Debaran Enam Belas
Hukuman
Nero
mengerutkan dahinya melihat ada yang tak beres pada meja belajarnya. Surat
menyebalkan itu tidak berada di tempat yang seharusnya dia tinggalkan terakhir
kalinya. Saat Nero meraih surat itu, surat itu sudah lecek, dimasukan dengan
paksa ke amplop.
Melemparkan
tasnya ke lantai, Nero keluar kamarnya dan turun dengan cepat sambil berteriak,
“MOM! MOM! MOM!”
“Demi
Tuhan, Nero! Berhentilah berteriak!” Matt yang ada di ruangan depan mendelik
marah padanya, masih mengenakan topi kupluknya.
Nero
tidak peduli dan berjalan menuju dapur dengan tidak sabar dan berteriak lagi, “MOM! WHERE ARE YOU?”
Suara
teriakan, “STOP YELLING, NERO!” dari
Matt terhalang suara lembut dari arah dapur. “I’m here, Honey.”
Nero
melipat tangan begitu melihat sosok
Jennifer yang memakai celemek bunga-bunga tengah memasak bersama dengan
pembantu mereka. Jennifer menaikan alis melihat sikap Nero. Dia sudah menduga
apa yang akan ditanyakan Nero tapi memilih pura-pura tak tahu.
“Well,”
kata Nero, dengan wajah tanpa ekspresi dan penuh tuntutan.
Itulah
wajah menyebalkan Nero jika dia sudah marah apabila privasinya diganggu,
termasuk jika barang-barangnya dipindahkan tanpa ijin.
“Well?”
kata Jennifer pura-pura tak tahu.
Wajah
Nero mengeras. Bisa dipastikan dia akan meledak sebentar lagi seperti gunung
berapi. Tapi, kali ini, benar-benar tak terduga, Nero menahan amarahnya lebih
lama.
“Siapa
yang masuk ke kamarku?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Aku.
Memangnya kenapa? Apakah aku tak boleh masuk ke kamar putraku sendiri?” kata
Jennifer sambil mengecak pinggang.
Wajah
Nero memucat. Jennifer mengerjap.
“Jadi
Mom membaca surat itu?” kata Nero, ada sinar ketakutan di matanya.
“Surat
apa?” Jennifer kebingungan.
Wajah
Nero kembali diliputi kemarahan. “Oh, terbukti sudah. Ada orang lain yang masuk
ke kamarku dan orang itu sudah pasti bukan Mom,” katanya dan berbalik cepat
keluar dari kamarnya.
“Nero,
surat apa yang kau sembunyikan?” Jennifer mengejarnya.
Nero
berjalan cepat, melangkah panjang-panjang menghindari Jennifer. Tangan Matt
menangkapnya saat Nero hendak menuju tangga.
“Nero,
Ibumu memanggilmu,” kata Matt geram. “Dan aku tak suka jika kau tidak sopan
padanya.”
Nero
menggeram tapi berhenti saat itu juga.
“Ada
apa, Jenni Sayang? Apa yang dia lakukan kali ini?” suara Matt melembut.
“Aku
cuma memasuki kamarnya dan dia mengungkit-ungkit soal surat,” kata Jennifer.
Alis
Matt menaik. “Surat apa yang dikatakan Jenni, Nero?”
Nero
menyingkirkan tangan Matt dengan jengkel. “Aku tahu ada orang lain yang masuk
ke kamarku dan surat itu bukan apa-apa.”
Matt
tersenyum menggoda. “Apakah itu surat cinta sampai-sampai kau tak mau
menunjukannya pada Dad?”
Nero
memutar bola matanya. “Kalaupun itu SPO, aku juga tak akan menunjukannya pada
Dad,” katanya dan berlari menuju kamarnya.
“NERO!
Awas saja jika aku mendapatkan SPO karena tingkahmu lagi! Kau sudah janji
padaku untuk tidak berkelahi lagi!”
BLAK!
Nero membanting pintu kamarnya dan dengan cepat menguncinya.
“Nero!
Anak Nakal! Kupotong uang jajanmu!” Matt berteriak dari bawah.
Nero
tak takut. Walau Matt memutuskan uang jajannya sekalipun, Nero sama sekali tak
peduli. Dia tak pernah makan di kantin. Ke sekolah dia selalu jalan kaki. Dia
tak berniat pergi jalan-jalan dan keluar dari rumahnya. Setiap hari dia tak
mengeluarkan uang sepeserpun. Jadi ada tidak adanya ancaman Matt tidak
berpengaruh padanya.
Dengan
geram Nero mengambil surat itu, meremasnya kemudian mengambil pemantik dari
laci mejanya. Dia membakar surat itu.
Kau
dan keluargamu akan merasakan apa yang kurasakan!
Coba saja, kau wanita jalang!
Menggeram
jengkel, Nero melepas jeket dan kemejanya yang basah karena gerimis saat
memancing tadi. Menyisir rambutnya yang basah dengan tangannya, Nero hendak
melepas celananya sampai dia mendengar suara batuk di dekat jendelanya.
“Hai,
Niken,” katanya tanpa menoleh dan melepaskan sabuknya dari celana.
Ada
suara batukan lagi. Nero memutar bola matanya. “Kau bisa tutup jendelanya,
Niken, aku kepanasan di sini.”
“Tolong
hentikan itu, bisa kan? Ada kamar mandi di dekatmu!” suara Niken terdengar
menuntut. “Dan jangan atur-atur aku di kamarku! Dasar kau cowok menyebalkan!”
Tangan
Nero yang hendak melepaskan kancing celananya berhenti. Dahinya mengerut dalam.
Perlahan, dia kembali menoleh ke arah jendela di dekatnya.
Gadis
itu ada di depan jendelanya yang terbuka. Wajahnya merah padam. Tapi jelas
gadis itu tampak marah dan kesal dengan tingkahnya.
Nero
mendekati jendela, mengedip sekali untuk melihat Niken dengan jelas.
“Ini
juga kamarku. Suka-suka aku dong,” kata Nero, dan dengan cepat Nero memanjat
dari jendela kamarnya menuju ke jendela kamar Niken. Gadis itu terpekik kaget
dan buru-buru menutup jendela kamarnya. Sayangnya, salah satu tangan Nero
berhasil meraih kosennya.
“Biarkan
aku masuk,” kata Nero jengkel.
Niken
mendorong dari balik kamarnya. “Enak saja. Kembali ke kamarmu!”
“Apa
kau tak takut aku jatuh?” kata Nero lagi.
“Kau
pernah bilang kalau kau jatuh kau tak akan mati.” Niken membalas, masih berkutat
dengan jendela. “Paling hanya patah kaki.”
“Oh,
ya, dan aku akan melaporkanmu yang menjatuhkanku dari lantai dua.”
“Aku
tak peduli. Aku juga akan melaporkanmu yang masuk ke kamar cewek dalam keadaan
seperti itu.”
“Buka
atau aku akan memecahkan jendela kamarmu.”
“Coba
saja!”
Nero
menggeram jengkel. Dia mencoba mendorong, tapi Niken keras kepala dan melawan
dari posisi sebaliknya. Dalam keadaan di tengah-tengah jendela, tentu saja
posisi Nero lebih sulit untuk bergerak. Dia bisa jatuh sewaktu-waktu. Tapi Nero
tiba-tiba mendapatkan ide.
“Ah,
Vion? Kau datang?” katanya.
Niken
terpekik kaget, menoleh ke belakang dan saat itulah Nero mengambil kesempatan
untuk masuk, mendorong Niken yang jatuh ke belakang karena tidak siap menahan
Nero dan jatuh ke lantai.
“Aw
aw aw aw.”
Nero
menunduk, melihat Niken yang mengeluh tergencet di bawahnya. “Ah, posisi ini
bagus juga,” Nero tersenyum jahil.
Niken
membeku di tempatnya. Wajahnya merona cepat, menjalar di sekitar wajahnya,
sampai ke telinga dan lehernya.
“Mi-mi-mi-minggir,”
Niken gelagapan. Tapi tangannya bahkan tak berani mendorong tubuh Nero untuk
menjauh darinya.
“Aku
tak mau,” gumam Nero mendekatkan wajahnya pada wajah Niken.
“Nero…”
katanya lagi dengan suara gemetar.
“Niken,”
Nero menggoda, terkekeh geli di telinga Niken. “Niiiiiken…”
“Stop.
Stop! Ini pelecehan!” katanya lagi. Niken menoleh ke samping, tak berani
melihat Nero.
“Mhm,”
Nero menunduk. “Terus?”
“Apa
kau sudah gila?” gadis itu berbisik ketakutan.
“Mhm
sedikit. Aku gila karenamu,” kata Nero. “Dan aku sekarang sedang menghukummu
karena sudah membuatku marah, Niken.”
Niken
meneguk ludah. “H-h-huh?” katanya tak mengerti.
Nero
kembali berbisik ke telinga Niken, membuat Niken gemetar perlahan. “Aku paling
tak suka barang-barangku disentuh orang asing.”
Niken,
akhirnya, menoleh ke arahnya. Mata gadis itu melotot, terkejut, tapi juga
ketakutan. “B-b-bagaimana—”
“Tenang
saja, Mom melindungimu,” Nero tersenyum kecil, salah satu jarinya menyusuri
wajah Niken dengan lembut. “Tapi kau tahu jelas apa yang kumaksud Niken.”
Niken
menelan ludah dengan susah payah. “Aku-aku-aku tidak membaca—”
Nero
tersenyum kecil. “Jadi benar kau membaca suratku, Niken… hmmm?”
Niken
gemetar lagi, tak bisa berkata-kata, sudah jelas sekarang bahwa gadis itu sudah
ketahuan dan apapun sekarang yang dia katakan sudah tak ada gunanya.
“Bagaimana
aku menghukummu, Niken? Kau benar-benar nakal. Aku ingin membuatmu jera karena
berkunjung ke kamarku tanpa ada ijin dariku.”
Mata
Nero menatapnya dengan dingin.
“Kau
ingin hukuman seperti apa, Niken?” wajah Nero mendekat lagi. “Coba berbicara
padaku, Niken… hmmm? Niken… Niiiiken.”
Suara
gadis itu tercekat saat Nero mencium pipinya dengan lembut.
“Nero…”
“Hmmmm?”
kali ini Nero mencium garis tulang rahangnya.
“Hentikan…”
“Mhhmmm,”
Nero mencium lehernya.
Niken
terkesikap dan sadar. Dengan segera dia hendak mendorong Nero. Tapi kedua
tangan Nero segera menangkap tangannya
dan memegangi kedua tangannya ke atas kepalanya.
Nero
masih menatapnya masih dengan tanpa ekspresi. Niken ketakutan. Benar-benar
ketakutan.
“Nero,
ini tak lucu.”
“Oh,
lucu sekali,” katanya pelan dan mencium Niken saat ini juga.
Niken
terkejut, mencoba melawan. Tapi tenaga Nero lebih kuat darinya. Begitu Nero
merasakan bahwa Niken tak lagi melawan, dia justru memperdalam ciumannya,
merasakan gadis itu mengerang perlahan karena ciumannnya. Bibir Niken begitu
lembut, manis, dan amatir. Gadis itu tak tahu caranya mencium. Benar-benar
payah.
“Niken?”
seseorang bersuara dari depan pintu kamar seiring dengan suara ketukan.
Niken
melawan lagi, terlalu terkejut. Nero tahu apa yang dipikirkan Niken. Berciuman
dengan seorang laki-laki setengah telanjang dalam posisi mencurigakan.
Benar-benar luar biasa.
Tapi
Nero menahan kedua tangan Niken, masih menciumnya.
“Niken?
Ada telepon,” katanya lagi. “Niken? Kau ada di dalam kan?” terdengar suara
grendel pintu.
Niken
melawan sekuat tenaga. Nero bisa merasakan bahwa gadis itu ketakutan. Baguslah.
Biar dia tahu rasa berhadapan dengan siapa.
“Loh?
Terkunci. Nggak biasanya. Niken, ini Vion nelepon.”
Vion?
Niken terkesikap, kekuatannya bertambah untuk menyingkirkannya.
Nero
melepas salah satu tangan Niken, memegang kedua pipi Niken dengan paksa. Mulut
gadis itu terbuka dengan sendirinya karena terkejut dan Nero memasukan
lidahnya, menciumnya sekali lagi. Niken terengah, tapi kali ini sudah jelas
gadis itu menyerah untuk melawan. Karena begitu Nero menciumnya, Nero tahu
bahwa Niken sekarang menikmati ciumannya dan malah membalas ciumannya.
“Sori,
Vion, sepertinya Niken tidur siang. Ada pesan?” kemudian suara-suara itu
menjauh.
Mereka
berdua masih berciuman di atas lantai setelah Ray pergi. Bahkan perlahan Nero
melepas pegangannya pada Niken dan tangannya menelusuri rambut Niken yang indah
dan halus sekali. Sementara kedua tangan Niken sendiri memeluk leher Nero.
Nero
menghentikan ciumannya, menatap wajah Niken yang merona merah. Niken justru
tampak lebih cantik daripada biasanya. Jantung Nero berdetak cepat tak karuan
begitu melihat bibir Niken yang memerah karena ciumannya dan ingin menciumnya
sekali lagi.
Ini
tidak bagus. Nero bangkit berdiri.
“Jika
kau memberitahu orang lain soal surat itu, Niken, aku akan melakukan hal yang
lebih dari sekedar ciuman,” kata Nero cepat, lalu melompat ke jendela Niken. Di
tengah-tengah usahanya untuk kembali ke kamar, Nero berhenti sejenak, berpaling
pada Niken yang masih tak bergerak karena ulahnya.
“By the way, Niken, Vion sudah punya
pacar,” katanya lalu melompat ke jendela kamarnya.
Nero
berdiri beberapa detik, bingung sendiri dengan tingkahnya. Buat apa dia
memberitahu Niken bahwa Vion sudah punya pacar? Itu kan bukan urusannya! Justru
memberitahu Niken sekarang akan membuat gadis itu semakin salah paham padanya.
Apa sih sebenarnya yang terjadi padaku hari ini?
Nero
berbalik lagi, melihat jendela kamarnya. Niken sudah duduk kembali, memegangi
bibirnya dan tampak shock.
Tapi
yang dilihat Nero dari tempatnya adalah kecantikan wajah gadis itu. Nero masih
bisa mengingat dengan jelas bagaimana wajahnya yang merona, ekspresi
katakutannya dan bibirnya yang manis saat dia menciumnya.
Oh, tidak!
Nero
buru-buru menutup jendela kamarnya, kemudian jatuh merosot ke lantai. Dadanya
sakit sekali karena rusuknya seakan terlalu kecil menyimpan jantungnya yang
tiba-tiba membesar, berdegup-degup kencang seperti genderang ditabuh, hendak
keluar dari tempatnya dan berlari menuju Niken.
Sadarlah Nero! Sadarlah! Apa yang
terjadi padamu hari ini? Kau cuma ingin menghukumnya, lalu kenapa justru kau
sendiri yang seakan terhukum?
Nero
menjilat bibirnya, merasakan bibir Niken ada di sana. Bibir Niken terasa tidak
asing.
Oh, Tuhan, aku sudah gila!
Nero buru-buru masuk ke kamar mandi. Aku
butuh mendinginkan kepalaku. Pakai es jika perlu!
***The Flower
Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar