23
Broken Heart
==========
FRAN(POV)
Dia mengerjap.
Jantungku berdetak tak nyaman. Aku nyaris tak bisa
menarik napas karena begitu ketakutan. Selama aku tahu aku gay, aku ingin
sekali mengatakan hal ini pada Jeremiah. Tapi ketakutan mengonsumsiku seperti
oksigen. Kepalaku selalu dipenuhi dengan pemandangan mengerikan dimana Jeremiah
akan membenciku.
Hanya saja, aku tak bisa diam lagi. Aku capek
menghadapi Jeremiah yang memaksaku untuk berkencan dengan para wanita itu. Aku
tak tertarik pada mereka. Aku tertarik pada Jeremiah.
Jeremiah masih belum mengatakan apa-apa. Dia malah
mengerjap beberapa kali untuk mencerna perkataanku. Sepertinya, ini bukan ide
yang bagus.
“Huh?” katanya. “Kau gay?”
Kepalaku mengangguk kaku. Dia akan membenciku! Aku
menunggu dengan panik melihatnya kembali mengerjap, mulut terbuka lebar.
“Kenapa kau tak bilang dari dulu sih?” katanya
tiba-tiba, memutar bola mata seakan itu bukan masalah besar. “Pantas saja kau
tak melirik para wanita yang kusodorkan padamu. Ternyata kau berada di haluan
yang berbeda.”
Kali ini aku yang mengerjap. “Kau… kau tak marah?”
Dia kebingungan. “Kenapa pula aku harus marah? Aku
dikelilingi oleh para gay: Aroz, James, River bahkan, dulu, Cody. Setelah dipikir-pikir lagi, aku seperti magnet buat
para gay.”
Dia tak membenciku. Dia tak membenciku. Dia tak
membenciku. Dia tak membenciku. Aku bernyanyi dalam hati.
“Kalau begitu, aku tak akan menjodohkanmu para wanita
tapi pria.” Pria itu tersenyum culas.
“Jeremiah, please,
aku tak membutuhkan—”
Dia mengibaskan tangannya, menghentikan omonganku.
“Kau tahu aku tak akan mendengarkanmu. Coba kuingat siapa teman sekerjaku yang
cocok denganmu dan gay.”
“Jeremiah, aku benar-benar tak butuh—”
Telunjuknya mengetuk-ngetuk di dagunya. “Hmm, aku
mengenal beberapa bisexual dari kantorku. Ada manager bagian humas. Salah satu
bagian sistem juga ada dua orang. Di broadcasting
ada tiga orang. Atau mungkin kau akan kukenalkan dengan aktor yang gay. Tapi
kurasa tidak, mereka biasanya menyebalkan.”
“Jeremiah, aku tak membutuhkan perjodohan,” kataku
geram.
Alisnya menaik. “Kalau kau tak butuh itu artinya kau
sudah punya pria taksiran.”
Aku tergagap. “H-h-huh?”
Matanya berkilat bersemangat. “Siapa pria beruntung itu?”
Kau. “T-t-tak
ada.”
“Kau jelas tak bisa berbohong, Fran. Kau selalu gugup
bila berbohong.”
Wajahku merah padam. Uh, bagaimana bisa dia tahu?
“Sekarang, coba beritahu padaku siapa pria ini.”
Aku mencuci tanganku. “Tak ada, Jeremiah,” kataku,
lalu keluar dari dapur, mencapakkan celemekku ke kursi. Suara kaki Jeremiah
mengikuti dari belakang, begitu pula dengan suaranya.
“Ayolah, Fran. Aku tahu kau punya pria taksiran.
Setiap orang punya pria taksiran. Oh, itu tak benar, biar kuperbaiki. Setiap
orang punya orang taksiran. Nah, itu baru benar. Dan kau bukan terkecuali
karena kau manusia.”
Aku masih tak mendengarkan, memilih duduk di sofa di
ruang tengah. Dengan sengaja memperkeras suara televisi. Tapi yang menyebalkan,
Jeremiah malah mematikannya, langsung pada sumbernya.
“Jeremiah!” kataku jengkel.
Dia melipat tangan. “Kau tahu kalau aku tak akan
membiarkanmu begitu saja kan? Ini pria taksiran pertamamu! Kau harus
memberitahuku siapa dia.”
“Kenapa sih kau bersikeras begitu? Aku kan sudah
bilang kalau aku tak punya orang yang
kutaksir.”
“Liar,”
katanya dan ikut duduk di kursi. “Nah, sekarang beritahu aku siapa.”
“Jeremiah—”
“Kita ini sahabat,”
Uh, aku tak suka dia membawa-bawa masalah ini, “dan di antara sahabat tak ada
rahasia. Kalau aku mengenal pria yang kita bicarakan ini, mungkin aku bisa
memberikan pendapatku dan jika tidak, aku bisa mencari tahu apakah dia baik
untukmu atau tidak. Aku ingin dia jadi orang yang terbaik untukmu, siapa tahu
dia itu cinta pertamamu.”
Kau itu cinta
pertamaku!
“Dan,” katanya bersemangat, “aku tak sabar mendengar
cerita pria idamanmu ini. Kau bisa curhat apapun padaku mengenai dia.”
Aku tak mungkin
curhat tentangmu padamu, Idiot. “Apa kau sadar kalau kau terdengar seperti
anak remaja saat ini?”
“Memangnya kenapa? Para pria juga senang mendengarkan
gosip. Apa kau tak tahu kalau tempat paling aman untuk bergosip ada di kamar
mandi? Bukan hanya para wanita yang bergosip di kamar mandi. Itu sebabnya aku
punya kamar mandi sendiri karena aku tak mau mendengar karyawanku bergosip tentangku.
Mereka sepertinya berpikir kalau kamar mandi tempat paling aman untuk bergosip.”
Aku malah tertawa mendengarnya. Pria ini selalu tahu
bagaimana membuat lelucon. Apalagi begitu melihatnya tersenyum manis seperti
itu. Aargh! Kenapa dia harus memesona begitu sih? Satu senyumannya membuat
wajahku panas dan dadaku terasa penuh. Aku seakan memeluk dunia.
“Wajahmu merah padam. Kau pasti memikirkan pria
taksiranmu kan?”
Aku memikirkanmu. Selalu. Tiap detik.
“Uh!” kataku. “Haruskah kita membicarakan ini.”
“Tentu saja karena aku ini mak comblang terbaik.”
“Aku tak tahu kalau dulu kau pernah menjodohkan
Cody.”
Tangannya berada di jantung seolah aku menusuknya.
“Teganya! Aku memang tak pernah menjodohkan Cody, tapi aku selalu membantunya
berbaikan dengan pacarnya tiap kali mereka bertengkar. Apa kau tak tahu kalau
memperbaiki hubungan lebih sulit daripada membuat hubungan yang baru?”
Jeremiah mungkin tak menyadari apa yang dia katakan,
tapi kalimatnya barusan membuatku tertegun. Jika aku mengatakan kebenaran,
apakah hubungan kami akan tetap seperti ini atau malah rusak? Jika sudah rusak,
apakah hubungan kami bisa diperbaiki kembali?
“Kau selalu punya kalimat bagus, Jeremiah,” gumamku.
“Huh?” dia mengerjap, memandangku beberapa detik
sebelum akhirnya menangkap apa maksudku. “Itu pujian atau sindiran?”
“Maksudmu?”
“Selama ini aku bergaul dengan Cody yang tak suka
berbelit-belit, jadi aku sering membuatnya jengkel dengan perkataanku. Sekarang
aku bertemu dengan orang yang bisa mengerti maksudku, aku tak tahu apakah aku bahagia
atau jengkel.”
“Ayahku pernah bilang kalau ada banyak sekali tipe
kecerdasan di dunia ini. Ada yang cerdas dengan otaknya, pandai menghitung,
serius, tipikal orang yang terjebak di laboratorium, itu kau.” Dia tertawa kecil, lanjutnya lagi. “Ada yang cerdas dengan
fisik, sampai-sampai tak bisa menahan adrenalinnya untuk bersaing dengan orang
lain, itu Chris. Lalu ada mereka yang cerdas karena sosialnya sampai tak bisa
diam, itu aku. Dan masih banyak jenis lainnya. Tapi, dari banyak tipe
kecerdasan itu, hanya ada dua tipe makhluk di dunia ini: mereka yang pasrah dan
mereka yang berjuang. Nah, kau ada di bagian yang mana?”
Aku terdiam memikirkannya, lalu tersenyum kecil. “Aku
seorang pejuang, Jeremiah. Tapi ada beberapa hal di dunia yang harus dipasrahkan.”
“Seperti pria taksiranmu?”
Aku mengerang. “Kita masih membicarakan ini?”
“Tentu saja. Aku juga seorang pejuang yang keras
kepala. Sebelum aku mendapatkan apa yang kumau, jangan harap aku akan diam
begitu saja.”
“Itu namanya memaksakan kehendak.”
“Dalam kasusmu, kurasa tidak.”
“Jeremiah!”
“Fran!” Dia membalas, tersenyum kecil seperti
anak-anak, membuatku cemberut lalu melipat tangan. “Jadi, kau akan
memberitahuku siapa dia.”
“Tidak,” kataku keras kepala.
“Oke, kalau begitu beritahu aku seperti apa dia.”
Hidungku mengerut, meliriknya penuh curiga. Tapi dia
hanya tersenyum polos. Senyuman yang membuat pertahananku luluh. Kenapa pria
besar sepertinya punya tampang memukau sih? Kenapa dia harus baik hati, lalu
lucu, humoris, menyenangkan dan… dan… aarrgh!
Wajahku merah padam begitu melirik Jeremiah yang
menunggu dengan sabar dalam diam. Menekuk kakiku dan memeluknya di dada, kucoba
kusembunyikan wajahku yang memanas. Aku tak ingin membicarakan ini di depannya.
Tapi aku tahu kalau dia tak akan berhenti. Dia bisa mendatangiku setiap hari
hanya menunggu jawabanku. Aku tak akan bisa menghindarinya.
“Erm… dia,” kataku, berdeham, “dia tampan…”
“Uhu. Lalu?”
“Dia… dia juga menyenangkan…”
Untuk sejenak terjadi kesunyian. Kulirik Jeremiah
yang tidak mengatakan apa-apa dan menatapku dengan penuh perhatian. Saat itulah
keberanianku muncul. Ucapanku keluar begitu saja.
“Dia orang yang humoris dan selalu membuatku tertawa
dengan perkataannya. Hanya dengan melihat sebuah senyumannya, aku merasa
duniaku akan berwarna dan indah, seperti di dunia mimpi. Tiap kali bertemu
dengannya, jantungku berdetak cepat dengan sendirinya. Dadaku terasa sesak
karena kebahagiaan. Tetesan darah yang mengalir di tubuhku seakan memanggil
namanya, berdesir tiap kali dia berbicara, atau memandangku. Matanya sangat
indah, aku sangat menyukainya karena di sana aku selalu bisa menemukan
kejujuran walau tanpa kata. Meski tak bertemu dengannya, hanya dengan
mengingatnya saja di dalam kepalaku, aku selalu bisa tersenyum.”
Semua yang kuucapkan kulakukan dengan memandangi
wajah Jeremiah. Hanya dengan melihat wajahnya, aku tahu aku punya keberanian.
Tapi pria itu malah terdiam lama sekali, mencerna
perkataanku.
“Aku… aku terlalu puitis!” erangku, menutup mataku,
malu sendiri. Aku baru saja menyatakan kekagumanku dengan sendirinya pada
Jeremiah.
“Itu tak puitis. Itu kalimat terindah yang pernah
kudengar.”
Aku mengerjap. “Huh?”
“Aku sampai tak tahu harus bilang apa. Wow,”
desahnya.
Wajahku merah padam lagi, senang dia menyukai
perkataanku.
“Kau pastilah menyukainya dengan sepenuh hati. Kau
jatuh cinta padanya, Fran. Deep.”
Aku mengangguk kecil, tapi dia tak melihatku karena
dahinya mengerut dalam, berpikir keras.
“Kau harus menyatakan perasaanmu padanya, Fran.”
Huh? APA? “Itu tak mungkin!” kataku segera.
“Kenapa?” Jeremiah mengerutkan dahi. “Apa kau tak
dengar perkataanmu barusan? Kau memujinya seakan dia dewa. Kau bahkan tak
mengeluarkan satu kata jelek pun untuknya. Kau mencintainya, Fran. Ini bukan
saatnya memikirkan keegoisan atau harga dirimu. Kalau kau tak segera menyatakan
perasaanmu, cintamu akan terbuang begitu saja. Dia harus tahu bahwa ada
seseorang di sana yang mencintainya sepenuh hati. Cinta tak bisa dilakukan
kalau hanya di satu pihak saja.”
“Tapi aku tak bisa melakukannya,” kataku.
“Kau bisa.”
“Tidak. Aku tak bisa!”
“Kenapa?”
“Karena dia bukan gay!”
Ruangan tengah sunyi senyap. Napasku memburu,
jantungku seakan terhenti. Jeremiah menatapku dengan tak percaya.
Satu perkataanku berhasil membuatnya tak bisa bicara.
“Oh.”
“Ya, oh.”
Aku kembali memeluk kakiku, menunggu Jeremiah untuk
bicara. Aku tak mau bicara.
Karena dia
bukan gay.
Jeremiah bukan gay. Aku tahu itu. Itu sebabnya aku harus menyerah. Tapi, kenapa aku tak
bisa? Aku tahu aku sedang membunuh diriku pelan-pelan. Tapi aku tak bisa
melakukan apapun. Aku kencanduan rasa cintaku pada Jeremiah sehingga tanpa dia
aku tahu kalau aku akan mati dengan segera.
“Jadi, kau akan menyerah?” tanyanya setelah sepuluh
menit dalam diam.
“Aku sudah bilang kalau ada beberapa hal di dunia ini
yang harus dipasrahkan,” gumamku.
“Dan kau memasrahkan cintamu,” sambungnya.
Rasanya aku ingin menangis. Mataku sudah kabur karena
menahan air mata.
Kau memasrahkan
cintamu. Aku memasrahkan cintaku. Aku memasrahkan Jeremiah karena aku tahu
kalau dia tak akan bisa kujangkau, bagaimana pun aku melakukannya.
Jeremiah menghela napas. Dahinya masih mengerut.
Punggungnya bersandar di sofa dengan pandangan mata lurus ke layar televisi.
“Aku tak tahu seperti apa sifat dan pendapat pria
taksiranmu, Fran, tapi bila itu aku, kurasa aku akan jadi orang paling bahagia
di dunia.”
Kau tahu saat dimana lehermu hendak patah karena
bergerak tiba-tiba sampai tulangnya berderik? Nah, seperti itulah yang
kurasakan. Aku begitu kaget sampai mengadahkan kembali wajahku pada Jeremiah,
yang tampak begitu berkonsentrasi, dengan pandangan tak percaya.
“Huh?”
“Kau tak merasa begitu? Bila ada seseorang di luar
sana yang mencintaiku sepenuh hati dan ingin membahagiakanku, aku akan dengan
senang hati menyambutnya dan mengajaknya berkencan, lalu melihat ke arah mana
perjalanan kami.”
“Ke-kenapa?”
“Karena…”dia berhenti, mengerutkan dahi, “karena
cinta tak akan berjalan tanpa adanya sebuah tindakan. Bagaimana kau bisa
mengatakan kalau kau mencintai bila kau tak mengatakannya? Bagaimana bisa kau
mengatakan kalau kau mencintai seseorang sementara kau hanya memendamnya dalam
hati dan tak menunjukkannya? Bagaimana bisa kau menuntut orang yang kau cintai
bila dia bersanding dengan orang lain bila kau tak pernah bilang ‘I love you’ yang akan membuatnya menoleh
padamu?”
Suaraku bergetar menanyakan, “Meskipun dia pria?”
Aku menunggu Jeremiah mengatakan “Eew, aku bukan gay”
seperti yang kuperkirakan, tapi Jeremiah malah mengangguk dan dengan mantap
berkata, “Meskipun dia pria.”
Aku seakan mendengar musik biola, harpa, piano dan
nyanyian berada di belakang punggungku lengkap dengan angin lembut dan cahaya
keperakan yang bersinar di sana.
“Je—”
“Oh, sebentar. Ponselku bergetar.” Dia merogoh saku
celananya, mengeluarkan ponsel zaman hitam putih yang ringtone-nya malah masih
berbunyi bip-bop-bip-bop layaknya kode morse dan mengangkatnya. “Hallo? Hei,
Daphne!”
Daphne?
“Uhu, aku sudah melihat fotonya. Ya, mereka sangat
manis. Maafkan aku tak bisa menemanimu hari ini tapi aku janji akan
melakukannya bulan depan. Kenapa? Oh, aku tak keberatan.”
Senyumanku menghilang. Suara musik di belakangku juga
ikut terendam tiap kali mendengar untaian kalimat yang dikeluarkan Jeremiah.
Daphne. Seorang wanita, yang membuat mata Jeremiah bercahaya hanya karena
memanggil namanya dan senyuman lebar menghiasi wajahnya.
Hatiku retak lagi. Puing-puingnya jatuh ke bawah dan
tak terlihat.
Aku patah hati.
“Fran, aku pulang dulu. River hari ini menginap di
rumah dan aku tak mau dia menghabiskan isi kulkasku.” Dia bangkit, menyimpan ponselnya.
“Kita bicarakan lagi masalah ini nanti ya?”
Aku tak ingin membicarakan apapun, tapi toh aku
mengangguk.
Tangan besarnya menyapu rambutku. Dia berteriak pada
Gabrielle yang dibalas Gabrielle dengan teriakan. Setelah itu pria itu keluar
dari rumah.
Aku segera naik ke kamarku begitu mobilnya menghilang
di kejauhan, masuk ke kamar mandi dan menghidupkan shower. Tanpa melepaskan pakaianku, aku segera berdiri di bawahnya.
Air meluncur turun membasahi wajahku yang memang sudah penuh dengan air mata.
“Uh…”
Aku tak bisa lagi menahan isak tangisku dan menangis
sejadi-jadinya di kamar mandi tanpa suara.
Jeremiah, aku tahu bahwa kau akan memberi kesempatan
pada orang yang menyatakan cinta padamu. Tapi aku tak buta dan tak peka untuk
tidak melihat cinta yang kau berikan pada orang lain.
Kau memang tipe pejuang.
Namun, detik ini, aku jadi pecundang.
***
GABRIELLE(POV)
Aku tak tahu apa yang terjadi pada Fran, tapi dia
lebih pendiam daripada biasanya. Sejak sarapan dia hanya melamun saja, nyaris
menghabiskan seluruh isi makanan di kulkas ketika memasak sampai dia sadar
waktu aku menegornya dan mengusirku
untuk sekolah.
“Ok, Papa, aku berangkat sekarang,” kataku, mengambil
tasku setelah memakai mantelku. Meski Cody bilang kalau aku sudah bisa menjaga
diriku sendiri, tapi aku tetap mau latihan. Latihan pagi sudah menjadi
keharusan dan aku tak peduli di luar sedang salju.
“Gabrielle,” Fran menghela napas, memasukan termos
berisi teh jahe ke salah satu kantongan tasku. “Jangan lupa menghabiskan ini.
Tubuhmu bisa kedinginan bila terlalu lama di luar.”
Aku hanya bisa mengangguk. Setelah mengecup dahiku,
aku berangkat, berlari sekuat tenaga menuju sekolah. Topi kuplukku basah karena
keringat, jadi aku melepasnya.
“Gabrielle!”
Suara itu membuatku memutar bola mata. Rory berlari
dari ujung lorong ke ujung lorong satunya—tepatnya ke tempatku berada. Senyuman
lebarnya muncul begitu melihatku, matanya berkilat bahagia. “Pagi! Wow, kau
keren sekali dengan potongan rambut itu.”
“Thanks. Aku mau mandi dulu,” kataku, memasukkan
tasku ke dalam loker.
“Boleh aku ikut.”
“Oh, boleh, kau menunggu di luar pintu.”
Dia cemberut dan aku meninggalkannya. Setidaknya,
Rory bukan tipe orang mesum yang tidak mendengarkan orang dan menerobos masuk
kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku memakai pakaianku, dan keluar. Rayne
dan Wyalt sudah datang, menunggu di lokerku bersama dengan Rory.
Mereka—Rory dan Rayne—sedang bertengkar.
“Kau orang terbodoh yang pernah kutemui,” desis
Rayne.
“Dan kau jelas orang tersombong yang pernah kutemui,”
balas Rory.
“Aku tak mau mendengar pendapat dari orang bodoh yang
bahkan tak mengerti hukum Archimedes.” Rayne mengayunkan tangannya.
“Hei, aku tersinggung!” Wyalt melipat tangannya. “Tak
mengerti hukum Archimedes bukan berarti kami bodoh.”
“Tingkat kepintaran kalian berdua memang perlu
dipertanyakan,” Rayne memutar bola matanya.
“Bukan salah kami bila kau nerd. Menghabiskan waktumu
di depan buku tanpa melakukan apapun sama juga dengan nol.” Rory membalas tak
kalah jeniusnya.
“Dan menurutmu kau sudah melakukan sesuatu dengan
mengikut Gabrielle kemana-mana?” Rayne menaikan alis, tampak jengkel.
“Setidaknya, aku berusaha.”
“Yep, usahamu tanpa hasil.”
Rory berteriak jengkel, mengangkat kedua tangannya,
nyaris saja mencekik Rayne. Wyalt cepat-cepat memeluk pinggangnya.
“Lepaskan aku. Aku mau mengorek mulutnya!” gerutu
Rory. Kakinya tak lagi menginjak lantai karena Wyalt menggendongnya. Rayne
sendiri tampak santai, bersandar di salah satu loker, tersenyum puas pada Rory
yang tak bisa berbuat apa-apa dan tak peduli dilirik oleh nyaris seluruh siswa.
“Bisakah kalian tak bertengkar setiap hari? Aku bosan
menjadi wasit kalian,” Wyalt mengeluh jengkel. Lalu, dia menoleh padaku. “Hei,
Gabrielle! Boleh minta bantuan?”
“Rory, tenangkan dirimu. Rayne, jangan
menggerecokinya lagi,” kataku.
Rory cemberut, tapi tak lagi berkutat, jadi Wyalt
melepaskannya.
“Gabrielle, potongan rambutmu boleh juga,” Wyalt
nyengir lebar. Bila kalian belum tahu, hari ini rambutnya dicat warna putih,
jadi wajahnya tampak bersinar dan tak terlihat.
Aku tak membalas ucapannya, memilih mengeluarkan
buku-buku pelajaranku. Fanesca bergabung dengan kami begitu aku memasukkan buku-bukuku
ke tas.
“Hei, kalian!” sapanya, begitu melihatku, matanya
terbelalak. “Gabrielle?”
“Dia cakep kan, Fanesca?” Rory merangkul tanganku.
“Matanya yang biru jadi terlihat!”
“Oh… wow,” katanya, mengerjapkan mata. Dahiku
mengerut melihat ada rona merah di wajahnya. Wyalt melirik kami bergantian,
berdeham dan merangkul Fanesca.
“Aku akan mengantarmu ke kelas. Sampai jam makan
siang.” Cepat-cepat Wyalt menarik Fanesca, meninggalkan kami bertiga.
“Ada apa dengannya?” kataku pada akhirnya.
“Oblivious seperti
biasa,” gumam Rayne.
“Huh?”
“Gabrielle, kau akan mengantarku ke kelas kan?” Rory
mengaitkan tangannya dengan tanganku, kemudian menarikku ke kelasnya. Karena
aku sudah bosan menyingkirkan tangannya, maka aku membiarkannya melakukan hal
yang dia suka. Sejak kejadian di loker waktu itu, aku dan Rayne selalu
mengantarnya ke kelas—meski Rayne selalu ngomel.
“Mereka kan tak akan mengganggumu lagi. Kau bisa
pergi sendiri,” kata Rayne.
“Aku kan tak menyuruhmu ikut.”
“Kau menculik temanku.”
“Tapi aku pacarnya.”
“Sejak kapan kau jadi pacarnya?”
“Sejak aku memutuskan begitu.”
“Otakmu tak waras.”
“Otakmu
yang tak waras.”
Aku hanya mampu memutar bola mata.
Sisa hari kuhadapi dengan berusaha untuk berkonsentrasi
dengan pelajaranku dan menghindari para anak perempuan yang mencoba untuk
menggodaku. Aku tersanjung mendengar mereka menyukai rambut baruku, tapi aku
tak peduli. Pendapat mereka tak ada artinya bagiku.
“Gabrielle!” Jamine berteriak nyaring, mendatangi
meja makan siang kami. Ezekiel dan si kembar mengikuti dari belakang sambil
geleng-geleng kepala. Seperti biasa, Jamine memeluk dan mencium pipiku lalu
duduk di sampingku. “Oh my sweet angel.
You look gorgeous!”
“Aku tahu,” kataku tanpa sadar yang membuat Raphael
dan Michael tertawa.
“Dia pasti sudah mendengar hal itu berulang kali,”
Ezekiel tersenyum padaku. “Ngomong-ngomong, Gabrielle, malam Natal nanti kau
ada acara?”
Fran tak mengatakan apa-apa soal kegiatan Natal.
Biasanya kami hanya disuruh berkumpul untuk makan besar saat ada di panti
asuhan. Dan aku tak lagi di panti asuhan, jadi aku tak tahu apa yang biasa
dilakukan orang normal di hari Natal.
“Sepertinya tak ada,” kataku.
“Bagus. Kita bisa bersenang-senang!” Si Kembar
berkata berbarengan.
“Jika menyangkut kalian berdua, aku tak yakin bisa
bersenang-senang,” gumamku.
Mereka tak mendengarkan dan menyahut bergantian,
seperti biasa.
“Datang ke rumah kami.”
“Ajak Fran.”
“Kita berkumpul.”
“Makan kue.”
“Tukar kado!”
“Barbeque!”
“Main bantal!”
“Lempar salju juga menarik!”
Ezekiel memotong mereka sebelum mereka mengeluarkan
kalimat tak jelas lagi.
“Di malam natal nanti semua orang berkumpul di rumah
kami. Tak banyak, hanya keluarga kami dan Cody. Karena tahun ini terjadi
perubahan besar dengan menikahnya Cody dengan wanita dan pulangnya River, Natal tahun ini tak seperti biasanya.
Sudah lama kami tak berkumpul seperti ini, nyaris selama sepuluh tahun. Jadi—”
“Cass memaksa kami untuk mengundangmu. Tanpa disuruh
pun aku akan mengudangmu!” Jamine berkata bersemangat. “Noah dan kawan-kawan
rencananya juga akan datang.”
“Noah dan kawan-kawan?” ulangku ngeri.
“Yep. Noah, Jimmy, Troy, Ben dan Oliver.”
Uhu. Luar biasa. Rumah mereka akan seperti arena
pertempuran.
“Aroz juga akan ada di sana?”
Ezekiel menggosok dagu. “Sepertinay tidak. Dia akan
menghabiskan waktunya dengan pacarnya. Memangnya kenapa, Gabrielle?”
“Uh, aku mau makan kuenya.”
“Nanti kami akan pesan yang banyak. Jadi, kau akan
ikut kan?”
“Kalau Papaku setuju.” Kalau Fran setuju, aku bisa
bilang apa?
“Oh, itu tak perlu kau khawatirkan. Aku yakin Papamu
akan setuju.”
Yep. Dan aku yakin satu-satunya orang yang membuatnya
setuju hanya Remi.
***
JEREMIAH(POV)
“Fran, mungkin ini cuma perasaanku, tapi entah
mengapa aku merasa kau menghindariku,” kataku, menyipitkan mata. Salah satu
tanganku menopang dagu di meja kerja Fran.
Fran—pria menyebalkan itu—seperti anak kecil ketahuan
mencuri, segera mengalihkan perhatiannya pada berkasnya meski dia tak
membacanya. Setiap kali dia berbohong, dia tak akan bisa melihat mataku. Orang
ini bisa ditebak.
“Apa aku melakukan kesalahan?”
Dia menggigit bibir. “Tidak.”
“Lalu?”
“Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”
“Kau tahu benar kalau aku tak akan termakan ucapan
sampah itu.”
Lagi-lagi, dia menggigit bibirnya. “Aku sedang sibuk,
Jeremiah. Bisakah kau meninggalkanku sendirian?”
“Sibuk apa? Dari tadi kau cuma memelototi kertas
itu.”
“Aku sedang memeriksa penelitian mahasiswaku.”
“Dengan mata yang tak bergerak?”
Dia menghela napas, menurunkan kacamatanya sehingga
aku bisa melihat mata hijaunya. “Apa maumu, Jeremiah?”
“Harusnya aku yang tanya apa maumu.”
“Bila kau lupa, kau sendiri yang datang ke kantorku.”
“Oh, jelas aku akan datang ke kantormu karena tempat
ini satu-satunya tempat persembunyianmu yang paling tepat. Kau tak mungkin
kabur bila aku sudah menemukanmu di sini.”
Aku yakin sekali dia sedang memakiku di kepalanya
yang kecil itu, tapi aku tak peduli.
“Bisakah kita selesaikan masalah di antara kita
secepatnya?”
“Yep, bisa saja. Aku hanya ingin tahu kenapa kau
menghindariku beberapa hari belakangan ini.”
“Entahlah, Jeremiah. Sepertinya aku sangat sibuk
dengan pekerjaanku belakangan ini sampai lupa ada kau yang harus diingat.”
Oh, sekarang dia sudah mulai pintar untuk sarkastik
terhadapku? “Kau sangat sibuk sekali ya sampai untuk mengangkat telepon saja
tak bisa?”
“Memangnya, ada urusan apa kau meneleponku? Biasanya,
kau menghubungiku saat kau bosan atau saat kau butuh bantuan saja. Kau pikir
aku apa? Badut penghiburmu?”
“Wow, Fran, kau mendapatkan kata baru di kamusmu.”
Dia menggigit bibirnya, merasa bersalah? “Sekarang, aku yakin seratus persen
bahwa kau marah padaku dan aku tak tahu apa itu. Bila kau tak mengatakannya
padaku, bagaimana aku bisa tahu?”
“Berapa kali aku harus bilang kalau kau tak salah
apapun?”
“Lalu kenapa kau jadi menjengkelkan seperti ini?”
“Aku…” dia berhenti, menghela napas. “Kurasa, aku
hanya sedikit stress.”
Suaraku melembek. “Fran, kau terlalu banyak bekerja.”
“Aku tak terlalu banyak bekerja.”
“Ok, aku ganti bahasanya. Fran, kau terlalu banyak
berpikir.”
Kali ini, dia mendelik jengkel padaku. “Jeremiah, apa maumu?”
“Malam natal nanti aku akan menjemput kalian ke
rumahku.”
“Jeremiah, aku bisa datang sendiri ke rumahmu. Kau
tak perlu repot-repot menjemputku.”
“Maksudku, rumah orang
tuaku.”
Dia mengerjap. “Huh? Kenapa?”
“Karena Natal kali ini tak seperti biasa.” Dia tak
merespon, jadi aku melanjutkan. “Rumahku akan ramai dengan keluarga dan
teman-temanku. Cody akan di sana, dan aku ingin kau juga ada di sana.”
“Apa kau yakin aku tak akan mengganggu?”
“Jangan bodoh,” kataku memutar bola mata. “Aku selalu
membawa teman-teman dekatku ke rumah di acara-acara penting. Kami biasanya
berkumpul saat Thanksgiving dan Natal. Tahun baru juga. Tapi tidak terlalu
sering karena kantor biasanya memiliki acara tahun baru bersama.”
“Urm… aku harus bawa apa?”
“Kau tak harus bawa apa-apa. Aku akan beli kado
natalnya sendiri—”
“Aku ikut.”
Alisku menaik. “Ok. Besok kita beli kadonya. Siapkan
waktumu. Gabrielle juga bisa ikut, kalau dia mau.”
Dia mengangguk.
“Karena kau tak ingin diganggu. Maka lebih baik aku
minggat dari tempat ini. Sampai jumpa besok, Fran,” kataku, bangkit dari
tempatku.
Tiba-tiba saja, dia memegang lenganku saat aku ada di
depan pintu.
“Ya?”
“Jeremiah, aku sungguh-sungguh minta maaf dengan
sikapku tadi. Kau sungguh tak salah apa-apa.”
Aku tersenyum. “Aku tahu, Buddy, kalau tidak aku
pasti sudah berlutut di kakimu untuk mendapat maafmu.”
Dia tak tersenyum. Wajahnya malah serius sekali. “Aku
menyukaimu, Jeremiah.”
Senyumanku semakin mengambang. “Aku tahu. Aku juga
menyukaimu, Fran. Kapan-kapan kita harus jalan-jalan lagi.”
“Uh… ok,” katanya, menggaruk-garuk lehernya. Wajahnya
merah padam. “Sampai jumpa, Jeremiah.”
Dahiku mengerut begitu dia menutup pintu tepat di
depan wajahku. Sedetik kemudian, aku bisa mendengar suaranya yang berkata,
“Idiot!” Yang aku yakini ditujukan padaku. Pria itu jelas punya masalah
terhadap otak dan hatinya. Tidak ingin mendengar dia menyumpahiku, aku memilih
pulang.
Sesampainya di rumah, aku menemukan pintu rumahku
sudah terbuka lebar dan tak terkunci. Satu-satunya manusia yang aku yakini
berbuat seperti ini hanya River.
“River!” suaraku menggelegar. “Demi Neptunus, aku
sudah melarangmu untuk merusak pintu rumah—WHAT
THE FUCK!”
Aku menganga melihat ruang depan rumahku sudah
berantakan, penuh dengan salju dan tetes-tetesan air yang menggenang dari pintu
menuju dapur. Koalaku memanjat dengan susah payah menuju pohonnya. Ada bekas
garukan di lantai kayuku. Meja ruang tengah ditutupi dengan sampah plastik dan
kalengan. Begitu memasuki dapur, yang sama kacaunya dengan ruang tengah, aku
tak tahan lagi.
“RIVER!” seruku jengkel, melangkah panjang-panjang
menuju kamarku karena aku bisa mendengar suara tawanya di kamar Cody. Bila dia
membawa pacarnya ke kamar Cody, aku akan membantainya! Ada hotel yang bisa dia
gunakan!
Aku membuka pintu kamar, tak peduli apakah mereka
sedang bercinta di sana atau tidak dan berteriak, “RIVER, APA YANG KAU LAKUKAN
PADA RUMAH—ANAK SIAPA ITU?”
Pertanyaanku berhenti di tengah kemarahan dan
berganti menjadi keterkejutan begitu melihat ada anak kecil di dada River, yang
mendudukinya sambil tertawa.
River melihatku, nyengir lebar. Begitu pula dengan
anak kecil itu.
“Hei, Xavier. Kau sudah pulang? Perkenalkan, ini
Nikolein.”
Aku melirik anak kecil berusia—setidaknya—dua tahun
yang ada di dada River. Wajahnya putih pucat dengan mata besar bulat berwarna
hitam yang sama dengan rambut hitam lurusnya. Anak laki-laki itu punya wajah yang
mungil dan senyuman yang lebar di bibirnya yang merah.
“Uhu, dan siapa dia,
tepatnya?”
River memilih untuk duduk, menggendong Nikolein di
pangkuannya. “Kau ingat waktu aku bilang kalau aku ada di perbatasan Gaza?”
Alisku menaik. Menyandarkan tubuhku ke dekat pintu,
aku melipat tanganku, menunggu dia berbicara, “Yep, aku mengingatnya sejelas
kemarin.”
“Jadi, ada sedikit kesalahan waktu itu.”
Entah mengapa aku tak akan suka lanjutannya.
“Jadi, teman-temanku menganggap bahwa lucu sekali
menyuntikku dengan obat bius yang membuatku berhalusinasi—”
“Narkoba, maksudmu?”
“Heroin,” dia memperbaiki. “Dan, tiba-tiba saja ada
pria yang paling menarik di seluruh dunia di depan wajahku, lalu tanpa
basa-basi lagi aku—kau bisa menebaknya sendiri. Keesokan harinya, aku menemukan
kalau pria ini berubah jadi wanita. Dan kau tahu seberapa parahnya kondisi di
sana, jadi aku melarikannya dan dia bilang kalau dia mengandung dan
menghasilkan Nikolein. Aku luar biasa kan? Siapa yang menyangka kalau gay
sepertiku akan punya anak dari perempuan dan bukannya adopsi?”
Yep, aku benar-benar tak menyukai cerita River.
“Lalu, dimana ibunya?”
“Tertembak di perbatasan Gaza karena orang tuanya
merasa dia sebagai aib karena melahirkan anak tanpa hubungan yang jelas.”
“Aku akan membunuhmu.”
“Aku sudah tahu.”
“Begitu pula dengan kedua Mr Huges.”
“Kalau itu, aku tak perlu ragu lagi.”
Hebat,
Natal kali ini benar-benar berbeda!
***