02
Home
==========
FRAN(POV)
Aku tak
menyangka Jeremiah benar-benar datang. Tempat kami berpuluh-puluh mil jauhnya
dari tempatnya dan dia datang dua jam kemudian. Jeremiah yang turun dengan stelan
kantornya membuatku tak bisa berbicara, bernapas, ataupun bergerak. Maksudku
aku tak seharusnya begitu tapi begitu melihat penampilannya membuatku menahan
napas.
Dia tampak
tampan dengan jas kantor hitam dan dasi tak terpasang dengan rapi di lehernya.
Rambutnya berantakan sementara mantelnya berkibar. Dia masih mengenakan
kacamata—yang mungkin lupa dia lepas karena begitu terburu-buru untuk menyusul
kami—membuatnya jadi tampak lebih cerdas. Sepatu bootnya menginjak tanah berdebu.
Jeremiah seperti
super hero.
“Mereka sudah
tak apa-apa, Jeremiah.” Dokter Wanita yang memeriksa kami tersenyum penuh goda
pada Jeremiah, membuatku menggertakan gigi. Aku tak suka ada orang yang tidak
berkonsetrasi pada pekerjaaannya bila di samping seseorang. Tapi begitu melihat
Jeremiah mengalihkan pandangannya pada Gabrielle dan tidak menggubris wanita
itu, aku tersenyum kecil. Kepeduliannya pada Gabrielle benar-benar tulus.
“Anak malang,”
gumam Jeremiah meyingkirkan rambut di dahi Gabrielle sehingga memar kebiruan di
wajahnya terlihat. “Wajahmu yang tampan jadi biru begini.”
“Dia akan
sembuh, Jeremiah. Memarnya akan hilang dalam waktu seminggu.” Wanita itu
mengalihkan perhatiannya lagi. Jeremiah memang selalu menarik perhatian wanita.
Aku tak perlu kaget. Tapi kenapa aku merasa kecewa saat dia tersenyum pada
wanita itu?
“Daddy,” kata
Gabrielle, tiba-tiba memeluk pinggangnya.
Aku mengerjap.
Gabrielle memanggilnya apa?
Dokter itu
membatu. “Daddy? Jeremiah, kau sudah em... menikah?”
Jeremiah
menggeleng. “Anak ini anaknya,” dengan polos Jeremiah menunjukku. “Anak ini
cuma senang memanggilku dengan Daddy.”
Wanita itu
menatapnya dengan tak percaya. “Dan kau membiarkannya begitu saja?”
“Memangnya
kenapa?”
Sekali lagi
wanita itu kaget. Dia lalu menatapku dengan sebal kemudian ganti menatap
Jeremiah. Aku merinding begitu dia berkata, “Jeremiah dia laki-laki. Kau
laki-laki!”
Jeremiah
memiringkan kepalanya. Tak mengerti. Sepertinya perhatiannya hanya pada
Gabrielle karena Jeremiah buru-buru bilang, “Lebih baik kami segera pergi.
Gabrielle harus makan siang.”
Gabrielle
tersenyum kecil pada wanita itu. Sebuah senyuman kemenangan yang mirip sekali
dengan yang diberikannya pada Jeremiah saat dia melihat Jeremiah. Kalau tak
salah Jeremiah menyebutnya sebagai—
“Senyuman
Monalisa.”
Aku melonjak
mendengar suara Oliver di sampingku. Anak muda itu sudah berpakaian lengkap.
Berbeda dengan kami yang cuma memar kecil, rupanya ada memar lain di punggung
dan bahunya.
“Aku tak
menyangka kalau Gabrielle mampu tersenyum seperti itu.”
Aku juga tak
menyangka, tapi aku tak mengatakannya dan malah memilih keluar mengikuti
Jeremiah untuk mengambil obat, lalu naik ke mobil.
“Ok, begini
rencananya,” kata Jeremiah sebelum menyalakan mesin. “Kita makan siang lalu
mengantar kalian ke tempat tujuan dan kau akan turun di tengah jalan begitu
sampai di stasiun bus.” Dia melirik Oliver dengan tak suka.
“Jeremiah, aku
sudah bilang kami tak keberatan naik kereta.”
“Aku tak
mengijinkan,” Jeremiah mendelik jengkel. “Aku sudah cukup ngeri melihat kalian
nyaris mati. Aku tak ingin mengalaminya lain kali. Selama aku masih hidup, aku
tak mengijinkan kalian naik kereta lain. Aku sendiri yang akan mengantar
kalian. Aku tak percaya orang lain yang mengantar kalian kecuali aku—dan Cody,”
tambahnya pelan. “Meskipun begitu, seluruh jalur kereta akan memutar sebelum
bangkai kereta disingkirkan. Itu artinya tak ada jalur selama 10 jam ke depan.”
Kami bertiga
mengerjap kebingungan. Terkaget dengan informasi yang diberikannya. “Darimana
kau tahu?” tanyaku keheranan.
“Aku dewa
informasi. Aku tahu segalanya.”
Lalu dia
menghidupkan mesin mobilnya, mengabaikan tawa Oliver dan cengiran Gabrielle.
***
Jeremiah
memutuskan kami makan di restoran keluarga dimana pemiliknya ternyata teman
lamanya juga.
“Berapa banyak
teman lama yang kau punya?” Aku bertanya penasaran. Aku tahu Jeremiah memang
populer. Tapi bukankah itu terlalu banyak?
Jeremiah
mengangkat kedua bahunya dengan kasual dan duduk di meja dekat jendela, dengan
Gabrielle di sampingnya. Oliver duduk di seberang Gabrielle, dan aku di
seberang Jeremiah. Kami memesan makanan yang datang tak lama kemudian.
“Jeremiah,
kupikir kau tadi bersama Cody,” kata pria yang katanya pemilik tempat ini.
“Cody dalam
status PMS.”
Pria itu
terbahak. “Kau pasti melakukan sesuatu padanya kan? Coba beritahu aku apa yang
dia lakukan padamu? Meninjumu? Menendangmu? Terakhir kali aku melihatnya marah
padamu, kau nyaris tak mampu bangkit dari brankar rumah sakit setelah dia
membantingmu keluar dari kamar mandi saat kau masuk ke kamar mandi dengan paksa
ketika dia sedang mandi. Dan aku tak akan kaget mendengar berita kematianmu
yang dibunuh Cody.”
Baik aku,
Oliver, dan Gabrielle menatap Jeremiah. Orang sekecil Cody mampu membanting
Jeremiah?
Jeremiah
mendengus. “Hmph! Kau tak perlu tahu kalau kau tak mau Cody melakukan hal yang
sama padamu. Urus saja isteri dan selingkuhanmu dan jangan ganggu aku.”
Pria itu
terbahak. “Jika kau punya waktu, kau harus mengumpulkan teman-teman dari masa
lalu. Mereka merindukan kalian tahu.” Setelah menepuk bahunya, pria itu berlalu
untuk melihat tamu yang lain.
“Cody sekuat
itu?” Gabrielle bertanya penasaran.
“Dia itu sekuat
banteng yang mengamuk, jika sudah marah mematikan seperti nil, dan cepat
seperti elang.” Jeremiah tersenyum menyebalkan padanya. “Walau tampangnya
seperti malaikat, dia bisa menjadi iblis jika dia mau. Jadi jangan coba-coba
membuatnya marah.”
“Kurasa aku
mengerti,” kataku. Jeremiah mendelik padaku. Matanya seolah mengatakan “jangan
coba-coba mengatakan apapun” dan aku tak berani membantah.
Pesanan kami
datang dan kami makan dengan lahap. Aku mengobrol dengan Oliver sementara
Jeremiah mengobrol dengan Gabrielle. Sesekali, aku dan Oliver melirik Gabrielle
yang tertawa begitu mendengar lelucon dari Jeremiah dan ikut membalas ucapan
Jeremiah. Gabrielle tampak santai bersama Jeremiah sekarang.
“Jadi, siapa
tadi namamu? Oh, ya Oliver,” kata Jeremiah mengalihkan pandangan pada Oliver
yang mengerjap. Gabrielle menyipitkan mata, melirik Oliver dengan aura
permusuhan, meski dia segera mengambil jusnya dan minum dengan perlahan.
“Tepatnya di belahan dunia mana rumahmu? Aku tak keberatan mengantarmu sampai
ke depan pintu rumahmu.”
“Oh, tidak
apa-apa Sir,” kata Oliver. “Orang tuaku bilang akan ada yang menjemputku di
stasiun.”
Jeremiah melirik
Gabrielle. “Tentunya, orang tuamu pasti khawatir mendengar kereta yang kau
tumpangi mengalami kecelakaan,” katanya lagi.
“Tentu, Sir.
Tapi mereka sudah tenang karena Anda mengantarku.”
“Hmmm,” Jeremiah
menopang dagunya. “Aku tak suka padamu.”
Astaga. “Jeremiah!”
Aku mendesis jengkel padanya.
Tapi Jeremiah
mengabaikanku dan melanjutkan. “Kau menatap Gabrielle seakan hendak memakannya.
Coba beritahu padaku, apa kau naksir padanya? Apa kau gay? Bi? Aku tak butuh
bantahan sekarang karena aku juga mengenal beberapa orang gay dan aku tahu
dengan pasti bahwa kau tertarik pada Gabrielle.”
Mulutku
ternganga mendengar penjelasan Jeremiah. Oliver tak lebih buruk. Wajah anak itu
pucat dalam seketika. Gabrielle sendiri beringsut ke dekat Jeremiah dan
berusaha menutupi wajahnya dengan bahu lebar Jeremiah.
“Urm,” hanya itu
yang mampu diucapkan Oliver.
“Tunggu sampai
dia SMA, Anak Muda. Dia terlalu muda untukmu,” kata Jeremiah lagi. “Aku bukan homophobic tapi Gabrielle masih kecil, dan kau membuatnya ketakutan.
Jadi setelah pertemuan singkat kalian, kuharap kau dan Gabrielle tak perlu
bertemu lagi. Itu akan memperkecil masalahku. Dan aku melarangmu muncul dan
berada di dekatnya jika takdir mempertemukan kalian lagi.”
Sekarang bukan
hanya Oliver yang wajahnya merah padam tapi juga aku. Bagaimana mungkin
Jeremiah bisa berpikiran seperti itu? Bagaimana bisa dia tahu apa yang ada
dalam pikiran Oliver? Mengapa dia bisa bertingkah seperti seorang Ayah yang
protektif lebih daripada aku sendiri? Sebenarnya ayah Gabrielle, aku atau dia
sih?
Sisa makan siang
kami berlalu dengan kecanggungan luar biasa. Aku kasihan pada Oliver. Ok dia
memang naksir anakku tapi tetap saja aku kasihan karena Jeremiah langsung
menegurnya terang-terangan. Demi Tuhan dia kan masih kecil. Yang paling mengherankan,
aku sama sekali tak merasa terganggu mengetahui bahwa Oliver menyukai
Gabrielle.
“Kita harus
bicara,” aku menarik lengan Jeremiah ke belakang restoran.
“Aku tak mau
meninggalkan Gabrielle sendirian dengan anak itu.”
“Berhentilah
bertingkah seperti itu. Aku tak keberatan kau melakukannya pada orang lain,
tapi Oliver terlalu muda untuk mengetahui kebencianmu yang terang-terangan.”
Dengan paksa aku membawanya ke belakang. Dia mengikutiku sambil menggerutu.
“Well, kalau begitu dia harus terbiasa,
jika dia sungguh-sungguh ingin bersama Gabrielle.” Jeremiah menyingkirkan
tanganku, bersedekap dengan angkuh.
“Kenapa kau
berpikir dia ingin bersama Gabrielle?”
“Kenapa? Kau
homophobic?”
Dia malah
bertanya balik dan aku menelan ludah. “Aku bukan homophobic dan aku tak mau membicarakan itu. Masalahnya adalah kau
tak boleh bersikap sarkastik terhadap anak kecil berusia 16 tahun.”
Jeremiah
mengerutkan hidungnya. “Biar kuberitahu satu hal padamu, Bung, bahwa usiaku tak
lebih jauh daripadanya. Dia tidak semuda yang kau pikirkan. Baik secara fisik
atau pun emosional. Siapa tadi namanya? Oh, apalah.” Dia mengibaskan tangannya
dengan tak peduli saat aku hendak membantah. “Dan Gabrielle lebih muda dari
kita semua dan aku tak ingin dia merasa terancam karena tatapan penuh nafsu
anak muda itu. Tapi kau lebih tua
daripada kami, hanya saja kau tak bisa membaca kondisi.”
Wajahku memerah.
“Apa maksudmu?”
“Kau yang
pertama kali membawa topik usia. Kuberitahu satu hal padamu, Gabrielle masih
trauma terhadap kematian kedua orang tua kandungnya dan Oliver tak akan membuat
segalanya lebih baik. Kau harusnya memberinya kasih sayang yang cukup karena
aku tahu apa yang terjadi padanya.”
Aku mengerjap.
Aku baru saja mendengar apa yang tak ingin kudengar. “Kau tahu apa yang terjadi
pada orang tua Gabrielle? Kau menyelidiknya dari belakang?” Jeremiah mendesis
dan berbalik. Aku menyambar lengannya. “Jeremiah, tunggu! Apa yang sebenarnya
kau ketahui? Beritahu padaku!”
“Tidak!” katanya
tegas menyingkirkan tanganku. Aku menelan ludah melihat kemarahannya. “Jika kau
menganggap dirimu itu lebih dewasa daripadaku, bertingkahlah seperti itu! Dan
jika kau ayah yang baik, harusnya kau bisa membacanya. Kau mengangkat anak itu
jadi anakmu bukan untuk membuatnya ikut menderita bersamamu kan?”
Kemudian
Jeremiah meninggalkanku. Aku menatapnya dengan tak percaya. Jeremiah baru saja
menasehatiku. Dia memarahiku.
Dan aku bukannya
balik memarahinya tapi malah terduduk lemas.
***
GABRIELLE(POV)
Mereka bertengkar
lagi. Kedua idiot itu memang tak pernah akur.
“Kenapa kau
menghindariku?” Oliver berbicara, membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Aku
tak akan menyakitimu tahu.”
Yeah. Kau cuma orang asing. Aku
mengangkat kedua bahuku.
“Berapa usiamu?”
Itu terlalu
pribadi, aku tak akan menjawabnya, jadi aku cuma melihat keluar jendela.
Mengabaikannya. Kuharap dia tahu pesanku yang mengatakan bahwa aku tak ingin
berbicara dengannya atau dengan orang asing, siapapun dia.
Tapi, tidak,
Oliver tak mengerti. “Kau akan membuat orang kesulitan dengan tingkahmu itu
tahu.”
Dengan malas aku
kembali melihatnya, sama sekali tak ingin mendengar apapun lagi.
“Bila kau cuma
diam seperti itu, orang-orang akan berpikir kau bisu. Jangankan itu, mereka
akan melakukan sesuatu padamu bila tahu kau menghindari mereka. Kau bukan tuli
dan bisu. Aku tahu kau menghindariku. Hanya saja, tidakkah kau capek bertingkah
seperti itu terus?”
Mataku menyipit
dan dia menghela napas.
“Fran
lama-kelamaan akan capek dengan tingkahmu.”
Dan dia akan membuangmu.
Kalimat itu
muncul begitu saja di dalam kepalaku. Aku tahu hal itu akan datang cepat atau
lambat. Fran akan membuangku begitu dia puas beradegan ayah dan anak ini, lalu
aku akan kembali ke panti asuhan, disuruh menunggu sekian bulan, lalu akhirnya
dipakaikan baju untuk dipajang, di depan para orang tua yang ingin memilih
anak.
Lagi dan lagi.
Sampai aku
berusia delapan belas tahun.
Luar biasa.
Itu memang
hidupku.
“Kenapa kau
malah tersenyum?”
Karena kau tak tahu apa-apa. Aku ingin
bilang itu, tapi aku malah mengangkat bahu dan meminum jusku. Oliver orang
asing. Kami orang asing. Aku tak perlu terbuka padanya. Dan dia juga tak perlu
tahu apa yang terjadi padaku.
Kuminum jusku
lagi dan Oliver mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak, “Kau cantik
sekali.”
“Apa?”
Oliver mengerjap
tak percaya ketika aku berbicara. Lalu ada sebuah senyuman culas saat dia
menopang dagunya di tangan dengan siku di atas meja.
“Kau cantik
sekali. Feminim dari berbagai sudut.”
Ini benar-benar penghinaan! Aku
menggertakan gigi lalu bangkit dari tempatku.
“Kau mau
kemana?”
Kutinggalkan
meja kami, lalu keluar dari restoran sejauh kakiku melangkah. Oliver mengikuti
dari belakang. Aku bisa mendengar suara langkah kaki dan teriakannya memanggil
namaku.
“Gabrielle!
Gabrielle!”
“Tinggalkan aku
sendiri!” Suaraku terdengar asing bagi diriku sendiri. Tapi aku tak peduli.
Walau aku sangat membenci suaraku, aku tak bisa memikirkan hal lain kecuali
berjalan secepat yang aku bisa untuk menjauh dari Oliver.
Sialnya, dia
jangkung dan cepat sekali, sehingga mudah menyejajarkan langkahnya denganku.
“Bila kau
terlalu jauh dari restoran, Mr Cattermole akan khawatir. Berbahaya sekali
bagimu keluar sendirian.”
“Aku selalu
sendirian jadi kau tak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Gabrielle—”
Dan saat dia
menarik lenganku, langkahku goyang begitu saja. Aku menahan napas karena kaget
dan takut. Refleks, aku menarik tanganku. Tubuhku gemetar. Seluruh pemandangan
di depanku tampak bergoyang dalam sekejap. Tubuhku oleng lagi saat kakiku
menginjak tanah. Punggungku mundur ke belakang. Mataku membulat kaget.
Apa yang—
Oliver menangkap
lenganku dengan cepat kemudian menarikku ke pelukannya. “Gempa,” katanya.
“Tenanglah. Tidak apa-apa. Kita ada di luar.”
Gempa...
“… Gabrielle...
Gabrielle...”
Suara itu memanggil
di dalam kegelapan. Suaranya bergaung di telingaku. Aku tak bisa melihat
apapun. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan apapun.
“…Gabrielle...”
Tapi aku
mendengar suara yang semakin lemah itu.
“Dad! Daddy!”
Suaraku sendiri tak lebih baik, terdengar sangat rapuh, kecil, menyedihkan dan
ketakutan. Aku menangis, merasakan air mataku membasahi pipiku. Dengan susah
payah, aku mencoba bergerak, tapi ada benda padat yang berada di sisi tubuhku, juga
di atas punggungku, memerangkapku di tempat. Rasa sakit menjalar di kaki serta
tubuhku.
“Gabrielle...
apa kau baik-baik saja?”
Isak tangisku,
bergaung. Aku ketakutan. Tubuhku menggigil dengan rasa dingin dan debu. Dimana
ini? Aku tak bisa melihat apapun. Aku tak bisa bergerak. Aku kesakitan. Aku
ingin Ayahku!
“Daddy...”
“Tidak apa-apa,
Gabrielle. Semua akan baik-baik saja. Bagaimana kalau kita mengobrol? Sudah
lama kita tak bercerita.”
Meskipun aku tak
bisa melihat sosoknya, namun hanya mendengar suaranya membuatku tenang. Aku
ingat saat itu dia menceritakanku tentang Hazel dan Gratel. Lalu tentang 3 ekor
babi dan serigala, si Tudung Merah, Beauty dan The Beast, Aladin, Musa membelah
lautan dan banyak lagi. Setiap kali dia bercerita, isak tangisku reda dan aku
tak lagi ketakutan meski aku masih bisa merasakan sakitnya.
Suara pria itu
semakin lama semakin lemah dan akhirnya menghilang di kegelapan setelah dia
memintaku bernyanyi untuknya.
“Gabrielle...
maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu?”
Kepalaku bersandar di lantai. Tak mampu lagi bergerak. Aku capek. Aku mau
tidur. Tapi rasa sakitnya tak mengijinkanku.
“Maukah kau
menyanyikan sebuah lagu untukku? Aku mengantuk sekali. Mommymu pasti akan
senang mendengarnya. Dia bilang kau punya suara yang bagus.”
Aku bernyanyi
untuknya. Sebuah lagu yang sangat kusukai. Amazing
Grace. Suaraku yang kecil bergaung di tembok-tembok reruntuhan akibat gempa
besar, yang mengakibatkan seluruh batangan besi dan beton menimpa kami. Lagu
itu kunyanyikan terus dan terus seperti kaset rusak karena suara pria itu tak
lagi terdengar.
Yang aku ingat
cuma kegelapan. Yang aku ingat adalah aku tergeletak di antara bangunan dan
puing-puing yang menjepitku, siap menindihku setiap saat bila ada sedikit
gerakan. Yang aku ingat cuma suaraku yang terdengar di reruntuhan. Yang aku ingat
air mataku mengering dan aku menangis tanpa suara. Yang aku ingat aku tak takut
mati sendirian di kegelapan, kehabisan napas, tak makan dan kekeringan. Yang
aku ingat aku berpikir bahwa aku tak pernah lagi melihat matahari.
Tapi, begitu aku
membuka mata, aku melihat Oliver tengah menunduk melihatku, sementara dia
mendekapku erat-erat. Sorot matanya memperlihatkan kepedihan yang mendalam. Aku
pernah melihat tatapan itu sebelumnya.
“Gabrielle,
semua akan baik-baik saja.”
Orang tuaku juga
mengatakan hal itu tapi dia mati di bawah sana.
Tak ada yang
benar-benar menempati janji.
“Brengsek! Sudah
kubilang menjauh darinya!”
Kecuali Jeremiah.
Jeremiah
melepasku dari pelukan Oliver dan menarikku ke pelukannya. Tangannya yang besar
memelukku secara protektif, memberiku perlindungan, dan aku langsung merasa
aman.
Aku pernah
merasakan pelukan ini jauh sebelumnya.
“Daddy.”
***
JEREMIAH(POV)
Aku mendelik
jengkel pada Pemuda menyebalkan, keras kepala, dan sama sekali tak mendengarkan
ucapanku, selalu membantah apa yang kukatakan padanya, dengan rahang mengeras
dan siap memberikan tinjuku padanya, bila saja aku tak ingat bahwa saat ini
Gabrielle memelukku erat-erat dengan tubuh gemetar, untuk kedua kalinya hari
ini.
“Aku tak
melakukan apa-apa,” katanya memberi alasan ada kecemasan yang kutangkap dari
nada suaranya. “Aku cuma memeganginya karena tiba-tiba saja ada gempa dan dia
nyaris jatuh.”
“Bukan berarti
kau memeluknya seperti dia kekasihmu karena aku tahu apa yang kau pikirkan. Tak
perlu seorang ahli untuk melihatnya.”
Wajahnya
memerah, yang membuktikan bahwa aku benar.
“Jeremiah,”
suara yang menyebalkan itu sekali lagi membangkitkan amarahku. Fran berdiri di
belakang tampak khawatir sekaligus juga panik. “Sudahlah. Dia cuma ingin
membantu.”
Itu benar. Dan
aku merasa marah dan bodoh karena merasa kasihan melihat tampangnya. Dengan
jengkel aku mengambil kunci mobil dan melemparkannya padanya. “Kau yang
menyetir.”
“Tapi—”
“Kenapa? Kau mau
bilang bahwa kau tak bisa menyetir?”
“Bukan begitu.
Bagaimana kalau ada gempa susulan?”
Benar juga.
“Tunggu sebentar. Akan kutanyakan ahlinya.” Kuambil ponselku untuk menghungi
salah satu manusia yang kukenal tahu mengenai masalah ini. Begitu melihat
daftarnya, aku mendapati nama yang kubutuhkan.
“Halo?”
“Kyler, ini
aku.”
“Aku tahu itu kau.
Kau pikir aku tak melihat siapa yang meneleponku? Heran. Tumben sekali kau
meneleponku. Apa stok wanita sudah habis? Atau mungkin kau baru saja
dicampakkan wanita dan butuh teman minum? Maaf saja, aku sedang sibuk.”
“Aku sedang
buru-buru.”
Terdengar desahan.
“Ada apa?”
“Di sini baru
saja ada gempa. Apakah ada gempa susulan?”
“Hmmm, tunggu.”
Aku mendengar suara gumaman di sana-sini. Kyler pastilah sedang ada di kantor.
Bagus.
“Kenapa lama
sekali?”
“Karena aku baru
dari toilet, Idiot,” balasnya dan aku tertawa. “Ok, aku sudah di lokasi. Gempa
berskala 3.4 sr di bagian timur, kedalaman dua km. Tidak. Tak ada aktivitas
akan ada gempa susulan. Gempa kali ini cuma gempa biasa. Meskipun begitu, kau
harus berhati-hati di sekitar gunung dan kawah. Aku mendapati adanya
tanda-tanda peningkatan status jaga.”
“Ky, aku cuma
butuh jawaban ya atau tidak, bukan ilmu pengetahuan soal Geologi.”
“Ups, sori. Aku
keceplosan. Tak ada masalah Jeremiah. Status aman terkendali.”
“Ok, thanks.”
“Dan Jeremiah?”
Aku kembali
meletakkan ponsel ke telinga. “Apa?”
“Aku rindu
Cody.”
Aku mendesah.
“Akan kusampaikan pesanmu.” Dia mengucapkan terimakasih dan aku segera menutup
telepon. Berkat orang tua sialan seperti orang tua Cody, banyak saudara yang
menyayangi saudaranya dengan tulus, terpaksa tak bisa bertemu. Sejak Cody
meninggalkan rumah orang tuanya, sebisa mungkin mereka menjauhkan Cody dari
adik-adiknya.
Kasihan Cody.
Untuk menghindari amukan kedua orang tuanya, dan tak ingin dicap sebagai anak
durhaka—juga tak ingin membuat nama adiknya tercemar—Cody memutuskan untuk
tidak berhubungan dengan mereka.
Dengan masalah
seperti itu, dia tetap bisa tertawa. Bagaimana mungkin aku membencinya?
Bagaimana mungkin aku meninggalkannya sendiri? Dia itu idolaku—seperti apapun
dia.
“Bagaimana?”
Fran bertanya.
“Tak ada gempa
susulan. Kita bisa pergi sekarang.”
Fran mengangguk.
Kami segera naik ke atas mobil. Fran mengemudi dengan Oliver di sampingnya.
Gabrielle segera memeluk pinggangku lagi, dan aku punya perasaan kuat dia tak
akan melepaskanku sepanjang perjalanan.
Well, itulah yang terjadi. Baru setengah
jam kami mengemudi, Gabrielle sudah tertidur di pangkuanku. Aku membuka
mantelku dan menyelimutinya. Wajahnya tampak tenang. Ketakutannya sudah hilang.
Jemariku menyapu
rambut kemerahan Gabrielle sehingga wajahnya yang pucat kelihatan.
Ini bukan
pertama kalinya aku melihat wajah ini. Aku juga pernah melihat wajah ini
delapan tahun yang lalu, saat Cody dan aku nekat masuk ke bangunan runtuh yang
nyaris rata dengan tanah.
Cody bilang
kalau dia mendengar suara seseorang. Aku mengatainya gila. Tapi ini Cody. Jika dia tahu apa yang dia dengar,
dia akan mencari tahunya sendiri. Dengan ngeri aku melihatnya masuk ke celah
beton, melewati besi, rangka, dan kawat-kawat yang mencuat dan mampu
membunuhnya, lalu aku mengikutinya dari belakang, menyumpah-nyumpah akan
membunuh Cody. Jika karena ini kami tergencet, maka aku akan mencekiknya sampai
mati.
Tapi aku tak
menyangka bahwa Cody benar. Ada suara dari dalam. Suara nyanyian. Amazing Grace. Sangat indah. Tapi itu
lagu untuk pemakaman. Benakku sudah melantur kemana-mana karena nyanyian itu
berulang terus walau kami sudah mencari selama satu jam. Dengan susah payah
menyingkirkan bebatuan, melompati puing-puing beton, menyelipkan diri di anrara
bangunan. Tiap kali mendengar nyanyian itu, aku merasa bahwa kematianku begitu
dekat. Dewa kematian seakan memanggilku.
Hanya saja
Cody—Cody yang itu--tetap saja tak
peduli. Semakin lemah suara itu, dia justru semakin gesit. Dengan dahi
berkeringat, napas tersenggal, tangan penuh debu, dan baju kotor dengan tanah,
dia tetap gigih mencari, jadi aku tak bisa berkata-apa untuk menghentikannya,
dan semakin dikuatkan. Jika ada Cody, aku akan baik-baik saja. Dia punya
Dewa—karena dia homo—Keberuntungan yang jatuh cinta padanya dan mengekorinya
kemana-mana, jadi tipis sekali kemungkinan bagi kami untuk mati.
Kemudian kami
melihatnya. Ada seorang anak kecil terjepit di antara dua dinding beton.
Dinding yang satu nyaris jatuh menindihnya, hanya saja dinding yang lain
menahannya. Aku tak menyangka bahwa anak itu masih mampu bertahan dalam keadaan
seperti itu untuk bernyanyi meski sekarang hanya dalam bisikan karena
dehidrasi, hiportemia, kekurangan oksigen, dan kelelahan. Luar biasa sekali
anak itu masih hidup.
“Remi, kau
pegang kedua sisinya, sementara aku menariknya keluar.”
Mataku melotot.
Apa kau gila? Aku tak bisa menahan dua dinding seorang diri. Aku bukan Atlas
atau Hercules. Kau bisa saja ikut tertindih.”
“Dua detik,
Jeremiah.”
Cody tidak
mendengarkanku dan memerintahku menggunakan namaku. Tak ada lagi tawar-menawar.
Dalam dua detik hanya ada tiga kepastian: kedua tanganku remuk, Cody ikut
tertindih bersama anak itu, atau kami selamat.
“Siap?”
Kedua tanganku
memegang kedua dinding. Kakiku mengambil posisi mantap untuk berdiri sementara
Cody ada di celah kakiku, memegangi lengan anak itu.
“Satu dua tiga!”
Aku mengertakan
gigi, mengerahkan seluruh kekuatanku. Urat-urat nadiku ikut menonjol keluar
sementara kedua telapak tanganku berusaha untuk menggeser kedua dinding, yang
sialnya tak mau bergerak sampai—
Dug!
Cody ikut
mendorong dengan kedua kakinya. Mataku melotot ngeri melihatnya sekarang dalam
posisi telentang di anatara dua beton di atasnya, siap mati sementara kedua tangannya berusaha
menarik anak itu keluar.
“Dorong lagi,
Jeremiah!”
“Cody, kubunuh
kau kalau kau mati!”
“Oh, tenang
saja, kau akan menyusul seratus tahun lagi, dan selama itu pula aku akan
menggentayangimu.”
“CODY!
Bisa-bisanya kau bercanda di saat seperti ini!” Aku berteriak jengkel,
kemarahanku menjadi-jadi dan itu memberi tenaga ekstra.
Dinding itu
mulai bergeser dan saat itu pula Cody menarik anak itu keluar dan aku melepas
peganganku tepat saat kedua dinding itu bertubrukan dan jatuh berdebam. Debu
dan pasir berjatuhan di atas kami.
Aku meninju Cody
begitu tahu kami masih hidup. “Damn! Kupikir kau tadi mati! Jangan lakukan itu
lagi!”
Cody
terbahak-bahak, memegang pipinya yang sedikit memar karena kutinju. Bagaimana
mungkin dia bisa tertawa seperti itu?
“Kau gila Cody!”
“Dan kau juga
ikutan gila.”
Aku menatapnya dan
dia ikut menatapku. Lalu kami berdua terawa dua detik kemudian. Aku menggendong
anak itu keluar dari bangunan sementara Cody yang mempimpin jalan. Tubuh anak
itu begitu kecil dan rapuh sekali. Kami berhasil keluar dari reruntuhan dan
mendapat omelan dari pihak berwajib dan tim sar, karena sembarangan masuk ke
bangunan runtuh tanpa orang terlatih, lalu akhirnya memberik kami ucapan
terimakasih.
“Kasihan anak
itu,” kata Cody setelah ambulan membawa anak itu pergi. “Dia sendirian di dalam
sana.”
Lalu, sekarang
aku bertemu lagi dengannya. Anak ini sudah sedikit lebih besar tapi tetap saja
masih begitu rapuh. Cody juga masih mengingatnya.
“Aku tak tahu
apakah ini takdir atau tidak,” kata Cody sewaktu aku masuk ke kamarnya sebelum
akhirnya diusir olehnya. “Tapi aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan anak
kecil yang kuselamatkan delapan tahun lalu.”
“Dunia ini
sempit,” kataku.
Yeah, sempit sekali, pikirku mengusap
kembali kepala Gabrielle. Aku menyukai sentuhanku terhadap rambutnya yang
lembut melewati jemariku. Tubuhnya yang mengambil napas naik-turun secara
perlahan dan teratur. Memar di dahinya yang membiru sudah diolesi salep. Aku
tak puas sama sekali. Aku tak suka ada memar di wajahnya.
Kenapa? Well alasan yang sederhana karena
wajahnya terlalu tampan. Aku takut ada bekas luka pada wajahnya. Aku sudah
sering melihat Cody yang wajahnya terluka karena harus menjadi Jendral Perang
tiap kali ada perkelahian dan aku tak sudi anak ini juga mengalami hal yang
sama.
“Jeremiah.”
Suara Fran membuatku mengalihkan perhatian.
“Apa?”
“Sampai kapan
kau akan bertengkar terus dengan Cody? Kau harus minta maaf padanya.”
Dan dia selalu
membawa-bawa hal yang bukan urusannya. “Dengar, Profesor,” kataku dengan nada
yang cukup terganggu, meski suaraku pelan sekali untuk tak membangunkan
Gabrielle, “aku sama sekali tak melakukan apapun pada Cody. Dia hanya terlalu
berlebihan dalam menanggapi situasi.”
Temanku yang tak
tahu berterima kasih itu, pikirku geram, dia sama sekali tak berpikir seberapa
sulitnya aku mendapatkan video itu dan malah menendangku dengan sekuat tenaga.
Aku tak akan minta maaf padanya. Tak akan! Aku berusaha menyembuhkan masalah
kecilnya dan dia malah menendangku. Beri Cody waktu beberapa hari untuk menenangkan
diri dan instopeksi diri tentang hal yang telah dia lakukan padaku, lalu dia
bakal bicara sendiri padaku lalu minta maaf.
Selalu seperti
itu.
Lalu hidupku
akan kembali berjalan lancar tanpa hambatan.
“Aku tak percaya
sepatah katapun yang kau katakan,” tukas Fran dan aku melihatnya mendelik dari
spion depan. “Aku mengenal Cody dan aku tahu kaulah yang bersalah.”
Darahku seakan
mendidih. “Dan kau pikir kau tahu tentang aku? Apa kau sekarang mulai
menghakimi orang lain dari covernya?
Aku mau tahu julukan apa lagi yang akan kau berikan padaku setelah Rapist. Aku
mungkin tak akan kaget bila kau memanggilku sebagai Gigolo karena kau sama
menyebalkan seperti barkot Idiot Human
yang terdiri dari dua kategori: Bodoh dan Picik.”
“Jeremiah!”
Fran meninju
setir dan klakson berbunyi nyaring, mengagetkan Gabrielle yang melonjak kaget
meski matanya masih mengantuk.
“Huh?” Gabrielle
berkata lelah dan Fran menelan ludah, menyadari suaranya, karena dia segera
menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan Oliver beringsut tak
nyaman.
“Tidak apa-apa,”
gumamku kembali memeluk Gabrielle yang mengambil posisi nyaman untuk kembali
tidur. “Sssh... kau aman bersamaku.” Begitu aku kembali mengusap rambut
Gabrielle, dia kembali tenang dan tidur dengan pulas.
Aku melotot pada
Fran di spion dan dia balas melotot padaku. Kenapa Cody tahan bersamanya aku
sama sekali tak tahu.
Menyandarkan
punggungku, aku menahan diri untuk tak keluar dari mobil dan meninju Fran.
Semakin lama aku semakin sulit untuk menahan diri.
***
GABRIELLE(POV)
Begitu aku
bangun, hari sudah sore dan Oliver tak kelihatan lagi. Jeremiah bilang dia
sudah diturunkan di stasiun terdekat. Tangan Jeremiah menyapu rambutku saat aku
menggeliat dan bangun dari tidur panjang yang nyenyak sekali. Aku belum pernah
tidur sedamai ini sebelumnya.
“Kita akan
sampai sebentar lagi.” Fran memberitahu dari depan.
Mataku
memerhatikan tingkahnya yang sedari tadi mengerutkan dahi. Begitu kulihat
Jeremiah, pria itu juga melakukan hal yang sama. “Apa kalian bertengkar lagi?”
Jeremiah
menghela napas. “Tidak. Kami cuma berselisih paham.”
“Itu juga sama
saja. Kenapa kalian tak pernah akur?”
“Aku tak suka
padanya,” kata Jeremiah.
“Aku juga tak
suka padamu,” balas Fran dari depan.
“Aku tak suka
kalian berdua bertengkar,” kataku, melipat tangan dan melihat keluar jendela.
Baik Fran dan Jeremiah kudengar menghela napas. Tapi mereka sama sekali tak
mengatakan apa-apa dan hal itu semakin membuatku jengkel.
Sisa perjalanan
kuhabiskan melihat keluar jendela. Pemandangan di luar bagus sekali. Pepohonan
sudah banyak berwarna indah. Mobil kami melewati pepohonan berdaun kuning,
merah, dan hijau di sisi jalan. Sebagian dari daun-daun itu sudah berguguran di
jalan. Orang-orang yang berjalan di pinggir jalan tampak bergembira ria
menyambut musim gugur, mengenakan pakaian mereka yang lebih tebal.
Ini luar biasa.
Untuk pertama kalinya aku melihat dunia selain sekolah dan rumah. Untuk pertama
kalinya aku mengenal hal lain selain rumah dan sekolah—juga panti asuhan. Untuk
pertama kalinya aku bahagia, melupakan kota tempat aku tak memiliki teman, dan
bisa berlibur bersama Jeremiah dan Fran—keluargaku.
“Kau tersenyum,”
Jeremiah menunduk ke dekat wajahku saat aku menoleh padanya. Aku mengerjap
bingung. “Dan itu bukan senyuman Monalisa.”
“Aku masih marah
padamu,” kataku dan kembali melihat keluar jendela.
Jeremiah
mendesah tapi tak mengatakan apa-apa. Meski begitu dia tetap tak beranjak di
sampingku, melainkan mengalungkan tangannya di bahuku jadi aku bisa bersandar
dengan nyaman.
Beberapa puluh
meter di depan, aku melihat sebuah rumah kecil beratap merah dengan cerobong
asap mengepul. Rumah itu bertingkat dua dengan batu-batu besar dan jendela kayu
yang primitif. Dinding-dindingnya berwarna merah bata, tersusun dengan sangat
rapi sehingga tampak seperti sebuah marmer kokoh. Di separuh bagian dinding ada
tumbuhan menjalar, nyaris mengenai seluruh bagian pinggir. Di sekitar bangunan
itu banyak pohon yang berdiri tegak dan besar, dengan batang-batang kokoh dan
akar berurat banyak; dan bunga berwarna-warni yang masih bermekaran sedikit
meski beberapa di antaranya sudah menguncup; sebuah bel kecil tertempel di
dekat pintu. Ada sebuah gerbang kayu di depan yang dihiasi dengan pagar tanaman
tinggi.
“Wow,” desahku
tak percaya. Rumah ini seperti rumah fantasi.
“Itu rumahku.”
Fran memberitahu dari depan. “Sebenarnya itu rumah orang tuaku tapi karena
mereka sudah meninggal, secara teknik itu jadi rumahku.”
“Kau tak berniat
menjualnya?” Jeremiah bertanya.
“Tidak. Aku
menyukai rumah itu. Ada banyak kenangan di sana.”
“Aku bisa
mengerti.”
Jeremiah turun
untuk membuka gerbang. Tapi karena aku tak sabar aku juga ikut turun. Aku suka
rumah ini. Fran tak pernah bilang kalau dia memiliki rumah seperti ini. Seperti
apa dalamnya?
“Ups,” Jeremiah
menangkap pinggangku yang tersandung akar pohon begitu melangkah melewati
halaman. “Hati-hati.”
Aku nyengir dan
segera melompat dari pegangannya begitu kakiku tegak kembali. Dengan segera aku
naik ke atas undakan batu, menuju pintu depan, memasukkan tanganku ke kantong celana,
mengeluarkan kunci yang diberikan Fran padaku kemarin.
Dia bilang kalau
aku boleh memiliki sebuah rumah. Aku tak menyangka dia memberiku rumah seperti
ini.
Memutar kunci
pintu yang menceklik primitif, aku mendorong pintu dan melihat untuk pertama kalinya
kondisi rumah itu dan aku ternganga.
“Fran,” kataku
menoleh pada Fran yang turun dari mobil dengan senyuman di wajahnya. Aku
melompat turun dan berlari menyongsongnya kemudian memeluknya erat-erat. “I love you, Papa. Thank you.”
Baru kusadari
bahwa pria ini mencintaiku dan peduli padaku lebih dari siapapun di dunia ini.
Dan aku merasa
senang dan berterimakasih pada Tuhan karena sudah mengirimkan satu orang yang
membuat hidupku berubah.
“I love you too, Son.”
***
FRAN(POV)
“Mr Cattermole,
saya sudah mendengar dari asisten saya bahwa Anda ingin mengangkat seorang
anak. Saya tahu Anda akan jadi orang tua yang hebat. Tapi, apa Anda yakin? Anda
masih single kan?” Miss Helenn Khan
bertanya padaku saat kami berjalan-jalan di pinggir halaman untuk melihat
anak-anak asuhnya bermain bola di halaman.
“Saya yakin, Ms
Khan,” kataku pelan. “Saya suka anak-anak.”
“Helenn,”
katanya. “Panggil Helenn saja,” ucapnya menyelipkan rambutnya ke telinganya.
Aku tersenyum
kecil dan mengalihkan pandangan ke seluruh lapangan. Anak laki-laki bermain
bola dengan semangat. Mereka berlari, berkeringat, penuh lumpur, dan
terengah-engah mengejar bola kuning yang menggelinding di rumput. Anak
perempuan tampak berkelompok, bermain dengan boneka, ada yang bermain lompat
tali, kejar-kejaran dan tepuk-tepukan.
“Saya tak
menyangka bawa Anda suka anak-anak. Pria seperti itu jarang ada.”
Aku tak terlalu
mendengar apa yang dia katakan, karena, tepat saat itu, mataku melihat sosok
berambut merah yang duduk sendirian di rumput, mengenakan kaos biru dan sedang
memandang langit tanpa ekspresi.
“Anda tak
keberatan dengan makan malam kan?”
“Siapa itu?”
Ms Helenn
mengerjap. “Huh?”
“Siapa anak itu?”
Aku menunjuk ke arah anak remaja yang berhasil mencuri hatiku dalam sekejap.
Dalam detik yang sama saat aku melihatnya, aku tahu aku ingin menjadi
penopangnya. Aku ingin berada di sampingnya saat dia menangis, bahagia,
menderita, tertawa—semuanya. Aku ingin dia berbagi bebannya padaku dan aku
ingin menjadi pelindungnya. Aku sadar bahwa aku menyayanginya detik itu pula
dan bisa mati bila tak bisa bersamanya.
“Namanya
Gabrielle McKanley. Usianya 14 tahun. Kedua orang tuanya meninggal dalam gempa
besar delapan tahun lalu. Dia sedikit bermasalah.”
“Bermasalah?”
“Ya,” Ms Helenn
mengangguk kaku. “Ini bukan pertama kalinya ada orang seperti Anda yang ingin
mengangkatnya jadi anak. Sudah enam kali dia diadopsi dan enam kali pula dia
dikembalikan kemari.”
Ini
mengejutkanku. “Kenapa? Apa dia berbuat sesuatu? Dia tak tampak liar di mataku.”
“Tidak, tidak.
Gabrielle anak yang baik. Hanya saja dia tak mau bicara.” Ms Helenn menatapnya
dengan prihatin. “Para orang tua kesulitan dengan sifatnya. Karena dia tak mau
bicara, mereka frustasi. Gabrielle juga tak banyak membantu. Kami masih sangat
sulit membuatnya berinteraksi.”
“Boleh saya
bertemu dengannya?”
Wanita itu
menatapku dengan raut wajah tak yakin. “Mr Cattermole, saya harap Anda tahu apa
yang Anda lakukan. Tempat ini bukan Kid-Mart, tempat Anda mengambil anak yang
Anda inginkan lalu dikembalikan lagi saat Anda bosan. Anda akan menyakiti
hatinya bila Anda berbuat begitu. Kami ingin orang tua yang serius memikirkan
kebahagiaannya. Bukan seseorang yang hanya memberi harapan palsu.”
“Ms Khan,”
kataku tenang. “Saya ingin Anak itu.”
Wanita itu
mendesah. “Saya tak bisa memberikannya langsung pada Anda. Kami sudah banyak
mengalami kesulitan mengenai tingkah Gabrielle.”
“Kalau begitu,
bagaimana bila saya diberi kesempatan selama seminggu? Jika Gabrielle dan saya
nyaman untuk berinteraksi, kalian harus mengijinkan saya mengadopsinya.”
Ms Khan
menatapku kurang lebih selama sepuluh detik, lalu pada akhirnya mengangguk dan
membawaku untuk diperkenalkan pada Gabrielle.
“Gabrielle,” Ms
Khan berkata lembut. “Seseorang ingin bertemu denganmu.”
Gabrielle
menengadah dan untuk pertama kalinya aku melihat mata paling indah yang pernah
kulihat, sekaligus mata paling hampa seakan tak punya emosi.
“Hai, Gabrielle,”
kataku mengulurkan tangannya. “Namaku Fran. Izinkan aku jadi Ayahmu.”
Dia menatap
uluran tanganku dalam diam, lalu menjabatnya meski tidak mengucapkan apapun.
Sejak hari itu,
selama seminggu penuh aku bolak-balik datang ke panti asuhan hanya untuk
melihatnya, mengajaknya mengobrol dan berbicara dengannya—atau berusaha
membuatnya bicara padaku. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan. Gabrielle
benar-benar menutup dirinya. Dia sama sekali tak peduli dengan apa yang
kukatakan. Tapi aku tak menyerah. Akhirnya, setelah masa seminggu itu aku harus
menelan kekecewaan bahwa aku gagal.
Ms Khan benar.
Aku tak bisa menjadi Ayahnya Gabrielle bila dia tak berinteraksi denganku.
Pasti ada orang lain yang akan menjadi orang tua untuknya.
“Maaf sekali, Mr
Cattermole. Saya tahu Anda kecewa, tapi kami tak bisa memberikan Gabrielle pada
Anda. Kami tak bisa membiarkan Gabrielle disakiti lagi.”
Aku tersenyum
kecil. “Tidak apa-apa. Saya mengerti.”
Setelah hari
itu, aku tak bertemu Gabrielle. dan aku merindukannya. Dua hari setelah itu,
aku mendapatkan telepon dari Ms Khan yang mengatakan bahwa Gabrielle mencariku.
Mendengar ini, aku senang sekali. Tubuhku seakan disiram oleh air hangat yang
nyaman.
“Kenapa kau tak
datang kemarin?” Gabrielle bertanya saat aku memunculkan diri di hadapannya.
“Aku—”
“Apa kau tak mau
membawaku?”
Pertanyaan
polosnya membuatku nyaris menangis. Lalu yang kulakukan selanjutnya, aku
memeluknya. Bahkan Gabrielle sama sekali tak mau melepas tanganku saat aku
menandatangi surat persetujuan dan formulir pengadopsian Gabrielle.
Kini cara dia
memelukku sama dengan cara dia memelukku sebulan yang lalu. Begitu erat dan
penuh cinta. Aku menyayangi Gabrielle. Aku mengasihinya. Aku mencintainya.
Dia putraku.
Dan aku senang
dia ada saat ini, di sini.
“Aku mau
berkeliling,” kata Gabrielle bersemangat. Dia melepas pelukanku kemudian masuk
lagi ke dalam rumah.
“Good job, Little Papa,” kata Jeremiah
yang menurunkan barang-barang kami. “You
did it well.”
Wajahku merona.
Ini pertama kalinya Jeremiah memujiku dan rasanya aneh sekali. Perutku seakan
dipenuhi dengan kupu-kupu yang beterbangan. Bibirku tersenyum dan Jeremiah
balas tersenyum. Aku melihat sekali lagi pintu rumahku dimana Gabrielle
menghilang dan merasa bahagia.
“Ajak Gabrielle
keliling. Aku akan membawa barang-barang masuk.”
“Ok.” Aku
melangkah masuk dan Jeremiah memanggilku lagi.
“Ngomong-ngomong,
Fran, terima kasih kembali,” katanya.
“Oh,” aku
mengerjap. “Terima—” Jeremiah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruhku untuk
cepat-cepat menyusul Gabrielle. Aku tersenyum lagi, kemudian masuk ke dalam
rumah.
Gabrielle tengah
terkagum-kagum dengan perapian batu yang terukir di dalam rumah dengan tungku
di atasnya. Dia menengadah saat melihatku dan menarik tanganku untuk naik ke
lantai atas.
Rumah ini adalah
rumah orang tuaku, tempat dimana aku lahir dan dibesarkan dengan kasih sayang.
Ada dua kamar di rumah ini. Yang pertama adalah kamar orang tuaku, yang berada
di dekat lorong belakang. Kamar itu luas dengan tempat tidur berukuran king size yang dihiasi dengan
pemandangan musim gugur yang indah di luar jendela.
Lalu yang
terakhir adalah kamarku. Tidak begitu besar tapi nyaman. Sebuah single bed terletak di sudut jendela
dengan meja belajar dan lemari berdiri dekatnya. Aku tak memiliki peralatan
elektronik karena Almarhum Ayahku seorang electrophobia.
Jadi satu-satunya teknologi yang ada di rumah hanya telepon dan lampu.
Yep. Rumahku memang
primitif. Yang mengherankan, aku justru jadi Profesor teknologi.
“Aku tidur di
sini.” Suara Jeremiah terdengar di belakangku. Dia bersedekap, menaikan alisnya
begitu melihat sekitar kamarku. “Kecil sekali kamar tamumu.”
“Ini kamarku,”
kataku.
“Kau tinggal di
sarang seperti ini?”
“Keren kan? Aku
suka di sini,” Gabrielle berbicara, membuatku tak membalas cacian yang
dilontarkan Jeremiah. Tapi aku berhasil memelototinya, meski Jeremiah tak
peduli. Malah, pria itu melemparkan dirinya ke atas tempat tidur.
“Well, untuk beberapa hari aku akan
bersabar tinggal di sini. Kapan kalian kembali?”
Gabrielle
melompat ke atasnya. “Kau mau liburan bersama kami?”
“Aku sudah lama
tak cuti, jadi kupikir tak masalah. Anak muda, turun dari tubuhku sebelum
tempat tidur ini ambruk.”
Tapi Gabrielle
tak mendengar. Dia malah bersorak “Yay!” sambil memeluk Jeremiah.
Jeremiah memutar
bola mata dan tersenyum kecil. “Fran, aku lapar,” katanya tiba-tiba. “Masakkan
sesuatu untukku. Dan kalau kau tak keberatan, belikan baju ganti untukku untuk…”
dia berhenti, mengerutkan dahi, “seberapa lama kita di sini.”
“Kau ikut kami
belanja,” kata Gabrielle.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kau sih enak
tidur. Aku kan kerja sepanjang hari dan menyetir setelahnya. Aku tak mau. Aku
mau tidur di sini.”
Gabrielle
merengek lagi, tapi Jeremiah membalikkan badannya.
“Aku benci
padamu!” gerutu Gabrielle. Dia turun dari tempat tidur kemudian menggandeng
tanganku. Kami berdua meninggalkan Jeremiah sendirian. “Malam ini kita makan
apa?”
“Hmmm,” aku
bergumam saat kami turun tangga pelan-pelan. “Bagaimana kalau seafood?” Aku mengingat perkataan
Jeremiah sewaktu menelepon pacarnya dan tiba-tiba ingin memasak seafood untuknya.
“Kelihatannya
enak.”
***
MEDAN Sabtu 2 Agustus 2013
8 komentar:
kyaaaaa...
saya sangat-sangat menunggu cerita ini... hampir setiap hri bolak-balik ke blog ini berharap uda publis...
dan demi udelnya jaejoong yang seksoh...omigott...fran-remi-gaby-oliver,astgaa... mereka semua menggemaskan kyaaaa
Aku tidak menyangka ternyata remi dan cody pernah bertemu dengan gaby sebelumnya, menyelematkan gaby, hoaaaaa...benar-benar kejutan.
pantesan aja ---secara naluriah-- gaby langsung merasa nyaman dengan remi dan cody >.<
hoahhh suka suka suka...ya ampunnn...arghhhh..ini cerita pertama yang tentang homo..benar-benar mengarah kearah sana yang membuat saya tertarik...kamu mengemasnya dengan menarik... :D
ditunggu part selanjutnya dear...
bagaimana liburan mereka bertiga? dan astaga...saya menunggu moment remi-fran berdua *ketawaSetan AHAHAHAHHAHA
ShinHyesun :D
MUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAMAJAAAAAAAAAAAAAA
Saya juga ikutan ketawa setan
Kereeen...!!!
akhirnya update,
ceritanya keren seneng juga sedih,
ampe nangis pas bacanya,palagi pas bagian gabrielle nyanyi buat daddynya, jadi keinget pas gempa, untungnya rumah cuma satu lantai dan bisa keluar,
ditunggu kelanjutannya, pleas remi-fran lebih romantis lagi *wink
Thanks for uploading it on wattpad:) I do really appreciate it. And hope you'll be able to update the next chapter very soon.. I'll wait for it. Luv remi-fran + gabrielle. And I'm sorry to say this but I don't feel comfortable with oliver present between the three of them, I'm not saying you should get rid of him from this story I'm just saying that I don't like him.. Gabrielle had start to communicate and accept Fran to his life, and I don't want just because of Oliver their relationship to estranged again. Anyway keep moving to write the updates..
-luv TBMB
@Anonim pertama: Ty, Dear
Yep, part bagian itu emang bikin saya sedikit merasa bersalah pada Gabrielle, tapi sedikit loh ya :D
@Anonim kedua: Yw, dear.
Nope.
Oliver has his own. I don't know what part I should write him. Even now, he's not appear a lot, yet.
Yep, Gabrielle will and without anybody's help. He has his own strength
Its the 2nd anonymous here. The forth chapter on Wattpad was awesomely amazing but Im not posting to comment about the update. I would like to ask something, in the synopsis you said that Remi will be marrying someone that he loved. It just that you haven't touch anything on it make me curious to death to know who's the girl that get into Fran&Remi relationship. I know Fran&Remi were not official yet or mayB its not going to be official(praying Im wrong) but I really would like to know obout her and make her past quickly to read the happy, lovely, unpredictable and romantic ending between Fran&Remi. And of course Gabrielle too. Luv them all, and keep up writing the next chapter soon:)
PS: not hoping the story to over soon or else Im gonna death with the reason missing them.
-luv TBMB
Yep he is
you‘ll find who the lucky girls is in chap 5 or 6. I dont remember which chap she‘d be appeared. But yeah... soon. Just stay on lol
Posting Komentar