RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 13 April 2011

Ocepa Kingdom Eps 22

Dua puluh dua

Setelah Willy, hal yang terakhir bagi Christian untuk mengetahui jati dirinya adalah Raja Joseph. Namun sekarang, sepertinya rencana ini akan gagal. Semua sudah terbongkar, kebohongan selama dua belas tahun itu aku ahirnya ketahuan juga.

Raja Joseph ada dihadapan mereka, menatap mereka dengan penuh kekagetan dan tangan gemetaran.

“Ayah—”

“Willy,” Raja Joseph mengangkat tangan, menyuruh Willy untuk diam. Dia melangkahkan kakinya, menghadap Christian. “Aku ingin lihat matamu di bawah mentari,” suaranya bergetar. Dia menarik tangan Christian keluar dari kandang kuda.

“Ayah!” Willy berusaha menghalangi. “Ayah, kumohon! Ayah!”

“Diam, Willy! Saat ini aku tak mau mendengar kebohongan apapun. Kau mengerti?” Raja Joseph membentak Willy. Willy terkesikap, tidak bisa bicara. Christian kembali ditarik.

Christian tidak bisa melawan. Dia menurut saja saat Raja Joseph menariknya keluar dari kandang kuda, menaiki bukit, melewati Louis, Charlie, Alfred, Eldin, Jesse dan Peter. Saat ini dia sama sekali tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk memberikan alasan yang tepat bagi Raja Joseph. Dia sudah mendengar semua apa yang terjadi dan kelihatan tidak mau mengerti. Apa yang bisa dia perbuat dengan keadaan ini? Dia harus mempertanggungjawabkan apa yang dia katakan.

Semua sudah terlambat.

Raja Joseph melepas pegangannya dan menatap mata Christian. Mata yang indah, andai saja saat ini masalahnya tidak sebesar ini. Dia dapat melihat ada perpendaran warna hijau pada matanya. Mata yang sangat berbeda saat Raja Joseph melihat mata Christian yang dulu.

Mata biru safir Christian tidak mungkin berbeda, mata itu hanya terdapat pada Glenn. Kenapa dia sama sekali tidak menyadari hal itu? Raja Joseph tidak mungkin bisa melupakan mata Pangeran Christian yang begitu jernih saat dia menolak mentah-mentah kekuasaan yang diberikan padanya.

“Ayah, ada apa?” Louis berlari kearahnya. Raja Joseph hampir saja jatuh lemas, untung saja saat itu Willy yang cekatan segera menangkapnya. Yang lain segera menghambur kearah mereka.

“Ayah, tenangkan dirimu. Akan kujelaskan.”

“Aku tak mau penjelasan!” Raja Joseph menyingkirkan tangan Willy. Kakinya gemetar menahan berat tubuhnya. “Kalau kau sudah tahu apa yang terjadi, kenapa kau diam saja dan menyembunyikan hal ini pada Ayahmu?”

“Walau aku cerita apa Ayah akan percaya? Ayah sendiri yang mengusirku dari istana mengenai masalah ini—”

“Kalau kau menjelaskan alasannya, kejadiannya tak akan seperti ini. Jika kau menjelaskan alasan kenapa kau bertingkah aneh, aku akan mencoba untuk mengerti! Jika kau mengatakannya lebih cepat, maka kita tak akan kehilangan—”

“Ayah, cobalah untuk berpikir lebih jernih!” Willy berteriak frustasi. “Jika aku cerita saat aku tidak mengetahui apakah adikku masih hidup atau tidak apakah kau akan percaya? Apa kau akan percaya jika aku bilang kalau Christian ada di luar istana sementara ada Christian di dalam istana dalam waktu yang sama? Jika pun kau percaya, aku tidak yakin apakah Christian masih hidup atau tidak!”

Louis dan Charlie mengerutkan dahi.

“Apa ini? Kenapa dengan Christian?” kata Louis. Dia menatap Christian dengan penuh tanda tanya. “Christian, jelaskan apa yang terjadi disini.”

“Kau siapa?” kata Raja Joseph pelan. Dia menatap mata Christian.

Yang lain mengerutkan dahi. Kebingungan.

“Beritahu aku namamu. Aku hanya ingin tahu kebenaran.” Raja Joseph melanjutkan saat Christian belum menjawab.

“Aku…”

… Putraku, bersumpahlah pada Ayahmu ini, apapun yang terjadi kau harus bilang kalau namamu adalah Christian. Pangeran Christian. Apa kau mengerti?...

Christian menarik napas.

“Aku Christian. Christian Wulfric Benjamin Estianus.”

Raja Joseph kelihatan berang. Dia mengangkat tangannya, namun Willy menghadang di depan Christian.

“Minggir, Willy,” kata Raja Joseph.

“Dia punya sumpah, Ayah,” bisik Willy geram. “Dia harus menepati janjinya.”

“Apa dia akan terus-terusan menunggu Christian menyebut nama aslinya, hah? Itu maksudmu? Sampai kapan?”

“Ayah!”

“Christian sudah mati! Putraku sudah mati!” Raja Joseph menteskan air mata. “Kenapa kau tidak menyuruhnya berhenti saja? Tak ada gunanya dia menyamar menjadi Christian jika Christianku sudah mati! Christian tak akan pernah melanggar janjinya! Tak akan pernah!”

Louis dan Charlie mengerutkan dahi.

“Siapa yang mati…barusan?” gumam Louis. Dia menatap Christian. “Christian… apa maksudnya, Willy?”

“Kita pergi dari sini. Ayo,” Willy menarik Christian yang sulit beranjak. “Ayo, Christian. Tak ada gunanya kita disini.”

Willy memaksa Christian beranjak, meninggalkan kerumunan yang tidak mengerti. Christian menurut, diam seribu bahasa.

***

Jeremy turun dari kudanya. Aries menyambutnya di pintu gerbang bersama dengan yang lain. Steave melambai pelan lalu menurunkan tangannya perlahan. Ada sesuatu yang aneh, entah kenapa dia merasa kalau suasana di depan gerbang sepertinya kelihatan lebih kelam daripada saat terakhir kali dia pulang. Atau karena perasaan dia saja yang merasa demikian? Karena dia akan mengatakan kepada mereka kejadian yang sebenarnya terjadi di istana, kesimpulan menyakitkan untuk memberitahukan bahwa Raja memang sudah mati.

Raja Joseph melangkah cepat padanya, wajahnya penuh kekhawatiran dan tampak lebih lelah dari sebelumnya. Matanya membengkak dan wajahnya pucat dengan pakaian berantakan.

“Bagaimana?” katanya dengan suara bergetar. “Ada kabar apa dari istana? Itu semua bohong kan? Raja tidak mati kan?”

Jeremy melirik Aries—yang menggaruk belakang kepalnya lalu mendesah lelah, lalu pada Christian dan Willy yang berdampingan. Louis dan Charlie ada di sisi kanan Aries. Tampang mereka sama cemasnya seperti Raja Joseph.

“Aku akan bicara di dalam. Jadi lebih baik—”

“Putraku… dia tak apa-apa … kan?” Raja Joseph mencengkram tangan Jeremy. “Katakan kalau dia baik-baik saja. Katakan kalau berita itu bohong.”

Jeremy menelan ludah. Dia menatap ke dalam mata Raja Joseph. Mata yang sama seperti milik Glenn.

“Aku sudah tahu apa yang terjadi, Jeremy,” kata Raja Joseph lagi. “Aku tahu kalau Glenn memang salah satu dari kalian. Aku tahu kalau dia memang ditugaskan untuk masuk kelompok itu. Aku sudah tahu semuanya.”

Jeremy kembali menoleh pada Aries, “Ketua, kau mengatakan semuanya pada Raja ini?”

Aries mendesah.

“Dia mengancam akan bunuh diri jika aku tidak memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak bisa melakukan apapun,” Aries membela diri dengan nada jengkel.

Jeremy benar-benar tak percaya kalau Aries yang begitu keras kepala bisa dengan mudah mengatakan misi Glenn pada Raja Joseph. Dia kembali menatap Raja Joseph, merasakan tangannya yang gemetaran, menunggu jawaban darinya. Sesungguhnya dia sendiri tak sanggup untuk mengatakan apa yang terjadi kepada Raja Joseph, Ayah Glenn. Tapi—

“Jeremy! Katakan padaku apa yang terjadi!”

Jeremy mengepalkan tangannya. Dia menarik napas. “Raja baru akan diangkat minggu ini.”

Raja Joseph mematung.

“Apa?” Aries mengerutkan dahi. “Siapa yang akan naik tahta?”

“Elvius.”

“Elvius?” kata Jendral Rodius tak percaya. “Si Penghianat itu?”

“Lalu, kapan kau akan kembali?” Aries memotong sebelum topik pembicaraan berubah.

Jeremy mendengus. “Aku tak akan kembali. Kupikir aku sudah mengatakan padamu bahwa aku hanya akan bergerak jika ada Glenn. Aku juga—”

Jeremy refleks memegang Raja Joseph yang kehilangan kekuatan kakinya. Louis dan Charlie segera kearahnya. Mereka berdua panik.

“Alfred, panggil tabib!” Willy memberi perintah.

“Dimana aku bisa menemukan Tabib di tempat seperti ini?” kata Alfred lagi.

“Cari Stacy!” jawab Louis.

“Rumahnya berjarak berpuluh-puluh kilo dari sini!” timpal Alfred.

Christian melompati gerbang. Dia berlari cepat menuju kuda Jeremy, dan memacu kuda itu untuk berlari menembus angin. Jeremy menggendong Raja Joseph di punggungnya dan membawanya masuk. Aries membukakan pintu sementara Peter dan Eldin dengan cepat menyiapkan tempat tidur.

Raja Joseph memegangi dada kirinya sementara pernapasannya tidak teratur.

“Dia bisa terkena serangan jantung kalau begini terus,” gumam Aries.

“Yang Mulia, tenangkan diri Anda. Tarik napas!” Jendral Rodius memegangi tangannya. “Anda harus kuat, Yang Mulia.”

“Kalian semua keluar!” Willy berteriak, “Kalian membuat dia makin panik! Keluar! Keluar! Ayahku butuh udara segar!”

Raja Joseph mengerang.

“Yang Mulia…”

“Gawat… kalau begini terus kita bisa kehilangan dia…” gumam Aries. “Hei, lakukan sesuatu!”

“Ayah! Ayah!” Charlie panik. “Ayah, kumohon, jangan begini! Kau harus kuat! Christian… dimana dia disaat seperti ini! Kenapa dia lama sekali!”

Di ruangan yang panik tanpa ada satupun yang bisa memberikan pertolongan membuat Raja Joseph semakin sulit bernapas. Udara di sekitarnya terasa lebih sesak daripada sebelumnya, matanya merasa lebih gelap, kepalanya pusing dan orang-orang disekitarnya berteriak. Suara mereka berdengung di telinganya.

“Ayah, kumohon!”

“Yang Mulia, bertahanlah!”

“Ayah, Ayah harus kuat. Aku akan menemani Ayah oke? Aku akan berubah. Tapi jangan begini. Ayah… kau mendengarku kan?”

Mereka masih saja berisik. Semuanya berebut untuk bicara.

“Kalau kalian berkerumun begitu, dia akan semakin sulit bernapas.”

Aries menoleh ke belakang. Matanya hampir saja keluar ketika melihat orang yang berdiri di depan pintu. Suara yang seakan datang dari kematian.

“Glenn…” desah Aries tidak percaya.

Glenn berdiri di depan pintu. Wajahnya berkeringat dan napasnya tidak beraturan. Dia memegangi dadanya, dan tangan yang satunya di pegang oleh Christian yang berdiri di sebelahnya, dalam keadaan yang sama.

“Aku menemukan Tabib…” kata Christian.

Glenn melepaskan tangan Christian dan berjalan ke depan kerumunan yang tidak menyadari apa yang terjadi di ruangan itu. Mereka masih saja sibuk memberikan nasihat panjang tak jelas pada Raja Joseph. Glenn menyingkirkan Eldin, lalu Jesse dan Charlie, kemudian dia menyingkirkan tangan Jendral Rodius.

“Ayo, Yang Mulia, biar kubantu…” Glenn memegang punnggung Raja Joseph dan mendudukannya. Kemudian dia memegang dada Raja Joseph yang naik turun, sementara tangannya yang satu lagi di belakang leher, menyelusiri dari leher sampai punggung, menahan pergerakan di dada Raja Joseph.

“Pelan-pelan…” kata Glenn lagi, menahan usaha Raja Joseph untuk berbaring. “Seperti itu… Tarik napas yang panjang… pelan-pelan… perlahan…”

Suasana di ruangan itu hening seketika. Kecuali instruksi Glenn untuk membantu Raja Joseph agar bernapas lebih normal, tidak ada yang lain. Yang lain sepertinya tidak begitu mencerna apa yang terjadi. Namun yang pasti, secara perlahan, napas Raja Joseph semakin teratur dan pada akhirnya, dia bisa mengambil udara secara normal.

“Anda harus lebih sering olahraga, agar tidak terkena serangan jantung,” kata Glenn perlahan, melepas pegangannya dari Raja Joseph begitu dia mengetahui kalau Raja Joseph sudah tidak apa-apa.

Ruangan itu kembali sunyi. Mereka menatap Glenn dengan dahi mengerut, seakan tidak pernah melihat manusia sebelumnya. Willy-lah yang bersuara terlebih dahulu.

“Glenn…”

Glenn menoleh padanya. “Apa?”

Willy mengerjap. “Kau masih hidup?”

Glenn berdiri cepat, “Kalian berkerumun dan tidak melakukan apapun. Keadaan itu akan membuat Raja panik. Biarkan dia istirahat. Lebih baik kalian keluar.”

Willy bangkit. Dia memeluk Glenn. Hampir menangis karena kegirangan. “Kau masih hidup… syukurlah kau masih—”

“Uhuk… uhuk-uhuk-uhuk.”

Willy melepas pelukannya. Glenn terbatuk, memegangi dadanya.

“Glenn? Glenn, kau tak apa-apa?”

“Kakak, mulutnya berdarah,” kata Charlie. Dia melihat Glenn memuntahkan darah dari mulut dan merembes keluar dari jari-jari tangannya.

“Aku tak apa-apa,” kata Glenn menarik napas, menyeka darah dari dagunya. “Hanya—hanya terluka sedikit…”

“Duduk disini,” kata Raja Joseph, menarik tangan Glenn dan menyuruhnya duduk disampingnya. Glenn menurut. “Ambilkan baskom air. Lukanya perlu dibersihkan.”

Peter mengangguk dan dia keluar.

Glenn merasakan nyeri di dadanya. Sakitnya luar biasa. Dia belum sembuh benar dan perjalanan panjang, membuatnya lelah lalu Christian menariknya tanpa rasa kasihan dan tidak mendengarkan penjelasannya karena alasan mendesak, pantas saja kalau lukanya akan melebar lagi.

“Kau… bagian mana yang luka?” kata Louis.

“Lukaku tidak parah, Yang Mulia.”

“Kalau lukamu tidak parah, kau tak akan muntah darah,” timpal Christian.

“Ini cuma kebetulan.”

Jeremy yang diam, memegang dada Glenn.

“Apa yang kau lakukan?” Glenn menyingkirkan tangan Jeremy.

“Luka yang kemarin?” Jeremy menyipitkan mata. “Belum sembuh juga?”

“Mana mungkin dia sembuh kalau dia selalu melakukan tindakan bodoh.”

Ada suara lain yang menjawab. Kali ini Lourian. Dia masuk ke ruangan itu, membawa baskom air dari Peter. Dia melirik sinis pada Aries yang kaget melihatnya. “Kalian yang tidak berkepentingan,” dia menunjuk Louis, Willy, Chrlie, Christian, Jeremy, Jesse, Peter, Alfred dan Aries. “segera keluar dari kamar ini. Ada dua orang yang harus aku rawat disini dan kalian tidak membantu sama sekali.”

“Kenapa kau ada disini?” Aries akhirnya bisa berkata-kata setelah kaget beberapa saat.

“Mana bisa aku membiarkan anak angkatku yang terluka berjalan-jalan dari Axantos ke Ocepa sendirian,” jawab Lourian jengkel. “Jadi kau tenang saja, aku datang ke sini bukan untukmu.”

“Aku bukan—”

“Berapa kali aku harus bilang kalau kalian harus keluar?” ulang Lourian lagi.

Aries memberi tanda. Yang lain segera bangkit.

“Aku masih ingin disini,” kata Jeremy.

“Tidak.” Lourian membantah cepat. “Kau memang Kesatria Glenn, tapi Glenn tak akan mati disini karena aku tidak akan meracuninya. Lebih baik kau jaga di luar saja.”

“Tapi—”

“Jeremy, keluar,” Glenn memberi perintah.

Jeremy menelan ludah. Dia membungkuk dan berkata, “Baik, Yang Mulia.” Perintah langsung dari Glenn membungkam mulutnya. Glenn berdiri dengan enggan dan menyusul Aries yang keluar dari ruangan dan menutup pintu perlahan. Tak lama kemudian, dia mengintip dari jendela.

“Kesatriamu itu benar-benar terlalu memperhatikanmu. Kau sudah dewasa, tidak perlu dibuntuti dia terus,” Lourian mendekati jendela dan menarik gorden dengan cepat, menutupi wajah Jeremy. “Buka bajumu,” perintahnya pada Glenn.

Glenn menurut, dia melepas satu per satu kancing bajunya. Lourian beranjak ke sisi Raja Joseph lalu tersenyum menenangkan.

“Maaf, Yang Mulia, aku memang bukan Tabib Istana dan seorang wanita. Namun jika kau tidak keberatan, bisa aku periksa denyut nadimu?”

Raja Joseph terkesikap. “Eh… ya. Tentu.”

Lourian mengambil tangan Raja Joseph dan memeriksa secara teliti dengan nadinya yang tidak beraturan. Lourian memperhatikan wajah Raja Joseph dan mengambil kesimpulan betapa tampannya Raja yang satu itu, sama tampannya seperti Glenn.

Lupakan masalah itu!

Lourian kembali memperhatikan wajah Raja Joseph. Dia pucat dan bibirnya kering. Ada kemungkinan dia tidak makan teratur. Dahi Lourian mengerut dalam saat Raja Joseph masih saja memperhatikan Glenn yang melepas pakaiannya dengan penuh perhatian. Cara dia memandang Glenn mengingatkan Lourian pada Jeremy saat Jeremy menatap Glenn: penuh kasih sayang.

“Bisa kau menatap mataku sebentar, Yang Mulia. Aku ingin melihat kondisi matamu,” kata Lourian.

“Apa?” Raja Joseph tidak terlalu memperhatikan dan masih terbius oleh Glenn.

“Mata Anda—”

“Permata itu…” desah Raja Joseph bangkit. Dia berjalan cepat menuju Glenn. Secara sekilas dia melihat ada pendaran dari leher Glenn saat Glenn menyingkirkan bajunya. “Ternyata memang benar kalau kau—”

Glenn mengerutkan dahi. “Apa maksud Anda?”

Raja Joseph memegang leher Glenn. “Benda ini, kenapa bisa ada padamu?”

“Oh? Ini? Sejak dulu memang ada disini. Kenapa?” Glenn menyingkirkan tangan Raja Joseph. Dia melangkah menjauhi Raja Joseph dan melepas baju dalamnya, memperlihatkan tubuhnya yang dililit perban tebal. Perban tebal itu kotor, terkena rembesan darah yang keluar secara perlahan.

“Kau luka separah ini?” kata Raja Joseph tak percaya.

“Ini cuma luka kecil.”

“Luka kecil, katamu?” seru Raja Joseph.

“Aku tidak apa-apa.”

“Berhenti bertengkar kalian berdua,” Lourian menghentikan pertengkaran mereka. “Glenn, duduk sini. Kupikir aku akan mengobati lukamu terlebih dahulu.”

Glenn menurut. Dia mendekati Lourian.

“Angkat tangan ke atas. Yang Mulia, bisakah kau membantuku membuka perbannya?”

Raja Joseph melangkah perlahan. Jantungnya kembali tidak karuan saat melihat luka Glenn yang benar-benar merusak tubuhnya. Sebuah luka sayatan di dadanya yang membengkak dan kelihatannya sulit untuk sembuh, kemudian ada luka lagi di bahunya. Luka yang menghitam akibat racun, kata Lourian. Entah sudah berapa banyak kesusahan yang ditanggung Glenn selama ini diluar sana, Raja Joseph sama sekali tidak mau mengerti kenapa Glenn mau melakukannya.

Kini alasan kenapa dia bisa menyayangi Glenn sejak pertemuan pertama dengan pemuda itu dan menganggapnya sebagai putranya sendiri dan memaafkannya dengan mudah walau dia melakukan kesalahan, tak lain dan tak bukan karena ikatan darah yang mereka miliki.

“Apa kau tak ingin menceritakan apa yang terjadi saat sepuluh tahun lalu?” kata Raja Joseph.

Tangan Lourian berhenti menempelkan ramuan obat ke dada Glenn.

“Maaf?” Glenn mengerutkan dahinya.

“Aries dan Willy sudah menceritakan apa yang terjadi, walau Christian Palsu saat ini tak mau mengakui, tapi suatu hari nanti—”

“Yang Mulia, aku benar-benar sangat menyesal mengatakan ini pada Anda, tapi aku sama sekali bukan Putra Anda.”

“Sampai kapan kau akan berbohong begini? Aku Ayahmu. Aku tahu kau kesal karena aku tidak dapat mengenalimu, namun—”

Glenn memotong cepat.

“Aku tidak bohong. Rofulus Haistings menukar kami berdua saat kami lahir.”

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.