RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 30 Maret 2009

Love Love Love Eps 9

Love for you Love for my family Love for my friend

written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel

9.

Ghost of Hotel

“Begini anak-anak,” Kepala Sekolah SMP Harapan Bangsa memberikan pidatonya yang tidak biasa hari Senin pagi di depan seluruh siswa saat upacara. “Ada kabar yang harus Bapak sampaikan,” lanjutnya. Jika melihat cara dia berbicara, sepertinya merupakan kabar yang amat buruk sekali. “Bu Lyla akan dipindahtugaskan ke salah satu SMA—”

“Yes!”

Karena suasanya yang sangat hening, semua siswa dan guru dapat mendengar dari mana asal suara itu. Itu dari Refan.

Begitu sadar dia diawasi oleh semua orang, Refan memasang tampang seriusnya dan berkata, “Eh, silakan dilanjutkan, Pak.”

“Jadi seperti yang telah saya katakan tadi,” Sang Kepala Sekolah berdeham. “Bu Lyla akan dipindahtugaskan untuk mengajar di SMA KasihMulia, salah satu SMA Favorit disini. Jadi, kita akan membuat pesta kecil-kecilan untuk mengucapkan selamat tinggal pada Bu Lyla dan ucapan terima kasih padanya karena telah memberikan ilmunya pada anak-anak dalam mencerdasakan kehidupan bangsa.”

Bu Lyla, yang ada disudut para guru, sesungukan dari tadi sambil meneteskan air mata.

“Ada yang mau ibu katakan?”

Bu Lyla naik ke atas podium.

“Anak-anak, I-Ibu sangat se-sedih sekali me-meninggalkan sekolah ini. A-apalagi meninggalkan Rachael-”

Rachael menunjuk dirinya sendiri sambil terbengong-bengong.

“Dan juga Refan…”

Refan memutar matanya.

“Mereka anak-anak baik yang tidak akan pernah I-Ibu lupakan…”

Hanya karena tampan saja kan? Dasar pilih kasih! Choki membatin.

“Ka—karena itu Ibu meng-mnginginkan tiga kelas yang Ibu ajar, agar melakukan pesta dan menginap sebagi kenang-kenangan terakhir buat Ibu. I, itupun setelah kalian selesai ujian semester.”

Oh… ya, ampun… kerjaan Osis lagi….

***

“Bu Lyla benar-benar kurang kerjaan, deh. Masa’ pindah tugas aja harus ada pesta menginap, sih? Cuma karena nggak bisa ketemu Refan sama Rachael doang,” Choki menggerutu sama anak-anak sekelasnya.

“Asik juga, Chok, kita kan nggak pernah tuh liburan bareng,” kata Dony tersenyum-senyum. “Berpikir positif dong Chok, kita kan bisa liburan bareng Grace, Stevani, Pecinrai ama Evol.”

“Kalo Grace sama Stevani sih nggak apa, tapi Evol dan Pecinrai itu loh yang bikin sebal!” kata Lev mengangkat kakinya ke atas meja.

“Benar, tuh. Liburan kan hari dimana kita bisa cari cewek cantik yang ayu kayak Grace, tapi malah diisi melihat wajah Evol sama Pecinrai. Udah itu, ada Refan lagi.” Kata Faldo memanyunkan mulutnya.

“Eh, Kapten kalian dengar tuh,” Choki menyikut Faldo dan menunjuk ke arah Refan yang membaca disudut kelas.

“Dia nggak dengar, tuh. Soalnya dia asik membaca sambil dengerin iPod,” kata Sammy.

“Terus, siapa yang bakalan kalian incar entar di campnya Bu Lyla?” kata Dhika.

“Ya Grace, dong! Udah anak orang kaya, sederhana, cantik lagi. Di kelas dia juga nggak pintar-pintar amat. Amat standar untuk cowok-cowok kayak kita,” kata Roy yang disetujui anggotanya yang lain.

“Iya, kalian yang standart, tapi kalian nggak nyadar, ya kalau Grace diincar sama cowok yang selevel dengan Refan?” kata Choki.

“Siapa? Rachael maksudmu?” kata Ilham. “Nggak mungkin. Gue yakin kalau Rachael itu cuman becanda doang, dia kan bisa dapetin cewek kayak Grace dalam waktu sekejap.”

“Tapi kalian tampaknya lupa kalau Grace bukan cewek biasa.”

Choki and the gank kaget saat Rachael muncul.

“Rachael? Dengar semuanya?” kata Lev ngeri.

“Ya jelas, lah,” kata Rachael duduk disamping Choki, diatas meja. “Ngapain, sih ngomongin Grace? Entar kalo didengar orangnya, kalian bisa dibantai.”

“Ah, nggak mungkin.” Kata mereka berbarengan.

“Eh, man, lo suka ya sama Grace,” kata Lev menepuk punggung Rachael.

“Emang siapa yang nggak suka sama Grace?” Rachael balik bertanya. “Dia baik, cantik, pengertian, manis, lagi.”

“Kayaknya elo tahu banget soal Grace.”

“Ya iyalah, kami kan tetanggan. Tiap hari aku main ke rumahnya, alasanku sih mau belajar. Hehehe.”

Yang lain menyorakinya.

“Trus gimana?” kata Dhika.

“Apanya yang gimana?” kata Rachael.

“Grace-nya dong. Ada nggak tanda-tanda kalau dia suka sama elo?” kata Faldo.

“Itu dia yang jadi masalah,” kata Rachael menopang dagunya. “Kelihatannya Grace nggak minat deh sama aku. Apalagi abang-abangnya selalu nempel kayak lem. Pokoknya saat ini, kelihatannya Grace belum menunjukan kalau dia suka sama seseorang.”

Refan membalik halaman bukunya, dari tadi suara music di iPod-nya sama sekali tidak kedengaran dan dia malah mendengar pembicaraan mereka.

So, lo mau ngapain entar?” kata Lev.

“Ng… apa, ya? Pokoknya surprise deh.”

***

Grace menatap bengong soal matematika yang terpampang di depan wajahnya. Evan udah capek ngajarin dia dari tadi, tapi tampaknya belum ada yang bisa menempel di kepalanya. Akhirnya Evan menyerah dan kini Daniel yang menggantikannya. Tapi Daniel malah memakai system cepat yang justru membuat pusing dan dia kini duduk disamping Harry.

“Kayaknya gen kejeniusan Papa nggak nempel sama Grace,” kata Evan memakan biscuit yang diambilnya dari kotak makanan Daniel. “Masa kita udah bergilir ngajarin dia nggak ada satupun yang dimengerti.”

“Dia kan paling bungsu, Evan. Balikin makananku!” Daniel mengambil kotak biskuitnya. “Aku sengaja beli ini untuk teman belajar tahu!”

“Pelit.”

“Ooooh, gitu ya, Kak! Aku ngerti!” kata-kata Grace terdengar dari ruang tengah.

“Akhirnya...” kata Mark geleng-geleng kepala.

“Kak Harry emang jempolan, deh! Beda ama yang lain!”

“Hoi, kami dengar loh!” teriak Evan dari dapur.

Terdengar suara tawa Harry dan Grace dari jauh.

“Ada yang mau teh? Biar aku bikin,” kata Kim bangkit dari kursinya.

“Tehku jangan terlalu manis, ya,” kata Daniel memakan biskuitnya.

Ting tong…

Harry bangkit. “Dek, soal selanjutnya masih bisa dikerjakan sendiri kan?” kata Harry sementara Grace hanya mengangguk. Dia membuka pintu dan berjalan sedikit untuk melihat siapa orang yang memencet bel di gerbang.

Harry melihat ada seorang cewek dengan rambut pendek berwarna hitam kecoklatan memencet bel sekali lagi dari arah gerbang. Harry mengerutkan dahi. Siapa tuh? Tidak biasanya ada cewek datang kesini. Mungkin nyari Evan ya? Biasanya kan cewek-cewek nyari Evan.

“Ya? Siapa ya?” kata Harry menghampiri gerbang. Sekarang dia dapat melihat cewek itu dengan jelas. Cewek cantik dengan postur tubuh yang top abis, apalagi gadis itu terlihat sangat sempurna dan perfeksionis.

“Permisi, Evannya ada?” katanya sopan.

Tuh, kan….

“Oh, ada. Anu, Anda ini siapa ya, Nona?” kata Harry membuka pintu gerbang.

“Xandra. Bisakah aku bertemu dengannya?” katanya lagi ramah.

“Oh, silakan,” kata Harry. “Kalau tidak keberatan ikuti aku saja.” Baru pertama kali ini rasanya Harry bertemu dengan cewek yang cukup menarik perhatiannya. Xandra bukan cewek biasa, dia punya aura yang anggun yang luar biasa seperti bangsawan.

“Evan! Ada yang nyariin!” seru Harry duduk kembali disamping Grace. “Van!”

“Siapa, Har?” teriak Evan dari dalam.

“Xandra!”

Bruk brak.

Grace berhenti menulis. Dia, Harry dan Xandra mengerutkan dahi sambil menatap ke arah dapur.

“Hati-hati, dong, Van! Masa’ mau duduk aja mesti jatuh segala!” kata Daniel dari dalam. Suara Mark dan Kim juga terdengar, kali ini tertawa.

“Wajahmu kok merah begitu, sih?” kali ini suara Drew.

“Argh, berisik!” kata Evan, kemudian dia keluar dari dapur dan masuk ke dalam ruang tengah. Grace dapat melihat dengan jelas rona merah di wajah Evan. Grace melirik kearah Harry yang rupanya sama heran dan bloonnya.

“Eh, udah lama, Xan?” kata Evan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Kau baik-baik saja kan?” kata Xandra heran. “Aku belum lama kok.”

“Eh, ng… ada yang bisa kubantu?”

Apa? Batin Harry mengorek telinganya. Ada yang bisa kubantu? Evan bilang ada yang bisa kubantu? Nggak salah?

“Eh, sebenarnya tidak. Aku datang kesini cuma mau mengantar buku titipan dari dosen Informatika untukmu sebagai asisten dosen.” Kata Xandra, “aku juga tahu rumahmu dari Eliz, ternyata kau terkenal juga ya. Kupikir cuma lagakmu doang.”

“Eh… jangan berlebihan begitu, dong,” kata Evan menggaruk kepalanya lagi. Wajahnya jadi merah padam.

What? Kata Harry dalam hati. Evan benar-benar sudah gila!

“Eh, Bang Van, maaf mengganggu,” kata Grace tiba-tiba. “Tapi bukankah lebih baik kalau Bang Evan duduk daripada berdiri terus? Kasihankan Kakak itu melihat ke atas terus.” Kata Grace membuat Evan tersadar kalau dari tadi dia diawasi sama Harry dan Grace. Dia menoleh kebelakang, tampaklah sosok Daniel, Mark, Drew dan Kim yang mengintip dari celah-celah pintu dapur yang terbuka.

“Eh… Xandra, bagaimana kalau kita ke café? Kau tidak keberatan kan? Ada yang mau kubicarakan denganmu soal—,” Evan memutar otak,”—soal program pengajaranku di UI entar. Kau mau kan?”

“Tentu.”

“Bukankah lebih baik kalau di rumah saja, Van?” kata Kim dari balik pintu. “Nanti aku yang mengantar tehnya, deh.”

Kim bodoh!” Gerutu Mark dan Daniel bersamaan dan buru-buru menutupi wajah mereka.

“Adikmu?” kata Xandra saat melihat Kim. “Manis sekali, ya. Beda denganmu.”

Harry dan Grace menutup mulut mereka untuk menahan tawa.

“Aku Abangnya, Nona. Evan-lah yang adikku,” kata Kim tersenyum ramah. “Anda mau teh?”

“Tidak, terima kasih. Aku dan Evan pergi ke café saja daripada mengganggu disini. Kalau begitu, aku permisi.” Kata Xandra lagi sopan.

Evan yang melihat tatapan penuh tanda tanya dari saudara-saudaranya segera mengambil mantelnya dan keluar tanpa peduli panggilan Mark.

“Evan kayak orang lain, deh,” kata Harry. “Ada yang bisa kubantu? Jangan berlebihan begitu? Memangnya Evan pernah rendah hati?”

“Mungkin Bang Evan sedang jatuh cinta kali,” celetuk Grace. “Baguslah.”

“Kok bagus sih, Dek? Dia kan nggak jadi dirinya sendiri,” kata Harry.

“Siapa bilang?” kata Grace lagi menambahkan angka lima di bukunya. “Justru karena dia jatuh cinta, dia jadi salah tingkah kalau di depan cewek itu. Ceweknya cantik, ya? Apalagi kelihatan bertolak belakang dengan Bang Evan.”

“Terlalu bagus untuk Evan,” kata Harry.

“Itu karena kau belum dapat cewek kan? Dasar lajang tua!” kata Mark datang ke ruang tengah. “Dari antara kita, sepertinya, cuma kau dan Kim deh yang nggak laku.”

“Bang Kim udah ada cewek kok,” timpal Grace. “Namanya Lo”

“Eh? Lo? Lo apa, Dek?” kata Mark.

“Iya, Lolita, aku akan datang saat konser disana. Saat ini aku sibuk,” suara Kim terdengar dari arah dapur. Dia sedang menerima telepon. “Hm… aku di rumah. Iya.”

“Ohoho… berarti yang jomblo disini cuma kau doang,” kata Drew duduk disebelah Harry yang kalah suara.

“Kau sendiri?” tuntut Harry. Drew menunjukan jarinya yang terdapat cincin perak yang berkilauan. “Cincin?”

“Aku sudah bertunangan,” kata Drew.

Mereka melotot tidak percaya.

“Nah, Harry… kau benar-benar kalah suara.” kata Daniel berhehehe.

“Itu berarti kalian semua sudah punya pacar, ya?” kata Harry dengan suara pelan. “Daniel dan Mark… bisa jadi gossip news nih.”

Oh, no!” kata Mark. “Jangan coba-coba, ya, Har. Eldina bisa membunuhku kalau kau menyebarkan gossip kayak gitu!”

“Oh, namanya Eldina, ya?” kata Harry menang. “Siapa nama calonmu, Dan?”

Daniel ditatap dengan penuh antusias. “Eh?”

“Pasti ada kan? Jangan coba-coba mengelak, ya? Ayo bilang siapa dia. Namanya paling tidak. Cepetan!” kata Harry lagi.

Daniel menggaruk-garuk pipinya. Wajahnya memerah dan dia tampak malu-malu. Tapi ada yang tidak biasa dengan wajah Daniel, seakan dia merasakan ada hal yang menyakitkan.

“Dan?” kata Mark. “Bilang nama cewekmu apa susahnya, sih?”

“Kelihatannya nggak bisa, deh,” bisik Daniel. “Soalnya… adiknya nggak setuju.”

“Maksudnya?” kata Harry bingung.

“Aku sudah memutuskan untuk putus dengannya,” kata Daniel pelan.

Suasana hening.

“Dia gadis yang baik, aku rasa dia bisa mendapatkan cowok lain yang lebih baik dari aku. Jadi aku memutuskan untuk mengalah saja daripada jadi buruk.”

“Apa sih maksudmu? Kau bermasalah dengan cewekmu ya?” kata Drew.

“Ng—nggak, sih… hanya saja adiknya… em… tidak menyukaiku. Aku tidak mau hubungan mereka sebagai keluarga rusak karena aku, jadi kuputuskan untuk putus saja.”

Harry menelan ludah.

“Sudahlah, Dan. Masih banyak cewek lain,” kata Drew mengalungkan tangannya ke bahu Daniel. “Contohlah aku, tunanganku itu adalah pacarku yang keseratus, jadi kau tidak perlu sedih. Hidup ini berjalan.”

“Terima kasih, Drew. Tapi aku tidak bisa pacaran kalau aku tidak menyukai gadis itu… anu, begini… maksudku, aku tidak bisa mempermainkan perasaan cewek.”

“Kau terlalu dewasa sebelum waktunya,” kata Mark menempeleng kepala Daniel.

“Iya, nih, kayak Refan,” kata Grace.

“Aduh, nona, jangan bawa-bawa pacarmu dalam masalah ini,” kata Harry.

“Aku bukan pacarnya! Aku nggak sudi jadi pacarnya!” kata Grace.

“Tapi tetap aja suka kan?” kata Mark lagi.

Daniel tersenyum melihat kehangatan keluarganya. Andai saja adiknya bisa setuju mungkin dia tidak akan menangis. Maaf, ya… aku mengalah pada perasaan adikmu…

***

Ujian semester tiga dimulai, Grace menjawab soalnya yang amat gampang. Hehe, setelah belajar habis-habisan dengan Harry, dia jadi mengerti apa yang ditanya soal! Aku mencintaimu, Kak!

Selama dua minggu ujian, Grace lebih cepat pulang dari waktu yang ditentukan. Dan setelah hari itu, mereka sibuk dengan urusan Bu Lyla. Osis benar-benar jadi pekerjaan yang kurang kerjaan, deh. Liburan akhir semester justru dihabiskan untuk liburan bareng guru dan Pecinrai.

Dan akhirnya mereka memutuskan untuk liburan di Hotel Green Quintie, hotel yang mengahadap ke pantai dengan lautan biru dan pohon kelapa yang melambai-lambai. Angin dan ombak yang bergerombol dan masih banyak lainnya.

“Yai!! Keren banget hotelnya!” teriak Sammy saat melihat bangunan hotel yang menjulang tinggi. “Gila!! Yang punya hotel kayak gini pasti kaya raya!”

Makasih, ya, Sam, batin Grace. Soalnya itu kan hotel yang dikelolah Kak Harry.

“Masuk sini anak-anak. Kita akan menemui Manajer Hotelnya,” kata Bu Lyla membimbing mereka. Dia memakai topi bamboo yang besar dan kecamata hitam yang juga besar, sementara pakaiannya berbunga-bunga. Kayak di Hawaii aja.

“Selamat datang!” kata Pelayan Wanita berseragam yang membuka pintu bagi mereka. Anak-anak lain menoleh kesana-kemari untuk melihat lebih jelas. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

Hotel ini besar sekali dengan langit-langit putih dan lampu-lampu Kristal yang bergoyang-goyang. Selain itu ada sofa yang elegan dan perapian yang kecil disudut. Orang-orang yang hilir mudik. Bule-bule yang cuma memakai baju renang dan bikini. Ada yang memotret, makan dan lain-lain.

“Kami dari SMP Harapan Bangsa—”

“Oh, silakan lewat sini, Bu. Pak Richard sudah menyiapkan tempat untuk Anda dan anak didik Ibu.”

“Ayo, anak-anak.” Kata Bu Lyla berjalan dengan anggun.

Grace menoleh kesana-kemari. Dia tidak pernah tahu kalau keluarganya punya hotel sebesar ini. Dia harus seringt-sering tanya pada Papanya. Sayang banget nggak dijelajahin.

“A-ma-maaf,” kata Grace sewaktu menabrak cowok bule yang membawa papan seluncur. Grace menatap terpaku mata biru bule itu. “Ma-maaf.”

“Pardon?” kata cowok itu tidak mengeti.

“Eh? So-sorry.” Kata Grace gelagapan.

Cowok bule itu tersenyum. “No problem. Do you hurt?”

“No.”

Cowok bule itu membantu Grace berdiri.

“Be carefull, ok?” katanya lagi ramah.

“Thank you.”

“Anytime. Bye.”

Cowok bule itu berlalu. Refan mendatanginya. “Makanya kalau jalan lihat-lihat, dong. Kalau tadi kau luka kena papan seluncurnya gimana?”

“Khawatir, nih?” ledek Grace.

“Iya.”

“Eh? Apa?”

“Ng-nggak apa-apa.”

Grace mengerutkan dahi saat Refan ngacir kesamping Rachael yang berbicara dengan cewek bule cantik yang ternyata temannya waktu SD di Brazil.

“Banyak banget kenalanmu,” gumam Refan saat Rachael mengecup pipi teman wanitanya itu sebelum pamit dari Rachael. “Kerjaanmu cuma itu selama disana?”

“Ampun, deh, Fan. Kita kan keren, sayang banget nggak dimanfaatin buat dapat cewek cantik,” kata Rachael enteng. “Hanya saja ada satu cewek yang nggak mempan dengan ketampanan dan hipnotis cintaku.”

“Siapa?”

“Tuh,” Rachael menunjuk ke arah Grace. “Grace.”

Refan hendak mengatakan sesuatu tapi dia mengurungkan niatnya saat Bu Lyla berbicara pada Pelayan wanita soal pembagian kamar.

“Baiklah, anak-anak, satu kamar tiga orang,” kata Bu Lyla. “Pelayan hotel ini sudah sangat baik hati untuk membagi kamar yang terbaik bagi kalian. Biar Ibu bacakan oke?” dia mengeluarkan catatan. “Ehm, Evol, Grace Ananda ada di kamar 206, lantai sebelas. Choki, Refan, Rachael ada di kamar 501 letaknya di lantai 15. Kemudian Sammy, Sandy dan Dony ada di kamar 504 letaknya di lantai 15…”

Refan, Rachael dan Choki membawa ransel dan koper mereka ke tempat yang ditunjuk oleh sang pelayan. Choki bergumam tidak percaya saat melihat pintu dan kamar mereka yang besar.

“Eh, maaf, Tuan-tuan,” kata Pelayan baru yang masuk. “Kamar ini tidak bisa dipakai.” Choki menjatuhkan kopernya yang menimpa kaki Refan.

“Ouw!” keluh Refan memegang kakinya sambil melompat-lompat.

“Kenapa?” kata Rachael prihatin pada nasib Refan.

“Air panasnya tidak bisa dipakai karena selang airnya rusak, Tuan. Kami akan mengganti kamar Anda. Kami mohon maaf.”

“Ya sudahlah. Kami tunggu disini sampai kamarnya ada,” kata Rachael duduk.

“Sudah ada, Tuan, di kamar no 444, lantai 13.”

“Wah, angka sial, tuh,” kata Choki lagi merinding. “Mbak, nggak ada kamar lain?”

“Maaf, Tuan, karena sekarang sedang liburan hotel ini penuh. Apalagi selalu ada sensasi setiap bulan purnama di hotel ini. Jadi semua orang ingin melihatnya.”

“Sensasi?” ulang Rachael mengerutkan dahi. “Sensasi apa?”

“Penampakan cewek berambut panjang yang mengenakan pakaian putih dari atas sampai ke bawah, Tuan.”

“Hiiii! Kita nginap di hotel seperti apa, sih?!” kata Choki lagi, kali ini dia merangkul erat tubuh Refan. “Fan, ini salahmu karena ngusulin hotel ini!”

“Lepaskan aku!” Refan mendorong jatuh Choki. “Salahmu sendiri yang menerima usulku, Ketua Osis tidak becus.”

“Silakan lewat sini, Tuan.”

Mereka menarik koper mereka lagi untuk turun satu lantai dan masuk ke kamar bernomor 444. Mereka bertiga mengerutkan dahi saat tiba di pintu lapuk yang amat berbeda dari kamar yang lain. Si pelayan pun sangat sulit sekali saat membuka kunci kamar.

“Silakan, Tuan. Kamar ini memang jarang dipakai, sih.”

Choki mencengram lengan baju Refan.

“Ja-jarang dipakai?”

“Soalnya penampakannya sering terlihat disini, Tuan.”

“APA???”

“Lepaskan! Kau hampir membuatku tidak bernapas!” kata Refan menyingkirkan Choki. Rachael sendiri masuk dengan santai. Dia melihat isi kamar.

Not bad.” Katanya. “tidak berbeda dengan kamar yang sebelumnya.”

“Ta-tapi…ad-ada penampakan wa-wanita…”

“Nyante ajalah, Chok. Masa sama hantu aja takut,” kata Rachael enteng. “Waktu aku masih di London aku pernah melihat supir tanpa kepala.”

“Trus?”

“Yah… karena waktu itu hollewen aku pikir itu cuma kostum. Jadi nggak terlalu dipikirin. Kamarnya juga keren kok.”

“Pemandangan yang indah,” kata Refan melihat pamandangan dari balkon yang menunjukan daerah batu karang besar dan laut yang membiru. Ombaknya kelihatan sangat luar biasa saat air menjatuhkan diri di karang.

“Wah, aku mau surfing, ah!” kata Rachael buru-buru melepas bajunya dan mengambil papan seluncur yang sengaja dia bawa.

***

Grace terbengong saat Stevani berdiri terpaku di depan pintu dnegan tangan yang memegang bunga mawar. Ternyata bukan hanya Stevani doang, Yani juga kena.

“Kalian kenapa, sih?” kata Evol mengibaskan rambutnya.

“Cowok itu keren banget…” bisik Yani dalam desahan.

“Ha? Cowok?” ulang Ananda bingung.

“Iya. Cowok bertindik yang keren abis. Gayanya punk, tapi dia romantic banget!” kata Stevani lagi. “Dia memberiku bunga mawar padahal aku sudah menabraknya!”

Grace heran sendiri kenapa dia bisa betah berteman dengan Stevani yang aslinya seperti Pecinrai. Haah… sulit dimengerti.

“Berenang, yuk,” kata Ananda.

Grace tidak bisa menolak saat mereka menariknya, apalagi Stevani juga ikutan.

“Siapa tahu kita ketemu cowok itu lagi, Grace!”

“Aduh, kau kan selalu menganggap semua cowok itu keren.”

“Tapi dia emang keren!”

Sekeren apa, sih cowok yang dilihat Stevani?

“KYAAAAAAA!! RACHAEL! REFAN!!”

Cewek-cewek SMP Harapan Bangsa dan beberapa cewek lain berteriak heboh. Grace terpaku saat melihat Refan dan Rachael bermain seluncur. Mereka kelihatan sangat ahli sekali saat mengendalikan papan seluncur mereka diantara butiran-butiran air.

“KEREN!!”

“LAGI!!”

Rachael keluar dari air dan mendatangi Grace yang terpaku dengan wajah memerah. Wah, pemandangan langka! batin Grace saat melihat Rachael yang betelanjang dada sementara tubuhnya basah. Jujur! Keren banget!

“Loh? Grace nggak pakai baju renang?” kata Rachael heran menatap Grace dari atas sampai ke bawah. Grace emang hanya memakai kaos putih longgar dan celana pendek doang.

“Biasalah. Rata.” Kata Refan yang sudah ada disamping Grace.

“Jangan sembarangan!” kata Grace, wajahnya merah padam saat melihat tubuh Refan. Grace jadi bingung untuk menilai siapa dari antara Refan dan Rachael yang tubuhnya oke. Hehe…

“Apa?” kata Refan menyingkirkan rambutnya yang basah dari dahinya.

“Ng-nggak.”

Terdengar lagi teriakan yang lain. kali ini ada lagi yang main seluncur dengan ombak setinggi tiga meter. Grace terpaku saat melihat cowok bule itu mengendalikan ombak dengan sangat mudahnya sehingga dia seakan-akan terbang.

“Wah, siapa, tuh?” kata Rachael tersenyum melihat cowok itu. “Oke juga.”

Askelon!! Do it!!

Cowok itu memegang air yang memuncrati penonton. Beberapa oang bereteriak seru. Cowok itu langsung ke pantai begitu dia selesai bermain. Dia bergabung dengan beberapa temannya yang semuanya bule.

“Oh, anak asing, toh.” Kata Rachael melipat tangan. “Main lagi yuk, Fan.”

“Yuk.”

Bye, Grace.”

Mereka kembali berlari ke laut sambil membawa papan seluncur masing-masing. Grace minggir, dia melihat Evol dan Pecinrai digoda sama cowok-cowok bule yang cool, dilain tempat dia melihat Stevani yang main bareng Choki dan anak-anak basket, di dekat batu karang dia melihat Harry yang sibuk berbicara dengan beberapa orang berpakaian resmi. Kemudian dia ingat kalau dia sangat lapar. Tunggu dulu, Harry?

“Kak Harry?” Grace mendatangi tempat Harry. Harry kelihatan kaget saat melihat Grace ada disitu.

“Loh, Dek? Kok ada disini?” kata Harry heran.

“Aku—kan ada acara perpisahan. Kak Harry sendiri?” kata Grace duduk disampingnya.

“Biasa, kerjaan. Oh, Tuan, perkenalkan ini Grace, adik Harry,” kata Harry memperkenalkan Grace pada salah seorang pria asing berwajah tampan dengan anting di telinga. “Grace, ini Tuan Kedesy, dia teman Papa saat Papa masih kuliah di Harvard.”

“Halo, Tuan,” Grace menjabat tangan pria itu.

How do you do,” katanya sopan. “Ok, Harry. I have promise with my son.”

Thank you for your join, Sir.

Oh… welcome.”

Grace jadi ingat perkataan Stevani tadi. Cowok bertindik yang dimaksud Stevani dan Yani jangan-jangan laki-laki itu. Masa’ sih?

“Lapar nggak, Dek? Aku mau makan, nih.”

Grace hanya mengangguk saat Harry merangkulnya memasuki hotel. Pelayan-pelayan menyapanya dengan wajah memerah dan wajah tidak berkedip. Grace jadi tidak enak saat ada cewek cantik yang hendak mendatangi Harry tapi tidak jadi saat melihat Grace.

“Bentar, ya, Dek.” Kata Harry mengejar cewek itu. “Amalie!”

Grace menaikan alis saat Harry kelihatannya berbicara sambil terus-terusan menggaruk-garuk kepalanya. Jangan-jangan pacar Kak Harry lagi. Berarti Kak Harry nggak jomblo, dong! Wah, kejutan kalau begitu!

“Yuk, Dek.” Harry memanggil dari arah gadis itu. “Kita makan bareng Kakak ini. Kebetulan dia mau makan siang juga.”

Hohoho, ternyata benar!!

Aku segera ke arah mereka. Kumainkan alisku pada Kak Harry, dia melihatku dan wajahnya merah padam. Kutarik tangannya sehingga dia menunduk.

“Cakep, deh, Kak. Pacar?” bisikku ketelinganya.

“Eh, ng—mudah-mudahan,” kata Harry mengacak rambutku.

“Oh, berarti calon,” kataku keras-keras. Kak Harry segera menutup mulutku saat gadis yang bernama Amalie itu melihat kearahku.

“Kenapa, Alex?” katanya heran.

“Eh, ng-nggak apa-apa,” kata Harry gelagapan. “Grace, jangan bikin panik, dong! Awas kalo ngomong lagi kukerjai pacarmu si Refan itu.”

“Dia bukan pacarku!” gerutu Grace sebal.

***

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.