07
Blind
Date
==========
FRAN(POV)
Dear God! Kenapa aku mengiyakan apa yang
dikatakan Jeremiah? Bila aku bisa mengulang waktu, aku akan melakukannya karena
sekarang aku hanya ingin melarikan diri, jika tidak, mengubur diriku
hidup-hidup.
“Fran! Buka
pintunya atau aku akan mendobraknya!”
Aku melonjak,
kemudian mengerang jengkel. Jeremiah berteriak dari luar pintu kamarku. Dengan
kekuatan penuh dia memukul pintu. Suaranya tak kalah jengkel dengan suara yang
hendak kulontarkan padanya.
“Berapa kali aku
harus bilang kalau aku tak berminat, Jerry?” balasku jengkel, melindungi diri
dengan bersembunyi di selimut. Pintuku sudah kukunci dan tentu saja sudah
keletakkan meja sebagai brikade, siapa tahu nanti Jeremiah berniat mendobrak.
“Kau sudah janji
padaku untuk setuju dan jangan panggil aku ‘Jerry’ kalau kau tak ingin aku
merontokkan gigimu!” Dia berteriak seperti orang gila. Grandel pintuku berbunyi
berisik.
“Aku tak mau
pergi!” kataku, lalu menutup kepalaku dengan bantal, berusaha menghilangkan
suara Jeremiah yang menjadi-jadi.
“Kau harus
pergi! Sampai kapan kau akan jadi jomblo seumur hidup?”
Brengsek!
Memangnya kenapa kalau aku ingin jomblo seumur hidup? Aku merasa hidupku
baik-baik saja. Aku tak merasa bahwa aku kesepian. Aku punya Gabrielle. Dia hal
terindah yang ada dalam hidupku. Aku tak butuh wanita untuk—
“FRAN! BUKA
PINTUNYA!”
Jeremiah
mendobrak pintu, membuat meja di depan pintu bergetar, tapi tentu saja, pintu
tak terbuka. Kuharap dia segera berhenti mendobrak pintuku. Aku tak ingin
membuat pintu baru. Dia pikir gampang sekali menginvasi rumah orang?
Sejak kepulangan
kami seminggu yang lalu, Jeremiah ngotot untuk mengajakku kencan dengan orang
tak dikenal. Dia muncul ke kantorku jika ada kesempatan, meneleponku setiap
hari, bahkan nongol dirumahku, hanya untuk membicarakan masalah ini. Jika saja
bukan karena dia selalu menanyakan hal yang sama, maka aku tak akan terlibat
hal seperti ini. Karena bosan mendengar dia memohon, akhirnya aku mengiyakan
apa yang dia katakan.
Dan sekarang
masalah dimulai.
“Fran, buka
pintunya! Apa kau tahu sangat tak sopan bagi seorang gantleman untuk terlambat?”
Kemarin dia
bilang kalau dia sudah membuat janji dengan seorang wanita. Aku tak ingat siapa
namanya karena aku begitu sibuk melongo dengan apa yang dia katakan. Aku tak
menyangka kalau dia akan serius mengenalkan seseorang padaku. Dan belum lagi
aku sempat mengolah apa yang terjadi, Jeremiah sudah mengatakan, “Kita akan
makan malam dengannya besok.”
Aku ingin mati
saja saat dia bilang begitu. Memang tidak ada yang salah dengan ajakannya. Tapi
aku belum siap untuk berkencan dengan seseorang. Aku merasa tak ada yang salah
dengan kehidupanku. Aku merasa baik-baik saja dengan apa yang kudapat selama
ini. Kenapa dia begitu keras kepala menjodohkanku dengan seseorang? Apa dia tak
tahu kalau dia baru saja mengganggu privasiku? Bagaimana kalau wanita yang dia
undang itu sama sekali tak menganggap aku cocok untuknya? Aku kan membosankan!
“Dad, percuma
kau mendobrak pintunya. Dia pasti sudah meletakkan meja ke depan pintu.” Suara
Gabrielle terdengar dari balik pintu.
“Fran,
bertingkahlah sebagai orang dewasa dan hadapi aku! Jangan seperti anak kecil!”
Aku menggerutu,
tapi tidak menurut.
“Omong-omong,
jendela kamarnya tidak terkunci dan kau bisa lewat dari balkon kamarku, Dad, bila
kau ingin menyeretnya keluar dari kamar.” Lagi-lagi terdengar suara Gabrielle.
Seketika itu pula aku menyingkirkan selimut, menganga dan bangkit dari tempat
tidurku untuk mengunci jendela kamarku tepat saat terdengar suara Jeremiah
memaki dan langkah kakinya yang berpindah tempat. Aku tak habis pikir kenapa
Gabrielle lebih membelanya daripada membelaku!
Aku berhasil
mengunci jendela kamarku, lalu kembali naik ke atas tempat tidur, menyelimuti
diriku dengan selimut, lalu menutup kedua telingaku. Terdengar suara klik,
pertanda bahwa Jeremiah berhasil membuka jendela kamar Gabrielle, lalu bunyi
“duk” pertanda bahwa dia sudah muncul di balkon kamarku, dan suaranya menyusul
tak lama kemudian.
“Fran, buka
jendelanya atau aku akan memecahkannya!”
Aku masih bertahan
di posisiku, menutup mata, tak berani untuk bergerak sedikitpun.
“Fran, aku
memperingatkanmu. Kau tahu benar kalau aku akan melakukannya,” ancamnya dengan
nada berbahaya.
Menggigit bibir
bawahku dengan cemas, aku menyerah dan menyingkirkan selimut. Jeremiah berdiri
di balik jendela balkonku, mengenakan kemeja dan jas formal yang menurutku
bagus sekali baginya. Kedua tangannya berada di pinggang dan dia tengah
memelototiku dengan tak setuju.
“Buka pintunya,”
katanya lagi.
Aku menghela
napas, turun dari tempat tidur, berjalan ke pintu kaca untuk berhadapan
langsung dengan Jeremiah. “Aku tak ingin pergi.”
“Kau janji
padaku. Kita harus pergi.”
“Jeremiah, aku
baik-baik saja walau aku tak memiliki wanita.”
“Apa kau
bermaksud mengatakan padaku kalau kau gay?”
“Aku bukan gay!”
“Kalau begitu
buka pintu sialan ini dan bersiaplah untuk menemui wanita yang ingin kukenalkan
padamu.”
“Jeremiah, aku
tahu butuh kencan.”
“Aku tak
menyuruhmu kencan dengannya. Aku menyuruhmu bertemu dengannya. Kau butuh
bersosialisasi dan menjauhkan diri dari komputer!”
Matanya tampak
sungguh-sungguh. Dalam sekejap aku menyerah untuk bertengkar dengannya. Aku tak
akan pernah menang melawan Jeremiah. Menggerutu, aku membuka pintu dan dia
segera masuk setelah mendorongku minggir.
“Cepat mandi dan
bersiap. Aku akan memilih pakaian yang pas untukmu.”
Lalu, tiba-tiba
saja, aku mendapat alasan yang bagus. “Aku tak bisa meninggalkan Gabrielle.”
“Oh, jangan
khawatir, aku akan menitipkannya pada adikku. Dia suka anak-anak, dia akan
mengawasinya dengan sangat baik.”
Mulutku terbuka
lebar. “Apa?”
Jeremiah
berpindah ke belakangku, mendorongku menuju kamar mandi. “Kau mendengarku
dengan baik. Nanti saja kita ngobrolnya. Yang lebih penting saat ini adalah
agar kau bersiap.” Setelah berhasil memasukkanku ke kamar mandi, dia masih
berpesan, “Jangan lupa, mandi yang bersih dan cepat.” Sebelum dia menutup
pintu.
Aku mengerang
jengkel, tapi tak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Aku berusaha mandi
selama mungkin sampai akhirnya Jeremiah mengancam akan masuk ke dalam dan
menyeretku keluar bila aku terlalu lama. Pria itu benar-benar punya masalah
besar terhadap kepribadiannya. Aku memang sangat membosankan dan sulit
bersosialisasi. Tapi kenapa dia tetap bersikap seperti itu? Bukankah selama ini
dia membenciku? Lalu kenapa dia sekarang jadi perhatian?
Begitu aku
keluar dari kamar mandi, Jeremiah melemparkan pakaian padaku untuk segera
dipakai. Dia masih memperingatkanku untuk cepat karena kami sudah sangat
terlambat, lalu dia keluar dari kamarku—dimana dia sudah menyingkirkan mejaku.
Aku ingin sekali kabur, tapi aku tahu tak ada gunanya.
Gabrielle dan
Jeremiah sudah menungguku di bawah ketika aku berpakaian. Wajahku pasti sangat
jelek sekali, karena sedari tadi aku hanya cemberut. Aku tak suka ada orang
yang lebih muda mengatur hidupku.
“Papa, kau
tampan sekali,” kata Gabrielle dan aku langsung tersenyum.
“Yep, siapa dulu
yang memilih pakaiannya,” kata Jeremiah. Aku memberikan tatapan menusuk yang
dengan cepat dihindarinya dengan merapikan mantel Gabrielle. “Ok, sekarang
semua sudah siap. Mari kita berangkat.”
Kami keluar
rumah dan masuk ke jaguar Jeremiah. Gabrielle memilih duduk di belakang,
memainkan ponselnya. Benda itu diberikan Jeremiah sesaat setelah kepulangan
kami dari liburan dan meminta Gabrielle menghubunginya kapanpun dia mau. Dalam
sekejap, Gabrielle sudah punya beberapa teman dan sibuk meladeni mereka setiap
orang dengan pesan singkat.
“Apa adikmu
tidak keberatan menampung Gabrielle?” aku bertanya setelah hening beberapa saat.
Jeremiah
menyalakan musik klasik dan tersenyum kecil. “Jangan khawatir. Begitu aku
bilang kalau aku butuh bantuan untuk menjaga seorang anak kecil, mereka
langsung riang gembira. Adikku sangat suka anak-anak. Mereka akan menjaganya
dengan baik.”
“Mereka?” aku
mengerjap. “Berapa banyak adikmu?”
“Kau tak perlu
memikirkannya.” Jeremiah berkonsentrasi pada jalan di depannya. Mobil kami
melewati perumahan besar setelah dari jalan besar. Gabrielle beberapa kali
menyampaikan salam dari Noah dan Ben. Sepertinya, Gabrielle masih berhubungan dengan
mereka berdua.
“Aku juga suka
mereka berdua.” Jeremiah setuju saat Gabrielle menanyainya. “Setidaknya, mereka
bersahabat.”
Aku setuju pada
Jeremiah. Dibandingkan dengan Troy dan Jimmy, Ben dan Noah lebih bersahabat.
“Gabrielle, apa kau punya teman di sekolah?”
Anakku
mengangguk. “Ada.”
“Kalau begitu,
kenapa kau tak pernah membawa mereka ke rumah?”
Gabrielle
menengadah. “Aku boleh membawa mereka?”
“Tentu saja
boleh. Mereka teman-temanmu. Aku akan senang bertemu dengan mereka,” kataku dan
mata Gabrielle berbinar. “Kalau boleh aku tahu, siapa teman-temanmu?”
“Oh, tak banyak.
Hanya tiga orang,” katanya bersemangat. “Aku berteman dengan Rayne Simons,
Wyalt Bryne dan F-F-Fanesca Lyott.”
Jeremiah
tersenyum di belakang setir. “Kau naksir si kecil Fanesca kan?”
Aku menoleh ke
belakang untuk menemukan bahwa wajah Gabrielle merona merah.
“Aw,” kata
Jeremiah, melirik spion. “Putraku sedang jatuh cinta.” Dia terkekeh kecil. Aku
sendiri merasa bahwa ekspresi Gabrielle manis sekali. Aku tak pernah melihatnya
malu-malu sebelumnya.
“Uh! Aku benci
padamu!” kata Gabrielle, menendang kursi Jeremiah dari belakang. Tapi Jeremiah
semakin terbahak.
“Jadi, seperti
apa Fanesca ini, hmm? Apa dia cantik?” tanya Jeremiah.
Gabrielle
menutup wajahnya, tampak malu lalu memaki pelan.
“Watch your mouth, young man,” kata
Jeremiah dan aku memukul tangannya.
“Jangan
menggodanya,” kataku. “Kau bisa menceritakannya kalau kau sudah siap,
Gabrielle. Aku akan mendengarkan kapanpun kau mau.”
“Tapi aku mau
tahu sekarang,” kata Jeremiah.
“Apa kau tahu
yang namanya privasi?” balasku.
“Ok, Grandma. Whatever you want.”
Aku memukul
tangannya lagi karena mengejekku, membuatnya tertawa. Akhirnya kami sampai di
depan sebuah rumah besar, bergaya eropa dengan batu-batu merah dan atap
berbentuk segitiga. Rumah itu tampak seperti kastil. Jendela-jendelanya
berwarna putih. Pohon-pohon sudah berguguran sementara halamannya luas,
dikelilingi dengan pagar batu yang kuno tapi juga keren dan klasik.
“Aku akan
mengantar Gabrielle. Kau tunggu di sini.” Jeremiah melepas sabuknya.
“Oh, tidak. Aku
ikut denganmu. Tak sopan bila aku—”
Jeremiah
memberiku pandangan membosankan. “Percayalah, kalau kau masuk, kita tak akan
bisa keluar. Jadi lebih baik kalau kau duduk nyaman di sini sementara aku
mengantar Gabrielle.”
Seakan itu
ucapan finalnya, Jeremiah membuka pintu. Gabrielle segera turun setelah
memberiku ciuman perpisahan. Aku hanya melihat mereka masuk ke dalam rumah itu
dan berharap bahwa Gabrielle akan baik-baik saja.
Ok, aku tahu
bahwa Gabrielle akan baik-baik saja.
Tapi aku tak
tahu apakah aku akan baik-baik saja atau tidak.
***
JEREMIAH(POV)
Gabrielle menggenggam
tanganku erat-erat saat aku membawanya masuk ke dalam rumah sebelum mengetuk
pintu. Biasanya, tiap kali dia melakukan ini, aku tahu bahwa dia takut. Untuk
menenangkannya, aku balas meremas tangannya, memberikan pesan bahwa tak ada
yang perlu ditakutkan dan bahwa semuanya baik-baik saja. Senyuman Gabrielle
muncul ketika aku menatapnya. Keberaniannya muncul.
“Eleanor!” aku
berteriak memanggil nama adikku. Gabrielle semakin menggenggam tanganku.
Genggaman Gabrielle cukup mantap. Bila Cody punya waktu, sebaiknya dia
mengajari Gabrielle cara meninju orang. Mengingat Cody membuatku jengkel. Aku
merindukannya setengah mati dan dia belum memaafkanku.
Terdengar suara
langkah kaki dan adik perempuanku muncul, nyaris menjerit ketika dia melihatku.
“Jeje!” katanya, lalu memelukku erat-erat.
“Cassandra,”
kataku jengkel, memeluk pinggangnya, “jangan panggil aku ‘Jeje’. Kita bukan
lagi anak kecil.”
Cassandra melepas
pelukannya setelah dia mencium pipiku. “Aku tetap akan memanggilmu ‘Jeje’
bahkan saat kau sudah delapan puluh tahun sekalipun,” katanya mengangguk-angguk
dan aku memutar bola mata. “Well,
siapa anak manis ini?” Dia menatap Gabrielle dengan mata berbinar. “Dia manis
sekali.”
“Eleanor tak
menceritakan apapun?” kataku keheranan.
“Kau tahu dia
pelupa,” balasnya, lalu menunduk sedikit. “Halo, Tampan, siapa namamu?”
Gabrielle tampak
agak salah tingkah ketika menjawab, “Gabrielle, Ma’am.”
“Tsk tsk tsk.
Jangan panggil ‘Ma’am’, Sayang. Aku belum setua itu,” kata Cassandra
menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Cassandra saja sudah cukup, Gabrielle. Dan
aku suka sekali namamu karena di rumah ini ada yang bernama Michael dan juga
Raphael!” Cassandra nyaris berjingkat-jingkat. “Dan mereka semua nyaris
seumuranmu! Aku senang sekali!”
“Mana Eleanor?”
kataku memutar bola mata melihat tigkah adikku. Cassandra tak menjawab dan
sibuk merapikan mantel Gabrielle, lalu memberikan ciuman di kedua pipinya,
membuat wajahnya semakin merah. “ELEANOR!”
Terdengar
langkah kaki yang lain menuruni tangga. Lalu tak lama muncul pria memakai
piyama dengan rambut berantakan dan berkacamata bengkok. Dia tampak sesak napas
ketika turun.
“Jere,” katanya,
lalu mengambil napas ketika melihat Gabrielle, “Oh! Aku lupa!”
“Really?” aku tak senang sama sekali.
“Sori, Jere,”
katanya, kemudian mendekat pada Gabrielle. “Jadi, ini anaknya? Well, dia tampan sekali.”
Aku tak punya
waktu banyak untuk memarahi Eleanor, oleh sebab itu aku menyudahi masalahnya.
“Ya, aku akan menjemputnya jam sebelas.” Aku menoleh pada Gabrielle.
“Gabrielle, ini Eleanor dan Cassandra,” kataku memperkenalkan mereka berdua.
“Mereka akan menjagamu sampai jam sebelas. Kalau mereka berbuat sesuatu yang
membuatmu sebal, kau tinggal mengatakannya padaku.”
“Aku tak akan
melakukannya!” Cassandra berkata jengkel, menarik Gabrielle ke sebelahnya. “Dia
seperti malaikat, aku akan menjaganya sepenuh hati.”
“Yeah, baiklah,”
kataku. “Kemana yang lain?”
“Mereka menonton
Alexandria.”
Oh, benar. Film
Cody sudah ada di bioskop. Aku lupa sama sekali. “Aku harus berangkat. Kalian
jaga dia baik-baik. Jangan melakukan hal yang tidak-tidak. Mengerti?” Aku
memberikan kecupan ke dahi Gabrielle, menghindari pandangan aneh kedua adikku
dan keluar sebelum mereka bertanya.
Fran seperti
manusia yang bangkit dari liang kubur ketika aku masuk ke mobil. Wajahnya pucat
pasi dan dia sama sekali tak ingin diajak bicara.
“Apa kau
baik-baik saja?” kataku setelah kami nyaris sampai ke salah satu kencan Fran.
“Tidak. Aku
ingin muntah,” jawabnya gugup.
Aku terkekeh.
“Fran, santai. Wanita itu tak akan membuka pintu sambil membawa gergaji.” Dia
menelan ludah dengan panik. Ok, itu sama sekali tidak memperbaiki keadaan.
“Tarik napas dalam-dalam. Lagi. Benar, begitu. Santai, ok? Nah, sekarang karena
kita sudah sampai, aku ingin kau yang menjemputnya.”
Wajahnya kembali
memucat seakan dia melihat hantu. “Apa?”
“Dia kencanmu,
bukan kencanku,” kataku.
“Aku kan tak
mengenalnya.”
“Oh, please, jangan mulai lagi. Kau harus
keluar dari rumah siputmu dan melihat dunia.” Aku menghela napas, menghentikan
mobil. “Aku sudah memikirkan gadis yang pas untukmu, kau tak boleh menolak
kebaikan hatiku. Kau akan menyukainya. Percaya padaku.”
Dia menatap
kedua tangannya yang berada di pangkuannya. Kedua tangan itu gemetar. “Siapa
wanita ini?”
“Kau tak ingat?
Jadi selama ini kau sama sekali tak mendengar perkataanku?” Aku memutar bola
mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Aku tak ingin membuatnya semakin kesal,
lalu melarikan diri. “Namanya Marcee Gracia. Dia bekerja sebagai Dokter di
salah satu rumah sakit swasta. Usianya dua puluh sembilan tahun. Kau akan
menyukainya. Dia sangat manis dan humoris.” Aku merangkum dengan cepat, melepas
sabuk pengamannya. “Sekarang, keluarlah dan jemput pasanganmu, Jagoan, sebelum
pria lain mengambilnya.”
Mulut Fran
terbuka, menutup, lalu membuka lagi, mirip seperti ikan yang bernapas di
daratan—megap-megap. Aku memutar bola mata, membuka pintu lalu mendorongnya
keluar. “Cepat pergi sebelum aku sendiri yang menendangmu keluar.”
Pria itu
akhirnya keluar, semakin panik. Dia meluruskan jasnya, menelan ludah dengan
gugup. Aku mengambil bunga dari belakang, lalu menyerahkannya padanya. “Nih,
berikan padanya,” kataku padanya. Dia menatapku, lalu bunga itu, kemudian
menatapku lagi. “Ambil.”
Dia mengambilnya
dengan ragu-ragu, memberikan pandangan memohon. Aku pura-pura tak melihat, jadi
dia tak akan punya waktu untuk mengubah pikiranku. Akhirnya, dia melangkah
masuk ke salah satu rumah yang ada di depan kami. Aku melihat dia yang berjalan
melewati pekarangan. Melihatnya gugup membuatku gugup juga. Aku seakan
memasukkannya ke arena perang seorang diri. Tiap detik aku menunggu di sini
membuatku nyaris gila. Tapi aku memilih untuk bertahan. Pria itu butuh bersosialisasi.
Akhirnya,
setelah beberapa menit, aku melihat Fran yang muncul, menggandeng seorang
wanita berambut pirang yang cantik sekali, mengenakan gaun merah yang
membuatnya semakin cantik. Aku kasihan melihat ekspresi Fran. Apa dia tak tahu
akan ada beribu pria yang ingin ada di sampingnya sekarang? Aku memilih wanita
terbaik untuknya: cantik, humoris, pintar, dan yang lebih penting, berasal dari
keluarga baik-baik.
“Hai, Jeremiah,”
sapa Marcee ketika dia masuk ke dalam mobil.
“Hai, Marcee,”
sapaku, lalu memberikan perintah pada Fran untuk duduk di belakang. “Apa
pendapatmu mengenai Fran?” Aku menoleh ke belakang untuk tidak melihat
pelototan Fran.
“Oh, dia pria
yang manis,” kata Marcee.
Aku tersenyum,
“Bagus sekali. Permulaan yang baik.” Fran akhirnya masuk ke dalam mobil.
“Bagaimana, Fran? Dia cantik kan?”
“Erm… ya,” kata
Fran gugup.
“Kau tak perlu
gugup. Aku tak akan menggigitmu, Fran,” kata Marcee.
Aku ikut tertawa
dengan Marcee, tapi Fran sama sekali tak bisa tertawa. “Marilah kita menjemput
pasanganku.”
“Kau membawa
siapa?” Marcee bertanya penasaran.
“Cindy,”
jawabku.
Marcee memutar
bola matanya. “Aku tak tahu apa yang kau lihat dari wanita seperti dia.”
“Dia cantik,”
kataku kalem dan Marcee tertawa kejam. “Oh, ayolah, Marcee, jangan cemburu
padaku. Dia seorang model. Kau tak perlu sarkasitik begitu.”
“Oleh sebab
itulah otaknya tak ada, Jeremiah,” ucap Marcee. “Kenapa kau selalu memilih
wanita yang tak punya otak?”
“Agar aku
terhindar dari wanita sepintar dirimu,” jawabku tenang.
“Itu pujian?”
dia bertanya dan aku tertawa. Aku tak akan mengakui apapun. Wanita seperti
Marcee memang menarik. Mereka cerdas dan penuh tantangan, juga mandiri. Tapi
itu juga berarti memberikan perhatian penuh pada mereka karena mereka suka
kebebasan. Mereka lebih sulit dihadapi daripada wanita-wanita santai. Dalam
beberapa kesempatan, aku memang suka dengan wanita yang cerdas, bila aku bosan
dengan wanita-wanita cantik.
“Kudengar dari
Jeremiah bahwa kau seorang Profesor.” Marcee membuka pembicaraan dengan Fran—yang
sepertinya lebih memilih jadi patung abadi. “Dia menceritakan seluruh hal yang
baik padaku mengenaimu. Apa itu benar? Aku cuma ingin memastikannya.”
Fran mengerjap.
“Apa yang dia ceritakan padamu?”
“Kenapa kau tak
menceritakan dirimu dulu padaku? Supaya, tentu saja, aku tahu apakah Jeremiah
berbohong atau tidak.” Marcee tersenyum culas, membuatku memutar bola mata.
“Kadang-kadang dia bisa sangat berlebihan menggambarkan seseorang.”
“Aku seorang
Profesor dan bekerja di salah satu universitas swasta. Aku memegang Departemen
Teknologi dan Perfilman, juga Kepala Laboratorium Perfilman Modern.” Dia
memulai, dengan nada, yang untunglah cukup tenang. “Orang tuaku sudah meninggal
dan aku punya anak laki-laki.”
“Oh, wow,”
Marcee terkesan, membuatku tersenyum. “Untuk kali ini Jeremiah berkata jujur.”
“Hei, aku
tersinggung,” kataku.
Marcee
mengabaikanku. “Kau masih muda sekali dan sudah menjadi Ketua Departemen?
Keren! Dan berapa usia putramu? Jeremiah bilang kalau dia sangat manis.”
Membicarakan
Gabrielle meringankan suasana. Dalam sekejap Fran menjadi lebih santai. “Ya,
dia sangat manis. Dia anak angkatku, tapi aku sangat menyayanginya.”
“Aku bisa
melihatnya,” kata Marcee.
Sepuluh menit
kemudian, kami sampai dan aku menemukan kencanku sudah berdiri di depan pintu.
***
FRAN(POV)
Jeremiah
memiliki kencan berambut pirang keriting yang cantik sekali. Mereka berciuman
dengan mesra di depan pintu dan untuk detik yang begitu lama, aku merasakan
dadaku sesak hanya melihat adegan itu. Aku bahkan tak bisa mengalihkan
pandanganku. Rasanya seluruh duniaku berhenti bergerak dan aku tak ingin hidup
lagi.
“Ok, ladies and gent.” Suara Jeremiah
menyadarkanku. Aku bahkan tak sadar bahwa mereka sudah masuk dan mobil kami
sudah berjalan, melewati lampu-lampu jalanan yang berkelebatan di samping
jendela. “Kuharap kalian menikmati acara ini.”
Kami sampai di
depan restoran klasik dengan lampu termaram yang indah. Jeremiah keluar,
menggandeng Cindy dengan gantleman.
Marcee menggandeng lenganku, kemudian kami masuk melewati pintu.
“Sudah pesan
meja sebelumnya, Sir?” salah seorang pelayan menanyai Jeremiah.
“Ya.” Jeremiah
menjawab cepat. “Jeremiah Huges.”
Pelayan itu
melihat daftarnya. “Lewat sini, Sir. Saya akan mengantar Anda.”
Kami mengikuti
pelayan itu untuk duduk di meja bundar bernomor dua dengan lilin indah yang
menyala serta bunga mawar yang apik sebagai penghiasnya. Aku tak terkesan. Aku
merasa kegugupanku hilang hanya karena ciuman tadi dan yang kuinginkan saat ini
adalah menyelesaikan misi, pulang ke rumah dan tidur dengan tenang. Aku tak
ingin ada di sini.
Kami memesan
makanan, kemudian mengobrol hal yang ringan-ringan. Acara ini sebenarnya tidak
buruk. Marcee wanita yang menyenangkan. Dia suka sekali bercanda pada Jeremiah.
Tapi aku tak menyukai Cindy. Tiap kali aku melirik Jeremiah, wanita itu dengan
sengaja akan merangkul tangan Jeremiah, menggelayut mesra, atau mencium
Jeremiah. Dia seperti belut yang tak mampu lepas dari Jeremiah, membuatku
sebal.
“Ew, berhenti
bertingkah begitu. Kita sedang makan.” Marcee mengiris dagingnya, memberikan
tatapan tak setuju pada Cindy. “Aku tahu kalian saling mencintai, tapi tak
perlu pamer begitu.”
Cindy tersenyum
manis, tapi sama sekali tidak semanis yang kupikirkan, karena dia memberikan
lirikan padaku. “Bukan salahku kalau Jeremiah tergila-gila padaku.”
Aku nyaris
muntah. Sungguh. Apa Jeremiah tak sadar seberapa anehnya wanita yang jadi
kencannya? Kupikir dia akan memilih wanita yang cerdas karena aku tahu dia
lebih cerdas daripada yang ditunjukannya.
Marcee masih
tersenyum. “Oh, ya, tentu saja. Seminggu lagi dia akan membawa wanita yang
berbeda. Kau hanya salah satu dari sekian banyak stok wanita di gudangnya.”
Senyuman Cindy
hilang. “Itu bukan urusanmu!” katanya ketus.
Marcee tertawa
merdu. “Ups, topik sensitif. Sori, Jeremiah,” katanya, walau aku tahu dia sama
sekali tak menyesal. Aku nyaris tertawa mendengar nada halus Marcee. Marcee
memberikan kedipan padaku dan Jeremiah memutar bola matanya.
“Bila kalian
ingin cakar-cakaran, tolong jangan di sini. Kami, para pria, ingin menikmati
makan malam kami dengan tenang,” kata Jeremiah, memakan kentangnya. Dia
tampaknya tak begitu peduli pada apa yang dikatakan Marcee karena dia tahu
Marcee benar. Jeremiah akan berkelana dari satu wanita ke wanita lain.
Sisa makan malam
kami berlalu dengan sangat mengerikan—juga lucu. Mengerikan karena Cindy
berulang kali melirikku dengan tidak suka, dan lucu karena Marcee selalu bisa
menyudutkannya dengan kata-katanya. Aku mulai menyukai Marcee. Dia wanita yang
menyenangkan. Jeremiah sendiri hanya meladeni Marcee dan Cindy dengan santai
dan geli setiap kali Marcee tersenyum penuh kemenangan.
“Malam ini
sangat menyenangkan. Sudah lama aku tak menghabisi wanita,” kata Marcee saat
aku mengantarnya ke depan pintu. Aku mengangguk setuju. “Dan, aku harus
mengakui pada Jeremiah, kalau kau pria yang baik.”
Wajahku memanas
karena dia bilang begitu. “Uh, thanks.”
Marcee mengecup
pipiku. “Aku akan senang sekali ngobrol denganmu lain kali. Selamat malam.”
Aku masuk
kembali ke dalam mobil Jeremiah, memasang sabuk pengaman.
“Bagaimana?”
Jeremiah bertanya penasaran.
“Dia wanita yang
menyenangkan.”
“Hanya itu? Tak
ada debaran?”
“Maksudmu?”
Jeremiah memutar
bola matanya. “Misalnya kalau dia sangat menarik sehingga membuatmu ingin
bertemu dengannya lain kali, atau berbicara dengannya. Lalu saat-saat dimana
jantungmu berdetak tak karuan?”
Aku mengerjap.
“Uh, tidak.”
Pria itu
menghela napas. “Mungkin belum saatnya,” gumamnya, kemudian beralih pada
kemudinya. Kami menjemput Gabrielle—lagi-lagi aku tak diijinkan masuk olehnya,
yang terbahak-bahak ketika dibawa masuk ke dalam mobil.
“Kenapa
dengannya?” aku bertanya keheranan.
Jeremiah
menghela napas. “Adikku sepertinya melepas gas tertawa,” ucapnya sambil memutar
bola matanya. “Mereka semua tertawa gila-gilaan di dalam sana.”
“Apa?”
“Oh, jangan
khawatir, efeknya akan hilang semenit lagi.”
Aku cemas
melihat Gabrielle yang menunduk-nunduk, memegangi perutnya, sementara air
matanya nyaris keluar karena tertawa terus. Nanti aku akan menanyai Gabrielle
apa yang sebenarnya terjadi di rumah adik Jeremiah.
***
Write: Medan, 29 September 2013
4 komentar:
Well. Aku gak sengaja nemuin blog ini wktu ngubek2 akun watty-nya Author. Hehehe. Kebetulan jg nemuin TBMB yg udh ϑï update duluan ϑï sini. Jd aku baca duluan gpp yah? :P
Abisnya udh kangen sm Gabrielle sihh.. Tp syg, ϑï chap ini Gabrielle gak kebagian peran terlalu banyak.
Lama2 Gabrielle udh makin terbuka ya? Semoga sisi misteriusnya gak hilang. :D
Kasian Fran, salah sendiri dia kenal en suka sama iblis kyk Remi. Iblis ϑï lawan, mana bisa? Lebih2 ađα anak malaikat yg jd temennya iblis, pasti si Fran makin kalah telak.
Yah, Remi, silahkan menikmati waktumu selama msh menjabat sbg cowo "Straight". Krna bntar lg pasti kamu bakal belok ke Fran. Dan cewek2, terutama si Cindy itu, bakalan nangis bombay. Sukurin..
Tp jgn2 si Cindy itu tau ya kalo Fran itu stgh gay? Klo gak ngapain dia manas2in Fran?
Ckckck. Mungkin dr muka aja Fran udh berbakat jd gay. Udh kodratnya. Hahahaha
Ini kan ceritanya Jeremiah-Fran, abis ini bikin cerita yang tokoh utamanya Gabrielle-Vivi ya Thor. Wkakakakakak.
Tp kyknya impossible deh, jdnya couple Gabrielle-Oliver aja gpp. Yang penting ađα Gabrielle. :D
uhh aku makin love deh sm Author nya.. Setiap ceritanya keren dan tidak membosankan,semuanya asik^^
Hello,2nd anonymous here.. I already read ILUMRG on wattpad. You state that ILUMRG were already reaching it's end, and you will post the epilogue soon after you update the last two chapter.. But, now it was already about a month there is still no update about it.. And one more thing, after ILUMRG end I hope you will write the sequel of it. I will be missing Cody&Keyna if it end. And I also recieve your e-mail regarding making ILUMRG into a book, I will give 100% of my support and wish the book become one of bestseller book around the world if you can guarantee that the publisher will not put to remove this story from Wattpad as one of it terms. Because, there is no guarantee that I can get the book since I didn't live in Indonesia nor that I'm an indonesian. It will difficult for me to get the book and continuing reading ILUMRG.. Anyway, wish you healthy always and update ILUMRG soon
love,
your silent reader
*
John Phanchalad CEO JP Digital Tech have a very good track record in digital media marketing. To know more about Mr Phanchalad and latest updates on business promotion you can contact John Phanchalad http://johnphanchalad.com/about
Posting Komentar