RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 11 September 2013

TBMB [02]



02
Home
==========

FRAN(POV)
Aku tak menyangka Jeremiah benar-benar datang. Tempat kami berpuluh-puluh mil jauhnya dari tempatnya dan dia datang dua jam kemudian. Jeremiah yang turun dengan stelan kantornya membuatku tak bisa berbicara, bernapas, ataupun bergerak. Maksudku aku tak seharusnya begitu tapi begitu melihat penampilannya membuatku menahan napas.
Dia tampak tampan dengan jas kantor hitam dan dasi tak terpasang dengan rapi di lehernya. Rambutnya berantakan sementara mantelnya berkibar. Dia masih mengenakan kacamata—yang mungkin lupa dia lepas karena begitu terburu-buru untuk menyusul kami—membuatnya jadi tampak lebih cerdas. Sepatu bootnya menginjak tanah berdebu.
Jeremiah seperti super hero.
“Mereka sudah tak apa-apa, Jeremiah.” Dokter Wanita yang memeriksa kami tersenyum penuh goda pada Jeremiah, membuatku menggertakan gigi. Aku tak suka ada orang yang tidak berkonsetrasi pada pekerjaaannya bila di samping seseorang. Tapi begitu melihat Jeremiah mengalihkan pandangannya pada Gabrielle dan tidak menggubris wanita itu, aku tersenyum kecil. Kepeduliannya pada Gabrielle benar-benar tulus.
“Anak malang,” gumam Jeremiah meyingkirkan rambut di dahi Gabrielle sehingga memar kebiruan di wajahnya terlihat. “Wajahmu yang tampan jadi biru begini.”
“Dia akan sembuh, Jeremiah. Memarnya akan hilang dalam waktu seminggu.” Wanita itu mengalihkan perhatiannya lagi. Jeremiah memang selalu menarik perhatian wanita. Aku tak perlu kaget. Tapi kenapa aku merasa kecewa saat dia tersenyum pada wanita itu?
“Daddy,” kata Gabrielle, tiba-tiba memeluk pinggangnya.
Aku mengerjap. Gabrielle memanggilnya apa?
Dokter itu membatu. “Daddy? Jeremiah, kau sudah em... menikah?”
Jeremiah menggeleng. “Anak ini anaknya,” dengan polos Jeremiah menunjukku. “Anak ini cuma senang memanggilku dengan Daddy.”
Wanita itu menatapnya dengan tak percaya. “Dan kau membiarkannya begitu saja?”
“Memangnya kenapa?”
Sekali lagi wanita itu kaget. Dia lalu menatapku dengan sebal kemudian ganti menatap Jeremiah. Aku merinding begitu dia berkata, “Jeremiah dia laki-laki. Kau laki-laki!”
Jeremiah memiringkan kepalanya. Tak mengerti. Sepertinya perhatiannya hanya pada Gabrielle karena Jeremiah buru-buru bilang, “Lebih baik kami segera pergi. Gabrielle harus makan siang.”
Gabrielle tersenyum kecil pada wanita itu. Sebuah senyuman kemenangan yang mirip sekali dengan yang diberikannya pada Jeremiah saat dia melihat Jeremiah. Kalau tak salah Jeremiah menyebutnya sebagai—
“Senyuman Monalisa.”
Aku melonjak mendengar suara Oliver di sampingku. Anak muda itu sudah berpakaian lengkap. Berbeda dengan kami yang cuma memar kecil, rupanya ada memar lain di punggung dan bahunya.
“Aku tak menyangka kalau Gabrielle mampu tersenyum seperti itu.”
Aku juga tak menyangka, tapi aku tak mengatakannya dan malah memilih keluar mengikuti Jeremiah untuk mengambil obat, lalu naik ke mobil.
“Ok, begini rencananya,” kata Jeremiah sebelum menyalakan mesin. “Kita makan siang lalu mengantar kalian ke tempat tujuan dan kau akan turun di tengah jalan begitu sampai di stasiun bus.” Dia melirik Oliver dengan tak suka.
“Jeremiah, aku sudah bilang kami tak keberatan naik kereta.”
“Aku tak mengijinkan,” Jeremiah mendelik jengkel. “Aku sudah cukup ngeri melihat kalian nyaris mati. Aku tak ingin mengalaminya lain kali. Selama aku masih hidup, aku tak mengijinkan kalian naik kereta lain. Aku sendiri yang akan mengantar kalian. Aku tak percaya orang lain yang mengantar kalian kecuali aku—dan Cody,” tambahnya pelan. “Meskipun begitu, seluruh jalur kereta akan memutar sebelum bangkai kereta disingkirkan. Itu artinya tak ada jalur selama 10 jam ke depan.”
Kami bertiga mengerjap kebingungan. Terkaget dengan informasi yang diberikannya. “Darimana kau tahu?” tanyaku keheranan.
“Aku dewa informasi. Aku tahu segalanya.”
Lalu dia menghidupkan mesin mobilnya, mengabaikan tawa Oliver dan cengiran Gabrielle.

***

Jeremiah memutuskan kami makan di restoran keluarga dimana pemiliknya ternyata teman lamanya juga.
“Berapa banyak teman lama yang kau punya?” Aku bertanya penasaran. Aku tahu Jeremiah memang populer. Tapi bukankah itu terlalu banyak?
Jeremiah mengangkat kedua bahunya dengan kasual dan duduk di meja dekat jendela, dengan Gabrielle di sampingnya. Oliver duduk di seberang Gabrielle, dan aku di seberang Jeremiah. Kami memesan makanan yang datang tak lama kemudian.
“Jeremiah, kupikir kau tadi bersama Cody,” kata pria yang katanya pemilik tempat ini.
“Cody dalam status PMS.”
Pria itu terbahak. “Kau pasti melakukan sesuatu padanya kan? Coba beritahu aku apa yang dia lakukan padamu? Meninjumu? Menendangmu? Terakhir kali aku melihatnya marah padamu, kau nyaris tak mampu bangkit dari brankar rumah sakit setelah dia membantingmu keluar dari kamar mandi saat kau masuk ke kamar mandi dengan paksa ketika dia sedang mandi. Dan aku tak akan kaget mendengar berita kematianmu yang dibunuh Cody.”
Baik aku, Oliver, dan Gabrielle menatap Jeremiah. Orang sekecil Cody mampu membanting Jeremiah?
Jeremiah mendengus. “Hmph! Kau tak perlu tahu kalau kau tak mau Cody melakukan hal yang sama padamu. Urus saja isteri dan selingkuhanmu dan jangan ganggu aku.”
Pria itu terbahak. “Jika kau punya waktu, kau harus mengumpulkan teman-teman dari masa lalu. Mereka merindukan kalian tahu.” Setelah menepuk bahunya, pria itu berlalu untuk melihat tamu yang lain.
“Cody sekuat itu?” Gabrielle bertanya penasaran.
“Dia itu sekuat banteng yang mengamuk, jika sudah marah mematikan seperti nil, dan cepat seperti elang.” Jeremiah tersenyum menyebalkan padanya. “Walau tampangnya seperti malaikat, dia bisa menjadi iblis jika dia mau. Jadi jangan coba-coba membuatnya marah.”
“Kurasa aku mengerti,” kataku. Jeremiah mendelik padaku. Matanya seolah mengatakan “jangan coba-coba mengatakan apapun” dan aku tak berani membantah.
Pesanan kami datang dan kami makan dengan lahap. Aku mengobrol dengan Oliver sementara Jeremiah mengobrol dengan Gabrielle. Sesekali, aku dan Oliver melirik Gabrielle yang tertawa begitu mendengar lelucon dari Jeremiah dan ikut membalas ucapan Jeremiah. Gabrielle tampak santai bersama Jeremiah sekarang.
“Jadi, siapa tadi namamu? Oh, ya Oliver,” kata Jeremiah mengalihkan pandangan pada Oliver yang mengerjap. Gabrielle menyipitkan mata, melirik Oliver dengan aura permusuhan, meski dia segera mengambil jusnya dan minum dengan perlahan. “Tepatnya di belahan dunia mana rumahmu? Aku tak keberatan mengantarmu sampai ke depan pintu rumahmu.”
“Oh, tidak apa-apa Sir,” kata Oliver. “Orang tuaku bilang akan ada yang menjemputku di stasiun.”
Jeremiah melirik Gabrielle. “Tentunya, orang tuamu pasti khawatir mendengar kereta yang kau tumpangi mengalami kecelakaan,” katanya lagi.
“Tentu, Sir. Tapi mereka sudah tenang karena Anda mengantarku.”
“Hmmm,” Jeremiah menopang dagunya. “Aku tak suka padamu.”
Astaga. “Jeremiah!” Aku mendesis jengkel padanya.
Tapi Jeremiah mengabaikanku dan melanjutkan. “Kau menatap Gabrielle seakan hendak memakannya. Coba beritahu padaku, apa kau naksir padanya? Apa kau gay? Bi? Aku tak butuh bantahan sekarang karena aku juga mengenal beberapa orang gay dan aku tahu dengan pasti bahwa kau tertarik pada Gabrielle.”
Mulutku ternganga mendengar penjelasan Jeremiah. Oliver tak lebih buruk. Wajah anak itu pucat dalam seketika. Gabrielle sendiri beringsut ke dekat Jeremiah dan berusaha menutupi wajahnya dengan bahu lebar Jeremiah.
“Urm,” hanya itu yang mampu diucapkan Oliver.
“Tunggu sampai dia SMA, Anak Muda. Dia terlalu muda untukmu,” kata Jeremiah lagi. “Aku bukan homophobic tapi Gabrielle masih kecil, dan kau membuatnya ketakutan. Jadi setelah pertemuan singkat kalian, kuharap kau dan Gabrielle tak perlu bertemu lagi. Itu akan memperkecil masalahku. Dan aku melarangmu muncul dan berada di dekatnya jika takdir mempertemukan kalian lagi.”
Sekarang bukan hanya Oliver yang wajahnya merah padam tapi juga aku. Bagaimana mungkin Jeremiah bisa berpikiran seperti itu? Bagaimana bisa dia tahu apa yang ada dalam pikiran Oliver? Mengapa dia bisa bertingkah seperti seorang Ayah yang protektif lebih daripada aku sendiri? Sebenarnya ayah Gabrielle, aku atau dia sih?
Sisa makan siang kami berlalu dengan kecanggungan luar biasa. Aku kasihan pada Oliver. Ok dia memang naksir anakku tapi tetap saja aku kasihan karena Jeremiah langsung menegurnya terang-terangan. Demi Tuhan dia kan masih kecil. Yang paling mengherankan, aku sama sekali tak merasa terganggu mengetahui bahwa Oliver menyukai Gabrielle.
“Kita harus bicara,” aku menarik lengan Jeremiah ke belakang restoran.
“Aku tak mau meninggalkan Gabrielle sendirian dengan anak itu.”
“Berhentilah bertingkah seperti itu. Aku tak keberatan kau melakukannya pada orang lain, tapi Oliver terlalu muda untuk mengetahui kebencianmu yang terang-terangan.” Dengan paksa aku membawanya ke belakang. Dia mengikutiku sambil menggerutu.
Well, kalau begitu dia harus terbiasa, jika dia sungguh-sungguh ingin bersama Gabrielle.” Jeremiah menyingkirkan tanganku, bersedekap dengan angkuh.
“Kenapa kau berpikir dia ingin bersama Gabrielle?”
“Kenapa? Kau homophobic?”
Dia malah bertanya balik dan aku menelan ludah. “Aku bukan homophobic dan aku tak mau membicarakan itu. Masalahnya adalah kau tak boleh bersikap sarkastik terhadap anak kecil berusia 16 tahun.”
Jeremiah mengerutkan hidungnya. “Biar kuberitahu satu hal padamu, Bung, bahwa usiaku tak lebih jauh daripadanya. Dia tidak semuda yang kau pikirkan. Baik secara fisik atau pun emosional. Siapa tadi namanya? Oh, apalah.” Dia mengibaskan tangannya dengan tak peduli saat aku hendak membantah. “Dan Gabrielle lebih muda dari kita semua dan aku tak ingin dia merasa terancam karena tatapan penuh nafsu anak muda itu. Tapi kau lebih tua daripada kami, hanya saja kau tak bisa membaca kondisi.”
Wajahku memerah. “Apa maksudmu?”
“Kau yang pertama kali membawa topik usia. Kuberitahu satu hal padamu, Gabrielle masih trauma terhadap kematian kedua orang tua kandungnya dan Oliver tak akan membuat segalanya lebih baik. Kau harusnya memberinya kasih sayang yang cukup karena aku tahu apa yang terjadi padanya.”
Aku mengerjap. Aku baru saja mendengar apa yang tak ingin kudengar. “Kau tahu apa yang terjadi pada orang tua Gabrielle? Kau menyelidiknya dari belakang?” Jeremiah mendesis dan berbalik. Aku menyambar lengannya. “Jeremiah, tunggu! Apa yang sebenarnya kau ketahui? Beritahu padaku!”
“Tidak!” katanya tegas menyingkirkan tanganku. Aku menelan ludah melihat kemarahannya. “Jika kau menganggap dirimu itu lebih dewasa daripadaku, bertingkahlah seperti itu! Dan jika kau ayah yang baik, harusnya kau bisa membacanya. Kau mengangkat anak itu jadi anakmu bukan untuk membuatnya ikut menderita bersamamu kan?”
Kemudian Jeremiah meninggalkanku. Aku menatapnya dengan tak percaya. Jeremiah baru saja menasehatiku. Dia memarahiku.
Dan aku bukannya balik memarahinya tapi malah terduduk lemas.

***

GABRIELLE(POV)

Mereka bertengkar lagi. Kedua idiot itu memang tak pernah akur.
“Kenapa kau menghindariku?” Oliver berbicara, membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Aku tak akan menyakitimu tahu.”
Yeah. Kau cuma orang asing. Aku mengangkat kedua bahuku.
“Berapa usiamu?”
Itu terlalu pribadi, aku tak akan menjawabnya, jadi aku cuma melihat keluar jendela. Mengabaikannya. Kuharap dia tahu pesanku yang mengatakan bahwa aku tak ingin berbicara dengannya atau dengan orang asing, siapapun dia.
Tapi, tidak, Oliver tak mengerti. “Kau akan membuat orang kesulitan dengan tingkahmu itu tahu.”
Dengan malas aku kembali melihatnya, sama sekali tak ingin mendengar apapun lagi.
“Bila kau cuma diam seperti itu, orang-orang akan berpikir kau bisu. Jangankan itu, mereka akan melakukan sesuatu padamu bila tahu kau menghindari mereka. Kau bukan tuli dan bisu. Aku tahu kau menghindariku. Hanya saja, tidakkah kau capek bertingkah seperti itu terus?”
Mataku menyipit dan dia menghela napas.
“Fran lama-kelamaan akan capek dengan tingkahmu.”
Dan dia akan membuangmu.
Kalimat itu muncul begitu saja di dalam kepalaku. Aku tahu hal itu akan datang cepat atau lambat. Fran akan membuangku begitu dia puas beradegan ayah dan anak ini, lalu aku akan kembali ke panti asuhan, disuruh menunggu sekian bulan, lalu akhirnya dipakaikan baju untuk dipajang, di depan para orang tua yang ingin memilih anak.
Lagi dan lagi.
Sampai aku berusia delapan belas tahun.
Luar biasa.
Itu memang hidupku.
“Kenapa kau malah tersenyum?”
Karena kau tak tahu apa-apa. Aku ingin bilang itu, tapi aku malah mengangkat bahu dan meminum jusku. Oliver orang asing. Kami orang asing. Aku tak perlu terbuka padanya. Dan dia juga tak perlu tahu apa yang terjadi padaku.
Kuminum jusku lagi dan Oliver mengatakan sesuatu yang membuatku tersedak, “Kau cantik sekali.”
“Apa?”
Oliver mengerjap tak percaya ketika aku berbicara. Lalu ada sebuah senyuman culas saat dia menopang dagunya di tangan dengan siku di atas meja.
“Kau cantik sekali. Feminim dari berbagai sudut.”
Ini benar-benar penghinaan! Aku menggertakan gigi lalu bangkit dari tempatku.
“Kau mau kemana?”
Kutinggalkan meja kami, lalu keluar dari restoran sejauh kakiku melangkah. Oliver mengikuti dari belakang. Aku bisa mendengar suara langkah kaki dan teriakannya memanggil namaku.
“Gabrielle! Gabrielle!”
“Tinggalkan aku sendiri!” Suaraku terdengar asing bagi diriku sendiri. Tapi aku tak peduli. Walau aku sangat membenci suaraku, aku tak bisa memikirkan hal lain kecuali berjalan secepat yang aku bisa untuk menjauh dari Oliver.
Sialnya, dia jangkung dan cepat sekali, sehingga mudah menyejajarkan langkahnya denganku.
“Bila kau terlalu jauh dari restoran, Mr Cattermole akan khawatir. Berbahaya sekali bagimu keluar sendirian.”
“Aku selalu sendirian jadi kau tak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”
“Gabrielle—”
Dan saat dia menarik lenganku, langkahku goyang begitu saja. Aku menahan napas karena kaget dan takut. Refleks, aku menarik tanganku. Tubuhku gemetar. Seluruh pemandangan di depanku tampak bergoyang dalam sekejap. Tubuhku oleng lagi saat kakiku menginjak tanah. Punggungku mundur ke belakang. Mataku membulat kaget.
Apa yang—
Oliver menangkap lenganku dengan cepat kemudian menarikku ke pelukannya. “Gempa,” katanya. “Tenanglah. Tidak apa-apa. Kita ada di luar.”
Gempa...
“… Gabrielle... Gabrielle...”
Suara itu memanggil di dalam kegelapan. Suaranya bergaung di telingaku. Aku tak bisa melihat apapun. Aku tak bisa bergerak. Aku tak bisa merasakan apapun.
“…Gabrielle...”
Tapi aku mendengar suara yang semakin lemah itu.
“Dad! Daddy!” Suaraku sendiri tak lebih baik, terdengar sangat rapuh, kecil, menyedihkan dan ketakutan. Aku menangis, merasakan air mataku membasahi pipiku. Dengan susah payah, aku mencoba bergerak, tapi ada benda padat yang berada di sisi tubuhku, juga di atas punggungku, memerangkapku di tempat. Rasa sakit menjalar di kaki serta tubuhku.
“Gabrielle... apa kau baik-baik saja?”
Isak tangisku, bergaung. Aku ketakutan. Tubuhku menggigil dengan rasa dingin dan debu. Dimana ini? Aku tak bisa melihat apapun. Aku tak bisa bergerak. Aku kesakitan. Aku ingin Ayahku!
“Daddy...”
“Tidak apa-apa, Gabrielle. Semua akan baik-baik saja. Bagaimana kalau kita mengobrol? Sudah lama kita tak bercerita.”
Meskipun aku tak bisa melihat sosoknya, namun hanya mendengar suaranya membuatku tenang. Aku ingat saat itu dia menceritakanku tentang Hazel dan Gratel. Lalu tentang 3 ekor babi dan serigala, si Tudung Merah, Beauty dan The Beast, Aladin, Musa membelah lautan dan banyak lagi. Setiap kali dia bercerita, isak tangisku reda dan aku tak lagi ketakutan meski aku masih bisa merasakan sakitnya.
Suara pria itu semakin lama semakin lemah dan akhirnya menghilang di kegelapan setelah dia memintaku bernyanyi untuknya.
“Gabrielle... maukah kau melakukan sesuatu untukku?”
“Apa itu?” Kepalaku bersandar di lantai. Tak mampu lagi bergerak. Aku capek. Aku mau tidur. Tapi rasa sakitnya tak mengijinkanku.
“Maukah kau menyanyikan sebuah lagu untukku? Aku mengantuk sekali. Mommymu pasti akan senang mendengarnya. Dia bilang kau punya suara yang bagus.”
Aku bernyanyi untuknya. Sebuah lagu yang sangat kusukai. Amazing Grace. Suaraku yang kecil bergaung di tembok-tembok reruntuhan akibat gempa besar, yang mengakibatkan seluruh batangan besi dan beton menimpa kami. Lagu itu kunyanyikan terus dan terus seperti kaset rusak karena suara pria itu tak lagi terdengar.
Yang aku ingat cuma kegelapan. Yang aku ingat adalah aku tergeletak di antara bangunan dan puing-puing yang menjepitku, siap menindihku setiap saat bila ada sedikit gerakan. Yang aku ingat cuma suaraku yang terdengar di reruntuhan. Yang aku ingat air mataku mengering dan aku menangis tanpa suara. Yang aku ingat aku tak takut mati sendirian di kegelapan, kehabisan napas, tak makan dan kekeringan. Yang aku ingat aku berpikir bahwa aku tak pernah lagi melihat matahari.
Tapi, begitu aku membuka mata, aku melihat Oliver tengah menunduk melihatku, sementara dia mendekapku erat-erat. Sorot matanya memperlihatkan kepedihan yang mendalam. Aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya.
“Gabrielle, semua akan baik-baik saja.”
Orang tuaku juga mengatakan hal itu tapi dia mati di bawah sana.
Tak ada yang benar-benar menempati janji.
“Brengsek! Sudah kubilang menjauh darinya!”
Kecuali Jeremiah.
Jeremiah melepasku dari pelukan Oliver dan menarikku ke pelukannya. Tangannya yang besar memelukku secara protektif, memberiku perlindungan, dan aku langsung merasa aman.
Aku pernah merasakan pelukan ini jauh sebelumnya.
“Daddy.”

***

JEREMIAH(POV)
Aku mendelik jengkel pada Pemuda menyebalkan, keras kepala, dan sama sekali tak mendengarkan ucapanku, selalu membantah apa yang kukatakan padanya, dengan rahang mengeras dan siap memberikan tinjuku padanya, bila saja aku tak ingat bahwa saat ini Gabrielle memelukku erat-erat dengan tubuh gemetar, untuk kedua kalinya hari ini.
“Aku tak melakukan apa-apa,” katanya memberi alasan ada kecemasan yang kutangkap dari nada suaranya. “Aku cuma memeganginya karena tiba-tiba saja ada gempa dan dia nyaris jatuh.”
“Bukan berarti kau memeluknya seperti dia kekasihmu karena aku tahu apa yang kau pikirkan. Tak perlu seorang ahli untuk melihatnya.”
Wajahnya memerah, yang membuktikan bahwa aku benar.
“Jeremiah,” suara yang menyebalkan itu sekali lagi membangkitkan amarahku. Fran berdiri di belakang tampak khawatir sekaligus juga panik. “Sudahlah. Dia cuma ingin membantu.”
Itu benar. Dan aku merasa marah dan bodoh karena merasa kasihan melihat tampangnya. Dengan jengkel aku mengambil kunci mobil dan melemparkannya padanya. “Kau yang menyetir.”
“Tapi—”
“Kenapa? Kau mau bilang bahwa kau tak bisa menyetir?”
“Bukan begitu. Bagaimana kalau ada gempa susulan?”
Benar juga. “Tunggu sebentar. Akan kutanyakan ahlinya.” Kuambil ponselku untuk menghungi salah satu manusia yang kukenal tahu mengenai masalah ini. Begitu melihat daftarnya, aku mendapati nama yang kubutuhkan.
“Halo?”
“Kyler, ini aku.”
“Aku tahu itu kau. Kau pikir aku tak melihat siapa yang meneleponku? Heran. Tumben sekali kau meneleponku. Apa stok wanita sudah habis? Atau mungkin kau baru saja dicampakkan wanita dan butuh teman minum? Maaf saja, aku sedang sibuk.”
“Aku sedang buru-buru.”
Terdengar desahan. “Ada apa?”
“Di sini baru saja ada gempa. Apakah ada gempa susulan?”
“Hmmm, tunggu.” Aku mendengar suara gumaman di sana-sini. Kyler pastilah sedang ada di kantor. Bagus.
“Kenapa lama sekali?”
“Karena aku baru dari toilet, Idiot,” balasnya dan aku tertawa. “Ok, aku sudah di lokasi. Gempa berskala 3.4 sr di bagian timur, kedalaman dua km. Tidak. Tak ada aktivitas akan ada gempa susulan. Gempa kali ini cuma gempa biasa. Meskipun begitu, kau harus berhati-hati di sekitar gunung dan kawah. Aku mendapati adanya tanda-tanda peningkatan status jaga.”
“Ky, aku cuma butuh jawaban ya atau tidak, bukan ilmu pengetahuan soal Geologi.”
“Ups, sori. Aku keceplosan. Tak ada masalah Jeremiah. Status aman terkendali.”
“Ok, thanks.”
“Dan Jeremiah?”
Aku kembali meletakkan ponsel ke telinga. “Apa?”
“Aku rindu Cody.”
Aku mendesah. “Akan kusampaikan pesanmu.” Dia mengucapkan terimakasih dan aku segera menutup telepon. Berkat orang tua sialan seperti orang tua Cody, banyak saudara yang menyayangi saudaranya dengan tulus, terpaksa tak bisa bertemu. Sejak Cody meninggalkan rumah orang tuanya, sebisa mungkin mereka menjauhkan Cody dari adik-adiknya.
Kasihan Cody. Untuk menghindari amukan kedua orang tuanya, dan tak ingin dicap sebagai anak durhaka—juga tak ingin membuat nama adiknya tercemar—Cody memutuskan untuk tidak berhubungan dengan mereka.
Dengan masalah seperti itu, dia tetap bisa tertawa. Bagaimana mungkin aku membencinya? Bagaimana mungkin aku meninggalkannya sendiri? Dia itu idolaku—seperti apapun dia.
“Bagaimana?” Fran bertanya.
“Tak ada gempa susulan. Kita bisa pergi sekarang.”
Fran mengangguk. Kami segera naik ke atas mobil. Fran mengemudi dengan Oliver di sampingnya. Gabrielle segera memeluk pinggangku lagi, dan aku punya perasaan kuat dia tak akan melepaskanku sepanjang perjalanan.
Well, itulah yang terjadi. Baru setengah jam kami mengemudi, Gabrielle sudah tertidur di pangkuanku. Aku membuka mantelku dan menyelimutinya. Wajahnya tampak tenang. Ketakutannya sudah hilang.
Jemariku menyapu rambut kemerahan Gabrielle sehingga wajahnya yang pucat kelihatan.
Ini bukan pertama kalinya aku melihat wajah ini. Aku juga pernah melihat wajah ini delapan tahun yang lalu, saat Cody dan aku nekat masuk ke bangunan runtuh yang nyaris rata dengan tanah.
Cody bilang kalau dia mendengar suara seseorang. Aku mengatainya gila. Tapi ini Cody. Jika dia tahu apa yang dia dengar, dia akan mencari tahunya sendiri. Dengan ngeri aku melihatnya masuk ke celah beton, melewati besi, rangka, dan kawat-kawat yang mencuat dan mampu membunuhnya, lalu aku mengikutinya dari belakang, menyumpah-nyumpah akan membunuh Cody. Jika karena ini kami tergencet, maka aku akan mencekiknya sampai mati.
Tapi aku tak menyangka bahwa Cody benar. Ada suara dari dalam. Suara nyanyian. Amazing Grace. Sangat indah. Tapi itu lagu untuk pemakaman. Benakku sudah melantur kemana-mana karena nyanyian itu berulang terus walau kami sudah mencari selama satu jam. Dengan susah payah menyingkirkan bebatuan, melompati puing-puing beton, menyelipkan diri di anrara bangunan. Tiap kali mendengar nyanyian itu, aku merasa bahwa kematianku begitu dekat. Dewa kematian seakan memanggilku.
Hanya saja Cody—Cody yang itu--tetap saja tak peduli. Semakin lemah suara itu, dia justru semakin gesit. Dengan dahi berkeringat, napas tersenggal, tangan penuh debu, dan baju kotor dengan tanah, dia tetap gigih mencari, jadi aku tak bisa berkata-apa untuk menghentikannya, dan semakin dikuatkan. Jika ada Cody, aku akan baik-baik saja. Dia punya Dewa—karena dia homo—Keberuntungan yang jatuh cinta padanya dan mengekorinya kemana-mana, jadi tipis sekali kemungkinan bagi kami untuk mati.
Kemudian kami melihatnya. Ada seorang anak kecil terjepit di antara dua dinding beton. Dinding yang satu nyaris jatuh menindihnya, hanya saja dinding yang lain menahannya. Aku tak menyangka bahwa anak itu masih mampu bertahan dalam keadaan seperti itu untuk bernyanyi meski sekarang hanya dalam bisikan karena dehidrasi, hiportemia, kekurangan oksigen, dan kelelahan. Luar biasa sekali anak itu masih hidup.
“Remi, kau pegang kedua sisinya, sementara aku menariknya keluar.”
Mataku melotot. Apa kau gila? Aku tak bisa menahan dua dinding seorang diri. Aku bukan Atlas atau Hercules. Kau bisa saja ikut tertindih.”
“Dua detik, Jeremiah.”
Cody tidak mendengarkanku dan memerintahku menggunakan namaku. Tak ada lagi tawar-menawar. Dalam dua detik hanya ada tiga kepastian: kedua tanganku remuk, Cody ikut tertindih bersama anak itu, atau kami selamat.
“Siap?”
Kedua tanganku memegang kedua dinding. Kakiku mengambil posisi mantap untuk berdiri sementara Cody ada di celah kakiku, memegangi lengan anak itu.
“Satu dua tiga!”
Aku mengertakan gigi, mengerahkan seluruh kekuatanku. Urat-urat nadiku ikut menonjol keluar sementara kedua telapak tanganku berusaha untuk menggeser kedua dinding, yang sialnya tak mau bergerak sampai—
Dug!
Cody ikut mendorong dengan kedua kakinya. Mataku melotot ngeri melihatnya sekarang dalam posisi telentang di anatara dua beton di atasnya,  siap mati sementara kedua tangannya berusaha menarik anak itu keluar.
“Dorong lagi, Jeremiah!”
“Cody, kubunuh kau kalau kau mati!”
“Oh, tenang saja, kau akan menyusul seratus tahun lagi, dan selama itu pula aku akan menggentayangimu.”
“CODY! Bisa-bisanya kau bercanda di saat seperti ini!” Aku berteriak jengkel, kemarahanku menjadi-jadi dan itu memberi tenaga ekstra.
Dinding itu mulai bergeser dan saat itu pula Cody menarik anak itu keluar dan aku melepas peganganku tepat saat kedua dinding itu bertubrukan dan jatuh berdebam. Debu dan pasir berjatuhan di atas kami.
Aku meninju Cody begitu tahu kami masih hidup. “Damn! Kupikir kau tadi mati! Jangan lakukan itu lagi!”
Cody terbahak-bahak, memegang pipinya yang sedikit memar karena kutinju. Bagaimana mungkin dia bisa tertawa seperti itu?
“Kau gila Cody!”
“Dan kau juga ikutan gila.”
Aku menatapnya dan dia ikut menatapku. Lalu kami berdua terawa dua detik kemudian. Aku menggendong anak itu keluar dari bangunan sementara Cody yang mempimpin jalan. Tubuh anak itu begitu kecil dan rapuh sekali. Kami berhasil keluar dari reruntuhan dan mendapat omelan dari pihak berwajib dan tim sar, karena sembarangan masuk ke bangunan runtuh tanpa orang terlatih, lalu akhirnya memberik kami ucapan terimakasih.
“Kasihan anak itu,” kata Cody setelah ambulan membawa anak itu pergi. “Dia sendirian di dalam sana.”
Lalu, sekarang aku bertemu lagi dengannya. Anak ini sudah sedikit lebih besar tapi tetap saja masih begitu rapuh. Cody juga masih mengingatnya.
“Aku tak tahu apakah ini takdir atau tidak,” kata Cody sewaktu aku masuk ke kamarnya sebelum akhirnya diusir olehnya. “Tapi aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan anak kecil yang kuselamatkan delapan tahun lalu.”
“Dunia ini sempit,” kataku.
Yeah, sempit sekali, pikirku mengusap kembali kepala Gabrielle. Aku menyukai sentuhanku terhadap rambutnya yang lembut melewati jemariku. Tubuhnya yang mengambil napas naik-turun secara perlahan dan teratur. Memar di dahinya yang membiru sudah diolesi salep. Aku tak puas sama sekali. Aku tak suka ada memar di wajahnya.
Kenapa? Well alasan yang sederhana karena wajahnya terlalu tampan. Aku takut ada bekas luka pada wajahnya. Aku sudah sering melihat Cody yang wajahnya terluka karena harus menjadi Jendral Perang tiap kali ada perkelahian dan aku tak sudi anak ini juga mengalami hal yang sama.
“Jeremiah.” Suara Fran membuatku mengalihkan perhatian.
“Apa?”
“Sampai kapan kau akan bertengkar terus dengan Cody? Kau harus minta maaf padanya.”
Dan dia selalu membawa-bawa hal yang bukan urusannya. “Dengar, Profesor,” kataku dengan nada yang cukup terganggu, meski suaraku pelan sekali untuk tak membangunkan Gabrielle, “aku sama sekali tak melakukan apapun pada Cody. Dia hanya terlalu berlebihan dalam menanggapi situasi.”
Temanku yang tak tahu berterima kasih itu, pikirku geram, dia sama sekali tak berpikir seberapa sulitnya aku mendapatkan video itu dan malah menendangku dengan sekuat tenaga. Aku tak akan minta maaf padanya. Tak akan! Aku berusaha menyembuhkan masalah kecilnya dan dia malah menendangku. Beri Cody waktu beberapa hari untuk menenangkan diri dan instopeksi diri tentang hal yang telah dia lakukan padaku, lalu dia bakal bicara sendiri padaku lalu minta maaf.
Selalu seperti itu.
Lalu hidupku akan kembali berjalan lancar tanpa hambatan.
“Aku tak percaya sepatah katapun yang kau katakan,” tukas Fran dan aku melihatnya mendelik dari spion depan. “Aku mengenal Cody dan aku tahu kaulah yang bersalah.”
Darahku seakan mendidih. “Dan kau pikir kau tahu tentang aku? Apa kau sekarang mulai menghakimi orang lain dari covernya? Aku mau tahu julukan apa lagi yang akan kau berikan padaku setelah Rapist. Aku mungkin tak akan kaget bila kau memanggilku sebagai Gigolo karena kau sama menyebalkan seperti barkot Idiot Human yang terdiri dari dua kategori: Bodoh dan Picik.”
“Jeremiah!”
Fran meninju setir dan klakson berbunyi nyaring, mengagetkan Gabrielle yang melonjak kaget meski matanya masih mengantuk.
“Huh?” Gabrielle berkata lelah dan Fran menelan ludah, menyadari suaranya, karena dia segera menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri dan Oliver beringsut tak nyaman.
“Tidak apa-apa,” gumamku kembali memeluk Gabrielle yang mengambil posisi nyaman untuk kembali tidur. “Sssh... kau aman bersamaku.” Begitu aku kembali mengusap rambut Gabrielle, dia kembali tenang dan tidur dengan pulas.
Aku melotot pada Fran di spion dan dia balas melotot padaku. Kenapa Cody tahan bersamanya aku sama sekali tak tahu.
Menyandarkan punggungku, aku menahan diri untuk tak keluar dari mobil dan meninju Fran. Semakin lama aku semakin sulit untuk menahan diri.

***

GABRIELLE(POV)
Begitu aku bangun, hari sudah sore dan Oliver tak kelihatan lagi. Jeremiah bilang dia sudah diturunkan di stasiun terdekat. Tangan Jeremiah menyapu rambutku saat aku menggeliat dan bangun dari tidur panjang yang nyenyak sekali. Aku belum pernah tidur sedamai ini sebelumnya.
“Kita akan sampai sebentar lagi.” Fran memberitahu dari depan.
Mataku memerhatikan tingkahnya yang sedari tadi mengerutkan dahi. Begitu kulihat Jeremiah, pria itu juga melakukan hal yang sama. “Apa kalian bertengkar lagi?”
Jeremiah menghela napas. “Tidak. Kami cuma berselisih paham.”
“Itu juga sama saja. Kenapa kalian tak pernah akur?”
“Aku tak suka padanya,” kata Jeremiah.
“Aku juga tak suka padamu,” balas Fran dari depan.
“Aku tak suka kalian berdua bertengkar,” kataku, melipat tangan dan melihat keluar jendela. Baik Fran dan Jeremiah kudengar menghela napas. Tapi mereka sama sekali tak mengatakan apa-apa dan hal itu semakin membuatku jengkel.
Sisa perjalanan kuhabiskan melihat keluar jendela. Pemandangan di luar bagus sekali. Pepohonan sudah banyak berwarna indah. Mobil kami melewati pepohonan berdaun kuning, merah, dan hijau di sisi jalan. Sebagian dari daun-daun itu sudah berguguran di jalan. Orang-orang yang berjalan di pinggir jalan tampak bergembira ria menyambut musim gugur, mengenakan pakaian mereka yang lebih tebal.
Ini luar biasa. Untuk pertama kalinya aku melihat dunia selain sekolah dan rumah. Untuk pertama kalinya aku mengenal hal lain selain rumah dan sekolah—juga panti asuhan. Untuk pertama kalinya aku bahagia, melupakan kota tempat aku tak memiliki teman, dan bisa berlibur bersama Jeremiah dan Fran—keluargaku.
“Kau tersenyum,” Jeremiah menunduk ke dekat wajahku saat aku menoleh padanya. Aku mengerjap bingung. “Dan itu bukan senyuman Monalisa.”
“Aku masih marah padamu,” kataku dan kembali melihat keluar jendela.
Jeremiah mendesah tapi tak mengatakan apa-apa. Meski begitu dia tetap tak beranjak di sampingku, melainkan mengalungkan tangannya di bahuku jadi aku bisa bersandar dengan nyaman.
Beberapa puluh meter di depan, aku melihat sebuah rumah kecil beratap merah dengan cerobong asap mengepul. Rumah itu bertingkat dua dengan batu-batu besar dan jendela kayu yang primitif. Dinding-dindingnya berwarna merah bata, tersusun dengan sangat rapi sehingga tampak seperti sebuah marmer kokoh. Di separuh bagian dinding ada tumbuhan menjalar, nyaris mengenai seluruh bagian pinggir. Di sekitar bangunan itu banyak pohon yang berdiri tegak dan besar, dengan batang-batang kokoh dan akar berurat banyak; dan bunga berwarna-warni yang masih bermekaran sedikit meski beberapa di antaranya sudah menguncup; sebuah bel kecil tertempel di dekat pintu. Ada sebuah gerbang kayu di depan yang dihiasi dengan pagar tanaman tinggi.
“Wow,” desahku tak percaya. Rumah ini seperti rumah fantasi.
“Itu rumahku.” Fran memberitahu dari depan. “Sebenarnya itu rumah orang tuaku tapi karena mereka sudah meninggal, secara teknik itu jadi rumahku.”
“Kau tak berniat menjualnya?” Jeremiah bertanya.
“Tidak. Aku menyukai rumah itu. Ada banyak kenangan di sana.”
“Aku bisa mengerti.”
Jeremiah turun untuk membuka gerbang. Tapi karena aku tak sabar aku juga ikut turun. Aku suka rumah ini. Fran tak pernah bilang kalau dia memiliki rumah seperti ini. Seperti apa dalamnya?
“Ups,” Jeremiah menangkap pinggangku yang tersandung akar pohon begitu melangkah melewati halaman. “Hati-hati.”
Aku nyengir dan segera melompat dari pegangannya begitu kakiku tegak kembali. Dengan segera aku naik ke atas undakan batu, menuju pintu depan, memasukkan tanganku ke kantong celana, mengeluarkan kunci yang diberikan Fran padaku kemarin.
Dia bilang kalau aku boleh memiliki sebuah rumah. Aku tak menyangka dia memberiku rumah seperti ini.
Memutar kunci pintu yang menceklik primitif, aku mendorong pintu dan melihat untuk pertama kalinya kondisi rumah itu dan aku ternganga.
“Fran,” kataku menoleh pada Fran yang turun dari mobil dengan senyuman di wajahnya. Aku melompat turun dan berlari menyongsongnya kemudian memeluknya erat-erat. “I love you, Papa. Thank you.
Baru kusadari bahwa pria ini mencintaiku dan peduli padaku lebih dari siapapun di dunia ini.
Dan aku merasa senang dan berterimakasih pada Tuhan karena sudah mengirimkan satu orang yang membuat hidupku berubah.
I love you too, Son.”

***

FRAN(POV)
“Mr Cattermole, saya sudah mendengar dari asisten saya bahwa Anda ingin mengangkat seorang anak. Saya tahu Anda akan jadi orang tua yang hebat. Tapi, apa Anda yakin? Anda masih single kan?” Miss Helenn Khan bertanya padaku saat kami berjalan-jalan di pinggir halaman untuk melihat anak-anak asuhnya bermain bola di halaman.
“Saya yakin, Ms Khan,” kataku pelan. “Saya suka anak-anak.”
“Helenn,” katanya. “Panggil Helenn saja,” ucapnya menyelipkan rambutnya ke telinganya.
Aku tersenyum kecil dan mengalihkan pandangan ke seluruh lapangan. Anak laki-laki bermain bola dengan semangat. Mereka berlari, berkeringat, penuh lumpur, dan terengah-engah mengejar bola kuning yang menggelinding di rumput. Anak perempuan tampak berkelompok, bermain dengan boneka, ada yang bermain lompat tali, kejar-kejaran dan tepuk-tepukan.
“Saya tak menyangka bawa Anda suka anak-anak. Pria seperti itu jarang ada.”
Aku tak terlalu mendengar apa yang dia katakan, karena, tepat saat itu, mataku melihat sosok berambut merah yang duduk sendirian di rumput, mengenakan kaos biru dan sedang memandang langit tanpa ekspresi.
“Anda tak keberatan dengan makan malam kan?”
“Siapa itu?”
Ms Helenn mengerjap. “Huh?”
“Siapa anak itu?” Aku menunjuk ke arah anak remaja yang berhasil mencuri hatiku dalam sekejap. Dalam detik yang sama saat aku melihatnya, aku tahu aku ingin menjadi penopangnya. Aku ingin berada di sampingnya saat dia menangis, bahagia, menderita, tertawa—semuanya. Aku ingin dia berbagi bebannya padaku dan aku ingin menjadi pelindungnya. Aku sadar bahwa aku menyayanginya detik itu pula dan bisa mati bila tak bisa bersamanya.
“Namanya Gabrielle McKanley. Usianya 14 tahun. Kedua orang tuanya meninggal dalam gempa besar delapan tahun lalu. Dia sedikit bermasalah.”
“Bermasalah?”
“Ya,” Ms Helenn mengangguk kaku. “Ini bukan pertama kalinya ada orang seperti Anda yang ingin mengangkatnya jadi anak. Sudah enam kali dia diadopsi dan enam kali pula dia dikembalikan kemari.”
Ini mengejutkanku. “Kenapa? Apa dia berbuat sesuatu? Dia tak tampak liar di mataku.”
“Tidak, tidak. Gabrielle anak yang baik. Hanya saja dia tak mau bicara.” Ms Helenn menatapnya dengan prihatin. “Para orang tua kesulitan dengan sifatnya. Karena dia tak mau bicara, mereka frustasi. Gabrielle juga tak banyak membantu. Kami masih sangat sulit membuatnya berinteraksi.”
“Boleh saya bertemu dengannya?”
Wanita itu menatapku dengan raut wajah tak yakin. “Mr Cattermole, saya harap Anda tahu apa yang Anda lakukan. Tempat ini bukan Kid-Mart, tempat Anda mengambil anak yang Anda inginkan lalu dikembalikan lagi saat Anda bosan. Anda akan menyakiti hatinya bila Anda berbuat begitu. Kami ingin orang tua yang serius memikirkan kebahagiaannya. Bukan seseorang yang hanya memberi harapan palsu.”
“Ms Khan,” kataku tenang. “Saya ingin Anak itu.”
Wanita itu mendesah. “Saya tak bisa memberikannya langsung pada Anda. Kami sudah banyak mengalami kesulitan mengenai tingkah Gabrielle.”
“Kalau begitu, bagaimana bila saya diberi kesempatan selama seminggu? Jika Gabrielle dan saya nyaman untuk berinteraksi, kalian harus mengijinkan saya mengadopsinya.”
Ms Khan menatapku kurang lebih selama sepuluh detik, lalu pada akhirnya mengangguk dan membawaku untuk diperkenalkan pada Gabrielle.
“Gabrielle,” Ms Khan berkata lembut. “Seseorang ingin bertemu denganmu.”
Gabrielle menengadah dan untuk pertama kalinya aku melihat mata paling indah yang pernah kulihat, sekaligus mata paling hampa seakan tak punya emosi.
“Hai, Gabrielle,” kataku mengulurkan tangannya. “Namaku Fran. Izinkan aku jadi Ayahmu.”
Dia menatap uluran tanganku dalam diam, lalu menjabatnya meski tidak mengucapkan apapun.
Sejak hari itu, selama seminggu penuh aku bolak-balik datang ke panti asuhan hanya untuk melihatnya, mengajaknya mengobrol dan berbicara dengannya—atau berusaha membuatnya bicara padaku. Tidak banyak hal yang bisa kulakukan. Gabrielle benar-benar menutup dirinya. Dia sama sekali tak peduli dengan apa yang kukatakan. Tapi aku tak menyerah. Akhirnya, setelah masa seminggu itu aku harus menelan kekecewaan bahwa aku gagal.
Ms Khan benar. Aku tak bisa menjadi Ayahnya Gabrielle bila dia tak berinteraksi denganku. Pasti ada orang lain yang akan menjadi orang tua untuknya.
“Maaf sekali, Mr Cattermole. Saya tahu Anda kecewa, tapi kami tak bisa memberikan Gabrielle pada Anda. Kami tak bisa membiarkan Gabrielle disakiti lagi.”
Aku tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Saya mengerti.”
Setelah hari itu, aku tak bertemu Gabrielle. dan aku merindukannya. Dua hari setelah itu, aku mendapatkan telepon dari Ms Khan yang mengatakan bahwa Gabrielle mencariku. Mendengar ini, aku senang sekali. Tubuhku seakan disiram oleh air hangat yang nyaman.
“Kenapa kau tak datang kemarin?” Gabrielle bertanya saat aku memunculkan diri di hadapannya.
“Aku—”
“Apa kau tak mau membawaku?”
Pertanyaan polosnya membuatku nyaris menangis. Lalu yang kulakukan selanjutnya, aku memeluknya. Bahkan Gabrielle sama sekali tak mau melepas tanganku saat aku menandatangi surat persetujuan dan formulir pengadopsian Gabrielle.
Kini cara dia memelukku sama dengan cara dia memelukku sebulan yang lalu. Begitu erat dan penuh cinta. Aku menyayangi Gabrielle. Aku mengasihinya. Aku mencintainya.
Dia putraku.
Dan aku senang dia ada saat ini, di sini.
“Aku mau berkeliling,” kata Gabrielle bersemangat. Dia melepas pelukanku kemudian masuk lagi ke dalam rumah.
Good job, Little Papa,” kata Jeremiah yang menurunkan barang-barang kami. “You did it well.”
Wajahku merona. Ini pertama kalinya Jeremiah memujiku dan rasanya aneh sekali. Perutku seakan dipenuhi dengan kupu-kupu yang beterbangan. Bibirku tersenyum dan Jeremiah balas tersenyum. Aku melihat sekali lagi pintu rumahku dimana Gabrielle menghilang dan merasa bahagia.
“Ajak Gabrielle keliling. Aku akan membawa barang-barang masuk.”
“Ok.” Aku melangkah masuk dan Jeremiah memanggilku lagi.
“Ngomong-ngomong, Fran, terima kasih kembali,” katanya.
“Oh,” aku mengerjap. “Terima—” Jeremiah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruhku untuk cepat-cepat menyusul Gabrielle. Aku tersenyum lagi, kemudian masuk ke dalam rumah.
Gabrielle tengah terkagum-kagum dengan perapian batu yang terukir di dalam rumah dengan tungku di atasnya. Dia menengadah saat melihatku dan menarik tanganku untuk naik ke lantai atas.
Rumah ini adalah rumah orang tuaku, tempat dimana aku lahir dan dibesarkan dengan kasih sayang. Ada dua kamar di rumah ini. Yang pertama adalah kamar orang tuaku, yang berada di dekat lorong belakang. Kamar itu luas dengan tempat tidur berukuran king size yang dihiasi dengan pemandangan musim gugur yang indah di luar jendela.
Lalu yang terakhir adalah kamarku. Tidak begitu besar tapi nyaman. Sebuah single bed terletak di sudut jendela dengan meja belajar dan lemari berdiri dekatnya. Aku tak memiliki peralatan elektronik karena Almarhum Ayahku seorang electrophobia. Jadi satu-satunya teknologi yang ada di rumah hanya telepon dan lampu.
Yep. Rumahku memang primitif. Yang mengherankan, aku justru jadi Profesor teknologi.
“Aku tidur di sini.” Suara Jeremiah terdengar di belakangku. Dia bersedekap, menaikan alisnya begitu melihat sekitar kamarku. “Kecil sekali kamar tamumu.”
“Ini kamarku,” kataku.
“Kau tinggal di sarang seperti ini?”
“Keren kan? Aku suka di sini,” Gabrielle berbicara, membuatku tak membalas cacian yang dilontarkan Jeremiah. Tapi aku berhasil memelototinya, meski Jeremiah tak peduli. Malah, pria itu melemparkan dirinya ke atas tempat tidur.
Well, untuk beberapa hari aku akan bersabar tinggal di sini. Kapan kalian kembali?”
Gabrielle melompat ke atasnya. “Kau mau liburan bersama kami?”
“Aku sudah lama tak cuti, jadi kupikir tak masalah. Anak muda, turun dari tubuhku sebelum tempat tidur ini ambruk.”
Tapi Gabrielle tak mendengar. Dia malah bersorak “Yay!” sambil memeluk Jeremiah.
Jeremiah memutar bola mata dan tersenyum kecil. “Fran, aku lapar,” katanya tiba-tiba. “Masakkan sesuatu untukku. Dan kalau kau tak keberatan, belikan baju ganti untukku untuk…” dia berhenti, mengerutkan dahi, “seberapa lama kita di sini.”
“Kau ikut kami belanja,” kata Gabrielle.
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kau sih enak tidur. Aku kan kerja sepanjang hari dan menyetir setelahnya. Aku tak mau. Aku mau tidur di sini.”
Gabrielle merengek lagi, tapi Jeremiah membalikkan badannya.
“Aku benci padamu!” gerutu Gabrielle. Dia turun dari tempat tidur kemudian menggandeng tanganku. Kami berdua meninggalkan Jeremiah sendirian. “Malam ini kita makan apa?”
“Hmmm,” aku bergumam saat kami turun tangga pelan-pelan. “Bagaimana kalau seafood?” Aku mengingat perkataan Jeremiah sewaktu menelepon pacarnya dan tiba-tiba ingin memasak seafood untuknya.
“Kelihatannya enak.”
***
MEDAN Sabtu 2 Agustus 2013

8 komentar:

Anonim mengatakan...

kyaaaaa...
saya sangat-sangat menunggu cerita ini... hampir setiap hri bolak-balik ke blog ini berharap uda publis...
dan demi udelnya jaejoong yang seksoh...omigott...fran-remi-gaby-oliver,astgaa... mereka semua menggemaskan kyaaaa

Aku tidak menyangka ternyata remi dan cody pernah bertemu dengan gaby sebelumnya, menyelematkan gaby, hoaaaaa...benar-benar kejutan.
pantesan aja ---secara naluriah-- gaby langsung merasa nyaman dengan remi dan cody >.<
hoahhh suka suka suka...ya ampunnn...arghhhh..ini cerita pertama yang tentang homo..benar-benar mengarah kearah sana yang membuat saya tertarik...kamu mengemasnya dengan menarik... :D

ditunggu part selanjutnya dear...
bagaimana liburan mereka bertiga? dan astaga...saya menunggu moment remi-fran berdua *ketawaSetan AHAHAHAHHAHA

ShinHyesun :D

prince.novel mengatakan...

MUAHAHAHAHAHAHAHAHAHAMAJAAAAAAAAAAAAAA
Saya juga ikutan ketawa setan

lovelywoman1 mengatakan...

Kereeen...!!!

Anonim mengatakan...

akhirnya update,
ceritanya keren seneng juga sedih,
ampe nangis pas bacanya,palagi pas bagian gabrielle nyanyi buat daddynya, jadi keinget pas gempa, untungnya rumah cuma satu lantai dan bisa keluar,
ditunggu kelanjutannya, pleas remi-fran lebih romantis lagi *wink

Anonim mengatakan...

Thanks for uploading it on wattpad:) I do really appreciate it. And hope you'll be able to update the next chapter very soon.. I'll wait for it. Luv remi-fran + gabrielle. And I'm sorry to say this but I don't feel comfortable with oliver present between the three of them, I'm not saying you should get rid of him from this story I'm just saying that I don't like him.. Gabrielle had start to communicate and accept Fran to his life, and I don't want just because of Oliver their relationship to estranged again. Anyway keep moving to write the updates..

-luv TBMB

prince.novel mengatakan...

@Anonim pertama: Ty, Dear
Yep, part bagian itu emang bikin saya sedikit merasa bersalah pada Gabrielle, tapi sedikit loh ya :D

@Anonim kedua: Yw, dear.
Nope.
Oliver has his own. I don't know what part I should write him. Even now, he's not appear a lot, yet.
Yep, Gabrielle will and without anybody's help. He has his own strength

Anonim mengatakan...

Its the 2nd anonymous here. The forth chapter on Wattpad was awesomely amazing but Im not posting to comment about the update. I would like to ask something, in the synopsis you said that Remi will be marrying someone that he loved. It just that you haven't touch anything on it make me curious to death to know who's the girl that get into Fran&Remi relationship. I know Fran&Remi were not official yet or mayB its not going to be official(praying Im wrong) but I really would like to know obout her and make her past quickly to read the happy, lovely, unpredictable and romantic ending between Fran&Remi. And of course Gabrielle too. Luv them all, and keep up writing the next chapter soon:)

PS: not hoping the story to over soon or else Im gonna death with the reason missing them.

-luv TBMB

prince.novel mengatakan...

Yep he is
you‘ll find who the lucky girls is in chap 5 or 6. I dont remember which chap she‘d be appeared. But yeah... soon. Just stay on lol

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.