupannya sendiri.”
Fran menghela napas., menggigit bibirnya.
“Sebenarnya, bukan hanya itu saja…”
“Maksudmu?” kataku, meletakkan mangkuk yang sudah
kubilas ke rak piring.
Fran butuh waktu lama membuka kembali mulutnya dan
mengatakan alasannya dalam bisikan kecil yang nyaris saja tak bisa kudengar
andai saja suasananya tak sesunyi ini.
“Aku gay.”
Huh? Aku sama sekali tak menduga jawaban yang itu.
***
Medan, Minggu,
11 Mei 2014
2 komentar:
kata2 nya membuat sy kagum, kiasan bahasa yang sangat menarik untuk di baca, thanks..
Thanks for this story :)
Posting Komentar