RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 12 Maret 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Dua Belas)


Debaran Dua Belas
Neraka Sunyi
Suara piano itu terdengar dari arah ruang musik, satu-satunya tempat dimana piano bisa terdengar. Bunyi pertama permainan itu berhasil membuat Bu Penny, si Guru Musik, menjatuhkan berkas yang dia pegang di ruang guru. Dia mengoceh tak jelas soal piano yang masih rusak.
Franz Liszt Concert Etude No 3 di D Flat Mayor – Un Sospiro.
“Siapapun yang memainkan ini,” kata Bu Penny dengan suara gemetar. “Benar-benar luar biasa.”
Masalahnya, tidak ada satupun anak di SMA mereka yang benar-benar bergelut di dunia musik klasik. Mereka lebih cenderung mengikuti perkembangan zaman yang mengarah pada hal-hal berbau “boyband”, “band”, atau “pop”.
Bu Penny segera beranjak dari tempatnya, bersama dengan murid-murid lain di belakangnya. Julian juga ikut bersama mereka, tapi Alfon menggeleng. Alfon sudah menduga siapa yang memainkan piano itu: Nero. Siapa lagi yang bisa memainkan musik dengan begitu indah jika bukan dari anak seorang pianis terkenal Theressa Illys? Nero benar-benar mewarisi bakat Ibunya—jika Theressa benar-benar Ibunya.
Ini semua berkat Julian. Akibat perkataan Julian waktu itu, Alfon jadi penasaran tentang siapa itu Nero. Tapi, berbeda dengan Julian, Alfon tidak ingin menggembar-gemborkan masalah kehidupan Nero karena dia tahu sedang berhadapan dengan Matt jika kabar ini tersebar keluar dan sudah bisa dipastikan apa yang akan dilakukan oleh Ayah muda itu bagi siapapun yang berani menyentuh putranya.
Alfon meneguk kopinya, membaca artikel beberapa tahun lalu mengenai Theressa Illys. Theressa Illys, 26 tahun, dia meninggal karena kecelakaan mobil di Nevada, Amerika Serikat saat sedang mengadakan konser tunggal di Las Vegas. Seorang pianis muda, cantik, berwajah anggun dan mudah tersenyum. Wanita muda itu menikah dengan Matt saat masih berusia tujuh belas tahun (Matt berusia dua puluh tahun kala itu) karena pertunangan yang sudah diatur oleh kedua anggota keluarga. Dan keluarga bahagia ini dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Nero. Tidak banyak kabar setelah kematiannya. Mungkin karena pengaruh Matt sebagai seorang Pengusaha Kelas Dunia dalam Industri Pesawat Terbang yang menyebabkan publik bisa dibuat bungkam.
Mengenai Nero, Alfon bisa sedikit menduga kenapa anak itu bisa menjadi seperti itu, hanya saja dia tidak terlalu yakin. Mungkinkah dia jadi seperti itu karena kesalahan Matt sendiri? Dilihat dari jumlah sekolah dan negara yang dijadikan tempat tinggal mereka—yang memang sedikit aneh karena banyak sekali mereka melakukan aktifitas nomaden—bisa dipastikan bahwa Nero menjadi seseorang yang “tertutup” tapi juga mampu menyembunyikan hal itu dengan baik.
***The Flower Boy Next Door***
Nero menolak acara empat mata dengan Bu Penny. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berbicara mengenai “permainan klasik” kecilnya dan buru-buru pamit saat Bu Penny tidak bisa membantah lagi.
Devon dan Vion menatapnya dengan dahi mengerut.
“Apa?” kata Nero.
“Aku tak tahu kau bisa memainkan piano,” kata Devon.
“Itu cuma kebetulan,” kata Nero enteng.
“Kebetulan sekali ya kau bisa memainkan Un Suspiro untuk tingkat pro,” sindir Devon lagi. Nero pura-pura tidak mendengar.
“Setelah ini kalian akan kemana?” Nero mengalihkan pembicaraan.
“Aku mau main bola. Mau ikut?” kata Devon lagi sebelum Vion sempat menjawab.
“Nggak, deh. Aku nggak tahan berdiri di bawah sinar matahari terlalu lama,” kata Nero.
“What a girl!” ejek Devon.
“Shut up,” Nero menyikutnya. “Kau Vion?”
“Aku akan pulang saja dan bermain basket dengan teman-teman di komplek rumah. Hari ini kami ada pertandingan,” jawabnya pelan. Nero manggut-manggut. “Olahraga apa yang kau suka, Nero?”
“Apa saja asal tidak berada di bawah matahari terlalu lama.” Nero menjawab tak peduli.
“What a feminime girl!” ucap Devon lagi.
“Shut up or I’ll break your jaw, Moron,” gerutu Nero lagi.
Saat bel sekolah berdering tanda berakhirnya pelajaran, Nero melesat meninggalkan sekolah dan tidak memedulikan Devon dan Vion.
“Adaapa sih dengannya hari ini?” Devon bertanya-tanya keheranan.
“Mungkin dia ada kencan,” jawab Vion asal.
Devon membatu dan menatap Vion dengan keheranan. “No way,” katanya. Tapi dia tak terlalu yakin juga. Nero memang tampak berubah hari ini. Wajahnya lebih segar daripada biasanya—walau biasanya juga segar—dan dia tidak terlalu menggoda Niken seperti biasanya. Bahkan Nero tampaknya sedang mengeluarkan pesonanya tanpa bermaksud demikian.
“Kalau dia punya pacar tanpa memberitahuku, aku akan menghajarnya!”
***The Flower Boy Next Door***
Matt menggigit kepalannya saat menutup telepon yang memberikan kabar buruk padanya. Jam dindingnya menunjukan pukul tiga sore. Nero pasti sudah pulang sekolah karena dia tidak memiliki ekskul apapun—dan Matt tahu betul bahwa Nero tak akan masuk ekskul apapun.
Kabar yang dia terima membuatnya takut membiarkan Nero keluar sendirian. Tapi jika dia mengatakannya pada Nero maka—bisa dipastikan—wajah Nero akan kembali lagi menjadi dingin, kaku, tidak menyenangkan, seperti pahatan patung, sama seperti saat mereka meninggalkan Jerman. Tidak. Matt tak bisa membiarkannya.
Namun, biar bagaimanapun Matt harus memberitahukan kabar ini untuk memintanya berhati-hati… jika tidak mungkin saja kali ini nyawanya yang akan diincar…
Tidak. Tidak. Tidak. Yang benar saja aku bisa menghancurkan wajah bahagia Nero. Dia sedang berbahagia di sini. Dia menikmati hari-harinya di sini dan dia sudah lupa sama sekali dengan kejadian itu. Well, mungkin saja dia ingat, tapi sudah tidak separah waktu itu. Buktinya, Nero mampu memainkan musik ringan menyentuh hati sama seperti saat dia masih begitu murni dan bukannya dengan requiem kematian! Matt akan menjaga agar Nero tidak kehilangan senyumannya. Nero sedang dalam masa penyembuhan.
Matt mengambil kembali telepon dan menghubungi asistennya. “Jacob? Aku ingin kau mencari seorang bodyguard berusia sekitar 15-18 tahun untuk menjaga Nero. Kirim klasifikasi mereka padaku. Aku ingin menguji mereka sendiri.”
“Baik, Sir.”
Matt menghela napas dan memijit-mijit dahinya. Kepalanya sakit sekali memikirkan kabar mengerikan ini. Untung saja mereka sudah pindah. Mereka tak mungkin bisa ditemukan dengan mudah.
Matt akan sebisa mungkin membawa kabur Nero, menyembunyikannya dari seluruh dunia jika perlu, jika ada yang berani menyakitinya.
Tiba-tiba saja dahi Matt mengerut. Ada suara piano. Bunyinya begitu lembut, ringan dan berwarna, persis seperti permainan Theressa. Matt tersenyum. Nero benar-benar seperti Ibunya.
Dia bangkit dan keluar, berjalan pelan-pelan untuk tidak mengusik Nero yang memainkan piano untuk Ageha.
Muzio Clementi – Sonatia Op. 36 No. 4
Matt memerhatikan wajah Nero. Benar. Wajah Nero tampak lebih berseri daripada saat terakhir mereka meninggalkan Jerman. Lebih hidup dan berwarna. Matanya lebih bersinar dan jenaka. Dan dia terus-menerus tersenyum.
Siapapun itu yang mengubah Nero menjadi seperti ini, Matt benar-benar berterima kasih padanya. Dari permainannya saja Matt tahu bahwa datang ke tempat ini merupakan keputusan yang tepat dari sekian banyak tempat yang pernah mereka datangi. Dan tidak menjual piano itu merupakan keinginan Nero yang paling besar karena hanya benda itulah yang mengingatkannya pada Ibunya—satu-satunya benda yang ditinggalkan untuknya—karena benda yang lain sudah hangus dalam kebakaran empat tahun lalu.
Matt masih ingat betul bagaimana hancurnya Nero waktu itu.
Itu tak akan terulang lagi.
“Dad,” suara Nero mengagetkannya. “Aku paling tak suka kau bertampang begitu saat aku memainkan piano.”
Alis Matt naik sebelah. “Memangnya tampangku seperti apa?”
“Ah, sudahlah,” dia memutar bola matanya dan menatap adiknya. “Lihat itu, Ageha? Contoh seperti itulah yang tidak boleh ditiru. Saat seseorang sedang memainkan piano, kau harus menonton dengan sepenuh hati dan bukannya melamun seperti pepesan kosong.”
“Pepesan?” Ageha mengerjap tak mengerti.
Matt tertawa kemudian merangkul Nero dan menariknya ke belakang. “Hukuman karena mengatai orang tua, Dasar Anak Durhaka!” Nero jatuh dari bangku pianonya.
“Aw aw aw aw,” kata Nero saat punggungnya jatuh menimpa Matt. Dengan sigap Matt mengaitkan kedua kakinya ke pinggang, mengikat Nero yang hendak melepaskan diri, sementara Matt memiting lehernya.
Ageha tergelak-gelak melihat tingkah mereka.
“Dasar Orang Tua Durhaka, mengajarkan kekerasan dan menyiksa anak sendiri. Aku akan melapor ke KOMNAS HAM!” teriak Nero, berguling ke kanan. Tubuh mereka berguling, kemudian jatuh dari undakan tangga ke lantai marmer.
“Ow ow ow ow, pinggangku!” kata Matt. “Anak Durhaka! Beraninya sama orang tua!”
Mereka berguling-guling di lantai. Kedua tangan mereka saling mengait dan mendorong untuk saling mengalahkan.
“Menyerah, Anak Nakal!” kata Matt saat dia berhasil berguling ke atas Nero, memegangi kedua tangan Nero dengan kekuatan penuh.
“Nggak akan!” katanya.
Nero benar-benar kuat, sambil menggertakan gigi, anak muda itu berhasil menggulingkannya ke lantai dan balas berteriak, “Sekarang menyerahlah, Dad, dan bisa kupastikan tak akan ada pinggang yang patah!”
“Kau mengancamku?” kata Matt tak percaya. “Akan kupotong uang jajanmu!”
Matt dan Nero saling pelotot, mengeluarkan seluruh kekuatan yang ada. Kemudian Matt menendang Nero dan berhasil menggulingkannya lagi ke lantai.
“CURANG!” teriak Nero jengkel.
“Aha! Dalam perang segalanya halal! Itu yang namanya pintar!” kata Matt puas. “Sekarang menyerah dan tunduk apa kataku!”
Tapi Nero masih melawan. “Nggak mau!”
Dengan cepat dia menggulingkan Matt kembali, memegangi kedua tangan Matt dengan sekuat tenaga. “Sekarang siapa yang menyerah hah?” kata Nero lagi.
Matt kehabisan tenaganya. Orang tua memang tak bisa dibandingkan dengan anak muda remaja yang punya kekuatan ekstra. Apalagi Nero memang kuat. Tidak bertemu dengannya selama tiga minggu membuat tenaga Nero sepertinya bertambah beberapa kali lipat.
Tapi Matt tidak akan menyerah. Enak saja dia dikalahkan anaknya sendiri!
Ageha tergelak-gelak, bertepuk tangan menyaksikan dua orang bodoh laki-laki di rumah itu bertingkah seperti anak berusia dua tahun yang memperebutkan mainan mobil-mobilan.
Matt mendapat ide.
“Ageha!” teriak Matt. “Pertolongan!”
Nero melotot jengkel. “CURANG!”
Tapi Ageha dengan gesit segera melompat turun dari undakan dan ikut masuk ke permainan. Tangannya yang mungil menggelitik Nero.
“Hahahahahaha,” Nero tertawa. “Ageha, stop! Ampun! Adududududuh!”
Matt berhasil menggulingkan Nero dan ikut-ikutan menggelitiki Nero. Nero terbahak-bahak, berguling-guling menghindari dua puluh jari-jari yang menggelitikinya.
“Menyerah?” kata Matt puas.
“Menyerah! MENYERAH! AMPUUUUUN!”
Matt dan Ageha berhenti menggelitik Nero. Nero tersenggal-senggal di lantai, berkeringat dengan wajah kelelahan dan berantakan.
“Yay, aku menang!” kata Ageha.
Alis Matt menaik. “Nggak, Sayang. Kita berdua yang menang,” Matt memperbaiki.
“Nggak. Aku yang menang!” kata Ageha lagi. “BANG! BANG!”
“Aaargh!” Matt memegang dadanya saat Ageha menembaknya dan Matt segera pura-pura mati lalu jatuh ke lantai.
“Yay! Menang! Menang! Menang!” Ageha tertawa-tawa dan berlari menghampiri Jennifer yang sedari tadi menonton mereka dengan was-was di pojokan. “Mama, Ageha menang! Lihat? Ageha menang!”
“Hebat, Sayang,” kata Jennifer.
Jennifer menatap Nero dan Matt yang tertawa kecil, masih dalam posisi tergeletak tak berdaya di lantai. Kedua orang ini benar-benar ayah dan anak. Jennifer tak tahu apakah harus marah, tertawa, atau kasihan melihat tingkah mereka berdua.
“Aku kalah,” kata Nero lelah.
“Dan aku tertembak mati,” kata Matt lagi.
Jennifer hanya mampu tertawa. Oh, betapa dia mencintai keduanya.
***The Flower Boy Next Door***
Jacob membawa berkas yang diinginkan Matt keesokan harinya. Pria paruh baya itu datang ke kantor dan meletakan daftar itu pada Matt. Matt duduk di belakang meja kerjanya, membaca catatan yang dibaca Jacob. Matanya mendelik pada Jacob saat dia membolak-balik berkasnya.
“Ada masalah, Sir?”
Matt mendesah. “Kau tahu kalau kau hebat sekali, kan? Aku tak habis pikir bagaimana kau bisa mendapatkan data sebanyak ini hanya dalam waktu sehari.”
Jacob mengangkat kedua bahunya. “Tugas asisten adalah memenuhi keinginan bosnya dengan cepat, tepat dan akurat.”
Matt meletakan berkas dan menatap Jacob dengan penuh ktertarikan. “Lalu, siapa orang yang tepat untuk misi ini?”
“Berapa orang yang Anda inginkan?”
“Satu orang saja. Kau tahu Nero seperti apa. Dalam beberapa kesempatan, dia sangat peka dan sensitif. Jika dia tahu kalau dia diawasi, aku bisa memastikan dia akan mengamuk. Aku tak ingin dia kehilangan kendali lagi.” Matt mengaitkan kedua tangannya.
Bodyguard ini tak harus jadi teman Nero kan?”
“Ya,” Matt mengangguk kecil. “Akan lebih baik jika dia mampu berteman dengan Nero. Tapi Nero biasanya memilih temannya sendiri. Jadi, mengawasi Nero dari jauh saja sudah cukup.”
“Kalau begitu,” Jacob mengambil berkas itu kembali dan membolak-baliknya dengan perlahan. Setelah menemukan pilihannya, dia meletakannya kembali ke hadapan Matt. “Bagaimana dengan dia?”
Matt membaca profil orang yang ditunjuk Jacob. Anak laki-laki, berusia tujuh belas tahun dengan wajah tampan dan tanpa ekspresi, tampak begitu tenang. Tinggi badan seratus tujuh puluh lima senti. Berkulit sawo matang dengan warna mata kelabu yang teduh. Sifat utamanya juga tidak menonjol: jago bela diri, tidak banyak bicara, tenang dan dewasa.
“Sempurna. Segera kirim dia ke sekolah Nero.”
***The Flower Boy Next Door***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.