RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 26 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Enam Belas)


Debaran Enam Belas
Hukuman
Nero mengerutkan dahinya melihat ada yang tak beres pada meja belajarnya. Surat menyebalkan itu tidak berada di tempat yang seharusnya dia tinggalkan terakhir kalinya. Saat Nero meraih surat itu, surat itu sudah lecek, dimasukan dengan paksa ke amplop.
Melemparkan tasnya ke lantai, Nero keluar kamarnya dan turun dengan cepat sambil berteriak, “MOM! MOM! MOM!”
“Demi Tuhan, Nero! Berhentilah berteriak!” Matt yang ada di ruangan depan mendelik marah padanya, masih mengenakan topi kupluknya.
Nero tidak peduli dan berjalan menuju dapur dengan tidak sabar dan berteriak lagi, “MOM! WHERE ARE YOU?”
Suara teriakan, “STOP YELLING, NERO!” dari Matt terhalang suara lembut dari arah dapur. “I’m here, Honey.”
Nero melipat tangan begitu  melihat sosok Jennifer yang memakai celemek bunga-bunga tengah memasak bersama dengan pembantu mereka. Jennifer menaikan alis melihat sikap Nero. Dia sudah menduga apa yang akan ditanyakan Nero tapi memilih pura-pura tak tahu.
“Well,” kata Nero, dengan wajah tanpa ekspresi dan penuh tuntutan.
Itulah wajah menyebalkan Nero jika dia sudah marah apabila privasinya diganggu, termasuk jika barang-barangnya dipindahkan tanpa ijin.
“Well?” kata Jennifer pura-pura tak tahu.
Wajah Nero mengeras. Bisa dipastikan dia akan meledak sebentar lagi seperti gunung berapi. Tapi, kali ini, benar-benar tak terduga, Nero menahan amarahnya lebih lama.
“Siapa yang masuk ke kamarku?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Aku. Memangnya kenapa? Apakah aku tak boleh masuk ke kamar putraku sendiri?” kata Jennifer sambil mengecak pinggang.
Wajah Nero memucat. Jennifer mengerjap.
“Jadi Mom membaca surat itu?” kata Nero, ada sinar ketakutan di matanya.
“Surat apa?” Jennifer kebingungan.
Wajah Nero kembali diliputi kemarahan. “Oh, terbukti sudah. Ada orang lain yang masuk ke kamarku dan orang itu sudah pasti bukan Mom,” katanya dan berbalik cepat keluar dari kamarnya.
“Nero, surat apa yang kau sembunyikan?” Jennifer mengejarnya.
Nero berjalan cepat, melangkah panjang-panjang menghindari Jennifer. Tangan Matt menangkapnya saat Nero hendak menuju tangga.
“Nero, Ibumu memanggilmu,” kata Matt geram. “Dan aku tak suka jika kau tidak sopan padanya.”
Nero menggeram tapi berhenti saat itu juga.
“Ada apa, Jenni Sayang? Apa yang dia lakukan kali ini?” suara Matt melembut.
“Aku cuma memasuki kamarnya dan dia mengungkit-ungkit soal surat,” kata Jennifer.
Alis Matt menaik. “Surat apa yang dikatakan Jenni, Nero?”
Nero menyingkirkan tangan Matt dengan jengkel. “Aku tahu ada orang lain yang masuk ke kamarku dan surat itu bukan apa-apa.”
Matt tersenyum menggoda. “Apakah itu surat cinta sampai-sampai kau tak mau menunjukannya pada Dad?”
Nero memutar bola matanya. “Kalaupun itu SPO, aku juga tak akan menunjukannya pada Dad,” katanya dan berlari menuju kamarnya.
“NERO! Awas saja jika aku mendapatkan SPO karena tingkahmu lagi! Kau sudah janji padaku untuk tidak berkelahi lagi!”
BLAK! Nero membanting pintu kamarnya dan dengan cepat menguncinya.
“Nero! Anak Nakal! Kupotong uang jajanmu!” Matt berteriak dari bawah.
Nero tak takut. Walau Matt memutuskan uang jajannya sekalipun, Nero sama sekali tak peduli. Dia tak pernah makan di kantin. Ke sekolah dia selalu jalan kaki. Dia tak berniat pergi jalan-jalan dan keluar dari rumahnya. Setiap hari dia tak mengeluarkan uang sepeserpun. Jadi ada tidak adanya ancaman Matt tidak berpengaruh padanya.
Dengan geram Nero mengambil surat itu, meremasnya kemudian mengambil pemantik dari laci mejanya. Dia membakar surat itu.
Kau dan keluargamu akan merasakan apa yang kurasakan!
Coba saja, kau wanita jalang!
Menggeram jengkel, Nero melepas jeket dan kemejanya yang basah karena gerimis saat memancing tadi. Menyisir rambutnya yang basah dengan tangannya, Nero hendak melepas celananya sampai dia mendengar suara batuk di dekat jendelanya.
“Hai, Niken,” katanya tanpa menoleh dan melepaskan sabuknya dari celana.
Ada suara batukan lagi. Nero memutar bola matanya. “Kau bisa tutup jendelanya, Niken, aku kepanasan di sini.”
“Tolong hentikan itu, bisa kan? Ada kamar mandi di dekatmu!” suara Niken terdengar menuntut. “Dan jangan atur-atur aku di kamarku! Dasar kau cowok menyebalkan!”
Tangan Nero yang hendak melepaskan kancing celananya berhenti. Dahinya mengerut dalam. Perlahan, dia kembali menoleh ke arah jendela di dekatnya.
Gadis itu ada di depan jendelanya yang terbuka. Wajahnya merah padam. Tapi jelas gadis itu tampak marah dan kesal dengan tingkahnya.
Nero mendekati jendela, mengedip sekali untuk melihat Niken dengan jelas.
“Ini juga kamarku. Suka-suka aku dong,” kata Nero, dan dengan cepat Nero memanjat dari jendela kamarnya menuju ke jendela kamar Niken. Gadis itu terpekik kaget dan buru-buru menutup jendela kamarnya. Sayangnya, salah satu tangan Nero berhasil meraih kosennya.
“Biarkan aku masuk,” kata Nero jengkel.
Niken mendorong dari balik kamarnya. “Enak saja. Kembali ke kamarmu!”
“Apa kau tak takut aku jatuh?” kata Nero lagi.
“Kau pernah bilang kalau kau jatuh kau tak akan mati.” Niken membalas, masih berkutat dengan jendela. “Paling hanya patah kaki.”
“Oh, ya, dan aku akan melaporkanmu yang menjatuhkanku dari lantai dua.”
“Aku tak peduli. Aku juga akan melaporkanmu yang masuk ke kamar cewek dalam keadaan seperti itu.”
“Buka atau aku akan memecahkan jendela kamarmu.”
“Coba saja!”
Nero menggeram jengkel. Dia mencoba mendorong, tapi Niken keras kepala dan melawan dari posisi sebaliknya. Dalam keadaan di tengah-tengah jendela, tentu saja posisi Nero lebih sulit untuk bergerak. Dia bisa jatuh sewaktu-waktu. Tapi Nero tiba-tiba mendapatkan ide.
“Ah, Vion? Kau datang?” katanya.
Niken terpekik kaget, menoleh ke belakang dan saat itulah Nero mengambil kesempatan untuk masuk, mendorong Niken yang jatuh ke belakang karena tidak siap menahan Nero dan jatuh ke lantai.
“Aw aw aw aw.”
Nero menunduk, melihat Niken yang mengeluh tergencet di bawahnya. “Ah, posisi ini bagus juga,” Nero tersenyum jahil.
Niken membeku di tempatnya. Wajahnya merona cepat, menjalar di sekitar wajahnya, sampai ke telinga dan lehernya.
“Mi-mi-mi-minggir,” Niken gelagapan. Tapi tangannya bahkan tak berani mendorong tubuh Nero untuk menjauh darinya.
“Aku tak mau,” gumam Nero mendekatkan wajahnya pada wajah Niken.
“Nero…” katanya lagi dengan suara gemetar.
“Niken,” Nero menggoda, terkekeh geli di telinga Niken. “Niiiiiken…”
“Stop. Stop! Ini pelecehan!” katanya lagi. Niken menoleh ke samping, tak berani melihat Nero.
“Mhm,” Nero menunduk. “Terus?”
“Apa kau sudah gila?” gadis itu berbisik ketakutan.
“Mhm sedikit. Aku gila karenamu,” kata Nero. “Dan aku sekarang sedang menghukummu karena sudah membuatku marah, Niken.”
Niken meneguk ludah. “H-h-huh?” katanya tak mengerti.
Nero kembali berbisik ke telinga Niken, membuat Niken gemetar perlahan. “Aku paling tak suka barang-barangku disentuh orang asing.”
Niken, akhirnya, menoleh ke arahnya. Mata gadis itu melotot, terkejut, tapi juga ketakutan. “B-b-bagaimana—”
“Tenang saja, Mom melindungimu,” Nero tersenyum kecil, salah satu jarinya menyusuri wajah Niken dengan lembut. “Tapi kau tahu jelas apa yang kumaksud Niken.”
Niken menelan ludah dengan susah payah. “Aku-aku-aku tidak membaca—”
Nero tersenyum kecil. “Jadi benar kau membaca suratku, Niken… hmmm?”
Niken gemetar lagi, tak bisa berkata-kata, sudah jelas sekarang bahwa gadis itu sudah ketahuan dan apapun sekarang yang dia katakan sudah tak ada gunanya.
“Bagaimana aku menghukummu, Niken? Kau benar-benar nakal. Aku ingin membuatmu jera karena berkunjung ke kamarku tanpa ada ijin dariku.”
Mata Nero menatapnya dengan dingin.
“Kau ingin hukuman seperti apa, Niken?” wajah Nero mendekat lagi. “Coba berbicara padaku, Niken… hmmm? Niken… Niiiiken.”
Suara gadis itu tercekat saat Nero mencium pipinya dengan lembut.
“Nero…”
“Hmmmm?” kali ini Nero mencium garis tulang rahangnya.
“Hentikan…”
“Mhhmmm,” Nero mencium lehernya.
Niken terkesikap dan sadar. Dengan segera dia hendak mendorong Nero. Tapi kedua tangan  Nero segera menangkap tangannya dan memegangi kedua tangannya ke atas kepalanya.
Nero masih menatapnya masih dengan tanpa ekspresi. Niken ketakutan. Benar-benar ketakutan.
“Nero, ini tak lucu.”
“Oh, lucu sekali,” katanya pelan dan mencium Niken saat ini juga.
Niken terkejut, mencoba melawan. Tapi tenaga Nero lebih kuat darinya. Begitu Nero merasakan bahwa Niken tak lagi melawan, dia justru memperdalam ciumannya, merasakan gadis itu mengerang perlahan karena ciumannnya. Bibir Niken begitu lembut, manis, dan amatir. Gadis itu tak tahu caranya mencium. Benar-benar payah.
“Niken?” seseorang bersuara dari depan pintu kamar seiring dengan suara ketukan.
Niken melawan lagi, terlalu terkejut. Nero tahu apa yang dipikirkan Niken. Berciuman dengan seorang laki-laki setengah telanjang dalam posisi mencurigakan. Benar-benar luar biasa.
Tapi Nero menahan kedua tangan Niken, masih menciumnya.
“Niken? Ada telepon,” katanya lagi. “Niken? Kau ada di dalam kan?” terdengar suara grendel pintu.
Niken melawan sekuat tenaga. Nero bisa merasakan bahwa gadis itu ketakutan. Baguslah. Biar dia tahu rasa berhadapan dengan siapa.
“Loh? Terkunci. Nggak biasanya. Niken, ini Vion nelepon.”
Vion? Niken terkesikap, kekuatannya bertambah untuk menyingkirkannya.
Nero melepas salah satu tangan Niken, memegang kedua pipi Niken dengan paksa. Mulut gadis itu terbuka dengan sendirinya karena terkejut dan Nero memasukan lidahnya, menciumnya sekali lagi. Niken terengah, tapi kali ini sudah jelas gadis itu menyerah untuk melawan. Karena begitu Nero menciumnya, Nero tahu bahwa Niken sekarang menikmati ciumannya dan malah membalas ciumannya.
“Sori, Vion, sepertinya Niken tidur siang. Ada pesan?” kemudian suara-suara itu menjauh.
Mereka berdua masih berciuman di atas lantai setelah Ray pergi. Bahkan perlahan Nero melepas pegangannya pada Niken dan tangannya menelusuri rambut Niken yang indah dan halus sekali. Sementara kedua tangan Niken sendiri memeluk leher Nero.
Nero menghentikan ciumannya, menatap wajah Niken yang merona merah. Niken justru tampak lebih cantik daripada biasanya. Jantung Nero berdetak cepat tak karuan begitu melihat bibir Niken yang memerah karena ciumannya dan ingin menciumnya sekali lagi.
Ini tidak bagus. Nero bangkit berdiri.
“Jika kau memberitahu orang lain soal surat itu, Niken, aku akan melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman,” kata Nero cepat, lalu melompat ke jendela Niken. Di tengah-tengah usahanya untuk kembali ke kamar, Nero berhenti sejenak, berpaling pada Niken yang masih tak bergerak karena ulahnya.
By the way, Niken, Vion sudah punya pacar,” katanya lalu melompat ke jendela kamarnya.
Nero berdiri beberapa detik, bingung sendiri dengan tingkahnya. Buat apa dia memberitahu Niken bahwa Vion sudah punya pacar? Itu kan bukan urusannya! Justru memberitahu Niken sekarang akan membuat gadis itu semakin salah paham padanya. Apa sih sebenarnya yang terjadi padaku hari ini?
Nero berbalik lagi, melihat jendela kamarnya. Niken sudah duduk kembali, memegangi bibirnya dan tampak shock.
Tapi yang dilihat Nero dari tempatnya adalah kecantikan wajah gadis itu. Nero masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajahnya yang merona, ekspresi katakutannya dan bibirnya yang manis saat dia menciumnya.
Oh, tidak!
Nero buru-buru menutup jendela kamarnya, kemudian jatuh merosot ke lantai. Dadanya sakit sekali karena rusuknya seakan terlalu kecil menyimpan jantungnya yang tiba-tiba membesar, berdegup-degup kencang seperti genderang ditabuh, hendak keluar dari tempatnya dan berlari menuju Niken.
Sadarlah Nero! Sadarlah! Apa yang terjadi padamu hari ini? Kau cuma ingin menghukumnya, lalu kenapa justru kau sendiri yang seakan terhukum?
Nero menjilat bibirnya, merasakan bibir Niken ada di sana. Bibir Niken terasa tidak asing.
Oh, Tuhan, aku sudah gila! Nero buru-buru masuk ke kamar mandi. Aku butuh mendinginkan kepalaku. Pakai es jika perlu!
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.