10
Old Friend
==========
FRAN(POV)
“Fran!” Jeremiah masuk ke dalam ruang kerjaku tanpa
mengetuk pintu. Mahasiswi yang hari ini sedang konsultasi denganku ikut
menoleh, kemudian wajahnya merona merah ketika melihat Jeremiah.
“Jeremiah, aku sedang sibuk. Silakan keluar dan
tunggu di sana sampai aku sele—”
“Kau harus membantuku mencari kado yang cocok untuk
Cody. Dia masih marah padaku dan aku yakin bahwa kado biasa tak akan membuatnya
senang. Oh, hai, Cantik. Keberatan bila aku bicara berdua dengannya?” Pria
menyebalkan itu tidak mendengarku dan malah dengan seenaknya mengusir
mahasiswiku yang mengangguk dan segera angkat kaki.
“Jeremiah!” kataku jengkel begitu gadis itu menutup
pintu. “Kau tak boleh seenakny—”
“Aku yakin Cody tak akan suka bila aku membelikannya
benda yang mahal. Dia sudah cukup kaya untuk beli benda yang dia inginkan. Aku
juga tak ingin membeli dia barang elektronik. Benda-benda itu sudah cukup
membuatnya sakit kepala. Kita tak perlu menambah sakit kepalanya lagi. Kalau
baju? Nah, aku yakin dia tak menginginkannya. Hanya ada dua jenis baju yang dia
pakai: kaos dan jeans. Buku? Tidak,
tidak, tidak. Aku selalu memberinya buku. Sepatu? Hah, dia punya satu lemari
penuh berisi sepatu boot. Parfum?
Euh, nanti dia pikir kalau aku merasa dia bau. Bagaimana, Fran? Apa idemu? Kau
harus membantuku mencari ka—AAW!”
Tanganku melayang begitu saja, menggetok kepalanya.
Jeremiah menganga sejenak, lalu cemberut. Tampaknya dia sama sekali tak merasa
kalau kepalanku cukup menyakitkan untuknya.
“Kau tak boleh seenaknya masuk ke kantorku tanpa
mengetuk pintu, mengusir mahasiswaku yang sedang konsultasi padaku tanpa tanya
dulu padaku, lalu bicara seperti kereta api tanpa rem tiap kali aku hendak
mengatakan sesuatu. Aku punya wewenang di sini. Aku seorang profesor di sini. Apa kau tak bisa mengunci
mulutmu?” kataku jengkel.
Dia mengerjap, berkomentar, “Itu kalimat terpanjang
darimu dalam sekali tarikan napas.” Yang membuatku mengerang jengkel, lalu
duduk di kursiku, memijit kepalaku. Ya Tuhan, aku bisa merasakan darahku
mengalir ke kepala dan berdenyut-denyut menyakitkan.
Aku melirik jengkel padanya, dan dia memberikan
tatapan penuh permohonan padaku.
Aku menurut dan menemani Jeremiah.
Ini pertama kalinya aku menemani seseorang membelikan
hadiah ulang tahun karena aku tak pernah punya teman. Setelah dipikir-pikir
lagi, aku menghabiskan pengalaman pertamaku bersama Jeremiah.
Dia teman pertamaku. Dia orang pertama yang kubawa ke
rumah. Dia orang pertama yang kubawa ke makam orang tuaku. Dia orang pertama
yang kurayakan ulang tahunnya. Dan dia juga orang pertama yang mengajakku
membelikan kado ulang tahun.
“Well?”
Suara Jeremiah membuatku mengerjap. Dia tengah
memandangku dengan tak sabar. Di kedua tangannya, dia menggenggam dua gelang
kulit yang berhiaskan emas di bagian atas, yang kanan berwarna biru dan yang
kiri berwarna merah.
“Yang mana, Profesor?”
Aku mengerjap lagi. “Kupikir, kau yang memilih. Itu kan kadomu bukan kadoku.”
“Aku sudah memilih. Aku cuma bingung warna mana yang
cocok untuk Cody.”
“Pilih yang mana saja. Keduanya kan punya desain yang
sama.”
“Warna bisa menentukan segalanya, Profesor. Apa yang
akan kau bilang bila tiba-tiba saja air laut berwarna merah?”
“Itu artinya ada gagang merah di laut.”
“No shit,
Genius.”
Aku geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. “Kau
sahabat Cody sejak kecil. Kau pasti tahu warna apa yang pas untuknya kan? Pilih
saja warna kesukaannya.”
Pria itu memutar bola matanya. “Dia sudah terlalu
banyak mengoleksi warna yang sama,” gumam Jeremiah, meletakkan gelang berwarna
biru dan membawa yang satunya ke kasir.
“Apa Cody tak memberimu hadiah?” Aku bertanya
penasaran.
“Cody selalu memberiku kado walau aku tak ulang tahun,
jadi wajar saja bila dia tak memberi apapun saat aku ulang tahun,” jawabnya
sambil mengeluarkan kartu kreditnya.
“Seperti?”
“Sewaktu di Jepang kemarin dia membawaku satu set
mini car langka seharga 867 dollar. Si bodoh itu selalu lupa mencoret harganya.
Kurasa itu cukup jadi kado ulang tahun.” Jeremiah memutar bola matanya.
Hadiah ulang
tahunku belum pantas dengan apa yang diberi Cody.
“Profesor, hadiahmu tak kalah dengan Cody. Bila Cody
memberi harga, maka kau memberi momen. Keduanya sama harganya,” katanya sambil
menepuk bahuku, mengambil belanjaannya.
Wajahku memerah karena Jeremiah bisa menebak apa yang
ada dalam pikiranku.
“Ayo, Profesor,” kita jemput Gabrielle. Mungkin saja
pacar Cody sudah ada di rumahnya, kita bisa membantunya.”
“Aku tak setuju bila Gabrielle bolos.”
“Profesor,” kata Jeremiah membuka pintu membiarkanku
keluar lebih dulu. “Kita tak menyuruhnya bolos. Kita menjemputnya pulang dengan
ijin. Itu berbeda.”
“Tapi tetap saja—”
“Ah ah ah, tak ada bantahan.” Dia menggoyangkan
telunjuknya padaku.
Aku melipat tangan. “Mungkin kau lupa kalau akulah Ayahnya
yang sah. Kalau aku bilang Gabrielle tak boleh bolos, maka dia tak boleh bolos.”
“Tapi—”
“Gabrielle anak yang pintar. Apa kau mau dia jadi
bodoh karena bolos?”
“Kau menyindirku?” Alisnya menaik jengkel.
Aku mengerjap bingung. “Apa maksudmu? Kau jelas-jelas
pria yang cerdas. Kalau tidak kau tak mungkin bisa jadi seorang CEO.”
Kali ini giliran Jeremiah yang mengerjap dan
menatapku selama beberapa detik seakan aku alien, sampai akhirnya dia tertawa
kecil dan mendorongku menuju mobilnya.
“Kenapa kau tertawa?” Aku keheranan.
Dia masih tertawa kecil. Aku tak mengerti apa yang
dia tertawakan.
“Tidak apa-apa, Profesor. Masuklah.” Dia membukakan
pintu mobil dan menutup pintu setelah aku naik. Dahiku masih mengerut keheranan
karena dia masih tertawa kecil dan tersenyum sepanjang perjalanan kami menuju
sekolah Gabrielle.
“Aku masih tak setuju kalau Gabrielle,” bolos kataku.
Jeremiah mengangguk kalem. “Tenang saja. Kita hanya
menunggu Gabrielle. Masih ada dua jam lagi. Kita bisa minum kopi. Di dekat sekolahnya Gabrielle ada cafe kecil.”
Mobil Jeremiah berhenti di depan sebuah cafe kecil,
sepuluh meter dari sekolah Gabrielle. Kami turun dan masuk ke dalam. Cafe itu
jauh lebih hangat dari pada udara di luar. Dentingan lonceng berbunyi ketika
pintu menutup di belakang dan seorang pelayan wanita mendatangi kami—atau
Jeremiah, lebih tepatnya.
Selamat datang. Silakan lewat sini, Tuan. Si Pelayan
wanita menatap Jeremiah seperti melihat daging terbuang di padang gurun. Aku
duduk dengan sedikit jengkel. Gosh,
wanita itu kan sedang bekerja. Dia bisa menyimpan godaannya nanti pada
pacarnya.
“Kopi saja. Terima kasih. Fran?”
“Lemon tea
dengan dua sendok madu. Jangan terlalu manis. Jangan terlalu asam. Jangan
terlalu panas dan jangan terlalu dingin juga. Di seduh di gelas bercangkir dan
tak ada hiasan di atasnya,” kataku cepat.
Si Pelayan mengerjap, begitu pula dengan Jeremiah.
“Apa?” kataku polos pada Jeremiah. Itukan pekerjaan
wanita itu. Kenapa harus aku yang merasa bersalah?
“Bawa saja lemon
tea hangat dan cangkir madunya kemari. Terima kasih.” Jeremiah menutup
menunya memberikannya pada wanita itu.
Setelah wanita itu pergi, Jeremiah terbahak-bahak.
Dahiku mengerut keheranan. Dia menertawakanku lagi.
“Apa yang lucu, Jeremiah?”
“Kau,” katanya terengah-engah, nyaris menjatuhkan air
mata karena tertawa. “Demi Tuhan, Fran apa kau selalu memesan lemon tea sampai sedetail itu?”
“Maaf saja bila aku terlalu banyak permintaan.”
“Tidak. Itu bukan masalah. Justru bagus.”
Dahiku mengerut tak mengerti dan menatapnya keheranan.
“Kau sedang belajar terbang,” katanya. “Dan saat kau
sudah bisa terbang, kau akan meninggalkan sarangmu.”
“Aku tak berniat meninggalkan sarangmu.”
“Oh, tentu saja kau mengatakan itu sekarang, tapi
kita tak tahu masa depan. Semua orang melakukannya, disadari ataupun tidak.
Suatu hari nanti kau juga pasti terbang tinggi, meninggalkanku dan mungkin tak
akan kembali.”
Dan tiba-tiba saja aku merasa takut bahwa apa yang
dia katakan sambil lalu akan terjadi.
Aku yang mencoba terbang, lalu akhirnya akan terbang
jauh, dan meninggalkan sangkarku. Aku tak akan kembali.
Aku tak menginginkannya.
Aku tak ingin meninggalkan siapapun.
Aku ingin di
sini.
“Fran, kau baik-baik saja?” Jeremiah menjentikkan
jarinya ke depan wajahku.
Tenggorokanku kering dan seakan bukan suaraku sendiri
saat menjawab, “Erm... ya.”
Pria itu mengamati wajahku beberapa detik lalu
tersenyum kecil. “Kita bukan burung, Fran. Astaga, kau pasti memikirkan
perkataanku terlalu berlebihan.”
“Tidak. Aku hanya memikirkan mobilku yang tertinggal
di kampus.” Itu kebohongan besar.
“Kau tenang saja. Aku akan minta Hitcher membawanya
ke rumah Cody.”
Aku mengangguk kaku.
Pesanan kami datang. Pelayan yang sama memberikan
kopi Jeremiah dengan gerakan slow motion
berlebihan dan memberi lemon teaku
cepat-cepat. Lalu dia pamit, tak lupa memberi pesan kalau dia butuh apapun itu,
tinggal memanggilnya.
“Feromonmu terlalu berlebihan,” kataku memasukkan
madu ke lemon teaku. “Jangan menggoda
wanita yang bekerja.”
“Bukan salahku kalau aku seksi. Feromon pria
bertambah kuat dua kali lipat di siang hari. Pernah dengar sex after lunch? Aku bisa mengajarkanmu lain kali.”
“Ugh. Tidak, terima kasih.”
Dia tertawa. “Jangan bilang kau juga belum pernah
nonton blue film.”
“Oh, tenang saja. Aku dapat satu semester penuh
tentang blue film.”
Itu benar. Untuk membuat objek dan tokoh sangat nyata,
kami juga harus mempelajari tubuh manusia: semuanya.
Aku tahu semua detail. Itu bukan hal tabu pada anak perfilman.
“Wow, asyik sekali. Kalian memang keren. Sementara
kami sibuk berdebat kenapa Shakespeare membuat kisah tragis Romeo dan Juliet
padahal orangnya sudah mati.” Dia mendesah. “Kenapa manusia repot memikirkan
orang yang sudah mati? Ada begitu banyak manusia hidup yang harus dibantu dan
mereka sibuk dengan perbedaan tanda titik dan titik koma.”
Aku tertawa mendengar komentarnya. Dia selalu tahu
bagaimana cara membuat sebuah topik yang random menjadi menarik untuk dibahas.
Hanya Jeremiah yang mampu menghubungkan Shakespeare, tanda baca, dan manusia,
dengan anak-anak kurang mampu.
Kami mengobrol banyak—lebih tepatnya, Jeremiahlah
yang banyak bertanya. Dia banyak mengintrogasiku. Dia menanyakan apa yang
kusuka, apa yang tak kusuka, apa yang pernah kulakukan selama ini, apa yang
belum pernah kulakukan, kemana saja aku pergi dan tempat apa yang belum pernah
kukunjungi dan yang ingin kukunjungi.
“New Zealand,” kataku pelan, meletakkan cangkir
lemonku. “Aku ingin ke New Zealand.”
Jeremiah mengetuk-ngetuk dagunya, berpikir. “Itu
tempat yang indah. Rumput hijau, bangunan kecil penuh pepohonan. Danau-danau
kristal. Ya, tempat itu indah.”
Mataku mengerjap. “Kau pernah ke sana?”
“Sekali,” dia mengangkat kedua bahunya dengan tak
peduli. “Aku ke sana bersama River karena Cody—” dia berhenti, mengerutkan
dahi. Pembicaraan ini pastilah membuatnya mengingat hal yang tak menyenangkan.
Aku bisa merasakan udara di sekitarnya menegang. “Karena Cody menghilang,”
lanjutnya, melihat keluar jendela.
Aku menggigit bibirku, ragu apakah aku harus bertanya
atau tidak. Aku memutuskan untuk bertanya. “Memangnya, apa yang terjadi?”
***
JEREMIAH(POV)
Aku menyalahkan
dunia, menyalahkan semua orang, menyalahkan takdir dan Tuhan. Semuanya.
Aku ingin mengatakan hal itu, tapi aku tak bisa
mengatakannya. Ini bukan karena aku lemah, tapi karena aku takut mempercayai
Fran. Kepercayaan adalah satu-satunya hal yang tak kuberikan pada orang dengan
mudah. Satu-satunya orang yang masih kuberi kepercayaan hanya Cody. Dia adalah
satu-satunya orang di muka Bumi yang akan membawa mati rahasia dan semua hal
yang kukatakan padanya. Bahkan anggota keluargaku saja tidak mendapatkan hal
itu, seberapapun besar usaha mereka melakukannya.
Mereka tak pernah ada saat aku dipukuli untuk membela
Cody. Mereka tak mengerti saat aku membela Cody karena dia sahabatku, hanya
karena dia gay—walau sekarang mereka tak peduli karena menemukan River sudah
masuk klub yang sama. Mereka tak ada sangat aku menangis bila mereka menuntutku
untuk menjadi lebih baik karena mereka memaksaku mendapatkan nilai yang lebih
baik. Mereka tak pernah tahu betapa kecewanya aku tiap kali aku mendapatkan B
berkat upaya keras dan mereka menginginkan A. Mereka tak pernah ada saat aku
ketakutan kehilangan sahabatku, hanya ada Aroz yang menemaniku, memegang
tanganku dan mengatakan bahwa semua baik-baik saja, karena kami berada dalam
kapal yang sama.
Aroz… benar juga. Dia juga menghilang seperti Cody.
Berbeda dengan Cody yang pergi dari rumah, Aroz justru dipaksa pulang ke rumah.
Luar biasa, aku merindukannya sekarang. Aroz sudah
kuanggap sebagai sahabatku sendiri, meski belum mampu menyaingi Cody, tapi
jelas dia orang kedua yang kupercaya saat ini.
“Jeremiah?” suara Fran membuatku mengerjap,
tercengang.
“Oh, kau tahu, masalah anak muda,” kataku sambil
lalu, berharap suara santaiku bisa membuatnya percaya. Sialnya, dia masih
memasang ekspresi tak percaya. “Aku lupa kalau kau sudah tua. Kau tak pernah
merasakan masalah anak muda.”
“Tidak lucu, Jeremiah,” katanya, geleng-geleng
kepala. “Lalu, apa New Zealand menyelesaikan masalah anak muda itu?”
Dia belum ingin mengakhiri pembicaraan ini, ternyata.
Mengangkat kedua bahuku, aku nyengir lebar. “Aku cukup menikmati hariku di
sana.”
Fran menatapku lagi. Mata hijaunya seperti
menemebusku untuk mengetahui apakah aku berbohong atau tidak. Untunglah, Fran
tak sempat bertanya lebih jauh karena Gabrielle segera muncul, menjatuhkan
ranselnya tepat ke atas meja dan berkata, “Aku lapar.”
“Gabrielle, kau mengagetkanku,” Fran menggerutu,
mengelus dadanya dengan jengkel.
“Papa, kau belum cukup tua untuk mendapat penyakit
jantung,” katanya, kemudian duduk di sampingnya sementara aku terbahak
mendengar komentarnya. “Jadi, kalian membicarakan apa?”
Aku menggeleng. “Bukan masalah besar,” kataku. Fran
memberikanku pandangan menusuk. Dia akan membahas masalah ini cepat atau
lambat. Aku yakin itu.
Setelah makan siang, kami segera berangkat menuju
apartmen Cody. Fran tercengang melihat mobilnya sudah terparkir rapi di basement tapi tidak mengatakan apa-apa.
Kami naik ke atas, menuju pintu rumah Cody. Sebenarnya, aku bisa saja masuk ke
dalam karena aku punya kunci sendiri. Tapi, aku yakin bahwa ada seseorang di
rumah Cody.
Mengangkat tanganku, aku mengetuk pintu.
***
AROZ(POV)
“Kau, seperti biasa, sering terbawa emosi,” kataku
pada Jeremiah yang memberikan cengiran lebar padaku seakan dia tak melakukan
kesalahan apapun. “Jeremiah, kau meninjunya. Dia seorang aktor! Dia bisa saja
melaporkanmu ke polisi.”
Aku sama sekali tak menyangka pertemuan pertamaku
dengan Jeremiah setelah bertahun-tahun justru saat melihatnya menghajar salah
seorang aktor. Kapan pria ini akan menjadi dewasa? Dia selalu terbawa emosi dan
tak pernah berpikir.
“Dia tak akan melakukannya,” kata pria itu, masih
memberikan cengiran yang sama. “Bila dia melakukannya, maka hubungan gelapnya
dengan Cody akan terbongkar.”
Mataku membulat. No
way…
Jeremiah mengangguk. “Yeah, dia mantan Cody sebelum
Keyna. Dia meninggalkan Cody untuk menikah dengan wanita itu.”
Penjelasannya barusan membuatku tertegun. Aku tak
pernah bertanya mengenai hubungan Cody secara pribadi karena sekarang aku bukan
lagi orang yang pantas melakukannya. Tapi, begitu mendengar penjelasan Jeremiah
dan kabar beberapa minggu belakangan ini, aku yakin bahwa itu benar. Tidak
mungkin seorang aktor tiba-tiba menikah tanpa mengenalkan kekasihnya,
kecuali—tentu saja—karena sebuah alasan tertentu.
“Aku tak tahu bahwa Edgar gay.”
“Oh, dia gay untuk Cody,” katanya, mengerutkan dahi,
“aku belum pernah melihatnya terhipnotis dengan pria lain.”
Menggeleng kecil, aku menyeduh teh untuk Jeremiah. Dia
menerimanya, mengucapkan “terima kasih” lalu aku membawa cangkir lain untuk
tamu lain yang datang membantu. Hari ini ulang tahun Cody dan kami akan membuat
pesta kejutan pada Cody. Seluruh rumah Cody sudah dihiasi dengan balon-balon
putih karena Bellinda begitu bersemangat meniup balon itu. Di dekat undakan
sudah terpasang ucapan “Selamat Ulang Tahun, Cody” yang akan terlihat saat Cody
masuk. Makanan sudah disiapkan, begitu pula dengan minuman—yang akan ditambahi
bir dari teman Cody bernama Henry dan Claude.
“Jadi,” Jeremiah menarikku kembali ke dapur sehingga
kami bisa bicara berdua, “bagaimana kabarmu? Aku tak menyangka Cody tak bilang
apa-apa kalau kau sudah kembali.” Kemudian dia mengucapkan sesuatu yang aku
dengar sebagian sebagai, “Anda saja dia tak marah padaku.”
Dahiku mengerut. “Apa yang sudah kau lakukan
padanya?”
“Tidak ada,” katanya cepat. Uhu, kalimat bohong
seperti biasa. Dia pikir aku percaya? Melipat tanganku di dada, aku
memelototinya sampai dia bicara. “Oh, okay, aku mengaku. Aku cuma mau membantunya
jadi aku…” dia menarik napas, bersuara kecil, “memberinya video porno.”
Tanganku secara otomatis menimpuk kepalanya. “Bodoh!
Kau tahu kalau dia tak suka benda itu.”
Pria itu meringis, mengelus-elus kepalanya. “Aku cuma
ingin membantunya jadi hetero.”
“Yeah, whatever,”
gumamku, memutar bola matanya.
“Jadi,” dia bersandar di kulkas, menyerumput
cangkirnya, “apa kau juga akan berubah haluan menjadi ‘hetero’?”
“Aku tak yakin aku bisa jadi ‘hetero’.”
“Yeah, aku juga tak ingin kau jadi hetero,” ucapnya
tiba-tiba, membuatku menurunkan cangkir dari mulutku. “Kalau kau jadi hetero,
bisa dipastikan persediaan wanita cantikku berkurang.” Alasannya benar-benar
tak masuk akal. “Lagipula, para gay bisa menangis melihatmu menggandeng
wanita.”
“Haha,” kataku sarkastik. “Lucu sekali.”
Dia tertawa kecil kemudian berdiri di sampingku.
Salah satu tangannya yang bebas cangkir mengalung di bahuku. Aku tersenyum
kecil, merasakan pelukan persahabatan dari Jeremiah yang tak pernah berubah.
Pria ini selalu merangkulku kapanpun dia bisa melakukannya—meski Cody ada di
dekatnya. Setiap rangkulannya tak pernah membuatku merasa digoda, justru
sebaliknya, meninggalkan kesan persahabatan yang amat dalam.
“Aku pria terlucu yang pernah diciptakan orang tuaku
untukmu,” katanya mengangguk-angguk bangga. Dia memang pria ternarsis yang
pernah kutemui. Bukan satu kali ini dia memuji dirinya sendiri. Dia akan
melakukannya kapanpun dia bisa, meski dalam keadaan sarkastik sekalipun.
“Yeah, aku senang sekarang semua kembali seperti
semula,” kataku, meneguk cangkirku.
“Aw, tentu saja tidak. Kau belum dapat pacar,”
katanya.
“Aku akan menemukan pacar. Nanti. Tidak sekarang.”
“Aku punya teman gay—” Dia berhenti ketika aku
melotot padanya. “Kau belum bisa melupakan Cody, ya kan?”
Mengingat Cody lagi membuat paru-paruku sesak. Jujur,
aku memang belum bisa melupakannya. Dia cinta pertamaku. Dia masih menjadi
orang yang kucintai sampai sekarang. Tapi, kami sudah berakhir. Dia sudah
berpindah hati. Aku tak akan memaksakan tempatku yang sudah tak lagi pantas
berada di tempatnya.
Dengan susah payah, aku mengangguk tanpa suara. Aku
tidak mempercayai suaraku untuk bicara. Aku tak ingin terdengar menyedihkan.
Jeremiah meremas bahuku lagi. “Sahabatku, kau akan
mendapatkan yang terbaik. Mungkin tak sebaik Cody karena dia memang yang
terbaik. Dia sahabatku, aku memujanya sampai mati, jangan protes. Tapi, aku
yakin, akan ada yang terbaik untukmu, yang membuatmu sempurna.”
Kata-kata Jeremiah selalu menguatkan. Satu-satunya
saat dimana dia tak bisa bicara adalah saat Cody tergeletak tak berdaya di
rumah sakit.
Itu pertama kalinya aku melihat Jeremiah jatuh. Dia
tak lagi percaya diri. Dia menangis sepanjang hari. Dia tidak tidur. Dia tak
pernah meninggalkan Cody meski setiap orang berusaha mengusirnya. Mataku bisa
melihat dengan jelas bagaimana tangan Jeremiah yang menggenggam tangan pucat
Cody, melihatnya putus asa, memohon dan untuk pertama kalinya, mungkin, berdoa.
Melihatnya terpuruk, aku menemukan diriku kuat untuk
dia—untuk Cody.
“Aku iri padamu,” gumamku tiba-tiba. Jeremiah
menunduk, cangkir masih di mulutnya sementara dahinya mengerut. “Kau
satu-satunya orang yang bertahan di samping Cody.”
Jeremiah tersenyum kecil, meremas bahuku lagi. “Kau
juga ada di samping Cody, Aroz. Saat ini. Itu yang penting. Masa lalu tak bisa
diubah, tapi yang sekarang bisa mengubah masa depan.”
Aku ikut tersenyum kecil. “Kau tahu, aku paling benci
kalau kau sudah bicara begitu.”
“Kenapa?”
“Karena kau terdengar seperti orang pintar.”
“Sayang, aku memang orang pintar,” katanya memutar
bola mata. Aku mendengus dengan pernyataan barusan. Dia memang narsis. “Well, senang rasanya ada orang yang kadang bisa mengerti apa yang
kukatakan. Bila bersama Cody, aku tak bisa bermain kata. Gosh, dia tak mengerti apa itu keindahan bahasa! Saat aku bilang kelinci yang lucu, dia berpikir bahwa
aku memuji kelinci. Kau bisa percaya itu?”
Aku tertawa geli. “Kau tahu kalau Cody tak mengerti
omong kosongmu. Dia akan membuangnya ke tong sampah.”
“Hmph!”
“Jeremiah, bisakah kau membantu—” Pria yang kalau tak
salah dikenalkan Jeremiah sebagai “Fran” pada kami muncul ke dapur. Dahinya
mengerut melihat kami berdua sebelum akhirnya wajahnya merona merah, “Erm…
kurasa aku mengganggu—”
“Membantu apa?” Jeremiah menegakkan tubuhnya,
menghabiskan isi tehnya yang terakhir lalu menyerahkan cangkirnya padaku.
“Edgar butuh bantuan memindahkan sofa…” Pria itu tak
sempat menyelesaikan kalimatnya karena Jeremiah sudah berlalu dan berkata “Ok”
pada apapun itu yang akan dia lakukan.
Dan kami berdua pun ditinggalkan dalam keheningan
canggung yang amat mencekam. Aku menatapnya dan dia balas menatapku. Bila aku
bisa memberi efek, maka akan ada awan
biru menggantung yang kelam di atas kepala kami.
Ketika melihatnya pertama kali, aku kaget melihat
ketampanan wajahnya. Dia tampan sekaligus juga cute. Rambutnya berwarna merah, tebal dan sedikit panjang sehingga
nyaris menutupi bagian dahi dan telinganya. Wajahnya bersih tanpa rambut. Mata
hijaunya tampak berkilat. Ditambah dengan kacamata itu membuatnya tampak
cerdas.
Pria ini juga tinggi, tidak setinggi Jeremiah karena
Jeremiah juga harus menunduk untuk melihatnya. Tapi Jeremiah memang seperti
raksasa. Aku belum pernah melihat ada orang yang lebih tinggi darinya. Dia
punya potongan tubuh yang ideal: bahu tidak begitu lebar, pinggang yang
ramping, kaki yang panjang dan kurus, juga kulit yang bersih dan pakaian yang
rapi.
Dia tampak seperti seorang pemuda yang baru menginjak
dua puluhan, kecuali cara berpakaian dan auranya yang membuatnya tampak
bijaksana sekaligus juga formal.
Aku memutuskan untuk membuka pembicaraan. “Kita belum
berkenalan,” kataku, meletakkan cangkir Jeremiah dan cangkirku ke westafel,
lalu mengulurkan tangan padanya. “Namaku Aroz Milligan. Panggil Aroz saja.”
Dia menjabat tanganku, tersenyum kecil dan formal
seperti berbicara dengan seorang pengusaha besar. “Fran Cattermole.”
Genggaman tangannya cukup mantap. Dia orang yang
berpengalaman dalam pekerjaannya, aku yakin. Secara garis besar, dia pria yang
menarik.
“Jadi, kau datang ke sini karena keinginan sendiri
atau karena dipaksa Jeremiah?” Dia mengerjap, sepertinya bingung kenapa aku
bisa menebak dengan baik. “Well, aku
mengenal Jeremiah sejak SMP. Dia bisa sangat pemaksa bila dia mau. Cody pernah
cerita kalau Jeremiah memintanya membelikannya pizza saat tengah malam.”
Pria itu tertawa kecil. “Aku bisa menduga. Dia luar
biasa keras kepala.”
“Jadi, dimana kalian berkenalan?” tanyaku penasaran.
Dulu teman-teman Cody hanya di sekitar sekolah dan teman-teman gangsternya—juga
musuhnya.
“Aku mengajar di kampus Cody,” katanya. Wajahnya
merona sedikit. “Aku profesornya Cody.”
Astaga.
“Kau lebih tua dari kami?” kataku terkesan. Ketika dia mengangguk dan bilang
kalau umurnya sudah tiga puluh lima, aku hanya mampu geleng-geleng kepala.
Wajahnya muda sekali. Dia tak seperti
pria yang berusia tiga puluh lima tahun. Sepertinya, perubahan tahun tidak
mempengaruhinya. Dia akan membuat para wanita di dunia iri.
“Dan Gabrielle itu anakmu?” tanyaku, memberikan
potongan cake kecil padanya.
“Ya. Dia anak angkatku, tapi aku menyayanginya
seperti diriku sendiri,” katanya, menerima cake
itu, memberikan pandangan penuh cinta pada Gabrielle yang sedang meniup
balon bersama dengan Bellinda.
Aku ikut tersenyum melihatnya tersenyum. “Ada yang
bilang kadang kita bisa sangat menyayangi orang asing melebihi keluarga
sendiri.”
“Siapa yang bilang?”
“Jeremiah.”
“Harusnya aku tahu.”
Aku nyengir lebar dan dia balas nyengir lebar padaku.
Kami mengobrol hal-hal yang ringan sewaktu dia menghabiskan cakenya dengan
tidak terburu-buru. Aku suka dengan Fran. Dia tak terlalu terbuka, memang, tapi
dia cukup memberi ruang bagi orang lain untuk nyaman padanya.
“Kau seorang Baker?” Fran terkesan.
“Ya, aku punya toko kue di luar kota ini. Namanya
Aroz Bread, kau bisa datang kapanpun kau mau—kenapa?” aku mengerutkan dahi
melihatnya menahan napas.
“Cody pernah memberi kami kue dari tokomu sewaktu dia
ke luar kota,” jelasnya. “Aku tak menyangka akan bertemu dengan pembuatnya. Kue
buatanmu enak sekali. Gabrielle menghabiskan semuanya. Dia nyaris gendut karena
semua kue-kue itu. Dia suka yang manis dan kuemu adalah favoritnya.”
Aku melirik Gabrielle, yang sekarang dipeluk Jeremiah
dari belakang. Dahiku mengerut.
“Jeremiah dekat sekali dengan Gabrielle ya?”
“Ya. Dia sangat menyayangi Gabrielle,” kata Fran.
Ini tak biasa. Jeremiah hanya bertingkah seperti itu
pada orang yang benar-benar dia rasa bisa dipercaya. Meski playboy, Jeremiah tak pernah menyentuh orang yang tak dia kenal
dengan baik dan sangat dekat dengannya, kecuali tepukan pelan atau salaman
ringan.
Satu-satunya orang yang dia beri perhatian penuh
hanya Cody. Dia akan memeluk Cody, merangkulnya dari belakang, malah yang
paling ekstrim mengecup dahinya. Aku bisa melihat level perhatian yang
diberikan Jeremiah dan Cody selalu berada di level tertinggi. Meski, aku yakin,
hal itu bukan perasaan yang diduga setiap orang.
Hubungan persahabatan kedua orang itu sangat berbeda.
Aku belum pernah melihat hubungan yang seperti itu dimanapun. Sangat kuat,
lentur, sekaligus juga bebas.
“Bisa kalian beri kami sepotong cake?” Jeremiah mendatangi kami, merangkul Gabrielle yang merengut
di sampingnya. “Gabrielle sedang menghadapi hari yang buruk karena napasnya
habis meniup balon. Lihat, pipinya sampai mengembang begini.”
“Dad!” Gabrielle menampar tangannya.
Dad? Aku
menaikan alis, apalagi tingkah mereka belum berhenti.
“Fran, beri dia satu potong,” kata Jeremiah lagi.
“Tapi jangan terlalu besar. Dia bisa sakit gigi.”
“Aku bukan lagi anak kecil berusia tiga tahun!”
Gabrielle protes, memperdengarkan suara indah.
“Papa Fran, kau tak boleh memberinya kue terlalu
banyak,” Jeremiah memperingatkan saat Fran memotong cake strawberry di dekatnya.
“Satu-satunya orang yang selalu membelikannya cake hanya kau, Daddy Jeremiah,” balas
Fran, memutar bola matanya.
Ok, ini hal yang baru. Apa mereka sedang main
rumah-rumahan sekarang? Dan Jeremiah, tidakkah kau harusnya menjelaskan apa
yang terjadi di sini? Kenapa kau mau saja dipanggil “Daddy” oleh anak orang
lain?
Jeremiah ke belakang Fran, menunduk sedikit, dahinya
mengerut. “Strawberry? Aku mau satu.
Kau bisa potong satu untukku?”
“Kupikir, kau suka blueberry.”
“Blueberry,
strawberry, raspberry, semua sama saja. Aku suka semua berry.”
Fran memutar bola matanya, memotong bagian strawberry
ke piring yang lain. Gabrielle menarik piring miliknya dan duduk di meja makan,
sementara Jeremiah dan Fran berdebat mengenai potongan yang pas, mirip pasangan
suami-isteri yang baru menikah.
“Coba aku cicip,” kata Jeremiah, mengambil tangan
Fran yang memegang garpu, menusuk potongan cakenya
dan memakannya. “Ini enak.” Dia mengangguk setuju, melihat padaku dan tersenyum
puas. “Seperti biasa, Aroz. Kue buatanmu yang paling lezat.”
Aku mengerjap, menatap Jeremiah, lalu pada Fran—yang
wajahnya merona merah karena tangannya yang memegang garpu masih dipegangi Jeremiah.
Pria itu seperti kepiting rebus dan sekaku patung karena tak bisa bergerak, terperangkap
di tangan Jeremiah.
Jeremiah, aku tak menyangka kalau kau manusia paling
buta yang pernah kutemui.
Apa kau tak sadar kalau kau baru saja memberikan
ciuman tak langsung pada Fran?
***
Medan, Rabu,
13 November, 2013
3 komentar:
wkwkwkkw...
si playboy itu kadang terlalu polos
Jemi emng buta, mesti ditimpuk sama centong nasi biar sadar sikon
ahh... penasaran ama kisah persahabatan Cody dan Jemi
ada novelnya ngga ya?
baru baca yg ini ama ILUMG
keren ceriitanya
wkwkwkkw...
si playboy itu kadang terlalu polos
Jemi emng buta, mesti ditimpuk sama centong nasi biar sadar sikon
ahh... penasaran ama kisah persahabatan Cody dan Jemi
ada novelnya ngga ya?
baru baca yg ini ama ILUMG
keren ceriitanya
Cerita nya sangat menarik utk di ikuti ^^
Posting Komentar