RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 21 Agustus 2011

Amour Cafe Receipt Sixteen

Receipt Sixteen

Seminggu kemudian, kakiku sudah merasa lebih baik. Setidaknya aku tak terpincang-pincang lagi dan kakiku memang masih mengilu. Tapi memang sakit bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Selama seminggu Kevin menjemputku dan nongol di depan rumah, tersenyum dengan gaya bodoh dengan mobilnya yang berkilat setiap hari. Dan pulangnya selalu dengan anak-anak Amour, mereka selalu saja bisa mencari alasan “kaki” yang pantas untukku agar bisa menurut.

Dan ketika pada hari Sabtu aku bisa berjalan sendiri tanpa pincang dengan kaki tanpa perban dan bekas luka, mereka mengerutkan dahi dan sedikit kecewa.

“Aku bisa melakukan semuanya sendirian. Jadi kalian tak perlu repot-repot lagi,” kataku bangga. Mereka menghela napas berbarengan dan kembali sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Alex, jika kau sudah bisa bergerak bebas maka ini,” Felix muncul, membawa sebuah kotak kardus yang masih tertutup dan memberikannya padaku. “Bawa ini ke gudang di atas dan simpan di atas lemari. Hati-hati, isinya cukup berat dan jika jatuh maka akan repot menyusunnya lagi.”

“Ini apa?” aku berusaha bisa melihat Felix yang tertutupi pandangan kardus. Felix mengerutkan dahinya.

“Seluruh bahan catatan dan menu penyelidikan makanan yang dibuat Hazel. Catatan keuangan milik Kevin dan seluruh informasi karyawan. Sudahlah, jangan banyak tanya. Bawa saja benda itu keatas.”

Felix menghela napas dan masuk ke dapur. Aku bisa mendengar suaranya yang memerintah Hazel, “Zel, pesanan hari ini jangan lama seperti kemarin ya. Entar aku yang dimarahi Kevin lagi.”

Menggerutu dan memaki Felix dalam hati, aku bersusah payah melangkah naik ke atas tangga. Satu per satu. Secara perlahan.

“A-Lex, kau bawa apa?” Kian mencul dari atas tangga. “Biar aku bawa.”

“Nggak usah. Benar. Aku bisa bawa sendiri.”

Kian tidak mendengarkan dan mengambil kardus di tanganku.

“Kian—”

“Ini mau dibawa kemana?” Kian melihatku dengan nada penuh perintah. Aku diam. “Kalau kau tak mau kasih tahu padaku, setidaknya tunjukan tempatnya.”

Aku menghela napas. Menyerah. Dia tak akan mau mendengarkan. Sejak kapan anak-anak Amour saling mendengarkan? Dan aku baru sadar kalau aku juga menjadi salah satu bagian dari mereka yang tidak mendengarkan apa kata orang.

Langkahku kupercepat untuk membuka pintu gudang yang jauh lebih padat dari seluruh ruangan yang ada di Amour. Kotak-kotak kardus tersusun merapat hampir di setiap sudut. Kebanyakan adalah kertas kardus kosong. Awalnya tempat itu ingin dijadikan kantor, tapi Kevin menolak dan berkata, “Sejak kapan Manager Café butuh kantor? Sudahlah. Aku tak butuh kantor yang memusingkan itu. Aku lebih suka berkeliaran.” Jadi, dia tak memiliki ruangan khusus.

Lemari usang tempat Kevin biasanya menyimpan arsip kini sudah penuh dan hanya ada ruang kosong di atas lemari. Sepertinya Kian juga sudah menyadari hal itu. Dia menarik kursi terdekat dengan kakinya mendekati lemari dan naik ke atas.

Kuperhatikan dia mengangkat kardus dengan kedua tangannya dan meletakannya dengan mudah ke atas. Untuk sejenak dia menunduk memandangku dan berkata dengan alis menaik, “Itu saja?”

“Itu saja,” kataku cepat. Tapi tiba-tiba aku ingat, “Kian, kapan ultahmu?”

Dia turun sambil melompat, “Kenapa?”

“Aku hanya ingin tahu,” ya, aku cuma ingin tahu karena dia terlalu pendiam dan sepertinya sulit sekali untuk mengatakan apa yang ada di dalam kepalanya.

“Ulang tahunku sudah lewat sekitar enam bulan yang lalu. Bulan September tanggal empat. Kau mau membelikanku hadiah ulang tahun ya?”

“Ya. Membalas cincin yang waktu itu kau beri,” kataku acuh, berniat menggodanya dan bisa kulihat wajahnya merah padam.

“Ah… eh… um…”

Kian tergagap dan buru-buru kabur keluar. Suara gedebuk tak lama kemudian memecahkan kesunyian. Aku buru-buru keluar dan mendapati kalau Kian ada di dasar tangga, terjatuh dengan kepala mendarat terlebih dahulu. Kevin tertawa, membantunya berdiri sambil berkomentar.

“Ya, ampun, Kian. Hati-hati turunnya.”

Felix menepuk punggung Kian dan bergumam, “Heran, kalau matamu tak berfungsi dengan baik, kau kan bisa pakai kacamatamu.”

“Alex,” Hazel mengacak rambutku, “Jangan menggodanya berlebihan. Kau tahu sendiri kalau dia digoda sedikit saja dia akan kacau seharian.” Belum lagi Hazel menyelesaikan kalimatnya, Kian menabrak meja lagi, menumpahkan jus ke kepalanya.

Aku menganga, melirik Hazel dengan perasaan sedikit bersalah.

“Alex, rasanya aku melihatmu berubah menjadi Kevin,” gumam Hazel lagi-lagi mengacak rambutku. “Jangan dekat-dekat Kian ya? Aku takut dia akan semakin aneh.”

Aku cuma bisa nyengir, melirik Kian meminta maaf pada tamu dan masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Beberapa detik kemudian, aku malah tertawa dan tak menyesal melakukannya.

“Ya ampun, anak ini benar-benar sudah ketularan Kevin,” Hazel geleng-geleng kepala. Dia merangkulku dan berbisik di telingaku, “Apa kau sebegitu inginnya melihat wajah malu-malu cowok yang kau sukai?”

Mataku melotot, “Kok kau—”

“Ah, ternyata benar!” Hazel melepas rangkulannya, matanya berbinar, “Kian, Alex su—”

Aku buru-buru menutup mulut Hazel, menahannya sekuat tenaga untuk tidak mengatakan apapun. Kian muncul, keluar dari kamar mandi dengan terburu-buru dan berkata, “Apa?”

Rambutnya masih basah dan beberapa cewek melihatnya menahan napas, termasuk aku.

“Nggak ada apa-apa,” aku buru-buru menjawab, tak memedulikan tangan Hazel yang menggapai-gapai di udara. “Kami pergi dulu.” Aku menyeret paksa Hazel, tidak memedulikan wajah kebingungan mereka.

“Ada apa dengan mereka hari ini?”

“Kian, ganti bajumu. Kau terlalu menarik perhatian.”

“Yeah, rambut basah, wajah tampan dan tubuh yang bagus.”

“Felix, kau tak perlu menjelaskan hal itu sebegitu detail.”

Aku memaksa Hazel masuk kembali ke gudang, menutupnya rapat-rapat dan memojokannya. Dia kelihatan santai—penuh kemenangan—dan tersenyum seperti orang bodoh.

“Aku melarangmu—”

“Kejamnya. Kau menyembunyikan perasaanmu tentang cowok yang kau sukai dari sahabatmu,” Hazel melipat tangan, geleng-geleng kepala. “Tapi aku sedikit kecewa dengan pilihanmu.”

Aku mengerutkan dahi. “Siapa yang aku suka itu tak ada urusannya denganmu.”

“Memang,” Hazel manggut-manggut. “Jadi, kapan kau akan bilang suka pada Ki—”

“Ngapain sih kalian berdua disini?” Kevin membuka pintu gudang, tepat ketika aku menutup mulut Hazel untuk menghentikannya melanjutkan kalimat terakhir. Kevin terdiam sejenak, menatap kami dengan alis menaik dan berkata dengan suara yang cukup keras, “Dilarang pacaran di jam kerja!”

Ha?

“Maaf, Kevin,” Hazel merangkulku dan mencium dahiku dengan mesra. “Aku nggak tahan sih.”

Kevin menatap Alex. “Alex, aku tak keberatan kau pacaran dengan Hazel, tapi jangan berduaan dengannya saat jam kerja apalagi di gudang. Mengerti?”

Kevin membanting pintu. Dahiku mengerut, mataku menatap Hazel dengan kesal.

“Apa maksud kalimat barusan?” kataku jengkel.

“Tidak ada maksud apa-apa. Aku cuma ingin menggodamu.” Hazel tertawa. “Ki—” aku kembali menutup mulutnya.

“Aku mengerti, aku akan mengatakannya.”

“Kapan?” Hazel menyingkirkan tanganku.

“Secepatnya.”

“Oke. Aku tunggu.”

Aku baru menggali liang kuburku sendiri.

*** Amour Café ***

“Boleh aku tahu, sejak kapan kalian pacaran?”

Aku menyemburkan jusku ketika Felix bertanya di saat santai sepulang kerja kami.

“Darimana kalian dapat kabar itu?” Hazel tampak santai menanggapi kalimat barusan. Dia memakan cupcake apple dengan perlahan, menikmati setiap rasa yang lumer di mulut.

“Suara Kevin terdengar hampir di sepanjang café,” kata Ariel, meminum kopinya. “Dilarang pacaran di jam kerja! Alex, aku tak keberatan kau pacaran dengan Hazel, tapi jangan berduaan dengannya saat jam kerja apalagi di gudang. Mengerti?” Ariel mengulang.

“Trims, Ariel,” Kevin mendesis jengkel. “Daya ingatmu sungguh luar biasa.”

“Aku peringkat satu di sekolah di angkatanku, Bos.” Ariel lagi-lagi membalas, memotong cakenya dan memakannya seakan tidak terjadi apapun.

“Kian, katakan sesuatu tentang kejutan yang tak biasa itu,” kata Kevin pada Kian.

Kian menatapku, lalu beralih pada Hazel, “Aku harus bilang apa? Mereka pasangan yang serasi. Raja Iblis dan Ratu Ngatur. Cocok sekali.”

Hazel yang ada disebelahnya menempeleng kepalanya. “Aku bukan Raja Iblis,” gumam Hazel.

“Yah, baiklah, terserah,” kata Kian tidak peduli. “Selamat, A-lex, harusnya kau bilang-bilang dulu pada kami.”

“Kenapa aku harus pakai pengumuman untuk hal tak penting begitu?” gumamku jengkel. Jujur saja aku kesal melihat ketidakpedulian Kian. Apa dia tidak menyukaiku? Aku mulai merasa kalau tingkahnya yang manis bukan karena dia suka padaku, tapi karena dia tak tahan pada perempuan. Tapi, dia tak pernah bertingkah aneh di depan cewek lain.

Lonceng pintu café berbunyi. Kami semua menolehkan kepala kearah pintu yang terbuka. Kevin segera berdiri.

“Maaf, café kami sudah tutup,” kata Kevin melangkah dan berhenti ketika seorang wanita masuk ke café. “Maggie.”

Gadis itu cantik, dengan tubuh langsing tinggi mengenakan pakaian sederhana dan rok yang manis. Sepatu high heelsnya memperlihatkan kakinya yang cantik dan jari-jari kakinya yang dihiasi. Rambutnya panjang lurus, wajahnya manis dan kelihatan seperti gadis baik-baik. Dia seperti putri.

“Apa yang kau lakukan disini, Maggie?” kata Kevin dengan nada suara yang sangat berbeda jika menyambut gadis yang biasa dia lakukan. Suaranya dingin, penuh nada ketidaksukaan dan ekspresinya berubah jadi kesal.

“Aku datang untuk bertemu dengan Felix.” Suara gadis itu lemah lembut.

“Pulanglah. Hubunganmu dengannya sudah berakhir,”

“Tapi—”

Kevin menendang kursi terdekat. “Pergi,” katanya tak lebih dari sekedar bisikan. “Kau sudah cukup menyakitinya. Apa kali ini kau ingin membunuhnya setelah dia gagal melakukannya?”

Aku cepat-cepat bangkit, “Bos, tak biasanya kau galak pada cewek,” aku mendatangi gadis itu dan tersenyum padanya. “Maafkan dia ya.”

“Alex, dia cewek yang membuat Felix melompat ke jalan,” kata Kevin jengkel. Kemarahan terlihat jelas di matanya. “Dia mantan pacarnya Felix.”

Aku terkejut. Gadis ini mantan pacarnya Felix. Pacar Felix sejak SMP dan menghianatinya karena lebih memilih sahabat Felix. Aku tak menyangka atau membayangkan kalau dia begitu cantik. Pantas saja Felix sempat frustasi.

“Aku cuma ingin bertemu Felix,” kata Maggie dengan suara bergetar. “Aku hanya ingin bertemu dengannya. Tak bisakah—”

“Kau keras kepala seperti biasa, Maggie.” Felix mau tak mau bangkit dari tempatnya.

“Felix—”

“Aku akan bicara padanya,” kata Felix, dia tersenyum kecil, menepuk bahu Kevin. “Aku akan baik-baik saja. Tak perlu khawatir.” Felix membuka pintu, menyuruh Maggie keluar terlebih dahulu seperti gantleman sejati dan selanjutnya dia keluar. Kami memperhatikan kalau mereka naik ke jeep Felix lalu menghilang tak lama kemudian diiringi suara mesin yang menjauh.

“Jeez, cewek itu pasti akan melakukan hal yang buruk lagi pada Felix,” gerutu Kevin jengkel. “Hazel, bukannya kau sudah memperingatkan gadis itu untuk tidak muncul lagi, tapi kenapa dia justru datang ke café kita?”

Hazel masih saja makan dan tak terganggu sedikitpun. “Sudah.”

“Lalu?”

“Dia keras kepala.”

“Tapi—”

“Tak perlu khawatir, Kevin. Felix harus belajar untuk menghadapi Maggie. Kalau Felix tak bisa menolaknya dengan tegas, maka dia sendiri yang akan mengalami masalah.” Hazel meminum jusnya. “Dan kupikir, Felix pasti tahu hal itu. Kita tak bisa selamanya melindungi Felix kan?”

Kevin memegang kepalanya, sedikit stres menghadapi tingkah tak peduli Hazel. “Cepat bawa Alex pulang. Ini sudah malam.”

Hazel bangkit. “Ayo, Alex, pulang.”

Untuk keselamatan Hazel, Kevin melarang Hazel naik motor dan membelikannya mobil: jaguar. Aku bertanya-tanya dalam hati seberapa kaya Kevin sampai bisa menghadiahkan Hazel jaguar, seminggu yang lalu. Kurasa dia bahkan tak perlu bekerja hanya menjual satu mobil saja.

Masalahnya, pemberiannya itu membuat Hazel jengkel. Mereka sempat adu mulut selama lima menit ketika Kevin melemparkannya kunci mobil.

“Apa ini?” itu kata Hazel waktu itu. Memperhatikan kuncinya dengan lebih seksama.

“Mobil.”

“Aku tak mau mobil. Aku mau motor.”

“Kau akan tetap naik mobil, anak muda! Sudah berapa kali motormu rusak karena cara ngebutmu yang tak terkendali!”

“Jakarta sudah cukup macet tanpa kau tambahi mobil lagi!”

“Paman memarahiku karena membiarkanmu naik motor dan Ayahku juga melakukan hal yang sama. Sekarang tak ada alasanmu untuk menolaknya. Aku sudah cukup pusing mendengar mereka mengeluh tentang Felix, tak perlu ditambahi kau lagi!”

Jadi, seperti itulah ceritanya makanya ada tiga mobil, satu motor dan satu sepeda terparkir rapi di Amour. Aku sudah mulai memilih untuk mencari kendaraanku sendiri. Pengennya naik sepeda, tapi kok rasanya nggak kreatif—masa aku niru Kian sih? Dan aku nggak tertarik naik motor, apalagi membeli mobil.

Menyedihkan….

Hazel membukakan pintu untukku dan memasang sabuk pengaman sebelum dia memutar dan masuk ke mobil. Dia mengomel sesaat tentang jaguarnya, lalu memindahkan kopling dan menginjak gas.

“Sudah berapa motor yang kau rusak?” kataku penasaran melihat tingkah Hazel yang tak senang dengan mobilnya.

“Setahun ini sudah empat yang kurusak,” jawab Hazel tak acuh.

Empat motor, aku mengulang dengan nada tak percaya. Dan aku yakin sekali jenis motor yang mahal. Pantas saja Kevin marah-marah tak jelas. Kalau dia kecelakaan naik motor, dia bisa tergeletak dimana saja.

Hazel melirikku sekilas, “Hey, kau tak marah tentang salah paham ‘pacar’ ini, Alex?”

Itu pertanyaan yang tak terduga. “Apa kau peduli?”

“Sejujurnya tidak sih,” jawab Hazel mengangkat bahunya. Aku sudah menduga jawaban itu. “Tapi aku sedikit menguatirkan Kian. Dia kan cinta mati padamu. Kok bisa ya Kevin berpikir kalau aku pacaran denganmu?” dia mengurutkan dahi.

Itu karena dia memergoki kita dengan gaya yang sedikit berbeda, jawabku dalam hati tapi tak berani mengatakannya. “Apa Felix akan baik-baik saja?” aku bertanya lagi.

“Aku tak yakin,” jawab Hazel kalem. “Aku sedikit menguatirkannya. Dari antara kami bertiga, Felix-lah yang paling sensitif.” Dia mengambil jeda. Mobil kami melewati beberapa mobil yang melaju dengan kecematan sama. “Aku akan mengeceknya setelah mengantarmu pulang dulu, Alex.”

“Aku mau ikut,” kataku cepat.

“Kau serius?” Hazel mengerutkan dahi. “Ini sudah tengah malam. Kau mau jalan-jalan denganku berduaan tengah malam begini? Bisa sampai pagi kita menguntit mereka nanti.”

“Besok hari Minggu dan Mamaku ada di rumah temannya. Tidak ada sekolah dan tak ada kerjaan,” kataku cepat. Aku begitu penasaran tentang Felix dan cewek itu. Aku juga begitu khawatir, melihat kecemasan Kevin yang sedikit berlebihan, aku takut masalah yang besar akan segera terjadi. Lebih baik aku mengetahui dulu masalahnya sebelum menghadapinya.

Hazel menatapku sejenak. Alisnya menaik.

“Alex, kau benar-benar nggak takut jalan berdua denganku ya?”

Aku menggeleng cepat.

Herannya, Hazel tertawa. “Okelah. Kita akan menyusul Felix, tapi gayaku akan sedikit berbeda dari yang biasa, jadi jangan khawatir ya?”

Kalimat itu agak sedikit aneh. Tapi aku mengangguk lagi, kepercayaan diriku sedikit luntur. Gaya yang sedikit berbeda, aku mengulang dalam hati. Aku merasa akan melihat sesuatu yang baru lagi dari Hazel.

Aku melihat Hazel kembali menginjak gas dan kulirik lagi speedometer—dimana jarumnya makin lama makin menunjukan angka yang membuatku melotot. Aku tak berani berkata apapun, tapi kupegang tepi tempat dudukku sambil berdoa dalam hati agar tidak ada sesuatu yang tiba-tiba melintas sehingga kami tidak menabrak apapun. Tapi Hazel memang sudah terbiasa dengan kecepatan tinggi, dia begitu santai membawa mobilnya, tidak memberikan kesan kalau dia sedang mempermainkan nyawanya.

“Apa nggak lebih baik kau hubungi Andre? Dia ada di rumah kan?” kata Hazel lagi. Lampu-lampu di jalanan berkelebatan dengan cepat, mobil kami kembali menyalip, tidak menghiraukan lampu merah.

Aku tersadar. Andre ada di rumah hari ini, jadi cepat-cepat kuambil ponselku dan menghubunginya.

“Lo ada dimana sih? Kok lama banget? Gue lapar.” Suara Andre merengek diseberang di telepon. Kenapa setiap kali aku meneleponnya, cuma kata ‘lapar’ yang keluar.

“Masak sendiri. Aku nggak pulang malam ini sepertinya.”

“Apa?” Andre terkejut. “Kenapa? Elo ada dimana sekarang?”

“Aku sama Hazel.”

“Sama Hazel?” Andre lebih terkejut lagi. “Lo gila ya? Ngapain lo sama Hazel tengah malam begini? Cepat pulang.”

“Aku ada sedikit urusan,” kataku cepat. “Pokoknya, kalau kau lapar, kau makan saja apa yang bisa kau makan—”

“A-Lex, ini aku,” tiba-tiba terdengar suara Kian di seberang.

“Kian? Ngapain—kok—” aku terbengong-bengong.

“Aku ada di rumahmu, mengajari Andre—itu nanti saja. Mau apa kau sama Hazel berduaan?” suara kepanikan Kian tak terbendung. “A-lex, lebih baik cepat suruh dia mengantarmu pulang.”

“Apaan sih? Ada yang harus kami selidiki,” kataku cepat. “Kau masak sesuatu untuk Andre ya, jangan kau biarkan dia kelaparan—”

“A-lex, aku tak bermaksud menjelek-jelekan Hazel atau apa, tapi lebih baik kau menghindarinya berduaan di tengah malam. Dia berbahaya! Biarkan saja dia menyelidiki sesuatu sendirian. Kau tak perlu ikut campur!”

Itu kepanikan. Aku tahu. Karel juga pernah mengatakan hal yang sama. Tiba-tiba aku ingat lagi. Kulirik Hazel—matanya masih melihat jalan. Aku tak tahu ide gila yang membuat pikiranku tidak memercayai itu sehingga aku berkata, “Aku akan baik-baik saja!” pada mereka dan mematikan ponselku.

“Apa kata mereka?” Hazel bertanya, tidak melihatku. Dia kembali memindahkan kopling, melewati jalanan sepi.

Dahiku mengerut. “Kita mau kemana?”

“Bertemu teman,” jawab Hazel singkat.

Aku merasakan firasat jelek.

Sekarang yang kami lewati bukan jalan rapi, tapi terowongan dengan jalan berbatu. Hazel menurunkan kecepatannya. Lampu sorot menyala menerangi jalan dan aku mulai merasakan bulu kudukku merinding.

“Alex bisa melihat makhluk halus kan?” kata Hazel lagi, ada senyuman di bibirnya. Aku bengong. “Aku juga bisa lihat dan disini tidak ada yang berbahaya kok.”

Aku tak tahu apa maksudnya. Dari jendela aku bisa melihat pohon-pohon besar dan gelap dan area sawah. Pikiranku sudah melantur kemana-mana, ketika mobil Hazel berhenti di depan sebuah rumah bergerbang tinggi yang bersinar dengan lampu-lampu di sekitarnya.

“Mau apa kita kesini?” aku mengerutkan dahi, terheran. Kuperhatikan ada banyak mobil dan motor yang terparkir di dalam gerbang. Aku juga bisa mendengar secara samar-samar suara musik dari dalam rumah itu.

“Kau tunggu disini ya, Alex, aku kedalam dulu,” kata Hazel. Dia melepas sabuk pengamannya dan keluar. Sebelum dia menutup pintu, Hazel kembali menunduk dan memperingatkan dengan nada serius, “Apapun yang terjadi, jangan keluar sampai aku sendiri yang datang. Kau mengerti?”

Aku mengangguk perlahan. Takut dengan auranya yang berubah menjadi lebih kuat dan mengancam. Hazel tersenyum menenangkan, menutup pintu dan berjalan dengan langkah cepat menuju gerbang. Dia tidak memencet bel ataupun membuka gerbang, tapi melompati gerbang dan masuk ke dalam rumah. Sejujurnya, tingkahnya barusan membuatku terheran. Dia masuk ke rumah orang tanpa permisi dan kelihatan begitu percaya diri.

Cari ribut… aku menduga. Akan ada perkelahian…

Dia berandalan. Wajahnya boleh saja bertampang malaikat begitu, tapi dia hobi berkelahi. Tak ada berita kejahatannya karena dia cuma mematahkan tangan mereka dan ada pengacara yang membelanya

Ucapan Karel teringat lagi dan ditambahi dengan kecemasan Kian dan Andre membuatku semakin merasa kalau kepribadian ganda Hazel sepertinya hanya muncul ketika malam muncul.

Musik di dalam masih terdengar. Pastilah tidak terjadi apapun. Tapi ada suara-suara. Dahiku mengerut. Suara-suara orang. Teriakan kah? Kaca pecah? Dalam beberapa menit aku cuma mendengar suara musik semakin kencang dan berganti dengan musik yang lebih gila dan lebih banyak teriakannya.

Ah, tidak, bukan penyanyinya yang berteriak!

Aku terkesikap, menegakan tubuh dan memanjangkan leherku ke jendela untuk melihat lebih jelas. Dua cewek dengan pakaian mini keluar dari rumah itu dan berteriak-teriak histeris, memegangi kepala mereka dan memegangi sepatu mereka. Tak lama kemudian teriakan lelaki terdengar lagi.

“AKU NGGAK TAHU!”

Kemudian suara kaca pecah. Aku panik. Terjadi sesuatu pada Hazel. Kupegang pintu dan membukanya. Kakiku baru melangkah separoh jalan ketika peringatan Hazel teringat lagi.

“Apapun yang terjadi, jangan keluar sampai aku sendiri yang datang. Kau mengerti?”

Tapi aku cemas! Kepanikanku lebih besar daripada ketakutanku pada peringatan Hazel. Karena itu kubanting pintu mobil di belakangku dan berlari cepat masuk ke gerbang. Teriakan-teriakan semakin jelas terdengar ketika aku mendekat.

“Sumpah! Sumpah! Ampun! Aku nggak tahu! Nggak tahu!”

Kubuka pintu dan terkejut melihat kondisi rumah itu lebih kacau dari bayanganku. Meja dan kursi terbalik. Sekitar sepuluh orang laki-laki pingsan, tergeletak di lantai ataupun merosot di dinding—wajah mereka babak belur. Tiga cewek lagi meringkuk di sudut, gemetaran dengan wajah ketakutan. Botol-botol alkohol, rokok, gelas-gelas berjatuhan dan berserakan dengan posisi membingungkan. Musik dari tape yang ada di tengah ruangan masih menyala keras.

Kututup hidungku merasakan bau yang tak biasa, memabukan sekaligus membuatku mual. Bau apa ini?

Dan aku lebih terkejut lagi melihat Hazel yang sepertinya menyudutkan seorang cowok besar dan satu-satunya orang yang masih sadar di ruangan itu. Cowok itu lebih tua, dengan otot besar dan wajah seram, tapi melihat wajahnya yang ketakutan dan memohon-mohon dengan tubuh gemetaran dan gigi gemertakan, aku tahu kalau Hazel baru saja melakukan sesuatu yang buruk.

“Kutanya sekali lagi. Dimana Maggie?”

Suara Hazel dan sosoknya membuatku ketakutan.

Hazel berdiri di depan lelaki tua itu. Wajahnya tidak berekspresi dan aku bisa melihat tatapannya yang tidak peduli dan kelihatan dingin. Kakinya menginjak bahu kanan lelaki tua itu. Suaranya lebih dalam, menunjukan perintah yang tidak bisa ditentang. Tinju di tangan kanannya berdarah dan ada noda darah pada kaosnya.

Itu bukan Hazel yang dikenal Alex.

“Sumpah, Tu-Tu-Tuan. Aku tak tak tahu,” kata laki-laki itu.

“Jangan berbohong padaku,” gumam Hazel. “Kau Ayahnya Maggie, bagaimana mungkin kau tak tahu dimana Putrimu?”

“M-M-Maggie tak tinggal disini lagi sejak dua bulan lalu.”

Hazel tak langsung merespon. Dia memberikan tekanan pada kakinya, membuat lelaki itu merintih.

“Dia kabur. Dia pergi. Katanya dia ingin mencari kebahagiaannya sendiri. Aku Ayah yang tak berguna, Tuan.”

Tuan? Dahiku mengerut.

“Apa sekarang dia tinggal bersama pacarnya?” Hazel bertanya lagi.

“T-t-t-tidak tahu. Laki-laki itu… laki-laki itu menghianti putriku. Dia bilang kalau Maggie p-p-penyakitan.” Suara laki-laki itu bergetar. “M-M-Maggie bilang kalau dia masih mencintai F-F-Felix.”

Rahang Hazel mengeras.

“Kalian benar-benar tidak tahu bagaimana rasanya berterima kasih,” kata Hazel jengkel. “Mendiang orang tuaku memberi kalian tempat, membesarkan Maggie seperti keluarga sendiri dan dia menghianati Felix kemudian kau kabur membawa satu milyarku, lalu sekarang kalian ingin kembali pada kami dan berkata kalau semuanya baik-baik saja?”

“Tu-Tu-Tuan Muda—aku menyesal—aku sungguh-sungguh menyesal.”

Hazel tersenyum licin. “Aku sudah capek. Bisnis narkobamu berakhir disini. Aku sudah mengatakan padamu untuk hati-hati padaku kan? Tapi rupanya kalian tidak mengerti apa itu peringatan.”

“T-T-T-Tuan. Mohon jangan penjara. Kumohon padamu. Maggie—” laki-laki itu terisak. “Maggie—maafkanlah aku untuk Maggie.”

“Jangan bercanda. Dia sudah kuanggap mati sejak Felix mencoba bunuh diri karenanya.”

Hazel mengangkat kakinya dan menendang kepala laki-laki itu. Aku ternganga, menahan napas melihat tingkah anarkisnya yang tak berperikemanusiaan. Laki-laki itu pingsan, darah mengucur dari hidungnya.

“Kalian benar-benar membuatku marah,” gerutu Hazel jijik. Dia merogoh kantongnya, menelepon seseorang dan berkata, “Halo, kantor polisi? Aku menemukan ada pesta narkoba disekitar rumahku. Ya, ya,” Hazel berjalan ke kanan, tidak melihatku, dia mengambil bungkusan pil terdekat, memperhatikannya dan mengerutkan dahi, “Mungkin ekstasi, ganja dan sabu-sabu. Ah, ada juga jarum suntik.”

Setelah memberitahu alamatnya, dia kembali menelepon seseorang lagi. Aku tak perlu bertanya siapa dia karena Hazel berkata cepat, “Cari jeep Felix.” Lalu menutup teleponnya.

“Felix benar-benar membuatku repot,” gerutunya jengkel, menendang botol terdekat dan menghantam dinding sampai pecah. Cewek-cewek yang masih berkumpul berteriak tertahan. “Kalian, cepat pergi dari sini!”

Gemeteran, cewek-cewek itu bangkit dan lari terbirit-birit.

“Alex?” Hazel akhirnya melihatku. “Apa yang kau lakukan? Aku sudah larang kau keluar kan?” katanya keras.

Aku melonjak kaget. “Aku khawatir. Kupikir kau bakal dikeroyok,” jantungku deg-degan melihat cowok-cowok besar yang pingsan itu. “Tapi sepertinya—er… aku khawatir tanpa sebab yang jelas…”

Hazel menghela napas, mengecak pinggang. “Alex,” kali ini nadanya lebih lembut. Suaranya kembali seperti semula. “lain kali kau harus mendengarkanku. Aku cuma tak ingin kau terluka.”

“Aku kesunyian di mobil sendirian.”

Hazel tersenyum, sedikit geli. Perbuatannya semenit lalu terlupakan begitu saja. Dia merangkulku dan menarikku keluar.

“Kita lebih baik keluar dari sini sebelum polisi datang daripada terlibat,” kata Hazel pelan.

“Apa kau yakin akan mepenjarakan Ayahnya mantan pacar sepupu?”

Hazel menghela napas. “Alex, kadang kala kita harus sedikit kejam untuk melakukan hal yang benar,” jawab Hazel sok bijak. Dia membuka pintu mobil, menyuruh Alex masuk terlebih dahulu dan kembali memasang sabuk pengaman untukku.

“Apa kau sebegitu tak menyukai Maggie?” aku tahu aku bertanya sesuatu yang sedikit pribadi, tapi kupikir aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih menganggap Hazel sebagai orang baik. Aku tak mau kehilangan prinsip itu.

“Aku menyukai Maggie,” mobil kami melewati jalanan gelap dengan perlahan. Suara batu yang terinjak memecah kesunyian sementara diantara kami. “Dulu,” katanya lagi. “Jika dia tak menyakiti Felix.”

“Kau membenci semua orang yang menyakiti saudaramu ya?”

“Tidak,” kata Hazel lagi. “Waktu Maggie berpisah dengan Felix, aku mengerti saat dia bilang kalau perasaannya berubah. Namun, aku tak tahu apakah Maggie sengaja atau tidak tapi dia sepertinya mengatakan sesuatu yang membuat Felix seperti kehilangan harapan untuk hidup. Karena itu aku jadi sebal padanya. Apalagi Ayahnya punya sifat begitu.”

“Sebenarnya apa yang terjadi pada Felix?”

“Aku tak tahu secara pasti, Felix tak mau cerita secara detail. Aku hanya mendengar ceritanya dari teman-teman dekat Felix,” akhirnya mobil kami masuk ke jalan raya. “Maggie itu anak supir keluarga kami. Dulu sih. Dia sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri, apalagi aku anak tunggal, dan Felix suka padanya. Katakan saja mereka saling jatuh cinta dan mulai pacaran sejak SMP.

Lalu setahun yang lalu tiba-tiba Maggie memutuskan hubungan, dia suka sama sahabat Felix. Mereka sudah cukup lama bersama jadi kupikir ada saatnya Maggie mungkin bosan pada Felix. Aku tak bisa menyalahkannya kan? Ada banyak lelaki di dunia ini dan dia berhak menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya. Kupikir Felix tidak menerima hal itu dan bicara dengannya baik-baik. Tapi setelah kejadian itu, dia malah melemparkannya dirinya ke jalan dan kalau kau tak ada saat itu, dia pasti sudah mati.

Tapi Ayahnya Maggie melakukan hal yang salah. Dia membawa lari uang yang diwariskan Kakek padaku. Aku tak dendam dan kupikir dia pasti ingin melakukannya untuk membiayai pengobatan isterinya yang waktu itu sedang sakit. Tapi ternyata uang itu justru dipakainya untuk foya-foya. Kesabaranku sudah habis melihat tingkahnya itu, karena itu aku tak tahan lagi. Aku tak berharap dia mengembalikan uang itu, tapi aku juga tak ingin mereka dekat-dekat lagi dengan keluargaku.”

Hazel bercerita dengan nada datar dan bisa kurasakan emosi di dalamnya.

Ponsel Hazel bordering tak lama kemudian. “Halo?” dia mengangkatnya dan karena keadaan cukup sunyi aku bisa mendengar suara dari orang di telepon.

“Felix ditemukan.”

“Oke, kami kesana sekarang. Thanks ya?” Hazel mengantongi ponselnya dan melirikku. “Alex, saatnya beraksi.”

“Itu tadi siapa?” dahiku mengerut.

“Orang-orang kepercayaanku.”

Hazel benar-benar orang yang luar biasa.

*** Amour Café ***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.