RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 13 Agustus 2011

Amour Cafe Receipt Fifteen

by: Prince Novel

Receipt Fifteen

Mama bilang kalau dia akan menemani salah satu temannya dan menginap di tempat saudara, jadi dia memintaku untuk tinggal sendirian menemani Andre. Setidaknya dia tidak melihat kondisiku karena dia bicara melalui telepon. Jadi, disinilah aku, di sofa dan hampir tertidur sampai kemudian pintu rumahku digedor keras sekali dan aku mendengar suara dari luar.

“Lex! Alex, buka pintunya!”

Aku terjaga dan terduduk cepat. Itu suara Ariel. Aku cepat-cepat membuka pintu, terpincang-pincang melangkah. Saat kubuka, Ariel menghambur masuk dan tampangnya penuh kekagetan melihatku.

“Ya ampun, ternyata benar,” gumam Ariel.

“Kenapa? Ada apa?”

“Andre tadi datang ke café, marah-marah sama Hazel. Dia bilang kalau kondisimu memprihatinkan. Dia menduga ada yang tak beres, lalu dia tanya apa Hazel tahu kondisimu yang begini.”

Aku masih bingung. “Lalu?”

“Andre pikir kau pasti dikerjai Rhea karena Hazel.”

Astaga.

“Awalnya Hazel nggak tahu apa-apa dan kelihatan bingung, sampai kemudian Kevin sadar kalau Kian mengetahui sesuatu. Mereka maksa Kian cerita.”

“Lalu?” aku gemetar. Menunggu hal yang terburuk.

“Hazel, Felix sama Andre marah besar dan memburu Rhea sekarang.”

“Apa?” aku shock. “Apa sih yang dipikirkan Kian? Kupikir Kian nggak bakal cerita. Rhea udah diperingati sama Kian kok.”

Ariel tampak sama kagetnya denganku. “Iya, tapi Kian tak bisa apa-apa ketika disudutin Hazel. Ya ampun, Alex. Aku bersumpah kalau aku tak akan pernah membuat Hazel marah. Dia menyeramkan sekali. Sungguh.”

Aku ingat kata-kata Karel kalau Hazel salah satu yang jago berkelahi dan sukanya berantem. Dia yang paling berandal daripada dua yang lainnya. Sekarang aku tahu seberapa menyeramkannya dia bahkan sampai membuat Kian tak bisa berbuat apa-apa. Kian saja sudah cukup menyeramkan. Apa lagi Hazel. Aku sama sekali tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi pada Rhea.

“Susul mereka dan katakan kalau aku tak apa-apa.” Aku panik. Tentu saja. Kalau Kian berani memotong rambut Rhea, aku takut kalau Hazel bakal memukulinya.

“Mereka tak mendengarkan. Kau pikir kenapa aku datang kemari? Kevin saja tak bisa menahan mereka.”

Aku merogoh ponselku, mencoba menghubungi nomor Hazel. Mati. Nomor Felix. Nomornya di luar jangkauan. Terakhir, aku mencoba nomor Andre.

“Apa?” Andre menjawab.

Suaraku naik satu oktaf. “Apa yang kau lakukan sekarang? Pulang!”

“Nggak!” Andre balas berteriak. “Cewek itu harus mendapatkan balasan yang setimpal karena udah bikin elo luka!”

“Tapi dia udah dibalas Kian dan aku udah nggak apa-apa!”

“Elo nggak tahu siapa Rhea! Rambutnya dipotong nggak bakal membuat dia bertobat!”

Andre menutup teleponnya. Membiarkan aku berteriak jengkel pada telepon yang berdenging. Ya, ampun. Aku tak menyangka kalau masalahnya akan jadi sebesar ini.

“Duduk dulu, Lex,” Ariel memegang bahuku. Dahinya mengerut dan dia kelihatan mencemaskanku. “Siapa yang ada di rumahmu sekarang?”

“Aku sendirian,” gumamku.

Ariel menuntunku untuk duduk disalah satu sofa. Kemudian Ariel duduk di dekat pintu, jauh sekali dari tempatku berada, “Jangan salah paham, Lex, tapi lebih baik aku jaga-jaga disini saja. Bahaya sekali kan kalau cuma kita berdua di rumahmu.”

Apa maksudnya?

Ditemani Ariel justru membuatku tak nyaman. Aku tak pernah bicara berdua dengannya—walau kami pernah naik motor bareng. Dan aku juga baru sadar kalau dalam kondisi berduaan begini membuat ruangan dan udara disekitarku menjadi membeku.

Kalau dipikir-pikir, aku cuma bisa melihat Ariel dari jauh, dulu sekali saat aku belum mengenalnya. Dan kalaupun aku mengenalnya sekarang, aku merasa tidak terlalu mengenalnya. Kami jarang mengobrol dan pembicaraan yang sering kami bahas paling hanya mengenai pekerjaan. Kami tak pernah membicarakan Adriel ataupun tentang sekolah dan sekali lagi aku menyadari kalau kami masih jauh dari kategori teman.

“Em…” aku berusaha bicara. Ariel juga tampaknya tak berniat mengatakan apa-apa dan tidak memaksaku untuk bicara. “Bagaimana hubunganmu dengan Adriel?”

Ariel tersenyum. “Yah, seperti yang sebelumnya. Tak ada yang berubah.”

Hening lagi. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku harus mencari topik lain untuk jadi pembicaraan yang mengalir. Kenapa dia sama sekali tak mau bertanya sih?

“Lukamu seberapa parah, Alex?” akhirnya Ariel bicara. Aku menghela napas lega. “Kalau dari sudut pandangku yang melihat, sepertinya kelihatan parah sekali. Kau benar-benar tak apa-apa kan?”

Aku mengagguk, “Aku tak apa-apa.” Dan aku menyesali jawabanku barusan karena dengan jawaban segitu, kami kembali diliputi keheningan. Aku benar-benar tak bisa mengalirkan pembicaraan! Goblok benar!

“Alex,” Ariel kembali bicara, “kalau kau tak nyaman, aku akan keluar saja. Kevin menyuruhku menjagamu karena mereka pikir lebih baik kau dijaga dulu untuk sementara.”

Oh, tapi kenapa Kevin mengirim Ariel, bukannya Kian atau dirinya sendiri saja? Aku kan tak bisa ngobrol dengan nyaman padanya.

“Kevin sama Kian menyusul mereka. Kupikir mereka lebih baik dan bijak dalam masalah ini daripada aku yang tak tahu apa-apa.”

Dia membaca pikiranku dan membuatku bungkam. Tiba-tiba dia bangkit, membuka pintu dan keluar tanpa suara. Tindakannya barusan membuatku semakin merasa bersalah. Mengutuki diriku yang tak bisa bicara dengan biasa padanya, membuat dadaku terasa sesak. Setelah diam beberapa saat, aku bangkit dan berjalan tertatih-tatih ke dapur. Aku mencemaskan malam ini. Mencemaskan besok yang akan terjadi. Kuharap Andre bisa segera pulang.

KUHARAP MEREKA TIDAK MELAKUKAN TINDAKAN BODOH

Aku menyeduh air panas, bau teh jahe mengudara. Kuletakan dua cangkir di atas nampan. Setidaknya, aku memberikan teh pada Ariel. Aku tak mau membiarkan dia mati kedinginan di luar. Berjalan perlahan memegangi nampan, aku menyebrangi ruangan, membuka pintu dan mengintip sedikit.

Ariel ada di luar gerbang. Dia duduk di atas motornya, menggosok-gosok tangannya dan sesekali menghembus-hembuskan tangannya. Dia kedinginan. Aku benar-benar bego.

“Ariel,” aku melihatnya merespon, menoleh padaku. “Em… minum teh dulu. Hangatkan badanmu.”

Bahkan dari jarak sejauh ini, aku bisa melihat senyumannya. Dia mendekat, kemudian mengambil cangkir yang ada di atas nampan. “Terima kasih, Alex. Kau sampai capek-capek mengantarnya.” Dia kembali tersenyum.

Aku memilih untuk duduk disampingnya. Di depan pintu rumah, di atas tangga batu. Setidaknya, walau aku dan dia berdiam diri, kami masih disibukan dengan teh kami masing-masing.

“Jadi, kau suka pada Hazel?”

Aku mengerjap, cangkir di tanganku hampir saja lepas. “Ha?”

“Kau begitu memikirkannya,” kata Ariel. Matanya jernih sekali. “Dari awal kau memang dekat dengan dia kan? Jadi tak aneh kalau kau suka padanya. Justru aneh kalau kau suka Felix atau Kevin.”

Aku nyengir kecil, tak tahu harus bilang apa. Dalam hati aku juga bertanya-tanya sendiri. Aku ini suka sama Hazel atau tidak ya? Jawabannya sudah pasti suka. Aku tak punya alasan untuk membencinya. Tapi, aku yakin sekali maksud suka yang dikatakan Ariel beda dengan suka yang kudekripsikan.

“Aku juga merasa kalau Hazel menyukaimu.” Kata Ariel lagi, meneguk tehnya. “Kurasa dia bukan tipe orang yang mudah membuka dirinya bagi orang lain. Kevin bilang kalau dia orangnya cukup tertutup.”

Aku membalas pelan. “Ketiga sepupu itu memang tertutup.”

Ariel bergerak, tampak tertarik dengan perkataanku barusan, “Sepupu?”

Aku bingung. “Kau tak tahu? Mereka sepupu: Kevin, Felix, Hazel. Hazel adalah yang paling muda—”

“Ha?” aku bisa melihat kekagetan dari wajahnya. “Tapi Hazel itu—kupikir dia justru lebih tua dari Felix.”

“Aku juga awalnya berpikir begitu. Dia seusia dengan kita.”

Ariel tertawa. Dia kelihatan terkejut, tapi sekaligus juga takjub. “Wuah… aku tak menyangka kalau aku bisa bertemu dengan orang seperti itu. Kau tahu, aku begitu mengagumi Hazel, terlepas dari usianya. Dia sangat dewasa dan tenang. Lebih berwibawa dari Kevin ataupun Felix. Aku tak menyangka kalau dia masih begitu muda.”

Dan waktu seakan berjalan. Obrolan kami dimulai dari Hazel, lalu beralih pada Felix, Kevin lalu Kian. Dia bilang kalau Felix sedikit membuatnya terganggu. Gayanya yang sok nge-bos itu membuatnya kesal. Kevin berbeda. Walau tampak bermain-main, Ariel tahu seberapa bekerja kerasnya cowok itu. Ariel bahkan bilang kalau Kevin juga mengelola toko bunga di pagi hari. Namun, saat pembicaraan beralih pada Kian, Ariel mengerutkan dahinya.

“Suka… tidak suka… bagaimana ya?” kepalanya miring. “Awalnya aku tak menyukainya dan berpikir lucu: bagaimana mungkin ada orang yang tak mengenal Ketua Osis-nya atau bagaimana mungkin aku tak mengenali orang yang pintar sepertinya, kenapa aku tak pernah melihatnya beredar di sekolahan padahal dia begitu terkenal dan sejenisnya. Tapi setelah mengenalnya, aku merasa dia sedikit memiliki sifat Felix. Dia pendiam, pemalu, juga lucu.” Kemudian dia beralih padaku. “Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana cara dia melihatmu, dan aku rasa kalau dia itu manis sekali.”

Aku mengerjap. Kata “manis” keluar dari mulut Ariel dengan mudahnya untuk Kian. Aku sama sekali tak menyangka.

“Untuk sekarang, aku bisa bilang kalau aku menyukainya. Aku belum pernah melihatnya marah dan kuharap bisa melihatnya secepatnya.”

Kali ini aku yang tertarik. “Kenapa?”

“Untuk melihat isi hati orang dari luar dalam, kau harus melihat semua eskpresi mereka. Dengan begitu, kau bisa mengetahui saat mereka marah, kesal, sedih dan sejenisnya. Aku selama ini tak menyadari hal itu, oleh karena itu temanku sering berperasangka buruk padaku.”

“Oh ya?” aku terkejut.

“Ya,” katanya lagi. “Aku ini selalu baik pada semua orang. Sama rata,” dia menatap langit. “Masalah yang pernah timbul akibat sifatku ini adalah, pacar temanku naksir padaku. Lalu sahabatku mengira aku suka dia. Kemudian…” dia berhenti, menatapku. “Orang yang kusukai justru tidak melihat rasa yang sudah kuberikan padanya.”

Aku bergerak penasaran. “Kau punya orang yang kau sukai? Siapa?”

Ariel tidak langsung menjawab. Dia meletakan cangkirnya dan kembali menatap langit. Iiish… tingkahnya itu benar-benar membuatku jengkel.

“Ariel, siapa? Siapa yang kau sukai?” aku menanti jawaban itu. Kalau dia menyukai Adriel, maka aku bisa mengatakan kalau Adriel juga menyukainya. “Ariel…” aku membujuknya karena dia tidak mau menjawab.

Ariel kembali menatapku. Dia tersenyum, kemudian mengelus lembut pipiku dengan punggung tangannya. “Kau memang lamban, Alex.” Katanya perlahan.

“Ha?” aku tak bisa bergerak.

“Aku menyukaimu. Apa kau tak bisa melihatnya?”

Jantungku seakan berhenti. Begitu juga dengan napasku dan waktu. Hal yang barusan dikatakan Ariel membuatku membisu sekaligus tuli dalam sekejap. Apa… apa yang barusan dia katakan?

“Aku menyukaimu dan kau tidak salah dengar,” kata Ariel lagi. Dia benar-benar bisa membaca pikiranku. “Aku akan mengatakannya berulang-ulang sampai kau sadar.”

Aku menjauh, menyingkir dari tangannya yang membuat pipiku terasa panas. “Eh… uh… Ariel—anu…”

Ariel menurunkan tangannya dan kembali melihat langit. “Mengenai Adriel, aku sudah menolaknya. Maaf, Alex, aku memang sudah berusaha untuk menyukainya, tapi dia memang sama seperti yang lain.”

Tanganku gemetar. Walaupun aku ingin bertanya kenapa dia menolak Adriel dan malah memilihku, suaraku tak bisa keluar.

“Adriel tidak melihatku seperti kau melihatku.” Nah, dia berhasil menjawab kembali pertanyaan yang nyangkut di tenggorokanku. “Matanya berbinar ketika melihatku dan dia tak bisa bicara.”

“Itu karena dia menyukaimu,” akhirnya suaraku keluar.

“Awalnya aku juga berpikir begitu. Tapi, beberapa kali kami jalan, aku tahu kalau dia cuma mengagumiku sebagai idola. Aku tak membutuhkan gadis seperti itu,” Ariel menghela napas. “Dia selalu membelikanku macam-macam walau aku sudah melarangnya. Dia selalu membayar makan, mengirim pesan dan menelepon bahkan saat aku tak ingin. Maksudku—” Ariel berhenti, kemudian menatapku. “—setidaknya kita harus menghormati keinginan orang lain kan? Aku tak nyaman diperlakukan begitu.”

Aku tak pernah mendengar keluhan Adriel tentang Ariel. Mungkin karena Ariel terlalu baik hati untuk menolak. Tapi, apa benar yang dikatakan Ariel? Aku jadi penasaran. Adriel memang suka membelikan barang—bahkan aku sendiri juga membenci sifatnya yang satu ini—tapi, sampai membuat Ariel terlihat susah begini…

“Alex,” Ariel kembali buka mulut setelah hening. “kau tak perlu merasa susah karena perasaanku. Perlakukan saja aku seperti biasa. Aku juga tak ingin Adriel berburuk sangka padamu. Aku tahu kok kalau kau hanya menganggapku sebagai teman. Tapi, aku cuma ingin memastikan padamu, kalau kau merasakan kehadiranku dan kalau kau merasakan apa yang kurasakan padamu, katakan saja, oke? Aku tak ingin memaksamu suka padaku.”

Aku mengangguk. Walau dia bilang begitu, mana bisa aku bersikap biasa saja. “Kapan kau suka padaku?”

Ariel bergumam lalu tertawa, “Di hari pertama aku melihatmu. Kau tahu saat aku menyerahkan lembaran surat cinta teman-temanku untuk Adriel, kau menatapku secara langsung tanpa bertingkah seperti orang aneh.”

Oh, iya. Kalau tak salah, sejak saat itu Ariel sering menatap meja kami. Ternyata dia bukan menatap Adriel, tapi aku. Aku! Sejenak ada rasa kebanggaan pada diriku. Aku yang biasa-biasa ini bisa disukai sama Pangeran Sekolah bahkan saat ada Putri Kecantikan disampingku? Oh, ya Tuhan…

“Karena auramu berbeda, mataku tak bisa beralih padamu. Tapi, yah…” dia mengangkat bahu. “Untuk yang sekarang aku sudah senang, Alex.”

Diam-diam, aku tersenyum. Kata-katanya memang tidak manis, tapi entah kenapa aku merasa senang sekali.

Bunyi deruman rendah memecah udara yang pink di sekitar kami. Jeep Felix berhenti di depan gerbang, disamping motor Ariel. Kemudian motor Kevin, dan diboncengan belakang ada Kian. Andre, Hazel dan Felix turun dari jeep, masing-masing memasang tampang jengkel. Aku dan Ariel segera berdiri.

“Kalian sudah kembali?” aku bermaksud mendatangi mereka, tapi Ariel menghalangiku sambil bergumam “kakimu” padaku.

Hazel berlari terlebih dulu dan memelukku. Napasnya terengah dan denyut jantungnya cepat sekali. “Alex, maafkan aku.” Katanya pelan. Dia melepas pelukannya, memegang kepalaku, “Ini salahku. Harusnya aku pisah dengan dia sejak dulu. Coba lihat apa yang dia lakukan padamu. Ya Tuhan, Alex…”

“Aku tak apa-apa,” kataku mantap. Melihat wajahnya yang cemas entah kenapa membuatku jadi ikutan sedih. Aku tak ingin membuatnya cemas.

Dia memelukku sekali lagi.

“Jangan memeluknya terus. Kau membuatnya sulit bernapas,” Ariel memegang bahu Hazel. Dia cukup tenang mengatakannya untuk kategori cowok yang melihat cewek yang dia sukai dipeluk cowok lain.

Hazel melepas pelukannya, “Kenapa kau ada diluar? Harusnya kau ada didalam. Nanti kau masuk angin.” Dia membuka pintu, membimbingku masuk ke dalam rumah setelah menyingkirkan Ariel dari hadapannya. “Duduk, Lex. Pelan-pelan.”

Aku duduk secara perlahan. Hazel duduk disampingku, memperhatikanku dengan dahi mengerut dan keresahan luar biasa. Bisa kulihat tangannya gemetar. Ariel masuk membawa nampan dan dua cangkir kami lalu menghilang di dapur. Kevin dan Felix masuk dengan wajah jengkel. Andre membawa bungkusan kemudian menghilang ke dapur. Sementara itu, Kian masuk setelah menabrak pintu dulu—aw, kelihatannya sakit sekali.

Wajahku yang penuh cakaran Rhea pasti terlihat jelas di bawah cahaya lampu. Aku bisa melihat kecemasan Hazel berubah menjadi kemarahan, “Aku belum membalas Rhea setimpal dengan apa yang dia lakukan.” Dia menggeram, mengepalkan tangannya.

“Kau sudah gila atau apa?” Kevin membalas sambil melipat tangan. “Kau hampir menghancurkan rumahnya. Kalau kami tak segera tiba tepat pada waktunya, kau mungkin sudah membunuhnya. Jangan ulangi lagi!”

“Dari awal kami sudah memperingatkanmu untuk hati-hati pada gadis sejenis itu, tapi kau sendiri tak mengerti,” gerutu Felix.

Kevin menggertakan giginya dan beralih pada Felix, “Kau juga tak berhak menasehatinya karena kau juga ikut-ikutan. Kau jelas-jelas lebih tua darinya, seharusnya kau melarangnya bukannya malah marah tak jelas. Kalau tadi Rhea menghubungi polisi, kau tak akan disini sekarang.”

Melihat kemarahan Kevin, aku bisa menduga sesuatu yang buruk sedang terjadi di rumah Rhea. Entah apa itu, aku tak mau menebaknya.

“Aku tak mau mendengar ada masalah seperti ini lagi, kalian mengerti?” Kevin menunjukan aura sebagai orang dewasa yang mengatur. “Kalian harusnya pakai otak bukannya otot. Apa yang akan kukatakan nanti kalau misalnya aku tak bisa menjaga kalian dengan baik pada almarhum Kakek?”

Hazel dan Felix tidak membalas Kevin. Mereka sama-sama diam dengan aura kemarahan yang masih saja memanas. Kian memilih duduk disebelahku dan tersenyum kecil ketika aku melihatnya.

“Kian, aku juga harus memarahimu,” kata Kevin padanya.

“Kau tak punya hak—”

“Aku punya hak!” Kevin sepertinya tak bisa dibantah malam ini. “Kau bekerja di caféku dan tindakan anarkismu itu bisa membuat citra caféku rusak. Dengan entengnya kau memotong rambutnya seperti itu. Apa kau tak lihat seberapa parah perbuatanmu terhadap Rhea?”

“Dengar ya Bos. Rhea tak akan bisa bertobat kalau kita tak memberinya hukuman. Sudah untung aku cuma memotong rambutnya. Aku malah berniat mematahkan tangannya. Kau tak tahu kalau dia sengaja menabrak Alex dengan mobilnya? Kalau tadi Alex tidak dipinggir, dia pasti sudah mati sekarang.”

“Apa?” mereka serentak kaget.

“Kau belum cerita yang itu!” Hazel kembali kesal.

“Aku tak apa-apa.” Aku cepat menjawab, mencubit lengan Kian.

“Lihat kan, Rhea sudah keterlaluan!” Hazel menggertakan giginya pada Kevin. “Alex, apalagi yang terluka? Kau memar dimana saja? Punggungmu ada yang luka? Bagaimana kalau kita rontgen saja?”

Kecemasan mereka membuatku jengkel. “Aku baik-baik saja. Harus berapa kali sih aku mengulang kata itu?”

Ruangan sunyi sejenak ketika aku berteriak.

“Oke, oke, Kak. Gue percaya, gue percaya. Kalo elo sakit, elo nggak mungkin bisa teriak sampai mengguncang dunia dan membuat longsor Alpen.” Andre kembali masuk ke dapur, di tangannya membawa dua piring yang berisi beberapa potongan cake. Ariel di belakangnya membawa nampan berisi cangkir-cangkir teh yang mengepul.

“Andre, apa aja yang udah kau katakan pada Rhea? Kau tidak memukulnya kan?” perhatianku teralih pada Andre.

Andre meletakan piring dan menjawab dengan tenang. “Aku cuma meneriakinya.” Dia mengangkat bahu dengan enteng.

“Oh, yah… kau pikir aku percaya? Apa aja yang udah kau teriaki padanya?”

Mulut Andre penuh dengan kue saat dia menjawab, “Aku bilang dia gadis rendahan tidak berperikemanusiaan yang tak bisa melihat kalau dirinya tidak berguna sampai harus—aaaw!”

Tanganku baru saja mencubit pipi Andre, aku sama sekali tak ingin mendengar lanjutannya. “Sejak kapan aku mengajari cara ngomong begitu sama orang yang lebih tua daripadamu?”

Andre mengelus-elus pipinya. “Percaya, deh, Kak. Elo bakal bersyukur gue sampein isi hati lo sama dia.”

“Yang benar saja!” ketusku. “Itu isi hatimu, bukan isi hatinya!”

Aku tak tahu harus bilang apa. Aku salah tingkah, kesal, marah dan salah tingkah dalam waktu bersamaan. Anak-anak Amour dan adikku membuatku jengkel setengah mati. Aku tak tahu seperti apa lagi masalahku jika kejadian ini terus berlanjut.

Kepalaku benar-benar sakit, bukan hanya kakiku.

*** Amour Café ***

Mobil Kevin berbunyi saat aku masih memakan rotiku. Saat aku membuka pintu, dia sudah berdiri di depan wajahku, tersenyum lebar seperti orang bodoh. “Pagi, Alex.”

Aku menutup pintu. Malas melihatnya.

Tok tok tok, dia kembali mengetuk dan aku kembali membuka pintu.

“Kakimu sakit dan aku harus mengantar buket bunga ke sekolahmu. Aku sama sekali tak keberatan mengantarmu,” katanya. Dan sebelum aku menjawab, dia meninggikan suaranya, meniru suaraku. “Ah, benarkah, Bos? Kalau begitu, aku mau pergi bersamamu.” Kemudian dia kembalikan lagi suaranya. “Oh, baguslah kalau begitu, kutunggu di mobil ya, Alex.” Dia tersenyum, berbalik dan menuju mobilnya, tidak membiarkanku mengucapkan sepatah katapun.

Bengong dan takjub melihat tingkahnya, aku cuma bisa menggeleng dan kembali menutup pintu. Lima belas menit kemudian, aku keluar dan melihat dia ada disana: menungguku dengan gaya yang keren.

Sambil geleng-geleng kepala, aku berjalan kearahnya. Dia menyadari keberadaanku dan membuka pintu mobil untukku. Oh, jadi begini cara dia memperlakukan setiap gadis? Pantas saja dia begitu terkenal.

“Woah… gue juga ikut!” Andre buru-buru keluar dari rumah. Dia melompat ke belakang tanpa membuka pintu.

“Isssh… mobilku cuma dipake untuk mengantar cewek, bukannya cowok SMP!” Kevin kelihatan jengkel. “Turun. Turun.”

“Oom, yang elo bawa itu Kakak gue, kalo mau nganter dia harus ngantar gue juga.”

“Siapa yang elo katain Oom?” Kevin tersinggung.

“Situ. Oom… Oom… Oom Kevin…” kata Andre lagi dengan gaya lucu. Aku tertawa. Kalau Andre sudah seperti itu, tak ada yang bisa membantahnya.

“Alex,” Kevin menyerah, menghela napas. “Kau beda banget sama berandal cilik yang ada di belakang.”

Aku terbahak. Hahaha.

*** Amour Café ***

Hari ini Adriel cerita padaku, sambil terisak-isak di taman belakang sekolah, kalau dia ditolak Ariel. Walau aku sudah mendengarnya sebelumnya dari Ariel—ditambah dengan alasan keputusan Ariel—tetap saja aku merasa kalau penderitaan yang dialami Adriel cukup besar dan aku merasa sangat prihatin padanya.

“Dia bilang kalau cuma bisa menganggap gue sebagai temannya,” Adriel menyeka matanya dengan tisu. “Gue nggak tahu lagi gimana menghadapinya. Walau dia bilang kalau gue lebih baik biasa-biasa saja, mana mungkin gue bisa. Gue kan udah suka dia dan dia nolak gue. Ngangkat kepala aja di depan dia, gue udah nggak sanggup. Lebih baik gue pindah sekolah aja.”

Kuhela napasku dan sebisa mungkin membuatnya tenang. “Adriel…” aku berhati-hati mencari kata, “bukannya perjalanan cinta dimulai dari persahabatan? Kalau kau meninggalkannya sekarang, kau tak akan bisa berteman dengannya lagi. Apa kau tak merasa kalau kau pindah, maka Ariel bakal segera melupakanmu? Dia akan berpikir kalau kau orang yang mudah menyerah.”

Adriel menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Tahu nggak kemajuan apa yang sudah kau dapat?” aku kembali mencoba untuk menyemangatinya. “Dulu kau cuma melihatnya dari jauh, bahkan untuk bicara aja kau tak bisa. Nah, sekarang?” kutatap matanya, sepertinya dia sudah mulai mencerna kata-kataku barusan. “Kau sudah banyak kemajuan kan? Kau tentunya tak berpikir kalau dia sama seperti cowok-cowok lain yang mudah suka padamu kan? Ingat, Adriel, kau suka Ariel karena dia menganggapmu seperti gadis biasa. Aku tahu kalau ini tak mudah, tapi jika kau melarikan diri, kau tak akan melihat akhir ceritanya kan?”

Dia menggigit bibir dan tiba-tiba memelukku. “Alex, elo emang sobat gue yang paliiiiing baik!”

Rasanya sejak dulu, aku cuma bisa menyemangati diri sendiri dan menelan semua yang dikatakan orang. Aku sudah cukup lama berteman dengan Adriel dan walau sampai saat ini dia sudah menceritakan separoh hidupnya padaku, aku belum pernah cerita apapun padanya.

Dia cuma tahu aku bekerja, sebagai jawaban dari pertanyaannya. Aku cuma menjawab beberapa pertanyaannya yang masih sangat umum. Siapa namamu, dimana tinggalmu, berapa anggota keluarga dan apa yang kau kerjakan sepulang sekolah. Dia tak pernah bertanya perasaanku, apa yang mengganggu pikiranku, seperti apa aku dulu, apa yang aku tak suka dan kenapa aku selalu mendengarkannya…

Hah… mungkin inilah sifat tertutupku. Aku bahkan tak mengenal diriku sendiri. Aku juga ingin melampiaskan apa yang ada di dalam pikiranku. Ingin meneriakan kalau aku jengkel, marah, sedih atau bahagia. Tapi semua yang ingin kukatakan terasa menyangkut di tenggorokan dan tak satupun kata keluar dari sana.

Namun, ketika aku melihat Amour dan mereka masuk ke dalam kehidupanku dan membuat duniaku rasanya jungkir balik. Aku merasa kalau mereka lebih berharga dari apapun. Aku mencemaskan mereka sama seperti aku mencemaskan Andre. Kami tertawa disaat yang sama. Bekerja disaat yang sama dan aku tak ingin menghancurkan apa yang sudah kudapatkan dari mereka.

Amour Café membuat hidupku terasa lebih hidup. Berwarna. Seperti aliran air yang berjalan dari hulu ke hilir, dari sungai ke lautan.

“Alex,” Hazel duduk di sebelahku, di tangga dapur. Dia memberikan piring kecil berisi kue berwarna kuning. “Banarange Foulrine, hasil karayaku. Aku ingin kau mencobanya dulu sebelum aku yakin dicicipi pelanggan.”

Bibirku bergerak kecil, memberikan sebuah senyuman padanya. Kuambil piring itu dari tangannya dan mencicipi kuenya sedikit. Akhir-akhir ini aku merasa seperti juri di dapur Amour. Tidak ada makanan yang boleh di jual pada pelanggan kalau tidak melewati mulutku.

“Enak.”

Hazel menghela napas, memberikan ekspresi seperti biasanya. Ekspresi aneh. Aku menduga kalau seperti itulah ekspresinya jika aku memberikan komentar kalau kuenya enak.

“Ada apa?” kata Hazel.

“Hm?”

“Sepertinya kau merasa tak enak badan hari ini. Seharusnya kau tak usah langsung kerja dulu. Kakimu kan masih sakit.”

Dia melirik kakiku yang masih diperban tebal. Aku kembali tersenyum padanya, memakan kueku sebagai jawaban.

“Kevin tak akan memotong gajimu kok kalau kau menakutkan itu,” katanya lagi. Aku menggeleng cepat. “Kalau bukan itu lalu tentang apa? Kau terlihat tidak bersemangat.”

Aku kembali berpikir, apa benar kalau aku terlihat tak bersemangat? Memangnya selama ini mereka menganggap aku bersemangat, bukannya cewek yang terlalu pendiam, tertutup dan tidak menyusahkan mereka? Ketika aku menolak, mereka dengan sombong maju ke depan, bukannya mundur teratur. Aku bukannya ingin menyamakan mereka seperti orang lain yang biasanya lebih condong untuk menghindariku. Tapi kenapa mereka selalu saja maju saat aku tak ingin?

“Alex, kau kenapa?” Hazel mengerutkan dahi. Aku terdiam terlalu lama. Mungkin aku terlalu banyak bertanya. “Kau kelihatan seperti orang yang banyak pikiran. Apa kakimu itu membuatmu merasa tak berdaya?”

Mungkin itu salah satunya. Aku tak suka diperhatikan. Aku ingin melakukan sesuatu sendirian. Dan kakiku mengacaukanku. Kevin menjemputku dan mereka melayaniku sebagai putri. Sejak awal mereka memang memperlakukanku begitu, tapi sekarang terlihat berbeda…

“Hazel, seperti apa kau melihatku?” tiba-tiba saja kalimat itu meluncur keluar. Dan aku menyesalinya. Kenapa aku bisa bertanya begituan sih?

“Um… pertanyaanmu mendalam banget,” Hazel bersandar ke dinding menatap langit yang gelap berawan. Kukutuki diriku. Memalukan. “Alex itu… um…” dia benar-benar berpikir keras. “Misterius… sulit menebak apa yang ada dipikiranmu. Kau sangat keren dan aku benar-benar menganggumimu.”

Ha? Dahiku mengerut. “Kenapa…”

“Kau lebih tertutup daripada Felix atau siapapun yang kukenal, termasuk Kian,” katanya lagi. “Aku mengagumimu dari cerita Andre bahkan sebelum aku bertemu denganmu. Andre selalu cerita kalau dia punya saudara yang sangat luar biasa. Dia selalu bekerja keras untuk membantu keluarga, tak pernah mengeluh dan tak pernah bersedih. Saat marah dia akan sangat mengerikan tapi dengan itu dia menunjukan rasa cintanya. Maksudku, awalnya kukira kau laki-laki dan aku lebih mengagumimu lagi karena kau perempuan. Tak banyak perempuan yang masih memiliki gaya berpikir sepertimu, Alex. Mandiri dan cuek. Apa kau tak merasa kalau itulah magnet yang membuat kami tertarik padamu?”

Aku terdiam seribu bahasa.

“Alex,” Hazel merangkulku, “aku sahabatmu. Kau bisa cerita apapun padaku. Termasuk cowok yang kau sukai.”

Aku mendengus. “Aku tak punya cowok yang kusukai.”

“Yakin?”

Tiba-tiba saja dalam sepersekian detik aku merasa ada satu wajah yang masuk ke dalam kepalaku dalam sekejap.

“Kau menyukai seseorang,” Hazel menangkap pikiranku lagi.

“Kau bilang kalau kau sulit menangkap apa yang ada dipikiranku, tapi kenapa tiba-tiba bisa tahu apa yang kupikirkan?” aku berseru jengkel.

“Aku memang tak bisa membaca pikiranmu tapi aku bisa menangkap apa maksud pikiranmu melalui ekspresimu,” kata Hazel lagi. Kali ini dia tersenyum meyakinkan. “Siapa cowok beruntung itu? Karel?”

Idih, emangnya aku bisa jatuh cinta sama sepupuku yang udah kuanggap seperti Kakakku sendiri dan sudah punya pacar cantik begitu?

“Ah, jangan bilang, jangan bilang, biar aku tebak,” Hazel menggosok kedua tangannya, terlihat bersemangat, “Mungkinkah dari salah satu anak-anak Amour?”

Wajah yang tadi sempat terbayang di kepalaku sekarang malah jelas terlihat. Aku malah bisa melihat senyumannya dan suaranya yang berbisik di telingaku dan memanggil namaku.

“Mana aku tahu!” aku memalingkan wajahku dari Hazel. Aku hendak bangkit jika saja Hazel masih bertanya saat Kevin memanggil Hazel.

“Zel, ngapain sih disana? Kita masih banyak kerjaan nih.”

Hazel bangkit setelah mengacak rambutku. Jantungku berdetak tak karuan dan wajahku panas hanya karena mengingat wajah orang yang sama. Kupegang dadaku dan merasakan bunyi yang cepat dan berdenyut di telapak tanganku.

Apa aku… benar-benar suka padanya?

*** Amour Café ***

2 komentar:

Enggar.Putri mengatakan...

siapa yang Alex suka???
Kian?
Felix?

prince.novel mengatakan...

@cloud: lanjuuuuut

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.