RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 22 Januari 2012

Philia-Chiko (Paper 5)

by: Prince Novel

Lima

Septo mondar-mandir di kamarnya. Otaknya berpikir cepat. Bagaimana cara dia mengabulkan permintaan Philia? Chiko anak yang menyenangkan dan Septo sama sekali tak keberatan kalau Chiko dekat-dekat Philia. Tapi sikap Philia pada Chiko benar-benar diluar dugaan. Dia juga tak ingin Philia stres karena Chiko.

Apa yang harus dia lakukan sekarang?

Septo mengambil ponselnya, menghubungi cepat nomor seseorang dan menunggu beberapa saat sampai orang di seberang berkata, “Apa, Sep? Aku lagi sibuk nih.”

“Sibuk? Aku bahkan nggak mendengar suara biolamu,” balas Septo berjalan ke depan jendela dan menyingkirkan gordennya.

Shan mendesah di seberang. “Aku lagi ngerjain PR nih. Ada apa?” katanya pelan dan sebelum Septo menjawab, Shan buru-buru menambahkan, “Kuharap ini bukan mengenai arus bolak-balik atau automatisasi robotika, atau struktur elektronik dan sejenisnya. Aku nggak ada waktu buat mendengarkannya sekarang.”

“Ini mengenai Philia,” kata Septo jengkel.

“Oh, kenapa dengan dia?”

“Dia minta aku ngusir Chiko dari kehidupannya. Apa Philia juga minta kau melakukan hal yang sama? Aku nggak tahu harus berbuat apa nih.”

Hening sejenak. Kemudian Shan menjawab pelan. “Datang ke rumahku gih. Aku tunggu di depan pintu ya.”

“Ngomong disini aja bisa kan?” kata Septo heran.

“Nggak ah. Kalo Philia dengar kan nggak enak,” kata Shan. “Udahlah. Kau kesini aja apa susahnya sih? Entar aku kasih kau makan pudding lezat buatan Mama deh.”

Septo mengiyakan permintaan Shan dengan cepat, lalu dia meloncat dari kamarnya sambil mengambil jeketnya. Maltesa mengikutinya dari belakang ketika dia keluar dari rumahnya sambil berteriak kalau dia mau ke rumah Shan sebentar sambil mengangkat Maltesa di tangannya yang kokoh.

“Aku cuma mengundangmu, bukan Maltesa,” kata Shan saat dia membuka pintu dan melirik Maltesa—yang mengulurkan lidahnya lalu menggong-gong dengan senang.

“Dia suka pudding,” Septo nyengir lebar.

“Tinggalkan dia di lapangan bersama Dhito. Dhito nanti jadi ikut-ikutan masuk ke kamar kalo Maltesa juga ikut,” kata Shan menyerah.

Septo nyengir lebar dan meletakan Maltesa ke bawah. Anjing mungil itu berlari ke kandang Dhito dan Dhito menyambutnya dengan ekor bergoyang.

“Kau naik ke kamarku. Aku ambil pudding dulu,” kata Shan membuka sedikit pintunya untuk membiarkan Septo masuk. “Kau mau minum apa?”

Milk shake dan kalau kau tak keberatan, sedikit hangat dengan aroma menawan,” kata Septo, berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamar Shan.

Shan geleng-geleng kepala dan sedikit terkikik geli mendengar permintaan Septo.

Septo masuk ke kamar Shan yang bersih bernuansa kebiruan yang tenang dan menyejukan. AC tidak menyala, sebagai gantinya angin masuk dari jendela balkon yang luas. Meja belajarnya penuh dengan buku. Tempat tidurnya juga rapi, luas dengan seprai coklat yang lembut. Ada kumpulan miniature alat musik di salah satu lemari kecil, koleksi Shan yang sangat mahal.

Philia sempat menyikat habis semua mainan itu waktu mereka berusia delapan tahun sehingga bentuknya jadi kumal tak jelas. Shan hampir pingsan begitu melihat kalau koleksinya berubah menjadi satu warna. Namun berkat kejeniusan Septo, semua koleksi itu berhasil menjadi berwarna lagi dengan sedikit cat warna.

Septo tersenyum, mengambil salah satu foto yang diambil satu tahun lalu. Saat itu mereka liburan ke Danau Toba dan Shan berhasil menangkap ikan dengan ukuran sangat besar. Kenangan yang menyenangkan, apalagi jika ditambahi dengan munculnya kembang api di langit.

Ponsel Shan berdering dan bergetar di meja belajar. Perhatian Septo teralih dan menuju ponsel Shan. Septo mengintip sedikit pada pintu yang tertutup, kemudian dia mengalihkan matanya pada ponsel Shan.

Ada satu pesan yang masuk. Dari Chiko.

“Loh?” Septo terheran. “Jadi selama ini Chiko berhubungan dengan Shan? Hebat juga si Chiko langsung dekat-dekat Shan yang tahu jiwa Philia dengan baik,” Speto terkekeh, lalu duduk di atas tempat tidur sambil bersiul.

Dia dapat mendengar suara Maltesa dan Dhito yang saling menggonggong. Terry juga membalas dari seberang. Dan suara Philia yang menyuruhnya diam membuat Septo tersenyum lagi.

Philia memang lucu. Yang mengherankan kenapa tak ada juga cowok yang menyadari itu ya? Masa cuma Chiko yang sadar sih? Padahal kan Philia gadis manis.

Septo menguap, melirik jam dinding yang tertempel dengan apik di seberang ruangan. Jam sepuluh. Pantas saja dia merasa capek. Tadi di sekolah ada olahraga yang menyita habis tenaganya, belum lagi ada praktikum yang menyita pikirannya.

Ponsel Shan berdering lagi. Kali ini lebih lama dan ringtone-nya berbeda dengan yang sebelumnya. Septo bangkit dan mendapati kalau nama Chiko tertera lagi di layar.

Septo menunggu beberapa saat sampai ponsel Shan berhenti, tapi setelah beberapa detik berhenti, ponsel Shan berdering lagi dan masih dari Chiko. Memastikan kalau Shan mungkin masih lama karena milk shake, Septo mengambil ponsel Shan dan mengangkatnya.

“Shan, kenapa kau nggak balas SMS-ku sih?” gerutu Chiko dari seberang. “Dengar, aku tahu kau ini teman Septo tapi kau juga harus kasihan pada Philia.”

Ha? Septo terbengong.

“Aku ngerti posisimu yang terjepit diantara mereka bertiga. Tapi kau harus menolongku membuat Philia melupakan Septo—”

Pintu terbuka dan Shan masuk membawa pudding dan milk shake yang mengepul dengan wangi yang enak.

Tapi pikiran Septo saat ini sekarang ada pada pembicaraan Chiko.

“—kan kasihan si Philia cintanya nggak terbalas-balas dari si Septo. Septo sendiri juga nggak sadar dengan perasaan si Philia.”

“Aku bawa pesananmu nih,” kata Shan meletakan nampan ke meja belajarnya. “Kau pasti suka. Kau kenapa?” kata Shan dengan dahi mengerut. “Kau teleponan dengan siapa?”

Septo menurunkan ponsel Shan dari telinganya dan memberikannya pada Shan. Shan masih mengerutkan dahi saat menempelkan telinganya ke telepon dan mendengar suara Chiko di seberang.

“Shan? Kau masih disana kan?”

“Eh? Apa?” kata Shan bingung.

“Ya ampun. Aku tanya apa yang harus kulakukan mengenai si Philia nih.”

Shan menatap Septo. Septo kelihatan tidak seperti lima belas menit lalu. Wajahnya tegang dan tangannya terkepal sementara berulang kali dia menelan ludah. Ada sesuatu yang terjadi.

“Sori, Chik. Emangnya tadi kau bilang apa sih? Aku nggak konsentrasi,” kata Shan was-was. Ekspresi Septo menunjukan kalau pembicaraan Chiko sangat berbahaya.

“Aku tanya apa kau bisa membantuku jadi mak comblang antara aku sama si Philia. Tapi nggak masalah sih kalo kau tak mau. Aku ngerti kok posisimu diantara Septo dan Philia. Ya—”

“Shan, apa benar Philia suka sama aku?” kata Septo tiba-tiba.

Shan tercengang. Astaga. Jadi Septo benar-benar mendengar semuanya?

“Halo Shan? Kau masih disana?” kata Chiko lagi diseberang.

“Um, Chik. Entar aku hubungi lagi ya. Ada emergency nih,” kata Shan dan tanpa menunggu jawaban, dia menutup telepon Chiko. Shan melirik Septo pelan-pelan, kemudian dia membasahi bibirnya dan berkata, “Apa yang ingin kaubicarakan?”

“Aku tanya apa benar Philia suka sama aku,” ulang Septo dengan nada lambat dan jelas.

Shan kembali membasahi bibirnya. “Kau datang kemari cuma untuk bertanya itu?”

Septo mengalihkan perhatiannya ke balkon. Shan menduga kalau Septo pastilah berupaya untuk menjaga emosinya agar tetap tenang. Dia tahu walau bagaimanapun keadaannya, Septo tak ingin bertengkar dengannya hanya karena masalah sepele.

Setelah beberapa detik, Septo kembali menatap Shan dengan ekspresi yang lebih tenang.

“Awalnya aku datang kemari untuk meminta bantuanmu mengenai Philia. Tapi aku nggak tahu lagi apakah pembicaraan ini menjadi penting setelah aku mendengar perkataan Chiko tadi,” kata Septo pelan.

“Philia bilang apa?” kata Shan.

“Philia minta aku untuk mengusir Chiko dari kehidupannya,” Septo menjawab blak-blakan, sesuai sifatnya. “Tapi aku cukup menyukai Chiko dan mendukung hubungan mereka jika suatu hari nanti mereka jadian. Masalahnya—aaah!” Septo kembali tak terkontrol. “Aku tanya padamu sekali lagi, apa yang dikatakan Chiko barusan itu benar?”

Shan menggigit bibir. “Aku juga nggak tahu secara pasti, Sep. Aku cuma menduga.”

“Terus kenapa dugaanmu mengarah padaku?” kata Septo tak sabar. “Kenapa bukan kau?”

“Aku mengenal Philia sejak kecil, Sep. Aku tahu kalau dia memang sering naksir cowok tapi semuanya itu tak lebih dari cara dia naksir padamu.”

Septo mengerutkan dahi, masih tak mengerti.

“Aku cuma melihat dari ekspresi Philia kalau dia benar-benar suka padamu,” kata Shan duduk di meja belajar. “Dan kau tak peka. Setiap kali dia merasa terancam dan butuh sesuatu yang mendesak, dia akan mengandalkanmu lebih daripada aku. Contohnya ya sekarang. Saat ini. Philia memintamu untuk mengusir Chiko kan? Kenapa dia tak memintaku juga? Kenapa dia cuma meminta padamu?”

“Philia mungkin lupa untuk memberitahumu,” kata Septo mondar-mandir.

Shan menggeleng. “Kenyataannya, aku selalu jadi nomor dua saat Philia memberitahu hal penting. Kau selalu jadi nomor satu. Terima saja kenyataan itu.”

Septo masih mondar-mandir. “Ini tidak benar. Sama sekali tak benar. Aku tak percaya kalau Philia suka padaku. Seleranya sangat tinggi dan Chiko memiliki kemampuan yang lebih daripadaku. Kenapa dia justru memilihku?”

Shan menghela napas. “Aku juga nggak tahu, Sep. Kenapa kau tak tanya saja sama Philia secara langsung?” canda Shan.

Septo berhenti melangkah dan mengangguk mantap. “Aku akan melakukannya.”

Shan tercengang. “Kau akan melakukannya?” ulangnya ngeri. “Sekarang?”

Septo menggeleng. “Nggak. Besok. Aku ingin malam ini Philia tidur dengan tenang.”

Shan mengerjap tak percaya. Septo benar-benar menganggap serius perkataannya. “Dan apa yang akan kau lakukan jika Philia benar-benar naksir padamu?”

“Aku tak yakin mengenai itu,” kata Septo mantap. “Dia suka sama si Brondong.”

“Tapi bagaimana kalau dugaanku benar? Apa yang akan kau lakukan? Membalas cintanya? Menolak Philia? Apa kau sendiri sudah yakin dengan perasaanmu saat ini? Memangnya apa yang kau jawab kalau Philia tanya mengenai perasaanmu?” kata Shan serius.

Septo terdiam beberapa saat. Otaknya kembali mencerna perkataan Shan.

Selama ini dia memang menganggap Philia sebagai teman baik. Teman baik pertamanya yang berjenis kelamin wanita. Bersama Philia sangat menyenangkan sekaligus seru juga. Dia tak pernah berpikir mengenai hal lain selain sahabat.

Tapi, jika Philia melihatnya sebagai seorang cowok, bagaimana caranya sendiri melihat Philia?

Oh, Tuhan, ini mengerikan. Tak pernah terbayang dalam pikirannya kalau Philia suka padanya. Berharap saja dia tak pernah.

Dan Philia suka padanya.

Sejak kapan? Sudah berapa lama? Dan kenapa dia tak menyadarinya?

Philia pastilah sudah memendam perasaan apapun itu sejak lama. Entah berapa banyak penderitaan yang ditanggung cewek itu.

Dan ini juga salahnya sendiri karena tidak peka terhadap keadaan sekitarnya.

Septo rasanya ingin membenamkan dirinya ke sungai terdekat. Atau melemparkan dirinya dari gedung yang tinggi. Atau mungkin menguburkan dirinya ke tempat terdalam. Pokoknya kemana saja untuk lari dari masalah ini.

“Nah?” kata Shan saat Septo melihatnya.

Tapi Septo tak bisa lari.

Jika dia lari maka Philia akan tersiksa lebih lama dan dia benci jika dirinya menjadi pengecut. Masalah ini harus diluruskan secepatnya. Dia harus melakukan sesuatu.

Tapi, bagaimana caranya?

“Kurasa aku mau makan pudding,” kata Septo mengambil pudding di atas meja dan memakannya dalam diam. Benaknya dipenuhi dengan algoritma kemungkinan.

^^^***^^^

Chiko tak tenang. Berulang kali dia menatap ponselnya dengan kerutan di dahi yang makin lama semakin dalam.

Sejak kemarin malam Shan sama sekali tak bisa dihubungi. Bahkan saat pesan masuk dari Shan keesokan harinya, beberapa detik setelahnya, nomornya tak bisa dihubungi lagi. Pesan dari SMS Shan membuatnya gundah. Isinya:

Sori, Chik. Aku nggak bisa bantu apapun sampai masalah emergency selesai. Kau siap-siap aja untuk kemungkinan terburuk.

Tapi, kemungkinan terburuk apa? Apa Philia tahu kalo selama ini dia mendapat bantuan dari Shan?

“Woi, aura lo nggak enak tahu,” Steave mendatanginya sambil menggetoknya dengan buku absensi. “Kenapa lo? Dari pagi manyun mulu. Elo nggak ketemu bidadari lo? Biasanya elo langsung ngacir kalo udah bel begini.”

Chiko meliriknya sejenak tapi memilih tak menjawab.

“Gue tahu. Elo kalah saing sama teman si Philia kan?” Steave ngakak. “Kan udah gue bilang, elo lebih baik nyerah aja deh. Ada dua cowok cakep yang bersedia mati demi dia. Nggak ada elo si Philia juga senang-senang aja tuh.”

“Rese lo. Gue lagi bête tahu.”

Steave nyengir lagi. “Marahan lagi sama si Philia?”

Chiko menghela napas.

Dengan lagak kebapakan Steave menepuk bahu Chiko. “Salah lo sendiri sih pake acara main sikat aja. Dia kan jadi sensi ngeliat elo. Cewek itu butuh slow motion tahu. Tarik… ulur… tarik… ulur… gitu.”

Chiko menatap Steave lagi. “Lo kira layangan? Steave, elo nggak tahu masalahnya jadi lebih baik elo diam aja deh. Gue nunggu telepon penting nih?”

“Oh, ya? Dari siapa?”

“Shan.”

“Shan? Si Shandy maksud lo? Wah…” Steave tercengang. “Sejak kapan elo jadi akrab sama sobatnya si Philia. Hebat juga lo. Nggak bisa pedekate lewat Philia, elo pedekate lewat temannya. Salut gue/”

“Aduh, elo berisik tahu nggak,” gerutu Chiko.

Steave ngakak lagi. “Tadi gue keluar. Terus ngga sengaja dengan ceritanya si Philia di telepon sama si Septo. Elo mau tahu nggak mereka cerita apa?”

“Nggak. Dan gue nggak peduli.”

“Masa sih?” kata Steave dengan alis menaik. “Ya udah deh, gue ninggalin elo sendiri buat nunggu teleponnya si Shandy. Lo aneh deh, padahal yang dekat banget sama si Philia kan Septo bukan Shandy. Harusnya elo dekatin Septo bukan Shandy.”

Namun tiba-tiba saja Chiko merasa tertarik dengan perkataan Steave. “Eh, tunggu tunggu tunggu. Gue berubah pikiran. Mereka ngomong apaan?”

Steave ngakak, “Yeee, elo, kalo udah berurusan sama Philia aja, lupa sekitar lo,” lalu dia buru-buru menambahkan saat melihat tampang seram Chiko yang nongol. “Oke. Gue dengar tadi kalo Philia sama Septo janjian ke Café. Amour Café. Lo tahu kan tempatnya?”

Chiko menggeleng. “Gue masih belum sempat jalan-jalan.”

Steave memutar bola matanya, “Itu Café terkenal. Coba elo cek di sekitar Kelapa Gading. Tempatnya tepat di sudut dan terpencil. Elo tanya orang di pinggir jalan juga pada tahu kok.”

“Oke deh,” Chiko mencatat alamatnya dengan cepat. “Thanks ya.”

“Tapi gue minta elo siap-siap buat kemungkinan terburuk deh.”

“Emang kenapa?” kata Chiko.

“Itu kan café buat orang pacaran. Biasanya orang datang kesana buat nembak cewek, bikin lamaran, atau sejenisnya. Istilahnya, berpasangan,” kata Steave. Lalu dia menambahkan, “Tapi, ehm, itu cuma gosip,” saat melihat wajah kaget Chiko.

Café buat pasangan? Chiko mengulang ngeri dalam otaknya. Ini tak berarti kalo Philia bakal nembak Septo kan? Atau malah lebih parah, Septo ternyata suka beneran pada Philia!

^^^***^^^

Septo merapikan rambutnya di depan cermin. Kegugupan tampak jelas di wajahnya. Bahkan dengan pakaian yang terlalu rapi dan tak biasa itu membuatnya jadi kelihatan aneh. Akhirnya, dengan tampang putus asa, Septo kembali ke depan lemarinya dan mengeluarkan kaos dan jeketnya lalu memakainya dengan cepat.

Sekali lagi Septo memerhatikan dirinya di depan cermin dan merasa tak puas. Dia ke depan lemari lagi dan mencari pakaian yang lain. Akhirnya, setelah berpikir kalau dia lebih baik memakai kaos longgar dan celana jeans sobek—soalnya Maltesa sudah berniat untuk menarik-narik bajunya yang berantakan di lantai—Septo pun mengambil kunci motornya dan turun dengan tergesa.

Dia sudah terlambat. Philia pasti sudah menunggunya terlalu lama.

“Kok lama sih? Ngapain aja?” kata Philia saat Philia membuka pintu.

Septo tak bisa menjawab. Bibirnya ternganga takjub ketika mengetahui kalau sahabatnya ternyata terlihat cantik sekali hari ini.

Hari ini Philia mengenakan terusan coklat pendek dengan celana panjang sampai ke mata kaki. Rambutnya sudah diikat setengah dengan jepitan manis yang menghiasi kepalanya. Bibirnya bahkan dipoles dengan lipstik pink yang memperlihatkan ke naturalan wajahnya. Belum lagi wangi parfumnya Philia yang sangat menggoda dari jarak sedekat ini.

Sobatnya kelihatan terlalu sempurna baginya yang hanya mengenakan kaos dan celana robek. Andai saja dia tahu kalau Philia bakal dandan manis begini, dia pasti tak akan menyesal dengan pakaian yang pertama.

“Septo?” kata Philia mengguncang-guncang bahunya.

Bego! Septo berusaha membuat dirinya sadar. Dia jadi aneh karena perkataan Chiko kemarin. Bukannya Philia emang selalu cantik? Bahkan dandanannya sekarang nggak jauh beda waktu mereka jalan-jalan bertiga waktu piknik empat bulan lalu. Ada yang salah dengan otakku!

“Eh, oh,” Septo tercekat. Dia seakan tak mampu bernapas. “Sori. Em—ketiduran.”

Alasan bodoh dari mana pula itu?

“Ya ampun. Harusnya tadi aku nelpon,” kata Philia berjalan mendahuluinya. “Terus kita kemana? Kau mau bicara apa sih? Kok rasanya penting banget?”

Septo jadi tidak yakin dengan keputusan yang dia buat semalam jika kondisinya begini. Tiba-tiba saja tubuhnya mendingin.

“Em… ada sesuatu yang harus kukatakan. Ini—eh, bakal lebih enak diomongin kalo kita cuma bicara berdua,” kata Septo mendekat ke arah motornya.

Philia menaikan alisnya. “Iya. Tapi kemana?”

“Kita ke café aja ya?” Septo naik ke motornya.

Philia menaikan bahunya. Tanda bahwa dia setuju. Setelah itu dia naik ke boncengan dan mendekap Septo dari belakang.

Tangan Philia yang biasanya tak berasa apa-apa kini bahkan membuat seluruh darah di nadi Septo berdenyut cepat dan memompa dengan tak terkendali. Sudah bertahun-tahun Philia melakukannya. Dia juga sering memeluk Philia tanpa perasaan. Sebagai seorang sahabat. Tapi sekarang? Dia seakan hendak mati karena sesuatu yang tak dia mengerti. Bahkan dia merasakan kalau udara yang ada di paru-parunya seakan habis. Atau jangan-jangan Bumi sendiri yang tak mendapatkan oksigen.

Namun untunglah dia masih bisa berkonsentrasi di jalan. Walau ada dua tiga orang meneriakinya dari belakang atau mungkin saat dia terlalu berjalan terlalu ke tengah, atau saat dia melewati lampu hijau yang tiba-tiba saja menyala merah. Untung saja dia tak segera dikejar polisi.

Philia memberikan helmnya pada Septo dan dahinya mengerut saat mereka memasuki café klasik yang cantik sekali. Mengingatkan Philia dengan sebuah kastil tua kecil.

“Yuk,” Septo menaiki anak tangga yang berderit dan membukakan pintu bagi Philia untuk masuk terlebih dahulu.

“Selamat datang!” seorang cowok menyambut mereka dengan senyuman menawan. “Apakah Anda sudah pesan meja sebelumnya?”

“Ehm, belum,” jawab Septo gugup.

“Kalau begitu, silakan lewat sini,” kata cowok itu lagi.

Philia memberikan tanda untuk mengikuti cowok itu. Mereka mengekor di belakang saat mereka di bawa ke belakang café yang penuh dengan sulur tanaman yang sudah dihias dengan lampu yang indah. Bahkan ada kolam ikan yang dikelilingi batu koral di samping mereka.

“Café ini keren!” kata Philia bersemangat. Dia duduk dengan wajah penuh kepuasan dan membuka menu yang sudah diletakan terlebih dahulu oleh cowok itu. “Siapa namamu?”

“Ariel,” katanya ramah. “Jadi, apa pesanannya?”

Philia dan Septo membaca menunya. Tapi Septo sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Bagaimana cara dia makan jika seluruh isi perutnya ingin keluar dari mulutnya? Akhirnya dia memilih pesanan yang ditawarkan Ariel. Cowok itu malah memberikan senyuman penuh pengertian dan tepukan hangat seolah-olah dia mengerti apa yang terjadi.

Sialan! Emangnya aku kelihatan kayak orang yang mau nembak?

“Sep, kau tahu darimana kalo ada café oke kayak begini?” kata Philia luar biasa girang. Sore sudah menjelang dan lampu-lampu di sekitar mereka memberikan penerangan dalam kegelapan yang justru membuat Septo merasa semakin parah.

Kenapa Ariel justru memberikan mereka nuansa paling romantis sih? Gelap. Hanya ada lampu-lampu kecil dan sebuah lampu berbentuk lilin di meja mereka. Kolam ikan yang bersinar. Dan—Ya Tuhan—kunang-kunang! Hebat sekali café ini merancang semuanya. Bahkan tak ada nyamuk satupun yang mengganggu.

“Oh, dari teman,” kata Septo singkat. “Dia bilang ada café oke. Jadi aku mau coba.”

“Jadi kau ngajak aku? Tapi kok nggak ngajak Shan? Ini nih yang mau kau ceritakan padaku?” kata Philia bersemangat.

Septo mencengkram tangannya. Dia menggigit bibir bawahnya dengan khawtir sambil bertanya-tanya apakah keputusan yang akan dia buat ini benar atau tidak. Bertanya-tanya apakah pertanyaanya tak akan mengejutkan Philia—atau lebih parah membuatnya menangis. Dan bertanya-tanya apakah dia dapat memberanikan dirinya untuk menanyai Philia soal masalah yang membuatnya tak tidur semalaman.

Sudahlah! Beranikan diri aja daripada aku penasaran setengah mati!

“Anu—sebenarnya aku mau tanya—”

“Loh? Kak Philia?”

Kalimat Septo terpotong saat mendengar ada suara yang memanggil nama Philia. Suara yang sangat hangat. Terdengar sangat menawan di telinga. Mereka mengadah dan Septo terpelongo melihat ada seorang Pemuda dengan tampang kayak pangeran berdiri di dekat mereka.

“Mikho?” Philia terheran. “Ngapain kau disini?”

“Aku kerja,” kata anak yang bernama Mikho itu. Dia memakai seragam yang sama persis dengan Ariel dan memegang nampan kosong. Dia melirik Septo dan terkekeh, “Wah, Kak Lia rupanya udah punya gandengan juga ya. Kok nggak cerita sih? Cakep juga. Kapan jadiannya? Udah lama?”

“Siapa?” kata Septo memotong sebelum Philia menjawab.

“Dia Mikho. Dia cowok brondong yang aku ceritakan waktu itu. Manis kan?” kata Philia.

Septo terpelongo. Otaknya serasa macet.

APAAAAAAAA?

^^^***^^^

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.