RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 26 November 2011

Philia-Chiko (Paper 3)

Tiga

Ada banyak hal mengenai Shan yang membuat cewek-cewek terhipnotis padanya: cakep, baik, ramah, pintar ditambah lagi bisa main alat musik dan anak orang kaya. Tak ada yang bisa menolak kharismanya itu. Ketika dia tersenyum, bew… cewek-cewek itu nyaris pingsan kayak disapu angin. Kalau dia ngomong, sssssing… sunyi dan terhipnotis dengan perkataannya. Dan kalau dia main musik, maka hanya ada satu suara ketika dia selesai: KYAAAAAAA—beginilah suara teriakan kalau ada di komik-komik.

Dan begitulah juga hari ini.

Philia dan Gina segera menutup kedua telinga mereka ketika Shan mengakhiri permainan biolanya. Melindungi gendang telinga mereka yang berharga dari suara-suara cewek mengerikan, yang bahkan nggak cukup teriak-teriak untuk menunjukan kekaguman mereka melainkan juga sambil bertepuk tangan dan membawa papan berisi nama Shan—kayak mau nonton konser.

Shan tersenyum, memberikan bungkukan paling sederhana dan paling sopan untuk para penonton, lalu menghilang di balik pentas. Seketika si Pangeran berubah kembali menjadi rakyat biasa.

“Fuh,” Shan menghembuskan napasnya, menghampiri Philia dan Gina yang menunggu di depan aula. “Untung selesai, aku pikir aku nyaris mati sanking gugupnya.”

“Penampilanmu oke,” kata Philia menunjukan kedua jempolnya, lalu melirik cewek-cewek yang melewati mereka sambil menunjuk-nunjuk Shan dengan mata penuh kekaguman.

Shan melihat arah pandang Philia lalu tertawa, “Mereka teman sekelas, Li. Kurasa mereka heran melihat aku bareng dua cewek cantik.” Dia melirik Gina. “Hai, aku Shandy. Shan, panggil begitu saja. Makasih udah datang ke pensi sekolahku.”

Gina menyambut tangannya. “Aku Gina.”

“Septo tadi SMS, dia datang waktu sore. Jadi, kalian mau kemana? Biar aku temanin.”

“Memangnya kau tak ada kegiatan lagi?” kata Gina heran. “Apa kau tak ikut bantu-bantu di Osis misalnya?”

Shan menggeleng. “Aku nggak suka ikut campur di organisasi. Repot dan ribet.” Katanya. “Jadi, kalian mau kemana? Mau makan siang dulu, atau main dulu?”

Rasanya nggak asik kalau main tanpa Septo. “Kita makan siang dulu aja, deh sekalian nungguin Septo.” Kata Philia. “Gimana, Gin?”

Gina mengangkat kedua bahunya. “Aku nggak keberatan.”

Akhirnya mereka setuju untuk makan di salah satu stan yang dimiliki oleh anak Osis. Restoran dadakan yang unik: Restoran Musik. Dengan alunan musik jazz yang oke, ditambah dengan permaian piano yang menarik perhatian. Meja-mejanya tertata dengan sangat apik dan cantik.

Masalahnya, saat mereka masuk bersama dengan Shan, pelayanannya tidak memuaskan. Masa cewek-cewek itu melirik ganas pada Philia dan Gina cuma karena mereka bareng Shan sih? Tapi saat Shan melirik pelayan itu, mereka kembali menunjukan wajah penuh kegenitan pada Shan.

“Aku jadi ngeri kalo mau jalan denganmu,” gerutu Philia.

“Memangnya kenapa?” Shan tertarik, membuka menu makanannya.

“Soalnya, cewek-cewek itu, akan menghabisiku,” jawabnya.

Shan tertawa. “Ya ampun, Philia, nggak ada yang istimewa selain kau kali. Jadi tenang aja. Tak ada yang bisa mengganti posisimu. Aku jamin.”

Gina menaikan alisnya. Entah kenapa dia memiliki prinsip kalau dia sekarang menjadi kambing conge diantara Shan dan Philia. Tapi karena Philia tak menanggapi perkataan Shan dan memilih untuk memberikan menu pesanannya, Gina membuang jauh pikiran itu. Siapa tahu, sebagai sahabat, mereka memang sering ngomong begituan.

Kan ada juga sahabat yang paling “honey-honeyan” bahkan tanpa ada ikatan pacaran dan jatuh cinta. Banyak lagi contohnya.

“Ada berapa banyak jurusan musik di sekolahmu ini?” Gina bertanya, berusaha sekuat tenaga mengusir kecanggungan antara mereka bertiga. Uhm, mungkin cuma Gina aja yang melihat aura penuh permusuhan dari cewek-cewek yang ada di resto ini karena baik Philia dan Shan kelihatannya nggak memberikan perhatian mereka pada orang-orang itu.

“Kami tak punya jurusan yang mengikat. Hanya saja cuma satu prinsip, kalau murid lebih ahli dengan salah satu alat musik maka para guru bakal membantu mereka sekuat tenaga,” jawab Shan menatap mata Gina.

Aduh, nggak kuat! Gina membatin. Cakep banget sih cowok satu ini! Nggak nyangka kalo selama ini Philia berteman sama cowok beginian. Pantesan aja si Chiko nggak kelihatan oke di matanya.

“Kau ahli main apa?” tanya Gina lagi, suaranya sedikit bergetar.

“Biola,” jawab Shan cepat. “Tapi karena sejak kecil aku suka musik dan kebetulan kedua orang tuaku juga main musik, aku bisa main piano dan cello juga.”

Gina manggut-manggut.

“Septo nggak bilang apa-apa soal kapan dia nyampe? Masa anak itu lebih suka berlama-lama ngurusin seminar daripada main sih? Kenapa dia bisa berubah jadi serius begitu?”

Shan menaikan alisnya. Keheranan. “Loh? Emangnya Septo nggak cerita padamu ya?”

Kali ini Philia menggeleng sambil mengerutkan dahi. “Dia nggak ngomong apa-apa. Memangnya ada apa? Dia bikin ulah atau bagaimana?”

“Seminar kali ini dia dapat kehormatan bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Teknologi sekaligus juga dapat penghargaan karena membuat alat pendeteksi gempa sederhana. Kau tak lihat beritanya di koran dua hari lalu?”

Philia menganga. “Aku nggak tahu apa-apa soal itu,” desah Philia. “Tapi kenapa dia sendiri nggak cerita sih? Rumah kami kan bersebelahan. Bukan hanya itu, jendela kamar kami juga bersebelahan! Jahat banget Septo nggak cerita begituan.”

“Mungkin dia lupa,” kata Shan.

Philia jengkel. Septo nggak pernah lupa akan apapun sebelumnya. Biasanya dia selalu melapor pada Philia. Sekecil apapun itu. Masa berita tentang munculnya dirinya di koran tak diketahui Philia sama sekali sih? Oh, come on. Kita sedang membicarakan Septo. Satu-satunya manusia di dunia ini yang paling susah diam.

Sepanjang makan siang, Philia memakan hidangannya sambil mendesis jengkel. Gina memerhatikan kalau Shan sekali-kali melirik padanya dan tersenyum sendiri sambil geleng-geleng kepala. Tidak salah lagi. Kali ini Gina benar-benar menangkap adanya sinyal-sinyal dari cinta.

Cupid kurang kerjaan! Masa dia nggak lihat masih ada satu cewek cantik yang nggak diperhatiin disini?

“Oi, ternyata disini!” suara Septo mengagetkan Gina. Philia sampai menjatuhkan garpunya.

“Septo!!” seru Philia jengkel. “Jangan ngagetin napa? Dasar jelek!”

Septo tertawa, lalu duduk disamping Shan yang juga ketawa. Melihat cowok ganteng duduk berdua benar-benar membuat kesan tersendiri bagi Gina. Ya ampun, mereka berdua benar-benar seperti model yang cocok banget. Serasi. Yang satu tipe pangeran dan yang satu lagi tipe anak nakal yang energik.

“Ini siapa?” Septo menatap Gina.

“Oh, ini teman sekelas Philia, Gina namanya.” Shan menjawab cepat.

“Hai, Gina. Aku Septo,” Septo menyapa sambil melambai kesenangan, lalu beralih pada Philia, “Coba tebak aku bawa siapa?”

Philia mengerutkan dahinya dan belum lagi dia mencerna apa yang terjadi terdengar suara yang nggak ingin dia dengar.

“Hai, Philia. Hai, Gina,” kata Chiko dan duduk disamping Septo.

Philia melotot dan Gina ternganga, bahkan Shan sampai mengerutkan dahinya.

“Kenapa dia ada disini?” Philia nyaris menjerit. Dia menatap jengkel Septo. “Kau ngajak dia kemari? Buat apaan?”

“Kami kebetulan ketemu di seminar,” jawab Septo cepat, tidak menggubris pelototan Philia. “Terus dia menyapaku dan bertanya kenapa aku begitu terburu-buru pamit padahal ada sesi tanda tangan. Terus, waktu aku bilang kalau aku ada janji dengan kalian berdua, dia minta ikutan. Menurutku sih oke-oke aja. Lagian, ini kan pensi. Siapapun bebas datang. Bukannya semakin banyak semakin baik. Ya kan, Shan?”

Shan mengerjap sejenak, menghela napas dan detik berikutnya geleng-geleng kepala bersamaan dengan gumaman, “Anak ini…”

“Kenapa? Salah kalau aku mengajaknya?” Septo bertanya keheranan.

“Idiot,” gumam Shan lagi.

“Tenang saja, Philia, aku nggak bakal merusak suasana,” kata Chiko enteng. “Kalian berdua tahu nggak, Philia mengalahkanku dalam tes Kimia dua hari lalu. Dia keren sekali.”

“Dia memang keren,” Shan setuju. “Kau satu-satunya orang yang bisa mengalahkannya.”

“Aku tak yakin,” kata Chiko kalem. “Aku yakin waktu SMP salah satu dari kalian pernah mengalahkannya dalam sains.”

Shan dan Septo berpandangan, lalu sama-sama menjawab, “Tak pernah.”

“Aku membenci sains seumur hidupku,” kata Septo.

“Dan aku lebih suka musik lebih dari apapun, jadi aku lebih suka belajar sejarah walau nilai sainsku nggak buruk-buruk amat,” kata Shan.

Chiko mengerutkan dahi. Jadi, pada intinya mereka berdua tak pernah mengalahkan Philia. Hal itulah yang membuat cewek itu nempel terus pada mereka, begitu kan? “Aku sungguh salut pada kalian berdua,” kata Chiko melirik Philia. “Bisa bertahan sama cewek sejenis Philia.”

Philia mencibir.

Septo tertawa.

“Begitulah. Kalau kita udah bersama-sama sejak kecil, maka kita bisa beradaptasi dengan lingkungan kita,” kata Shan lagi. “Lagian Philia nggak buruk-buruk amat. Dia cewek yang oke kok. Seenggaknya, bukan tipe cewek yang langsung berbinar melihat cowok cakep lewat.”

Dan mereka bertiga tertawa lagi. Tak menggubris Philia bahkan meliriknya.

“Oi,” kata Philia lagi. “Apa kalian tak malu bergosip di depan orangnya? Kalian ini sedang membicarakan aku tahu!”

Mereka tidak mendengarkan—atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarkan—karena mereka sibuk bertukar cerita. Membicarakan masalah-masalah yang tak dimengerti Philia dan Gina. Dan entah bagaimana, dari segi Philia dan Gina memperhatikan mereka: tembok permusuhan itu terhapus menjadi sebuah aliran persahabatan.

Mencair dan hangat.

Gina menyenggol Philia.

“Apa?” desis Philia.

“Gimana kalo kita berdua menyusup pergi dan cari cowok oke?” Gina berbisik. Sebenarnya dia nggak mau mengusulkan ini. Tapi, daripada manyun nggak jelas menunggui tiga cowok yang terobsesi pada mesin, musik dan sains, lebih baik mereka bersenang-senang sendiri.

Philia setuju. Dengan cepat dia mengangguk dan menyusup keluar dari restoran.

Tak ada satupun dari tiga cowok itu yang menyadari kalau mereka kehilangan mereka berdua karena mereka sibuk menceritakan tentang pedalaman antartika.

“Chiko sialaaaaaaaaaaaaaan!” Philia menggerutu sebal. “Dia udah berniat mengambil peringkat satu aku di sekolahan dan sekarang dia mengambil dua sahabatku begitu gampangnya! Menyebalkan! Dasar cowok jelek!”

Gina terkekeh sejenak. “Ya jelas ajalah mereka lebih nyaman sama Chiko. Mereka kan sama-sama cowok. Kan nggak mungkin banget Shan dan Septo ngbrolin soal cowok padamu. Bisa keki mereka berdua.”

Philia memberikan tatapan menyuruhnya diam. Benar-benar salah pilih topik.

“Kita main itu yuk,” Gina cepat-cepat menyudahi pandangan Philia dengan menarik gadis itu ke salah satu permaian “Pukul Tikus Tanah”.

Dengan cepat Philia menyambar palu kecil dan memukul tikus-tikus yang muncul di lubang sambil sesekali mengutuki Chiko. “Jelek! Chiko! Jelek! Chiko!”

Gina benar-benar pusing mengurusi Philia. Entah gimana cara Septo dan Shan bisa menenangkannya kalo dia ngamuk begini. Ampun deh. Capek banget!

Selanjutnya mereka foto berdua di foto-box buatan. Hasilnya oke banget. Kemudian melanjutkan perjalanan sambil makan gulali dan mencoba asesoris yang dijual dipinggiran. Gina cukup berani meramal dirinya pada salah satu peramal yang memakai bola kristal berembun yang mirip dengan bola kristalnya Harpot waktu pelajaran Ramalan bersama Prof. Trelewney. Masalahnya, sama seperti Hermione, Philia nggak percaya sama sekali dengan tipuan seperti itu.

Mereka juga membeli sepasang gelang yang sama. Tanda persahabatan baru dari dua jomblowati yang bahagia. Lalu tertatih-tatih mencoba sepatu tinggi yang kesempitan dan akhirnya cukup lelah untuk keliling dan memutuskan untuk duduk sebentar di pondok kecil penjual es kelapa muda.

Benar-benar pondok yang oke. Bahkan pelayannya aja pake jas dan tampangnya oke punya. Gina yang tertarik bertanya cowok itu kelas berapa dan dia menjawab kalo dia masih kelas satu. Iiiih… brondong imut! Begitulah mereka berdua putuskan.

“Kalian darimana sih?” Chiko terlihat jengkel. Kedua tangannya sudah di pinggang. Shan dan Septo yang ada di belakangnya juga kelihatan khawatir. “Kami dari tadi mencari kalian tahu. Hape nggak aktif. Perginya nggak pamit lagi.”

Philia dan Gina saling pandang.

“Kalian duluan yang cuek pada kami. Kami kan cuma keliling stan doang,” kata Gina cepat. “Lagipula, ide itu bagus juga kan, Li. Jalan berdua terus ketemu cowok oke lagi!”

“Benar banget! Brondong!!” Philia terkekeh melihat Gina juga ikutan ketawa. “Goodbye hari-hari jomblo. Welcome, cinta!”

“Apa?” kata Chiko, Shan dan Septo bersamaan..

Philia merangkul Gina dan berbisik penuh misteri, “Kami nggak akan cerita pada kalian berdua. Ini masalah cewek. Yuk, Gin, kita lihat stan yang lain.”

Dan mereka meninggalkan tiga cowok itu.

^^^***^^^

2 komentar:

Tharie Marpaung mengatakan...

oke postingannya udah bisa dilanjut ke paper 4 dan seterusnya

prince.novel mengatakan...

Roger!

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.