Debaran Dua Belas
Neraka Sunyi
Suara
piano itu terdengar dari arah ruang musik, satu-satunya tempat dimana piano
bisa terdengar. Bunyi pertama permainan itu berhasil membuat Bu Penny, si Guru
Musik, menjatuhkan berkas yang dia pegang di ruang guru. Dia mengoceh tak jelas
soal piano yang masih rusak.
Franz
Liszt Concert Etude No 3 di D Flat Mayor – Un Sospiro.
“Siapapun
yang memainkan ini,” kata Bu Penny dengan suara gemetar. “Benar-benar luar
biasa.”
Masalahnya,
tidak ada satupun anak di SMA mereka yang benar-benar bergelut di dunia musik
klasik. Mereka lebih cenderung mengikuti perkembangan zaman yang mengarah pada
hal-hal berbau “boyband”, “band”, atau “pop”.
Bu
Penny segera beranjak dari tempatnya, bersama dengan murid-murid lain di
belakangnya. Julian juga ikut bersama mereka, tapi Alfon menggeleng. Alfon
sudah menduga siapa yang memainkan piano itu: Nero. Siapa lagi yang bisa
memainkan musik dengan begitu indah jika bukan dari anak seorang pianis
terkenal Theressa Illys? Nero benar-benar mewarisi bakat Ibunya—jika Theressa benar-benar Ibunya.
Ini
semua berkat Julian. Akibat perkataan Julian waktu itu, Alfon jadi penasaran
tentang siapa itu Nero. Tapi, berbeda dengan Julian, Alfon tidak ingin
menggembar-gemborkan masalah kehidupan Nero karena dia tahu sedang berhadapan
dengan Matt jika kabar ini tersebar keluar dan sudah bisa dipastikan apa yang
akan dilakukan oleh Ayah muda itu bagi siapapun yang berani menyentuh putranya.
Alfon
meneguk kopinya, membaca artikel beberapa tahun lalu mengenai Theressa Illys.
Theressa Illys, 26 tahun, dia meninggal karena kecelakaan mobil di Nevada,
Amerika Serikat saat sedang mengadakan konser tunggal di Las Vegas. Seorang
pianis muda, cantik, berwajah anggun dan mudah tersenyum. Wanita muda itu
menikah dengan Matt saat masih berusia tujuh belas tahun (Matt berusia dua
puluh tahun kala itu) karena pertunangan yang sudah diatur oleh kedua anggota
keluarga. Dan keluarga bahagia ini dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu
Nero. Tidak banyak kabar setelah kematiannya. Mungkin karena pengaruh Matt
sebagai seorang Pengusaha Kelas Dunia dalam Industri Pesawat Terbang yang
menyebabkan publik bisa dibuat bungkam.
Mengenai
Nero, Alfon bisa sedikit menduga kenapa anak itu bisa menjadi seperti itu,
hanya saja dia tidak terlalu yakin. Mungkinkah dia jadi seperti itu karena
kesalahan Matt sendiri? Dilihat dari jumlah sekolah dan negara yang dijadikan
tempat tinggal mereka—yang memang sedikit aneh karena banyak sekali mereka
melakukan aktifitas nomaden—bisa dipastikan bahwa Nero menjadi seseorang yang
“tertutup” tapi juga mampu menyembunyikan hal itu dengan baik.
***The Flower Boy Next Door***
Nero
menolak acara empat mata dengan Bu Penny. Dia sama sekali tidak tertarik untuk
berbicara mengenai “permainan klasik” kecilnya dan buru-buru pamit saat Bu
Penny tidak bisa membantah lagi.
Devon
dan Vion menatapnya dengan dahi mengerut.
“Apa?”
kata Nero.
“Aku
tak tahu kau bisa memainkan piano,” kata Devon.
“Itu
cuma kebetulan,” kata Nero enteng.
“Kebetulan
sekali ya kau bisa memainkan Un Suspiro
untuk tingkat pro,” sindir Devon lagi. Nero pura-pura tidak mendengar.
“Setelah
ini kalian akan kemana?” Nero mengalihkan pembicaraan.
“Aku
mau main bola. Mau ikut?” kata Devon lagi sebelum Vion sempat menjawab.
“Nggak,
deh. Aku nggak tahan berdiri di bawah sinar matahari terlalu lama,” kata Nero.
“What a girl!”
ejek Devon.
“Shut up,”
Nero menyikutnya. “Kau Vion?”
“Aku
akan pulang saja dan bermain basket dengan teman-teman di komplek rumah. Hari
ini kami ada pertandingan,” jawabnya pelan. Nero manggut-manggut. “Olahraga apa
yang kau suka, Nero?”
“Apa
saja asal tidak berada di bawah matahari terlalu lama.” Nero menjawab tak
peduli.
“What a feminime girl!”
ucap Devon lagi.
“Shut up or I’ll break your jaw,
Moron,” gerutu Nero lagi.
Saat
bel sekolah berdering tanda berakhirnya pelajaran, Nero melesat meninggalkan
sekolah dan tidak memedulikan Devon dan Vion.
“Adaapa
sih dengannya hari ini?” Devon bertanya-tanya keheranan.
“Mungkin
dia ada kencan,” jawab Vion asal.
Devon
membatu dan menatap Vion dengan keheranan. “No
way,” katanya. Tapi dia tak terlalu yakin juga. Nero memang tampak berubah
hari ini. Wajahnya lebih segar daripada biasanya—walau biasanya juga segar—dan
dia tidak terlalu menggoda Niken seperti biasanya. Bahkan Nero tampaknya sedang
mengeluarkan pesonanya tanpa bermaksud demikian.
“Kalau
dia punya pacar tanpa memberitahuku, aku akan menghajarnya!”
***The Flower Boy Next Door***
Matt
menggigit kepalannya saat menutup telepon yang memberikan kabar buruk padanya.
Jam dindingnya menunjukan pukul tiga sore. Nero pasti sudah pulang sekolah
karena dia tidak memiliki ekskul apapun—dan Matt tahu betul bahwa Nero tak akan
masuk ekskul apapun.
Kabar
yang dia terima membuatnya takut membiarkan Nero keluar sendirian. Tapi jika
dia mengatakannya pada Nero maka—bisa dipastikan—wajah Nero akan kembali lagi
menjadi dingin, kaku, tidak menyenangkan, seperti pahatan patung, sama seperti saat
mereka meninggalkan Jerman. Tidak. Matt tak bisa membiarkannya.
Namun,
biar bagaimanapun Matt harus memberitahukan kabar ini untuk memintanya
berhati-hati… jika tidak mungkin saja kali ini nyawanya yang akan diincar…
Tidak.
Tidak. Tidak. Yang benar saja aku bisa menghancurkan wajah bahagia Nero. Dia
sedang berbahagia di sini. Dia menikmati hari-harinya di sini dan dia sudah
lupa sama sekali dengan kejadian itu. Well,
mungkin saja dia ingat, tapi sudah tidak separah waktu itu. Buktinya, Nero
mampu memainkan musik ringan menyentuh hati sama seperti saat dia masih begitu
murni dan bukannya dengan requiem kematian! Matt akan menjaga agar Nero tidak
kehilangan senyumannya. Nero sedang dalam masa penyembuhan.
Matt
mengambil kembali telepon dan menghubungi asistennya. “Jacob? Aku ingin kau
mencari seorang bodyguard berusia
sekitar 15-18 tahun untuk menjaga Nero. Kirim klasifikasi mereka padaku. Aku
ingin menguji mereka sendiri.”
“Baik,
Sir.”
Matt
menghela napas dan memijit-mijit dahinya. Kepalanya sakit sekali memikirkan
kabar mengerikan ini. Untung saja mereka sudah pindah. Mereka tak mungkin bisa
ditemukan dengan mudah.
Matt
akan sebisa mungkin membawa kabur Nero, menyembunyikannya dari seluruh dunia
jika perlu, jika ada yang berani menyakitinya.
Tiba-tiba
saja dahi Matt mengerut. Ada suara piano. Bunyinya begitu lembut, ringan dan
berwarna, persis seperti permainan Theressa. Matt tersenyum. Nero benar-benar
seperti Ibunya.
Dia
bangkit dan keluar, berjalan pelan-pelan untuk tidak mengusik Nero yang
memainkan piano untuk Ageha.
Muzio
Clementi – Sonatia Op. 36 No. 4
Matt
memerhatikan wajah Nero. Benar. Wajah Nero tampak lebih berseri daripada saat
terakhir mereka meninggalkan Jerman. Lebih hidup dan berwarna. Matanya lebih
bersinar dan jenaka. Dan dia terus-menerus tersenyum.
Siapapun
itu yang mengubah Nero menjadi seperti ini, Matt benar-benar berterima kasih
padanya. Dari permainannya saja Matt tahu bahwa datang ke tempat ini merupakan
keputusan yang tepat dari sekian banyak tempat yang pernah mereka datangi. Dan
tidak menjual piano itu merupakan keinginan Nero yang paling besar karena hanya
benda itulah yang mengingatkannya pada Ibunya—satu-satunya benda yang
ditinggalkan untuknya—karena benda yang lain sudah hangus dalam kebakaran empat
tahun lalu.
Matt
masih ingat betul bagaimana hancurnya Nero waktu itu.
Itu
tak akan terulang lagi.
“Dad,”
suara Nero mengagetkannya. “Aku paling tak suka kau bertampang begitu saat aku
memainkan piano.”
Alis
Matt naik sebelah. “Memangnya tampangku seperti apa?”
“Ah,
sudahlah,” dia memutar bola matanya dan menatap adiknya. “Lihat itu, Ageha?
Contoh seperti itulah yang tidak boleh ditiru. Saat seseorang sedang memainkan
piano, kau harus menonton dengan sepenuh hati dan bukannya melamun seperti
pepesan kosong.”
“Pepesan?”
Ageha mengerjap tak mengerti.
Matt
tertawa kemudian merangkul Nero dan menariknya ke belakang. “Hukuman karena
mengatai orang tua, Dasar Anak Durhaka!” Nero jatuh dari bangku pianonya.
“Aw
aw aw aw,” kata Nero saat punggungnya jatuh menimpa Matt. Dengan sigap Matt
mengaitkan kedua kakinya ke pinggang, mengikat Nero yang hendak melepaskan diri,
sementara Matt memiting lehernya.
Ageha
tergelak-gelak melihat tingkah mereka.
“Dasar
Orang Tua Durhaka, mengajarkan kekerasan dan menyiksa anak sendiri. Aku akan
melapor ke KOMNAS HAM!” teriak Nero, berguling ke kanan. Tubuh mereka berguling,
kemudian jatuh dari undakan tangga ke lantai marmer.
“Ow
ow ow ow, pinggangku!” kata Matt. “Anak Durhaka! Beraninya sama orang tua!”
Mereka
berguling-guling di lantai. Kedua tangan mereka saling mengait dan mendorong
untuk saling mengalahkan.
“Menyerah,
Anak Nakal!” kata Matt saat dia berhasil berguling ke atas Nero, memegangi
kedua tangan Nero dengan kekuatan penuh.
“Nggak
akan!” katanya.
Nero
benar-benar kuat, sambil menggertakan gigi, anak muda itu berhasil
menggulingkannya ke lantai dan balas berteriak, “Sekarang menyerahlah, Dad, dan
bisa kupastikan tak akan ada pinggang yang patah!”
“Kau
mengancamku?” kata Matt tak percaya. “Akan kupotong uang jajanmu!”
Matt
dan Nero saling pelotot, mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada. Kemudian Matt
menendang Nero dan berhasil menggulingkannya lagi ke lantai.
“CURANG!”
teriak Nero jengkel.
“Aha!
Dalam perang segalanya halal! Itu yang namanya pintar!” kata Matt puas.
“Sekarang menyerah dan tunduk apa kataku!”
Tapi
Nero masih melawan. “Nggak mau!”
Dengan
cepat dia menggulingkan Matt kembali, memegangi kedua tangan Matt dengan sekuat
tenaga. “Sekarang siapa yang menyerah hah?” kata Nero lagi.
Matt
kehabisan tenaganya. Orang tua memang tak bisa dibandingkan dengan anak muda
remaja yang punya kekuatan ekstra. Apalagi Nero memang kuat. Tidak bertemu
dengannya selama tiga minggu membuat tenaga Nero sepertinya bertambah beberapa
kali lipat.
Tapi
Matt tidak akan menyerah. Enak saja dia dikalahkan anaknya sendiri!
Ageha
tergelak-gelak, bertepuk tangan menyaksikan dua orang bodoh laki-laki di rumah
itu bertingkah seperti anak berusia dua tahun yang memperebutkan mainan
mobil-mobilan.
Matt
mendapat ide.
“Ageha!”
teriak Matt. “Pertolongan!”
Nero
melotot jengkel. “CURANG!”
Tapi
Ageha dengan gesit segera melompat turun dari undakan dan ikut masuk ke
permainan. Tangannya yang mungil menggelitik Nero.
“Hahahahahaha,”
Nero tertawa. “Ageha, stop! Ampun! Adududududuh!”
Matt
berhasil menggulingkan Nero dan ikut-ikutan menggelitiki Nero. Nero
terbahak-bahak, berguling-guling menghindari dua puluh jari-jari yang
menggelitikinya.
“Menyerah?”
kata Matt puas.
“Menyerah!
MENYERAH! AMPUUUUUN!”
Matt
dan Ageha berhenti menggelitik Nero. Nero tersenggal-senggal di lantai,
berkeringat dengan wajah kelelahan dan berantakan.
“Yay,
aku menang!” kata Ageha.
Alis
Matt menaik. “Nggak, Sayang. Kita berdua yang menang,” Matt memperbaiki.
“Nggak.
Aku yang menang!” kata Ageha lagi. “BANG! BANG!”
“Aaargh!”
Matt memegang dadanya saat Ageha menembaknya dan Matt segera pura-pura mati
lalu jatuh ke lantai.
“Yay!
Menang! Menang! Menang!” Ageha tertawa-tawa dan berlari menghampiri Jennifer
yang sedari tadi menonton mereka dengan was-was di pojokan. “Mama, Ageha
menang! Lihat? Ageha menang!”
“Hebat,
Sayang,” kata Jennifer.
Jennifer
menatap Nero dan Matt yang tertawa kecil, masih dalam posisi tergeletak tak
berdaya di lantai. Kedua orang ini benar-benar ayah dan anak. Jennifer tak tahu
apakah harus marah, tertawa, atau kasihan melihat tingkah mereka berdua.
“Aku
kalah,” kata Nero lelah.
“Dan
aku tertembak mati,” kata Matt lagi.
Jennifer
hanya mampu tertawa. Oh, betapa dia mencintai keduanya.
***The Flower Boy Next Door***
Jacob
membawa berkas yang diinginkan Matt keesokan harinya. Pria paruh baya itu
datang ke kantor dan meletakan daftar itu pada Matt. Matt duduk di belakang
meja kerjanya, membaca catatan yang dibaca Jacob. Matanya mendelik pada Jacob
saat dia membolak-balik berkasnya.
“Ada
masalah, Sir?”
Matt
mendesah. “Kau tahu kalau kau hebat sekali, kan? Aku tak habis pikir bagaimana
kau bisa mendapatkan data sebanyak ini hanya dalam waktu sehari.”
Jacob
mengangkat kedua bahunya. “Tugas asisten adalah memenuhi keinginan bosnya
dengan cepat, tepat dan akurat.”
Matt
meletakan berkas dan menatap Jacob dengan penuh ktertarikan. “Lalu, siapa orang
yang tepat untuk misi ini?”
“Berapa
orang yang Anda inginkan?”
“Satu
orang saja. Kau tahu Nero seperti apa. Dalam beberapa kesempatan, dia sangat
peka dan sensitif. Jika dia tahu kalau dia diawasi, aku bisa memastikan dia
akan mengamuk. Aku tak ingin dia kehilangan kendali lagi.” Matt mengaitkan
kedua tangannya.
“Bodyguard ini tak harus jadi teman Nero
kan?”
“Ya,”
Matt mengangguk kecil. “Akan lebih baik jika dia mampu berteman dengan Nero.
Tapi Nero biasanya memilih temannya sendiri. Jadi, mengawasi Nero dari jauh
saja sudah cukup.”
“Kalau
begitu,” Jacob mengambil berkas itu kembali dan membolak-baliknya dengan
perlahan. Setelah menemukan pilihannya, dia meletakannya kembali ke hadapan
Matt. “Bagaimana dengan dia?”
Matt
membaca profil orang yang ditunjuk Jacob. Anak laki-laki, berusia tujuh belas
tahun dengan wajah tampan dan tanpa ekspresi, tampak begitu tenang. Tinggi
badan seratus tujuh puluh lima senti. Berkulit sawo matang dengan warna mata
kelabu yang teduh. Sifat utamanya juga tidak menonjol: jago bela diri, tidak
banyak bicara, tenang dan dewasa.
“Sempurna.
Segera kirim dia ke sekolah Nero.”
***The Flower Boy Next Door***
0 komentar:
Posting Komentar