RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jumat, 18 Oktober 2013

ILUMRG == 22 ==



22
What is Bestfriend?
=====

AROZ(POV)

“Cody, kita putus.”
Aku tak tahu bahwa pembicaraan singkatku dengan Janson akan membawa bencana sebesar ini pada Cody.
Cody, pria yang kucintai sepenuh hati, hanya mampu mematung, menatap Keyna, calon isterinya dengan tak percaya seperti baru saja mendapat badai besar luar biasa. Ya, ini bukan hanya badai. Mereka bertengkar hebat.
Dan itu semua karena aku.
Aku.
Aroz Milligan.
Aku sama sekali tak menyangka bahwa bertukar kata dengan Janson akan membuatku terjebak dalam situasi ini. Maksudku, aku sama sekali tak tahu bahwa Cody menyembunyikan kenyataan bahwa dia gay pada Keyna. Kupikir Keyna tahu bahwa Cody gay dari Cody karena dia bertanya padaku waktu di telepon itu. Kupikir Keyna akan baik-baik saja begitu mengetahui bahwa Cody gay dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Tapi kenyataannya?
Tidak.
Tidak sama sekali.
Cody tak tahu bahwa Keyna tahu dia gay. Dan Keyna rupanya pura-pura tak tahu bahwa Cody gay karena hal ini ada hubungannya dengan Janson yang tak mau dia beritahu alasannya. Lalu, di sinilah aku sekarang, menatap mereka dengan tak percaya.
Aku baru saja menghancurkan hubungan mereka.
“Keyna,” kata Cody setelah dia diam cukup lama, “apa yang kau pikirkan? Kau tak bisa memutuskan hubungan kita hanya karena masalah seperti ini. Kita bisa membicarakan masalah ini secara baik-baik dengan kepala dingin.”
“Kita tidak cocok, Cody. Aku tak ingin bagian dari masa lalumu tinggal bersamamu.”
“Apa maksudmu, Key? Kalau bukan karena masa lalu, aku tak akan jadi seperti ini. Aku tak mungkin bertemu denganmu. Aku—”
“Kita tak mungkin bersama. Kita tak cocok.”
“Apa? Kita cocok. Aku akan berusaha. Kau tinggal meminta padaku.”
Cody… aku tak percaya ini. Dia benar-benar mencintai Keyna. Cinta yang dulu pernah dia berikan padaku kini diberikan sepenuhnya pada Keyna. Aku bisa melihat bagaimana terpukulnya dia begitu mendengar kata “putus” itu. Aku dan Cody tak pernah benar-benar “putus”, tak ada kata “putus” yang keluar dari bibir kami. Tapi kami berdua sama-sama tahu bahwa waktu telah mengakhiri hubungan kami.
Hanya saja Keyna…
“Aku tak tahan melihatmu bersama dengan dia,” gumam Keyna, menatapku, “dia—”
“Key, kumohon jangan hina dia lagi,” kata Cody dan aku nyaris saja menangis. Seperti biasa, si bodoh itu tak pernah peduli dengan apa yang dikatakan orang pada dirinya, asalkan tak ada satupun yang berani mengganggu teman-temannya. Apa dia tak sadar posisinya? Seluruh pembelaannya padaku hanya akan membawa dampak buruk baginya.
“Lihat? Kau membelanya lagi!” Keyna membentaknya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku marah luar biasa. Bukan karena cemburu tapi karena Keyna tak menghargai Cody. Apa dia tak bisa melihat bahwa Cody hanya sedang membantunya berhenti mempermalukan dirinya sendiri? Apa dia tak bisa melihat bahwa Cody tengah memohon padanya? Apa dia tak merasakan sakit sedikit saja melihat Cody seperti itu?
“Key, bukan seperti—”
“Aku tak ingin kau membelanya. Ini semua salahnya. Kalau saja bukan karena dia—”
“Bisakah kau tak menyalahkan Aroz? Aku tak mungkin menyalahkan Aroz bila aku—”
“Jadi kau menyalahkanku?”
Bukan begitu maksudku. Aku hanya—”
“Aku tak mau mendengar pembelaan apapun yang menyangkut dia. Dia gay—”
Aku menghentikannya karena tak sanggup lagi melihat ekspresi Cody. “Cukup!”
Mereka berdua menatapku.
“Cukup, Keyna. Cukup! Aku tahu aku menjijikkan. Kau tak perlu mengulangnya.” Aku menggertakan gigi, berdiri di depan mereka. Wajah Keyna merah padam menahan amarah. “Aku tahu aku salah. Aku sudah minta maaf. Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah mempermalukan Cody. Kau membuatnya seperti sampah. Aku tak terima! Aku gay. Aku mencintai Cody. Lalu, kenapa? Setidaknya aku memperlakukannya lebih baik daripadamu.”
Cody menatapku. “Aroz, tenangkan dirimu.”
“Jadi maksudmu aku tak memperlakukannya dengan baik?” suara Keyna menaik.
“Kau tak lihat apa yang kau lakukan?” aku membalasnya, sama sekali tak menggubris Cody. “Kau memarahinya saat dia memohon padamu untuk tak menghinaku. Kau mengataiku gay saat dia sendiri gay. Apa kau tak sadar bahwa kau juga menyakiti hatinya? Semua yang kau katakan padaku juga menyakitinya. Kau wanita egois. Kau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Tak pernahkah kau memikirkan Cody? Kupikir dengan bersamamu, Cody akan bahagia. Tapi tidak. Kau menyakitinya!”
“Aroz!” Cody memegang lenganku. “Cukup!
Aku melihat ekspresi Cody. Aku tahu aku benar. Dia terlalu lelah untuk berpikir.
Keyna menggeleng lelah. “Aku tak mau tahu lagi,” gumamnya.
“Key…”
“Kita berakhir, Cody.”
Keyna mendorong minggir Cody dan berlalu begitu saja. Wanita itu tidak berbalik ataupun berhenti untuk melihat Cody sekali lagi dan Cody juga tidak mengejarnya. Dia hanya menatap sosok Keyna yang menjauh dari jangkauannya, kemudian menghilang masuk ke dalam lift.
Suara musik yang tadi sempat tak terdengar kini perlahan-lahan kembali kami dengar. Aku akhirnya mampu bernapas normal, meski tubuhku mendingin. Paru-paruku sepertinya baru saja dimasukan berkilo-kilo es dengan paksa. Kejadian ini membuatku ingat masa-masa burukku. Aku mengingat bagaimana mata Keyna melihatku, mata yang sama yang diberikan oleh orang tuaku dan orang tua Cody, juga oleh orang-orang yang homophobic.
“Cody, aku—”
Napasku tercekat lagi. Aku melihat sebutir air mata mengalir turun ke pipi Cody.
APA YANG SEBENARNYA TELAH KULAKUKAN?
“Cody…”
Ekspresi wajah Cody begitu datar dengan ekspresi mata kosong. Dia patah hati. Dia patah hati karena aku. Oh, astaga. Aku sudah jahat sekali.
“Cody, aku minta maaf,” kataku menyadarkannya, memegang kedua bahunya. “Cody, ini salahku. Aku akan mengejar Keyna dan meminta maaf padanya. Aku akan jelaskan semua padanya. Cody, kau tak perlu khwatir. Semua akan baik-baik saja.“
“Ya,” katanya, menatapku. Entah bagaimana caranya dia masih mampu tersenyum.
“Cody…”
“Tidak apa-apa,” bisiknya memegang kedua pipiku dengan kedua tangannya. Dahiku menyentuh dahinya. Wajahnya begitu dekat denganku sehingga aku bisa merasakan sapuan napasnya di wajahku. “Dengarkan aku, Aroz, aku tak menyalahkanmu.”
Aku menelan ludah.
“Aku tak menyalahkanmu. Aku tak akan pernah menyalahkanmu. Aku juga tak akan pernah menyalahkan Keyna.”
“Aku juga tak ingin kau menyalahkan dirimu sendiri,” bisikku tak percaya. Dia selalu seperti itu. Cody selalu menyalahkan dirinya sendiri walau dia tak bersalah.
Cody tersenyum lagi. “Aku juga tak akan melakukannya.” Dia mengangguk kecil. “Aku hanya perlu waktu sendiri.” Dia berhenti. “Untuk berpikir,” tambahnya.
Aku mengangguk.
Cody mengecup dahiku, sesuatu yang tak kusangka, kemudian dia melepas pegangannya dan berjalan melewati lorong menuju lift.
Siapa yang tak akan jatuh cinta padanya?
Aku tahu sudah saatnya melupakannya. Tapi rasanya begitu sulit.
Aku baru saja melakukan sesuatu yang buruk.

***

CODY(POV)
Kepalaku berdenyut parah, jadi aku terpaksa menghentikan mobilku di pinggir jalan dekat jembatan, lalu membenamkan kepalaku ke atas setir. Entah sudah berapa lama aku tak melakukan aktivitas ini untuk menenangkan diri.
Tarik napas dalam-dalam, aku memaksakan diri. Tenanglah, Cody, tenang.
“Semua akan baik-baik saja,” gumamku, menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Begitu oksigen masuk ke paru-paruku, kepalaku tidak terasa sakit lagi, meski masih berdenyut. Aku menutup mata, menahan keinginan kuat untuk menangis seperti orang bodoh.
Keyna baru saja membuang cintaku. Kenapa? Aku tak tahu. Dia tak mengijinkanku mengetahui apa yang terjadi. Apakah hal ini ada hubungannya dengan Janson? Sepertinya begitu. Pria itu mengatakan sesuatu yang membuat Keyna bertingkah seperti bukan dirinya. Jika bertemu dengannya aku akan menanyakan apa yang terjadi. Aku tak ingin berpisah dengan Keyna tanpa alasan yang jelas. Dia terlalu cemburu pada Aroz—untuk alasan yang tepat.
Tentu saja, dia kan cinta pertamamu.
“Oh, halo, Iblis, senang bertemu denganmu lagi,” gumamku getir, mengangkat kepalaku, melihat pemandangan di jalan yang kosong tanpa adanya tanda-tanda kehidupan.
Aku juga senang bertemu denganmu lagi. Kita sudah lama tak bercakap-cakap. Bagaimana kabarmu? Kelihatannya kau baru saja tertimpa truk pembawa beton! Haha!
Aku mendesah. “Lebih parah dari itu, kurasa. Dengar, bisakah kau tak muncul di saat seperti ini? Aku, sesungguhnya, lebih membutuhkan si Malaikat untuk membisikkan kata-kata suci padaku.”
Dia malah terbahak saat melanjutkan dengan nada mengejek. Percayalah, Cody, aku lebih bisa diandalkan untuk membuat keputusan.
“Untuk sementara,” gumamku.
Aku sangat berlogika dan berperasaan tiap saat, Cody, si Iblis tersenyum menyebalkan, memerhatikan kuku-kuku jarinya yang baru di pedicure. Kau ingin dengar?
“Oh, tidak, terima kasih. Kurasa aku membutuhkan ruang sendiri dalam otakku,” kataku dan segera menginjak gas. Aku mengendarai mobilku seperti orang gila. Lampu-lampu jalan berkelebatan di sampingku seperti kilat yang dengan cepat menghilang lalu muncul kembali di samping jendelaku. Kedua tanganku menggenggam erat setir, nyaris membuat buku-buku jariku memutih karena menggenggam setir begitu erat, nyeri di telapak tanganku tak terasa lagi.
Mobilku melaju cepat. Speedometer kembali bergerak naik dan naik. Aku tak melihatnya. Pikiranku terlalu fokus pada jalan di depanku. Aku butuh konsentrasi tinggi pada jalan, berusaha memusatkan pikiranku dari kejadian malam ini. Jantungku kembali ditusuk tiap kali aku mengingatnya: wajah Keyna yang menangis, Aroz yang terpukul, lalu perkataan Keyna.
“SIAL!” aku memukul setirku, tak tahu pada siapa makian itu kukeluarkan. Aku marah. Tapi aku tak tahu harus marah pada siapa. Aku memukul setirku lagi, lagi dan lagi. Memukul benda itu sama sekali tak menghapus kemarahanku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Apa salahku?
Kau gay, itu salahmu. Suara sialan itu muncul lagi.
Rahangku mengatup, membelokkan mobil ketika menemukan tikungan curam di depan. Ban mobilku berdecit mengerikan di tengah malam. Hujan mulai turun dalam rintik-rintik kecil, yang semakin mengeras begitu semakin lama mobilku maju ke depan. Kabut musim gugur mulai turun perlahan, menggantung rendah, membuat jarak pandangku semakin pendek.
Turunkan kecepatanmu, bisikan lembut terdengar di dekatku, kau tak ingin mati semuda ini kan?
Dalam beberapa kesempatan, aku setuju dengannya, Cody. Sayang sekali bila kau cepat mati semuda ini. Kita bahkan belum masuk klimaks!
Mengambil napas dalam-dalam, aku mendengarkan bisikan di dalam kepalaku dan menurunkan kecepatanku dalam batas normal. Kegelapan menyelimuti pandanganku begitu pula dengan kabut di udara. Pohon-pohon tinggi di sebelah kanan dan kiriku semakin lama semakin padat. Mobilku berbelok lagi, semakin lama semakin naik.
Aku butuh ketenangan.
Aku akan memikirkan semuanya terlebih dahulu. Aku memutuskan begitu.
Semakin lama jalan di depan tidak lagi berkelok-kelok dan bagus, melainkan berbatu dan dengan sedikit jalan. Aku mengenali daerah ini dengan baik. Aku melewati jembatan kecil yang mampu dilewati oleh dua mobil, membuat jembatan itu berkeletak perlahan dan mengerikan. Suara serigala terdengar jauh sekali. Aku baru sadar kalau aku sama sekali tak menghidupkan musik sampai-sampai bisa mendengar seluruh sekitarku.
Hujan tak lagi deras, tapi masih berupa rintik-rintik kecil.
Mobilku melewati gerbang tua yang masih kokoh dengan tugu besar yang tak bisa kulihat dengan jelas karena malam. Aku melewatinya dan masuk ke pekarangan yang kosong, basah dan berlumpur. Biasanya, bila musim semi tiba, pekarangan luas seluas lapangan bola itu akan dipenuhi dengan begitu banyak bunga-bunga liar pegunungan.
Terdengar kelotakan pelan begitu mobilku melewati jalanan yang luas, memperlihatkan sebuah pondok besar yang berdiri dengan gagah di dekat danau. Ada bangunan kecil di sisi satunya. Pondok itu gelap dan temaram. Di belakangnya terdapat perbukitan yang terjal dan hutan-hutan kecil. Di depannya, tepat di seberang danau, terdapat pegunungan biru yang sekarang hanya berupa siluet gelap ditutupi awan.
Aku menghentikan mobilku dan keluar. Sepatuku basah begitu menjejak lumpur begitu saja. Napasku terasa begitu berat begitu melangkah mendekati pondok, menaiki anak tangga kecil untuk sampai ke depan pintu rumah.
Lalu aku ingat bahwa aku sama sekali tak membawa kunci dan Remi tidak ada di sini. Dia masih berpesta di rumahku, untuk merayakan ulang tahunku.
Ulang tahun yang membawa bencana.
Aku tertawa getir, memijit tulang hidungku. Kepalaku kembali berdenyut-denyut. Aku membalikkan badan, melihat pemandangan danau yang sekarang seperti kristal, bergerak karena gerimis menjatuhinya. Kakiku membawaku meninggalkan pondok Remi dan keluar dari lokasi pekarangan rumah Remi menuju dermaga kecil yang dibangun Remi.
Sepatuku melangkah pelan-pelan melewati jembatan kayu gelap yang di bagian pinggirnya diterangi oleh lampu kecil temaram. Ada dua buah perahu yang di bagian pinggir danau. Di sekililing danau ditutupi oleh pohon-pohon cemara tinggi. Begitu sampai di ujung dermaga, aku segera duduk. Kakiku terkatung-katung di udara, nyaris masuk ke air danau. Aku tak tahu apa yang ada di dalam danau, tapi aku yakin tak ada yang akan menyakitiku saat ini.
Aku mendesah, menatap lurus. Aku tak merasakan apapun. Dan aku benci terlihat semenyedihkan ini.

***

JEREMIAH(POV)
Akibat dari pesta hanya ada dua: rumah si pemilik pesta kacau—seperti kapal Titanic yang baru saja menghantam gunung es—dan yang kedua ada banyak sekali manusia yang terkapar. Yep, begitulah yang terjadi.
Aku menguap, mengucek mataku untuk melihat kekacauan di rumah Cody. Arlojiku masih menunjukkan jam empat pagi. Entah jam berapa tadi aku tertidur aku tak tahu, dan jam berapa pesta ini selesai aku juga tak tahu, tapi yang pasti Cody akan marah besar menemukan rumahnya dalam keadaan seperti ini.
Teman-teman Cody yang ikut pesta sebagian besar sudah pulang, tapi sebagiannya lagi tidak. Aku bisa melihat dua orang tertidur di meja makan. Ada yang tertidur di lantai dengan tangan masih memegangi bir. Sisa yang lain di sofa. Aku tak melihat adik-adik Cody, jadi pastilah mereka sudah pulang entah jam berapa. Sisa-sisa pesta tampak berhamburan di berbagai sudut dalam beberapa kategori: kertas, minuman, piring, kue—semuanya.
Meregangkan tubuhku, aku bangkit dengan segera dari tempatku terkapar: di depan layar televisi dekat sofa, lalu ke dapur untuk mengambil minuman. Aku bukan seorang peminum tapi bukan berarti aku bisa mabuk semudah itu. Hey, aku sekuat Godzilla! Begitu menghabiskan airku, aku melihat lagi orang-orang yang ikut pesta Cody, sebagian besar masih bisa kukenali.
Aku naik ke atas, mengetuk pintu kamar Cody—siapa tahu dia bersama Keyna—dan menginitip karena tak ada jawab, lalu menemukan bahwa kamar itu kosong. Dahiku mengerut. Kemana Cody? Keheranan, aku memeriksa kamar tamu dan mengintip lagi. Gabrielle ada di dalam bersama Fran. Mereka teridur pulas. Ya ampun, mereka menginvasi kamarku. Luar biasa. Di saat punggungku menegang karena tidur di sofa, mereka enak-enakan tidur di kamar—ok, kamar tamunya Cody yang sekarang menjadi milik—ku?
Geleng-geleng kepala, aku turun, berhati-hati untuk tidak menginjak tubuh-tubuh di lantai. Eew, mereka semua benar-benar parah. Untunglah hanya Cody yang tinggal di tempat ini. Begitu aku mencapai pintu, aku menguap lagi, menutup pintu dan terkejut melihat Aroz duduk di samping pintu, memeluk lututnya dengan punggung bersandar dan wajah pucat pasi.
“Aroz,” kataku, mengerutkan dahi, “ada apa?”
Bibirnya gemetar dan aku bisa melihat bagaimana matanya memerah dan wajahnya semakin pucat dan pucat. Tidak, bukan. Aku bisa melihat kalau wajahnya membiru kedinginan. Dia hanya mengenakan pakaian biasa di lorong begini untuk… berapa lama?
“Jeremiah,” suaranya bergetar, parau dan ketakutan. Sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Apakah ini mengenai Cody?” aku bisa menebak dari ekspresinya. Hanya Cody yang mampu memberikan efek sebesar itu pada Aroz. Aroz tak pernah bertampang seperti itu walau aku mengejek, menyudutkan, atau menghajarnya sekalipun—walau aku tak mungkin melakukannya. Tapi Cody? Satu kata saja, Cody bisa menghancurkannya dalam sekejap.
Tangan Aroz gemetar, tapi perlahan dia mengangguk. Dahiku mengerut begitu dia menghindari mataku. Aku berjongkok di sampingnya, kemudian mengalungkan tanganku ke bahunya. Dia menegang, menggigit bibirnya. Air matanya tak lagi terbendung.
“Aroz, kau tahu aku dengan baik. Kau bisa menceritakan apapun padaku,” kataku pelan dan lembut. Aku sendiri terkejut dengan tekanan suaraku. Tapi, well, mau bagaimana lagi? Sejak aku mengenal Aroz, aku tak bisa menaikan suaraku. Pertama, Cody akan langsung menghajarku. Kedua, aku tak bisa melakukannya. Dia terlalu rapuh untuk dimarahi. Lagipula, dia bukan orang jahat.
Bahunya gemetar lagi dan dia menangis, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Bagaimana ini, Jeremiah? Aku sudah melakukan hal yang buruk pada Cody dan Keyna.”
Ini masalah yang benar-benar serius.
Lalu Aroz menceritakan semuanya, dalam suara pelan dan terpukul. Aku tak tahu apakah dia menyadarinya atau tidak, tapi semakin lama aku mendengarnya, aku diliputi kemarahan yang menjadi-jadi. Rahangku mengeras tiap kali kalimat itu berlanjut.
“Ini salahku. Aku tak seharusnya kembali.” Aroz memeluk lututnya lagi, membenamkan wajahnya ke atas lututnya.
Tanganku masih belum melepas bahunya. Suaraku terdengar tenang saat mengatakan, “Ini bukan salahmu.”
“Tapi—”
“Percayalah padaku,” kataku menggenggam bahunya, membuatnya menelan ludah. “Aku dan Cody mengenalmu dengan sangat baik. Kau dan aku mengenal Cody dengan baik. Dia akan baik-baik saja.” Aku menenangkannya. “Sekarang, masuklah ke dalam dan tidur. Istirahatlah yang cukup. Aku tak ingin kau kemana-mana.”
“Tidak apa-apa, Jeremiah. Aku—”
“Aku tak mungkin membiarkanmu pergi dalam keadaan emosional seperti ini,” kataku tegas. Aku tak akan membiarkan Aroz sendirian. Dia bisa saja meminum pil tidur lagi. Aku tahu bahwa dia bisa sangat frustasi dalam beberapa waktu. “Istirahatlah atau lakukan sesuatu yang bisa membuatmu sibuk. Kau bisa membereskan kekacauan di rumah Cody. Itu akan membuat pikiranmu teralih.”
Aku memaksanya berdiri dan masuk ke dalam rumah. “Aku akan mencari Cody. Aku bisa menduga dia ada dimana. Kau cukup menenangkan diri. Kau tak tidur semalaman kan?”
Aroz mengangguk.
“Aku butuh seseorang menjagamu,” gumamku dan melihat James menatapku dari tempatnya sambil melipat tangan. Pandangan matanya dingin sekali, seperti ekspresi Cody kalau cemburu. Dia mendekat ke arahku.
“Aku bisa menjaganya,” kata James.
Aroz menghela napas. “Aku bukan anak kecil—”
Kepalaku menggeleng. Aku tak butuh pembelaannya sekarang. Memberikan anggukan singkat pada James, aku keluar dari apartment Cody. Cerita Aroz membuatku ingin meninju sesuatu. Keyna dan Cody… mereka berdua…
Aku turun ke basement dan tidak menemukan Cody di salah satu mobilnya, jadi bisa kupastikan bahwa dia tidak sedang instropeksi diri di dalam mobil, tapi Koenigsegg-nya tak ada. Dia pastilah kabur dengannya. Dengan cepat aku masuk ke mobilku dan berkendara.
Salah satu tempat yang mungkin didatangi Cody hanya satu tempat: rumahku. Tidak butuh waktu lama untukku smapai karena aku suka ngebut. Begitu sampai, pikiranku terbukti, aku melihat Koenigsegg Cody terparkir di dekat lapangan. Tapi pondokku masih gelap, jadi dia tak mungkin ada di sana.
Aku melompat turun dari mobil, mataku mengawasi sekitar. Tidak. Dia tak mungkin ada di rumah pohon. Dia juga tak mungkin naik ke gunung. Cody tak sebodoh itu. Puas dengan kesimpulanku, aku melangkah panjang-panjang menuju dermaga dan melihat Cody duduk di ujung dermaga dengan kepala mengadap lurus ke depan. Tidak ada ekspresi yang berarti di wajahnya. Dia hanya melihat tanpa benar-benar melihat.
Menghela napas lega karena berhasil menemukannya, dengan senang hati aku melangkah ke dekatnya. Derit jembatan sama sekali tak membuat Cody beralih. Aku malah ragu dia merasakan kehadiranku atau tidak. Tapi begitu sampai di sisinya, aku segera duduk, dan tidak mengatakan apapun. Udara dingin dari danau mengusap lembut wajahku.
Cody sedang memberikan perlindungan pada dirinya. Dia mengunci dirinya dari sekitarnya. Bila dia masih belum aman pada sekitarnya, aku tak akan memaksanya bicara. Dia butuh waktu sendiri. Aku tak akan menganggu apa yang ada di dalam pikirannya sampai dia mengatakannya sendiri padaku. Tapi aku tak akan meninggalkannya sendirian. Aku harus memastikan padanya bahwa masih ada aku yang akan tetap di sampingnya, apapun yang terjadi.
Cody tak akan pernah meninggalkanku, jadi aku juga tak akan meninggalkannya.
Aku tak tahu berapa lama aku duduk di sini, tapi Cody akhirnya bicara dengan suara pelan.
“Hubunganku dengan Keyna berakhir.”
Napasku berhenti. Aroz sudah menceritakan apa yang terjadi padaku. Aku tahu semuanya. Tapi mengapa, begitu Cody yang bicara, aku terkejut lagi?
Aku sudah sering melihat Cody marah, atau menangis, menggila, tertawa—semuanya. Tapi kecewa?
Tetap di tempat, Cody.”
Aku bahkan tak bisa mengenali suaraku kembali. Begitu Cody mencoba meraihku, aku mengucapkan sesuatu yang membuatnya mematung.
Dan untuk pertama kalinya aku melihat ekspresi itu.
Kecewa. Putus asa. Terbuang.
Aku dihantui mimpi buruk dan perasaan bersalah tiap kali mengingat adegan itu. Mata Cody tak pernah kecewa sebelumnya. Anak itu selalu dilimpahi kasih sayang. Dia dikelilingi oleh orang-orang baik. Mungkin ada yang jahat. Tapi dia tak pernah peduli. Hanya saja, begitu aku tahu akulah yang membuat Cody mengeluarkan ekspresi itu, aku tak bisa memaafkan diri sendiri. Meski dia sudah memaafkanku, aku tetap tak bisa menghilangkannya.
Sejak Cody mengaku dia gay aku takut. Kenapa harus gay? Kenapa dia harus memilih laki-laki daripada perempuan? Kenapa dia mengatakan hal ini padaku? Apakah dia pikir bahwa aku juga gay? Seperti dirinya? Atau dia akan menarikku menjadi gay? Bagaimana kalau dia naksir padaku? Jatuh cinta padaku? Aku tak mau memikirkannya!
Hari pertama, aku ketakutan setelah mendengar pengakuannya. Semalaman, aku tak tidur dan hanya melihat langit-langit kamarku, mengulangi adegan tadi sore. Hari kedua, aku menghindarinya. Aku tak ingin berbicara, melihatnya, bahkan aku mengambil jarak sejauh mungkin darinya. Ketakutan itu masih ada, tapi sekarang dihantui oleh rasa yang aneh: ngeri dan jijik. Ya, jijik. Aku tak percaya ini. Tapi aku baru saja mengakui bahwa sahabatku menjijikan, dan aku sedih begitu mengetahui bahwa aku pernah berpikiran seperti itu pada Cody. Aku mempertanyakan persahabatan kami selama ini dan menyalahkannya atas segala hal yang terjadi. Aku bertanya-tanya apakah mungkin dia pernah berpikiran bahwa aku mungkin saja akan berubah haluan dan aku mengingat saat-saat memalukan yang membuatku mengutukinya.
Hari ketiga, aku bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku kehilangan sahabatku! Untuk pertama kalinya, dia tak ada saat aku harus memberikan bola basketku padanya. Untuk pertama kalinya, dia tak ada saat aku membutuhkan seseorang untuk tertawa di sampingku. Untuk pertama kalinya, aku kehilangan seseorang yang akan memarahiku jika aku menyumpahi seorang nerd, yang akan meninjuku bila aku terlalu banyak bicara, yang akan memberikanku apelnya, yang akan tertawa dan geleng-geleng kepala jika aku menjawab asal di papan tulis, yang akan menemaniku masuk ruang guru jika membuat masalah, yang akan menemaniku bolos, yang akan membantuku mengganti popok adik-adikku, yang akan mengerjakan tugas karangan dengan kebodohan luar biasa, yang akan....
Hari keempat, aku memikirkan apakah persahabatan kami dapat berlanjut atau tidak. Aku tak bisa tertawa pada yang lain karena mataku hanya melihat Cody, yang melewatiku seakan aku tidak kelihatan. Begitu yang lain bertanya apa yang terjadi, lidahku seakan terkunci dan bohong sekali mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Semua tidak baik-baik saja! Cody menghindariku seakan aku tak pernah ada. Dia tidak melihatku. Dia bahkan tidak peduli padaku. Hari kelima, aku dihantui mimpi buruk. Rohku seakan dipaksa mengulang adegan yang sama terus menerus tanpa rasa kemanusiaan. Hari keenam, aku frustasi. Hari ketujuh, tubuhku seakan tak punya roh seakan aku tak punya keinginan untuk bergerak. Aku merasa bahwa yang ada di sekitarku sangat membosankan. Tak ada yang menarik. Hari ke delapan, aku merasa kehilangan sesuatu yang berharga dan aku tahu bahwa itu Cody. Hari ke sembilan, aku memaki diri sendiri dan seluruh umat manusia yang merendahkan sahabatku.
Persetan!
Memangnya, kenapa kalau dia gay?
Lalu aku ingat saat dimana kami melakukan hal gila bersama dan hal yang dia lakukan untukku.
Saat dimana dia ikut masuk ke kamar mandi wanita cuma untuk menemaniku mengintip. Kupikir dia tertarik, tapi ternyata dia malah tidur. Atau saat dimana kami telat masuk dan terpaksa menyelip dari jendela untuk masuk ke kelas begitu sang Guru berbalik, dengan dia mencoba mengangkatku melewati jendela. Atau saat Cody sengaja memecahkan piagam Kepsek agar ikut didetensi denganku yang berbicara kurang ajar pada Guru Biologi—hei, aku cuma bertanya bagaimana cara membuat anak! Atau saat kami mengacaukan ujian semester karena Cody tak sengaja menjatuhkan seluruh kertas ujian ke luar jendela tepat saat hujan turun. Saat kami naik motor dan ngebut dari polisi. Saat bolos dari kelas dan tidur di GOR. Melempar bola tepat mengenai para bully yang mengganggu nerd. Bernyanyi di tengah jalan gila-gilaan meski suara kami fals. Terjun ke danau pada musim dingin dan terkapar keesokan harinya...
Yeah... aku bisa menjabarkan seluruh aktifitasku bersama Cody dan membukukannya bila aku mau.
Itulah kenapa Cody adalah duniaku.
Dia semestaku.
Dia membuatku tertawa, sedih, gila, jenius, dan bodoh dalam sekejap. Dia akan memujiku, lalu menginjakku lagi bila dia mau. Dia akan menggelitikku sampai aku tak bisa bernapas hanya agar aku membelikannya jus kaleng, padahal jaraknya hanya lima meter dari jangkauan. Dia akan datang bermil-mil jauhnya bila aku memintanya meski ada banjir, badai, gempa bumi, gunung meletus, yang menghadang. Si Idiot.
Tak ada yang menggantikannya.
Aku bersumpah tak akan melihatnya kecewa lagi.
Hanya saja, janji itu terus kulanggar.
Aku melihatnya hancur, capek, frustasi, dan kecewa begitu keluar dari rumah dan tak kembali. Aku tak bisa membantunya. Aku berusaha mencarinya. Tapi ternyata dia menghilang.
Setahun kemudian, dia berubah.
Dia masih tetap sebagai Cody. Memang. Hanya saja aku melihatnya tak seperti dulu. Dia punya obsesi baru terhadap animasi, seperti anak kecil. Pekerjaannya menjadi dunianya. Dia menutup dirinya. Bahkan dia menutup dirinya untukku.
Dia tak lagi mengatakan apa yang ada dalam kepalanya padaku, apalagi yang ada di hatinya. Bila dia melakukan sesuatu yang menurutku salah, atau menurut orang lain salah, dia akan instropeksi diri—tanpa memikirkan kalau hal itu benar baginya. Cody tak pernah instropeksi diri sebelumnya. Dia melakukan hal yang tak akan pernah disesalinya. Dan sekarang dia berpikir mengenai pendapat orang lain hanya agar orang lain senang, lalu curhat pada mobilnya?
Untuk sebulan, mungkin aku bisa menerimanya. Tapi setengah tahun? Aku tak tahan lagi.
“Mobilmu itu tak akan memberikan solusi padamu! Kau pikir dia apa? Robot intelegensi yang bisa bicara, kemudian tiba-tiba bilang ‘Hei Cody, angkat kepalamu dan keluarlah dari sana sebelum aku menendangmu keluar karena aku tak peduli dengan masalah kecilmu!’”
Aku meledak marah, melihat Cody hendak masuk ke dalam mobilnya hanya karena dia membentak Juno. Aku memegang lengannya. Salah satu kakinya sudah masuk ke dalam.
“Jeremiah, aku butuh waktu sendiri,” katanya.
Dia memanggil nama lengkapku. Apa dia menantangku?
“Aku tak akan membiarkanmu bicara dengan benda mati! Kau butuh bicara dengan manusia! Seseorang yang berkuping untuk mendengarkanmu! Seseorang yang berotak untuk mencerna masalahmu! Dan seseorang yang bisa bicara untuk mengatakan solusi!”
“LEPASKAN AKU!”
“TIDAK! DAN JIKA KAU BERANI MASUK, AKU BERSUMPAH AKAN MEMBAKAR MOBILMU DAN KAU SEKALIAN HIDUP-HIDUP LALU AKU AKAN MENGGANTUNG DIRI SENDIRI!”
Aku berteriak padanya karena dia berteriak terlebih dahulu. Demi Tuhan, aku nyaris tak mengenali Cody lagi. Ini bukan Cody yang akan jatuh begitu saja saat dia didorong. Ini bukan Cody yang akan bangkit lagi jika dia jatuh. Bukan Cody yang balas meninju bila dia ditinju. Dan aku benci padanya karena dia lebih memilih bersama mobil sialan itu dari pada berbicara denganku!
Cody memelototiku dan aku balas memelototinya. Aku tak sudi sahabatku direbut oleh sebuah mobil. Enak saja aku dibandingkan dengan rongsokan bernama porchea! Aku tak terima kalah oleh sebuah mobil!
“Mari-kita-bicara-berdua. “
Empat kata itu kupaksakan keluar meski amarahku masih ada di sana. Peganganku pada lengannya semakin kuat begitu telapak tanganku merasakan otot tangan Cody menegang.
Lepaskan, Xavier Jeremiah Huges.” Suaranya berbahaya. Dia akan meninjuku sebentar lagi.
Tinju Cody sangat menyakitkan. Aku pernah berakhir di rumah sakit karena tinjunya.
Tapi aku tak akan melepasnya.
“Kau sahabatku,” kataku keras, tapi tenang. “Aku tak akan membiarkan sebuah mobil di antara kita.” Lalu tanpa diduga aku berteriak jengkel. “Damn! I’M STARTING GETTING JEALOUS WITH A DAMN CAR! HOW COULD THIS STUPID CAR GOT YOUR ATTENTION AND I DIDN‘T?  HOW CAN YOU CHOOSE IT THAN ME YOUR BEST FRIEND? I‘M YOUR BEST FRIEND, STUPID BEST FRIEND EVER! I’M IMPORTANT NOT THAT THING! HOW COULD YOU DO THIS TO ME? DIDN’T YOU LOVE ME? I LOVE YOU DAMMIT! AND YOU? WHAT THE HELL ARE YOU THINKING? I—
Aku berhenti berteriak karena Cody tertawa setelah dia mengerjap beberapa kali.
Aku melongo melihatnya, bingung, lalu sakit hati. “WHAT ARE YOU LAUGHING AT?”
Cody masih tertawa setidaknya selama dua menit—setelah dia menunduk, nyaris keluar air mata, terkekeh—lalu mengangkat kepalanya.
Sorry,” katanya. “That was... hillarious... really...
Mataku memutar bosan. “Dengar—”
Cody menutup pintu mobilnya lalu memelukku. “Remi,” gumamnya, “maafkan aku.”
Kemarahanku reda begitu saja. “Aku mulai membenci mobilmu. Sungguh.”
Cody tertawa kecil, tapi masih memelukku. Lalu, tanpa diduga, dia menceritakan apa yang terjadi. Semuanya. Tak ada yang tertinggal. Lalu aku sadar bahwa Cody hanya takut menghadapi dunia. Dia cukup melihat orang tuanya melakukannya dan ngeri bila semua orang melakukan hal yang sama. Dia hanya berusaha melindungi dirinya. Aku bisa mengerti. Semua orang melakukannya kan?
“Aku harus berterima kasih pada Tuhan karena mengirimkan Tong Sampah Terbaik untukku,” canda Cody.
“Tuhan yang kau sebut itu juga menciptakan paket yang sama padamu: gay.” Aku membalas dan dia memutar bola mata.
Yeah. Dia hanya lupa mengurangi kadar sex dalam hidupmu.”
Aku tertawa. “Yeah... aku sangat berterima kasih dan bersedia berbagi.” Cody mendengus dan aku meninju pelan bahunya.
Dude, you have my back.”
Cody tersenyum. “Yeah, you have my back too.”
Masa lalu itu membuatku ingin membunuh Keyna—persetan dia wanita atau tidak—begitu melihat bahwa pendar kebahagiaan, cinta, gairah, antusias, dan semuanya hilang begitu saja, diganti oleh redupnya sinar mata Cody karena diliputi oleh patah hati, kecewa, sedih, terbuang, dikhianati.
“Cody,” desahku. Suaraku bergetar. Betapa bencinya aku melihatnya begini. Dulu aku yang melakukannya, kemudian orang tuanya, Edgar, dan sekarang Keyna.
Dia menggeleng. “Jangan iba padaku,” katanya parau.
Aku menatapnya tak percaya. Dia berpikir aku iba padanya? Tentu saja tidak! Aku marah pada Keyna! Marah pada orang lain! Marah pada mereka yang mengecewakan orang sebaik ini! Bila aku gay—ah, tidak, bila aku jatuh cinta pada Cody, maka aku tak akan membiarkannya kecewa. Aku tak akan mengijinkannya mencicipi sakit hati. Sebaliknya, aku akan memberikan cinta padanya.
“Hei,” kataku menangkup wajah Cody dengan kedua telapak tanganku. Kulit wajahnya dingin sekali. Damn. Berapa lama dia duduk di sini?
“Aku tak apa-apa.”
“Omong kosong,” kataku menghentikannya. Dia tak baik-baik saja. Bagaimana orang yang patah hati bisa baik-baik saja? “Tatap aku Cody. Lihat aku.” Cody menghindari mataku dan menatap lurus-lurus pada syalku. “Cody,” kataku pelan. “Bila kau melihat mataku, kau akan melihat kejujuran.”
Cody menelan ludah, tapi pada akhirnya melihat mataku. Sedetik melihat mataku, aku tahu dia tahu bahwa aku tak kasihan padanya, karena dia menangis begitu saja. Aku merasakan penderitaannya. Aku sakit untuknya.
“I’m here Buddy. I‘m your bestfriend. I’ll never leave you alone. You always have my back. I’ll catch you when you down. I’ll be your backup. I’ll hold you when you need me to. I’ll run after you when you need charge and stand beside you, never leave you alone. I’ll be a happiness around your sadness. I’ll be your support. I’m your hero. Don’t worry. Don‘t feel sorry. They don’t deserve you. You’ll find someone. The one who love you a lot. The one who’ll be happy just by seeing your face, never hurt you, giving you happiness, talking all sweet things for you, knowing you well. The one you love. I know you will. And if you couldn’t find him or her so be it. I’d love to stay at your side forever.”
Bahu Cody bergetar di pelukanku, jadi aku berpikir bahwa dia tersentuh pada apa yang kuucapkan, sampai dia mengangkat kepala dan aku melihatnya tertawa kecil. Ups. Jadi dia ternyata tidak menangis. Aw aku sedikit kecewa. Padahal aku sudah sangat puitis. Aku bahkan tak pernah bilang begitu pada wanita manapun di dunia.
Dan Cody menanggapinya dengan tertawa? Oh, lucu sekali.
“Aku bertanya-tanya ikatan persabatan apa di antara kita,” kata Cody menggeleng kecil.
Aku mengangkat bahu. “Mudah saja. Persahabatan kita itu adalah saat dimana kau akan selalu bersedia meletakkan majalah porno di bawah kasurmu, setiap kali aku meminta meski kau tahu tak membaca majalah itu karena kau gay dan meski orang tuamu memarahimu.”
Cody tertawa lagi. Itu lebih baik daripada sebelumnya. “Astaga, Remi. Jadi itukah arti persahabatan kita bagimu selama ini?”
“Kau bertanya, aku menjawab.” Aku nyegir.
“Terserah.” Lagi-lagi Cody meletakkan kepalanya ke dadaku. Aku menghela napas kemudian merangkul bahunya dengan tanganku.
Mataku kembali melihat ke arah danau, dimana matahari menaik dengan sangat lambat di langit. Warnanya yang keemasan menyinari danau yang airnya berkilau tenang. Angin pagi musim gugur bertiup pelan menyejukkan wajahku. Setidaknya, udaranya sudah tak sedingin tadi.
“Cody, kau harus masak hari ini. Ikatan persabatan. Aku rindu masakanmu.” Aku berkata meremas bahunya. Wow. Cody benar-benar berusaha keras. Aku mengingat saat Juno dan Nell melucuti kemejanya kemarin. Dia benar-benar punya eight pack.
“Cody,” kataku mengerutkan dahi, menunduk melihat Cody yang tak membalas. “Apa kau tidur?”
Namun, saat melihat wajahnya yang pucat dan nyaris membiru dengan bibir membeku di bawah sinar mentari, aku tahu Cody tak tidur.
Dia hiportemia.
“Cody!” Aku menepuk pipinya. “Cody bangun. Bangun! Kau tak boleh tidur saat begini! Kau bisa mati!”
Tak ada reaksi. “Damn!
Aku melepas syalku, mengalungkannya pada lehernya. Lalu aku sadar bahwa Cody hanya mengenakan jaket kain biasa dengan kaos biasa. Bajunya tipis sekali. Aku tak menyadarinya karena kupikir jaket itu cukup tebal dan bukan hanya saja itu, aku bisa merasakan bahwa bajunya lembab. Basah? Hujan? Oh, shit! Di musim seperti ini, hujan datang tanpa diduga. Mantel beratku segera kupakaikan pada Cody, lalu aku menggendongnya di punggung. Dia harus segera dibawa pulang.
“Cody,” suaraku bergetar saat kakiku melangkah melewati dermaga kayu yang berderit saat aku melangkah cepat. Ini kedua kalinya aku ketakutan karena Cody. Dulu, Cody pernah koma 3 hari akibat jatuh ke sisi jalan dan menabrak pembatas besi hanya karena menggantikanku balapan motor. Aku tak akan memaafkan Keyna yang telah membuat Cody jadi begini. Tidak akan.
Aku berhasil membawa Cody ke dalam rumah, masuk ke kamarnya dan meletakkannya ke atas tempat tidur.
“Cody,” gumamku menyeka dahinya. Dia nyaris membeku! “Bertahanlah, akan kupanggil dokter.”
Tapi, begitu melihat layar ponselku, yang kuhubungi pertama kali bukan Dokter melainkan Fran.

***

Write: Medan, 5 September 2013

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hello,2nd anonymous here.. I already read ILUMRG on wattpad. You state that ILUMRG were already reaching it's end, and you will post the epilogue soon after you update the last two chapter.. But, now it was already about a month there is still no update about it.. And one more thing, after ILUMRG end I hope you will write the sequel of it. I will be missing Cody&Keyna if it end. And I also recieve your e-mail regarding making ILUMRG into a book, I will give 100% of my support and wish the book become one of bestseller book around the world if you can guarantee that the publisher will not put to remove this story from Wattpad as one of it terms. Because, there is no guarantee that I can get the book since I didn't live in Indonesia nor that I'm an indonesian. It will difficult for me to get the book and continuing reading ILUMRG.. Anyway, wish you healthy always and update ILUMRG soon

love,
your silent reader

Anonim mengatakan...

baca ngebut dan ini keren betul
apa masih lama lanjutannya?
keep waiting

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.