RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Selasa, 02 September 2014

TBMB [09]



09
B-Day
==========

JEREMIAH(POV)
Andai saja aku tak sengaja lewat dari tempat janjian Fran dan Marcee yang kencan, mungkin aku tak akan semarah ini. Begitu melihat bahwa Fran dibantai oleh Christoper, yang aku lihat hanya warna merah. Pandanganku gelap dalam seketika, dan yang aku ingat adalah saat Marcee menarikku minggir dan Christoper sudah terkapar dengan wajah babak belur.
“Jeremiah, hentikan! Kau ingin membunuhnya?” Marcee berusaha menyadarkanku. Hanya saja, aku sadar bukan karena teriakannya, tapi karena Fran tak bisa berdiri. Melihatnya terkapar di jalanan membuatku lupa kemarahanku.
“Berani mendekatinya sekali lagi, aku akan membunuhmu,” geramku pada Christoper, kemudian melihat keadaan Fran. Fran merintih kesakitan, memegangi dadanya dan wajahnya babak belur. Dia sama sekali tidak dalam keadaan baik. Ketika mendatanginya, Fran tengah merintih, nyaris sulit bernapas.
“Fran,” kataku, membantunya untuk duduk, tapi dia mengerang kesakitan, “Profesor,” kataku lagi berusaha menyadarkannya. Dahinya berkeringat, jadi aku berusaha menyingkirkan rambut di dahinya, membuat wajahnya jadi terlihat lebih kacau. “Brengsek, dia melukaimu parah sekali.”
Fran mengerang, memegang lengan mantelku. Napasnya tersenggal. “Jeremiah…”
“Aku di sini,” kataku, mengangkat kepalanya, yang jatuh ke dadaku. Aku memegang dadanya, memastikan tidak ada yang patah atau apa. Tapi dia kembali mengerang, menandakan bahwa dia kesakitan.
“Dadaku sakit,” katanya lagi.
“Aku tahu,” gumamku, menekuk lututnya. “Ssh, tidak apa-apa. Sakitnya hanya sementara.” Aku menyelipkan tanganku ke kedua kakinya, kemudian mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dugaanku benar mengenai betapa kurusnya dia. Berat tubuhnya tidak seberapa.
“Marcee, buka pintunya,” kataku, berjalan menuju mobilku. Orang-orang sudah berkumpul, berbisik gila dan menunjuk-nunjuk. Aku tak tahu apa masalah orang di zaman sekarang. Jika mereka tak bisa membantu, akan lebih baik bagiku bila mereka menyingkir dan bukannya bergosip.
Marcee membuka pintu belakang dan aku meletakkan Fran dengan hati-hati ke dalam. Begitu aku menutup pintu belakang, aku menoleh pada Marcee. “Urus pacarmu dan jangan dekati Fran lagi.”
“Tapi—”
“Tidak perlu minta maaf. Tidak perlu merasa bersalah. Tidak perlu khawatir. Dia aman bersamaku.” Aku menyingkirkan Marcee, lalu naik ke atas mobilku. Wanita itu kelihatan kaget saat aku menutup pintu, tak mengijinkannya masuk. “Jangan dekati dia lagi,” ulangku berbahaya sebelum akhirnya membawa Fran ke rumah sakit.

***

Dua puluh menit menunggu di luar saat dokter memeriksa Fran membuatku nyaris gila. Keadaannya menguatirkan. Baru kali ini aku melihat ada seseorang yang dipukul sampai tak mampu bangkit lagi. Aku tak menyangka bahwa kencan kali ini akan membawa bencana pada Fran. Sekali lihat saja aku tahu kalau dia bukan tipe seorang petarung, seperti Cody—yang akan memberikan tinju kirinya bila dia menemukan ada orang kurang aja padanya—dan lagi-lagi, mengingat Cody membuatku jengkel.
“Dia tak apa-apa,” kata Dokter Tua itu, melirik catatannya. “Sedikit babak belur, tapi dia akan baikan. Aku akan memberikan obat penghilang rasa sakit untuk dadanya yang lebam. Dia hanya perlu istirahat dua-tiga hari jadi lebamnya akan menghilang.”
Lega. Tidak ada hal yang lebih baik bagiku selain mendengar bahwa Fran baik-baik saja.
“Boleh aku masuk?” tanyaku.
“Tentu. Mr Cattermole sudah bangun. Dia sudah bisa pulang.”
Mengangguk, aku masuk ke kamar Fran, melihatnya duduk di pinggir tempat tidurnya. Kakinya menggantung. Kepalanya menengadah begitu melihatku, memperlihatkan pipi lebam nyaris membiru, pelipis koyak dan bibir membengkak serta koyak. Melihatnya babak belur begini membuatku marah. Aku bersumpah akan membunuh Christoper bila aku melihatnya lagi. Dia hanya beruntung karena aku terkonsentrasi pada keadaan Fran.
“Bagaimana keadaanmu?” Pertanyaan bodoh, tentu saja dia dalam keadaan buruk.
Fran meringis ketika hendak membuka mulut, memegangi bibirnya. “Aku baik-baik saja.”
Rasa bersalah membuncah di dadaku. Bila aku tak menjodohkannya pada Marcee dan memaksanya kencan hari ini, dia tak akan mengalami hal seperti ini. “Sori,” kataku.
Pria itu mengerjap. “Kenapa? Kau kan tak salah apapun.”
Salah satu tanganku naik ke belakang leherku. “Ini salahku. Harusnya aku tak memaksamu pergi kencan. Itu tindakan bodoh.”
Dia menggeleng pelan, tersenyum kecil meski meringis. “Niatmu baik. Aku hanya sial.”
“Kejadian ini tak akan terulang lagi.”
“Jangan menjanjikan sesuatu yang tak bisa kau tepati, Jeremiah,” katanya, lalu melompat turun dari tempat tidur. “Apa aku sudah boleh pulang?”
Aku mengangguk. “Aku akan menebus obatmu. Kau tunggu saja di—”
“Akan kubayar.”
Kumohon padamu, biarkan aku mengurangi rasa bersalah di dadaku untuk membayar obatmu yang tak seberapa itu,” kataku. Dia memutar bola mata dan menghela napas kesal, meski hal itu membuatnya memegang dadanya sekali lagi. “Dokter bilang dadamu lebam. Chris pasti menendangmu keras sekali.”
“Tidak seberapa.”
Aku mengabaikannya, membuka pintu dan membiarkannya keluar lebih dulu. “Kau belum mengenal Chris, dia bisa lebih gila dari itu. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Dunia ini benar-benar sempit.”
Fran mengerutkan dahi, menatapku. “Kalian saling mengenal?”
“Ya,” kataku, berjalan di sampingnya. “Tapi itu masa lalu—yang sangat-sangat buruk.” Dahiku mengerut melihatnya memegangi dadanya. “Apa kau tak apa-apa?”
“Hanya sedikit tak nyaman,” gumamnya.
“Apa tak lebih baik kau menginap di sini sementara?”
“Aku baik-baik saja.”
Aku meminta Fran menunggu di dalam mobil sementara aku menebus obatnya. Pria itu keras kepala untuk ikut menunggu bersamaku. Aku hanya mampu memutar bola mata, tak ingin membuatnya terdengar lebih berkuasa, jadi aku membiarkannya. Dia juga tak banyak bicara ketika aku mengantarnya pulang. Aku bertanya-tanya apa yang ada dalam pikirannya. Entah kenapa aku merasa terganggu sekali bila dia diam sepanjang perjalanan.
“Papa?” Gabrielle nyaris histeris begitu melihatnya masuk. “Apa yang terjadi padamu? Dad, dia kenapa?” Dengan kelembutan yang sulit sekali dia tunjukkan, Gabrielle segera ke samping Fran dan membantunya duduk ke sofa.
“Aku tak apa-apa, Gabrielle,” kata Fran pelan. “Jeremiah, mobilku—”
“Akan kusuruh seseorang membawanya.” Mengayunkan tangan dengan santai, aku mengangkat telepon. “Sebaiknya kau naik ke atas dan tidur.”
“Tapi Gabrielle belum makan,” kata Fran mengerutkan dahi.
“Aku akan beli di luar. Kau tunggu di sini. Gabrielle, jaga dia sebentar. Aku akan segera kembali.”
Gabrielle hanya mengangguk sementara aku mengambil mantelku kembali dan keluar. Kutekan tombol “panggil” di ponsel, menghubungi seseorang untuk membawa mobil Fran.
“Hitcher, jemput mobil yang tertinggal di restoran yang alamatnya nanti kukirim padamu,” kataku masuk ke dalam mobil sebelum orang di sebelah berkata “Halo”.
“Baik, Tuan Muda.”
Dahiku mengerut tak suka. “Berapa kali aku harus bilang padamu jangan panggil aku ‘Tuan Muda’?” dan tanpa menunggu balasan aku menutup telepon, lalu mengirim alamat restoran Fran. Hitcher sangat berpengalaman, bahkan tanpa kunci mobil pun dia bisa membawa mobil itu.
Aku pergi ke restoran terdekat, membeli makanan yang cukup untuk kami. Aku tahu Gabrielle suka manis dari Fran. Jadi, aku membeli banyak cake. Untuk Fran, aku hanya membeli yang menyehatkan baginya meski aku tak tahu apa. Aku hanya mengiyakan apa yang dikatakan pelayan.
Begitu kembali, Gabrielle tengah mengompres wajah Fran dengan es.
“Makanan datang,” kataku mengangkat kotak kue dan bungkusan di tanganku. Gabrielle segera bangkit dan mengambil barang-barang di tanganku, lalu segera menghilang di dapur. “Bagaimana keadaanmu?” tanyaku duduk di sebelah Fran.
Fran mengerinyit sedikit, memegang tepi bibirnya. “Sedikit baikan.”
“Peraturanku masih berlaku, Fran. Aku melarangmu ke kampus, dan jangan coba-coba untuk pergi karena aku akan tahu. Aku akan menelepon ke kampus. Kau tenang saja.”
“Aku punya banyak pekerjaan di—”
“Akan kubawakan pekerjaanmu dari kampus. Coba lihat wajahmu itu, mereka akan berpikir kalau kau berkelahi dengan seseorang padahal sebenarnya kau habis dihajar.”
Fran menghela napas. “Kau tak perlu melakukan ini. Ini bukan salahmu. Aku baik-baik saja.”
Meski dia bilang kalau ini bukan salahku, tetap saja aku tak bisa menerimanya. Ini salahku. Coba lihat wajahnya? Beberapa jam lalu dia masih baik-baik saja, dan sekarang penuh dengan lebam hanya karena kebodohanku.
“Aku akan membantu Gabrielle membuat makan malam.”

***

FRAN(POV)
Begitu bangun keesokan paginya, seluruh tubuhku seakan ditimpa oleh beribu beton dan berdenyut-denyut menyakitkan. Kepalaku juga ikut-ikutan berdenyut. Untunglah Jeremiah bilang kalau aku tak boleh bekerja karena aku sendiri tak yakin apakah aku bisa bekerja dengan kondisi begini. Aku seperti baru bangkit dari injakan banteng gila.
Mengerang kecil, aku bergerak ke samping, membuka mata perlahan untuk melihat sinar matahari yang menyusup masuk dari jendela yang terutup dan siluet seseorang di sofaku. Mataku menyipit perlahan, melihat lebih jelas.
Jeremiah tidur di sofa, dua meter dari tempatku. Wajahnya hanya tampak dari samping. Dia masih mengenakan pakaian kemarin dengan dua kancing bajunya terbuka lebar. Salah satu tangannya ada di belakang kepalanya dan satunya lagi jatuh ke bawah sofa, menyentuh lantai. Dia seperti orang lain, tidur dengan tenang seakan tak mengenal dunia.
Kemarin malam dia memutuskan untuk tidur di kamarku dan sama sekali tak mau mendengar bantahan apapun. Pria itu benar-benar pemaksa. Aku terbiasa mengiyakan apa yang dia bilang begitu dia buka mulut. Itu akan meminimalkan masalah. Dan karena dia tak mungkin tidur di sampingku karena dia takut melukaiku, maka dia memilih tidur di sofa.
Menghela napas, aku mencoba bangkit. Otot-ototku menjerit kesakitan, menegang di balik piyamaku. Tapi, aku tak peduli. Setelah menyingkirkan selimut dengan susah payah, aku melangkah ke dekat Jeremiah.
“Jeremiah,” kataku, mengguncang bahunya sedikit. “Jeremiah, ini sudah pagi.”
Pria itu malah bergerak memunggungiku, memeluk sofa dan tidak membuka mata. Malah, dia malah menggumamkan sesuatu yang membuat dahiku mengerut. Ponselnya jatuh dari kantong celananya ketika bergerak dan monitornya mengedip-kedip. Tidak ada getar, tidak ada bunyi.
“Jeremiah,” kataku mengambil ponselnya. “Ada telepon.”
Dia tidak merespon dan malah membalas dengan dengkuran pulas. Aku memutar bola mata, melihat ponselnya. Mungkin, aku bisa memberitahunya nanti siapa yang menelepon sampai aku melihat monitornya dan mengerjap.
29th September – Happy Birthday to Me. Awsome, I’m Getting OLD-AGAIN[25 years old]
Hari ini ulang tahun Jeremiah? Mulutku terbuka lebar, aku sama sekali tak tahu kalau dia ulang tahun hari ini. Selama ini aku tak menyangka kalau dia akan ulang tahun. Tentu saja, setiap orang pasti punya ulang tahun.
Jeremiah bergerak lagi, menghadapkan wajahnya padaku kemudian matanya terbuka melihatku secara perlahan. Salah satu tangannya naik untuk menutupi matanya dari cahaya menyilaukan matahari. Dia terlihat lebih tampan dengan keadaan seperti ini. Apalagi kulitnya tampak lebih pucat ketika sinar matahari menyentuhnya. Napasku tertahan melihat bagaimana otot-ototnya bergerak di balik pakaiannya yang tertembus sinar matahari. Tenggorokanku mengering.
“Erm… happy birthday,” kataku tanpa sadar.
Dahinya mengerut, mencerna perkataanku, lalu mengerang jengkel. “Sial. Aku tambah tua.”
Mungkin seperti itulah balasan Jeremiah bila ada orang yang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. “Kenyataannya, manusia bertambah tua setiap detik,” kataku melihatnya duduk dari tempatnya, mengambil ponselnya dengan jengkel lalu memasukkannya ke dalam kantongnya.
“Jangan mengingatkanku akan itu, Profesor. Aku sangat sensitif terhadap usiaku,” katanya memujit tulang  hidungnya.
“Kau seperti wanita,” gumamku dan dia menaikan alis. “Well, itu benar.”
“Itu karena semakin aku bertambah tua maka aku akan semakin dekat dengan tali kematianku.” Dia bangkit dari tempatnya, meregangkan tubuhnya lalu menguap lelah. “Akhir-akhir ini Kakekku berisik sekali menyuruhku cepat-cepat menikah hanya karena River belum ingin menikah.”
“River?”
“Aku lapar,” katanya, pura-pura tak mendengarku. “Masakkan sesuatu untukku. Aku mau mandi dulu. Badanku pegal semua nih.” Dia memegang daguku tiba-tiba, membuatku menahan napas. Pria itu melihat wajahku, kiri-kanan, atas-bawah. “Hmmm, memarnya sudah  sedikit hilang,” gumamnya, lalu melepas kancing bajunya setelah dia melepaskan kepalaku.
Aku cepat-cepat berbalik, mendengar Jeremiah membuka pintu kamar mandi dan masuk ke dalam.
“Papa,” Gabrielle membuka pintu kamar. Kepalanya muncul dari celah pintu. “Bagaimana keadaanmu?”
“Erm, aku sudah tak apa-apa,” kataku, lalu dahiku mengerut. “Gabrielle, kenapa kau masih ada di sini? Bukankah kau harus ke sekolah?”
Gabrielle mengerjap. “Tapi kau masih sakit.”
“Kau tak boleh bolos sekolah hanya karena aku sakit,” kataku. “Ayo, aku akan mengantarmu ke sekolah.”
“Tapi aku sudah terlambat.”
“Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” cetusku, menggiringnya keluar dari kamar. Sambil memegang bahunya, aku menggiring Gabrielle menuju kamarnya, mengambil tas sekolahnya, kemudian turun ke bawah, mengambil mantel, kunci mobil Jeremiah yang ada di meja dan keluar rumah.
“Apa tak apa-apa membiarkan Dad sendirian?”
“Jeremiah sudah cukup besar menjaga dirinya sendiri,” balasku, menghidupkan mesin mobil. Hummer putih itu berderum rendah, terdengar sangat keren.
“Apa tak apa-apa bila kau me—”
“Gabrielle, tidak ada bantahan,” kataku, tegas. “Kau harus ke sekolah dan jangan membuatku mengulanginya lagi.”
Mengangkat bahunya dengan tak peduli, Gabrielle memilih diam.

***

RAYNE(POV)
Gabrielle tidak muncul. Entah kenapa hal ini membuatku jengkel.
“Rayne.” Mataku memutar bosan, mendengar suara Alice di dekat telingaku. Gadis berambut emas itu tersenyum padaku, matanya mengedip beberapa kali. Hari ini dia mengenakan kaos ketat tipis yang melekukkan tubuhnya, sengaja menunjukkan dadanya yang aku yakini pasti sudah disumpal dengan bantalan super tebal. “Hai.”
Dahiku mengerut sedikit. “Apa?” aku paling tak suka beramah-tamah.
Dia memilintir rambut keritingnya, sengaja menyelipkannya ke telinganya. Matanya bersinar dengan penuh goda. Bibirnya penuh dengan lisptik dan wajahnya penuh dengan make-up. Aku tak mengerti kenapa para wanita menghabiskan waktunya selama dua jam hanya untuk menyihir wajahnya. “Malam ini aku mengadakan pesta di rumahku. Apa kau mau datang?”
“Ti—”
“Tentu saja kami mau datang!” Wyalt berteriak di sampingku, memegang kedua bahuku dari belakang dan dia memberikan cengiran lebar penuh sukacita sementara aku mau meninjunya saat ini juga.
Alice mengerinyit tak suka pada Wyalt. Matanya menilainya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bisa dimengerti, Wyalt memang sangat aneh. Aku tak mengerti kenapa dia suka sekali mewarnai rambutnya setiap seminggu sekali, atau mengenakan celana super ketat sampai membuatnya sering kali menggaruk-garuk bokongnya, atau sepatunya yang terlalu tinggi untuk ukuran pria, atau rantai di sana-sini.
“Sebenarnya, aku mengundang Rayne saja.” Alice melipat tangannya.
Fanesca muncul ke sampingku, berdiri dengan gaya yang tak kalah dengan Alice. Dagu gadis kecil terangkat ketika dia berkata, “Sayang sekali, Alice, Rayne akan pergi bila kami juga pergi.”
Alisku naik sebelah. Fanesca adalah salah satu perempuan yang mampu kutolerir keberadaannya karena dia—well, katakan saja—tidak seperti gadis lain.
Wajah Alice merah padam. “Aku tak mengundangmu.”
“Oh, sayang sekali, kalau begitu Rayne juga tak akan pergi.” Fanesca tersenyum culas.
“Tak ada salahnya mengundang kami kan? Itu artinya Rayne juga bisa ikut,” Wyalt mengedipkan mata. Alice menggertakan gigi.
“Acaranya dimulai jam tujuh,” kata Alice dan perempuan itu melenggang pergi.
Bitch,” gerutu Fanesca.
“Entahlah, Fanesca. Aku suka yang kulihat saat ini,” kata Wyalt, dan aku tak perlu tahu apa karena Fanesca memukulnya dari belakang, membuatnya cemberut. “Mana Gabrielle?”
“Hari ini dia tak ada di kelas Statistika. Biasanya anak itu tak pernah bolos,” Fanesca melipat tangannya.
“Dia juga tak ada di kelas Biologi,” kataku menghela napas.
“Tak biasanya dia bolos. Apa terjadi sesuatu padanya?” Wyalt mengerutkan dahi dan menatapku. Aku mengangkat kedua bahuku lalu membuka loker untuk mengambil buku yang kuperlukan.
“Aku yakin Gabrielle baik-baik saja.” Fanesca bersandar di samping lokerku masih mengenakan ekspresi yang sama ketika dia menghabisi Alice. “Apa kau akan datang ke pesta Alice?”
Wyalt-lah yang berbicara terlebih dahulu sebelum aku sempat membuka mulut.
“Kita harus pergi. Harus! Alice Ratu Pesta. Apa kalian tak tahu kalau hanya orang keren saja yang bisa datang ke pestanya? Man, selama ini aku ingin tahu apa gosip yang beredar di sekolah itu benar.”
“Entahlah, Wyalt. Pesta kemarin tidak begitu menyenangkan.”
“Karena itu pesta Kimmy!” Wyalt mendesis jengkel. “Tak ada yang mengenalnya. Dia bahkan tak membawa cola buat kita.”
“Kau belum boleh mabuk. Kau masih empat belas,” tukas Fanesca.
Wyalt menaikan hidungnya, tanda jengkel. “Aku lima belas tahun dan beberapa bulan lagi akan SMA.”
“Tetap saja kau belum boleh minum alcohol,” kataku. “Kau boleh minum alkohol bila kau menginjak usia 18 dan masuk diskotik saat usiamu 21. Itu peraturan negeri ini.”
“Semua peraturan itu kulempar ke tong sampah karena aku tak peduli. Peraturan dibuat untuk dilanggar,” balasnya lagi memperbaiki pegangannya pada gitar yang dia gendong.
Aku hanya mampu memutar bola mata. Wyalt tetaplah seorang Wyalt. Entah kenapa aku bertahan dengan sifatnya. Dia liar. Tipe bad boy yang lebih suka seni dan kekerasan. Dia juga buta dengan yang namanya peraturan dan benci sekali dengan pendidikan.
Yang mengherankan dia selalu datang kemari hanya karena Gabrielle.
Benar.
Wyalt memuja anak itu. Entah kenapa. Mungkin karena Gabrielle tidak pernah meliriknya dengan aneh. Atau karena Gabrielle tak pernah kabur seakan terjangkit virus seperti kebanyakan orang ketika melihatnya. Atau mungkin saja karena Gabrielle tidak bisa mengusirnya karena dia tak ingin menghabiskan napasnya untuknya.
Tapi aku yakin Gabrielle cukup peduli pada Wyalt—yang membuat Wyalt menyukainya. Gabrielle selalu mendengarkannya. Dia mendengarkan musik Wyalt tiap ada kesempatan. Mereka berdua hanya akan duduk berdua dimana Wyalt memainkan gitarnya dan bernyanyi untuk Gabrielle yang menontonnya.
Hubungan mereka memang aneh.
Dan hubungan kami berdua lebih aneh lagi.
Aku dan Gabrielle tak pernah bicara. Seratus persen komunikasi berasal dariku. Dia hanya merespon dengan gerakan yang terkadang membuatku jengkel. Tapi aku belajar tahu bahwa sifatnya memang begitu. Mengherankan, kenapa aku malah tahan mengikutinya seperti itik tersesat sementara ada begitu banyak prajurit yang bersedia mengekoriku?
“Gabrielle!” Fanesca tiba-tiba berdiri tegak, lalu mendatangi sosok berambut merah yang mendekati kami. Anak muda itu tampak sedikit jengkel, tapi tersenyum kecil pada Fanesca.
“Gab, dari mana saja kau?” Wyalt bertanya. “Aku menunggumu untuk lagu baru.”
Daripada bicara, dia malah memberikan surat ijin keterlambatan pada kami. Itu tak menjelaskan apapun, tapi kami membiarkannya seakan itu tak penting.
“Kita ada pesta malam ini. Kau ikut?” Fanesca bertanya dan seperti yang sudah kuduga Gabrielle menggeleng. “Aaaw, kenapa?”
“Gab, kau harus datang!” Wyalt protes. “Bila kau tak datang, maka Rayne pasti tak datang dan itu artinya kita tak bisa datang. Ini pesta Alice—Ratu Kampus. Kapan lagi aku akan menikmati kesempatan langka ini?”
Gabrielle melirikku dengan jengkel.
“Bukan salahku!” Aku membela diri. “Aku hendak menolak saat—”
“Kau tak boleh menolak Ratu Pesta, Rayne,” potong Wyalt.
“Tapi aku Pangeran Sekolah,” kataku sarkastik terhadap julukan menggelikan yang diberikan mereka padaku. Kenapa mereka tak memberi yang lebih keren sih?
“Kau bukan Pangeran. Kau Dewa Kematian,” kata Fanesca. Gabrielle mendegus setuju, melipat tangannya.
“Pokoknya aku tak mau tahu. Kami akan menjemputmu jam 7,” Wyalt keras kepala.
Gabrielle menatapku dan aku mengangkat kedua tangan. Menyerah.

***

JEREMIAH(POV)
Happy birthday, Baby Brother.”
Suara River terdengar di seberang, tertawa kecil. Setelah dia menguhubungi sebanyak ratusan kali—ke ponsel, rumah, kantor, sekretaris, stasiun radio, rumah orang tuaku, bahkan sampai telepon resepsionis—akhirnya aku mengangkatnya.
“Kau keras kepala seperti biasa,” gerutuku.
River tertawa lagi. Dia selalu seperti itu, menganggap segala sesuatu adalah lelucon baginya. “Tidak, Xavier, kaulah yang paling keras kepala. Kau selalu memberontak. Ingat saat kau masih sekolah dan memilih bolos bersama Cody saat ujian?”
Sebuah senyuman tersungging di bibirku. “Itu saat paling menyenangkan dalam hidupku.”
“Benar,” dia tertawa lagi, “agak mencengangkan karena sekarang kau ada di balik meja kerja, mengurus berkas dan terperangkap di kantor. Kau biasanya sebebas burung di udara.”
Punggungku bersandar di kursi mahalku, mengetuk meja kerja dengan tak sabar. “Itu akan terjadi bila kau kembali.”
River menghela napas. “Aku belum ingin kembali. Dunia masih begitu luas untuk kulihat.”
“Ada di mana kau sekarang?”
“Palestina.”
Tanpa sadar aku mendengus. “Jangan pulang dalam keadaan menjadi bangkai. Aku tak suka ada jarimu yang dikirim kemari.”
Dia tertawa lagi. “Oh, tidak tidak tidak. Aku belum memberi Kakek seorang buyut.”
“Kau gay,” kataku kalem.
“Aku tetap seorang pria,” katanya santai, membuatku memutar bola mata.
“Kakek pasti akan langsung terkena serangan jantung.”
“Tidak, bila aku membawa cucu. Bagaimana menurutmu, Xavier?”
Aku hanya memutar bola mata. “Itu terserah padamu. Mereka hanya pengen kau menikah.”
“Mereka tak ingin aku menikah. Mereka ingin aku beranak cucu.” Dia memperbaiki.
“Terserah padamu saja, River,” gumamku. “Kau mau apa? Aku yakin kau menghubungiku bukan hanya karena ingin mengucapkan ‘selamat ulang tahun’. Kau tak sebaik itu.”
Lagi-lagi River tertawa. “Aku butuh uang.”
Sudah kuduga. River selalu seperti itu. Dia tak pernah punya uang karena dia lebih sibuk menghabiskannya daripada menghasilkannya. Dan bila aku menolak memberikannya, dia akan terus minta sampai aku memberikannya. Tidak ada gunanya berdebat dengan River, dia hanya akan menghabiskan waktuku dengan telepon tak penting.
“Berapa?”
“Ops, tumben tak ada protesan.”
“Anggap saja aku jadi adik yang baik karena hari ini ulang tahunku,” kataku lagi, membaca dokumen kerja sama hari ini.
“Aaaw, thank you, Xavier. Aku akan mengirim nomor rekeningku sekalian uangnya. Ah, ya, aku mengirim kado dari sini, kau sudah menerimanya?”
Dahiku mengerut. “Kau mengirim apa?”
“Tentu saja itu rahasia.”
“Ri—”
Tut tut tut. River sudah menutup teleponnya sebelum aku sempat menghentikannya. Aku tak pernah suka hadiah pemberiannya karena hadiahnya biasanya sangat berbahaya. Dua tahun lalu dia mengirimiku anaconda dari Amazon yang nyaris mencaplok jari-jariku. Tiga tahun lalu seekor crocodile sepanjang satu meter yang memakan tujuh ayam.  Tahun lalu dia mengirimiku kalajengking dan piranha. Tahun ini? Aku tak akan terkejut bila dia mengirimiku seekor cumi-cumi raksasa. Yang benar saja, siapa orang bodoh yang mengirimi adiknya sendiri sebuah kado ulang tahun berbahaya? Oh, tentu saja hanya River yang bisa melakukannya.
Aku menyelesaikan pekerjaan hari ini tanpa terlalu banyak hal yang mengganggu, kecuali seorang investor bodoh yang melakukan kesalahan sehingga aku harus memperbaiki keadaan. Mengambil mantel dan kunci mobil, aku turun ke bawah, lalu masuk ke dalam mobil. Langit sudah gelap ketika aku keluar. Sudah pukul sembilan, ternyata.
Ponselku berdering dan menemukan nama Gabrielle.
“Halo, Gabrielle?” kataku sewaktu berhenti di depan lampu merah.
“D-Dad?” suara Gabrielle terdengar serak dan bergetar di seberang sana. Alarm dalam tubuhku memperingatkan bahwa dia dalam bahaya.
“Gabrielle, ada apa? Kau baik-baik saja?”
“D-Dad,” katanya lagi. Aku bisa mendengar isak tangisnya sekaligus juga suara musik sebagai latar belakangnya. Oh, kurasa aku tahu dia ada dimana. “J-jemput aku.”
“Ok. Ada dimana kau sekarang?” kataku, mendengar Gabrielle memberikan alamat, juga suara musik menggila bersama dengan suara para remaja yang menggila di belakang sana. “Tunggu di sana. Aku akan segera menjemputmu.”
Aku membenting setir, memutar sejauh seratus delapan puluh derajat, kemudian menginjak gas tanpa belas kasihan dan membawa mobilku dengan cepat menuju rumah remaja tempat pesta. Bukannya aku skeptis, aku dulu juga seorang yang gila pesta. Tapi, bila bersama Cody kami lebih suka menghabiskan waktu kami dengan hal-hal yang lebih menarik. Salah satunya adalah ngebut di jalan.
Sebuah rumah berwarna krem tampak tak jauh dari mobilku ketika aku memarkir mobil. Rumah itu berlantai dua dengan lampu-lampu warna-warni. Musik terdengar dari dalam, menggila sekali. para remaja berkeliaran di sekitar rumah itu sambil berciuman atau minum, atau hanya ngobrol saja. Aku melewati mereka semua, yang melirikku dengan sedikit tercengang.
Tentu saja, siapa yang akan mengira ada seorang pria tua bergabung dengan remaja? Tapi aku tak peduli apa pendapat mereka. Yang kuinginkan saat ini adalah membawa Gabrielle keluar dari tempat ini. Sekali lihat saja aku tahu bahwa Gabrielle tak pernah suka kerumunan. Carnaval terakhir itu sudah membuktikan segalanya.
Dia tak pernah merasa aman dikerumunan.
Aku menghubungi ponsel Gabrielle lagi. “Aku sudah sampai, kau ada dimana?” Sulit sekali mendengar suara kecil Gabrielle di tempat ini, tapi aku bisa menangkap maksudnya.
Aku melewati para remaja di lantai dansa, mendorong mereka yang menghalangi jalanku.
“Aw, coba lihat ini,” seorang gadis kecil mendatangiku, memegang tanganku. “Aku tak menyangka Alice punya teman sekeren ini.”
Temannya yang lain datang, menatapku dengan terpesona.
Aw, terima kasih. Aku tahu aku keren. Tapi seorang gadis kecil bukan ukuranku. Aku seperti menggoda Jamine dan aku tak suka melakukannya.
“Dengar, Gadis Kecil. Aku terlalu tua untukmu. Datanglah sepuluh tahun lagi saat tak ada lagi masa pubertas di tubuhmu karena aku paling tak suka yang sumpalan,” kataku dan wajah gadis itu merona. Teman-temannya tertawa di sekitarnya.
Pria-pria kecil yang memegang botol minuman melirikku dengan tak suka. Hei, mereka terlalu muda untuk minum benda mengerikan itu. Apa mereka tak tahu bahwa alcohol bisa membuat mereka telihat tua dan memutuskan syaraf otak mereka yang sedang dalam masa pertumbuhan? Pantas saja ada banyak anak remaja bodoh. Semoga saja Gabrielle tidak minum benda mengerikan ini. Jika dia minum… well, aku hanya tinggal mengurungnya di rumah dan tidak mengijinkannya keluar dari rumah. Bila dia butuh pendidikan, aku hanya perlu memanggil seorang guru. Aku tak akan membiarkannya bergaul dengan makhluk-makhluk pembawa bencana.
Memutar bola mata dengan bosan, aku naik ke atas menuju lantai dua. Terdengar suara-suara dari balik pintu. Ya ampun, anak muda zaman sekarang, gerutuku. Aku melewati pintu itu, membuka pintu di ujung lorong, membukanya dan masuk ke dalam.
Itu hanya kamar mandi, dengan sebuah bath tub, shower, westafel dan segala macam bentuk benda yang harusnya ada di dalam kamar mandi. Melangkah masuk, aku bisa merasakan keberadaan Gabrielle ada di sini. Menyibakkan tirai, aku melihat Gabrielle duduk di sudut bath tub, menekuk lututnya dan tubuhnya gemetaran.
“Dad…” katanya lega, kemudian memelukku seketika.
Aku membalas pelukannya dalam seketika, menunjukkan bahwa keadaan baik-baik saja. “Sebenarnya aku ingin bertanya apa yang kau lakukan di tempat seperti ini, tapi aku akan melewatinya malam ini karena aku tahu kau belum siap. Jadi, sebaiknya kita pergi saja dari sini, ya?”
Gabrielle mengangguk tanpa suara.
Aku mengambil tangannya, kemudian menggiringnya keluar dari rumah itu. Anak-anak itu memberikan jalan bagi kami untuk lewat. Kami berhasil keluar rumah sampai ada gangguan begitu menuju mobil.
“Gabrielle,” seorang anak muda seusia Gabrielle mendatangi kami. “Kami mencarimu kemana-mana dan siapa ini?”
Kali ini dua orang temannya menyusul di belakang. Satu berambut biru, satunya lagi seorang wanita. Ok, biar kutebak. Mereka pasti Rayne, Wyalt dan Fanesca. Aku cuma bisa menduga yang Fanesca, sedangkan siapa yang Rayne dan siapa yang Wyalt, aku tak tahu.
“Kalian sebaiknya pulang juga, Anak-anak. Alcohol, musik dan sex sama sekali tak cocok untuk anak-anak seusia kalian.” Aku melipat tangan. Anak yang berambut biru meringis, memasang ekspresi mau muntah.
“Kau siapanya Gabrielle?” kata Pemuda yang satu lagi.
“Kau siapanya Gabrielle?” aku mengulang, menaikan alis, menantangnya.
“Aku temannya, Rayne. Kau?”
“Aku Daddynya,” kataku dan mereka melotot. “Jadi, Rayne, Wyalt, Fanesca, sebaiknya kalian segera ikut aku pulang dan mulailah mengerjakan PR kalian sebelum aku memberitahu orang tua kalian bahwa kalian lebih suka berpesta di tempat seperti ini.” Gabrielle mencengkram lengan bajuku, bersembunyi di belakang punggungku. Dia ingin cepat pulang dari tempat ini. “Ayo, anak-anak. Mobilku ada di ujung jalan.”
Aku tak perlu mendengar jawaban mereka. Yang kubutuhkan saat ini adalah membawa Gabrielle pulang. Mereka bertiga mengikutiku dari belakang. Aku masuk ke dalam, mendengar Wyalt bergumam takjub pada mobilku. Yeah, aku tahu. Mobilku sangat seksi.
Gabrielle memanjat masuk ke sebelah kemudi. Aku membantunya memasang sabuk pengaman. Yang lainnya naik ke belakang, berdesak-desakkan. Aku tak yakin karena mobilku cukup besar untuk mereka.
“Erm, Mr Cattermole—”
“Oh, tidak tidak tidak. Aku bukan Fran. Namaku Jeremiah Huges dan panggil aku Jeremiah saja. Huges itu Ayah dan Kakekku. Aku belum setua itu,” kataku menghidupkan mesin mobilku. Mereka mengerutkan dahi di belakang sana. “Kau sudah makan?” kataku pada Gabrielle. Dia menggeleng. “Bagus. Aku juga belum makan. Kita bisa beli makanan. Kurasa Fran juga belum makan. Apa kau sudah minta izin pada Papamu kalau kau pergi ke pesta?”
Dia menggeleng lagi.
“Anak Muda, kau tak boleh pergi dari rumah sebelum memberitahu Fran. Aku bisa menduga kalau dia akan panik luar biasa,” kataku dan tepat saat itu, Fran meneleponku. “Lihat?” kataku menunjukkan ponselku pada Gabrielle. Menghela napas, aku mengangkat teleponnya. “Ya?”
“Jeremiah, Gabrielle menghilang!” Fran histeris di seberang sana. “Dia belum pulang dari sekolahnya. Aku sudah menghubungi pihak sekolah dan mereka bilang kalau tak ada lagi siswa di sana. Aku juga sudah mencoba mencari ke sekitar sekolah tapi tak menemukan dia di sana. Aku tak tahu siapa teman-temannya, jadi aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Jeremiah, apa yang harus kulakukan? Gabrielle kan belum tahu sekitar kota ini? Bagaimana kalau dia tersesat? Bagaimana kalau ada yang menculiknya? Dia masih kecil dan banyak sekali—”
“Fran, dia ada di sini bersamaku,” kataku cepat, memotong perkataannya.
“APA?”
“Kau bisa tanya padanya. Aku baru saja menjemputnya dari pesta.”
“Pesta? Pesta apa?”
Aku memutar bola mata, memberikan ponselku pada Gabrielle. Gabrielle meringis, tidak berani menerima ponselku. Tapi karena aku memelototinya, Gabrielle akhirnya mengambilnya sambil menelan ludah.
“Halo?” katanya, dia melirikku lagi. “Maaf… hmm… iya… iya… sorry.” Dia memberikan ponselnya padaku dan aku berbicara lagi pada Fran.
“Aku akan membawanya ke rumah. Kau sudah makan?”
“Aku tak bisa makan bila Gabrielle belum pulang.”
“Ok, aku akan membawa makanan—”
“Sebenarnya, aku sudah masak. Erm, kau keberatan datang malam ini?”
“Ok. Tapi kami agak lama. Aku harus mengantar teman-temannya Gabrielle pulang.”

***

GABRIELLE(POV)
Setelah mengantar Rayne, Wyalt dan Fanesca pulang, Remi menceramahiku panjang lebar. Sekarang, dia bertingkah seperti orang tua.
“Kau doakan saja semoga Fran tidak menghukummu dengan mengambil seluruh buku-bukumu. Ayahku sering kali menyita seluruh uang jajanku tiap kali aku membantah,” gumamnya ketika kami turun dari mobil.
Rumah minimalisku terlihat terang benderang. Sambil memegang bahuku, Jeremiah menggiringku masuk ke dalam. Fran tampak cemas, tapi lega begitu melihatku baik-baik saja. Dia memelukku erat-erat sehingga aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Aku merasa bersalah karena pergi tanpa ijin.
“Untunglah kau tak apa-apa. Lain kali kau harus menghubungiku, Gabrielle. Aku senang melihatmu bergaul, tapi aku harus tahu kemana kau pergi kalau tidak aku akan cemas setengah mati. Kau mengerti?” Fran melepas pelukannya.
Aku mengangguk.
“Aku sudah menyiapkan makanan. Kita makan dulu.”
Remi menguap lebar. “Bagus. Aku sudah lapar, capek dan sedikit stress. Besok aku harus mempersiapkan diri dengan rapat besar.” Dia pergi lebih dulu ke dapur, kemudian terdengar suaranya dari dalam sana. “Oh my God, Fran… apa ini?”
Aku mengerjap melihat wajah Fran merona merah. Sepertinya Fran sedang melakukan sesuatu.
Fran berdeham. “Aku… erm, berpikir untuk membuatkanmu kejutan.”
Ok, ini hal yang baru. Apa yang sebenarnya disembunyikan kedua orang ini dariku? Sebentar mereka akan bertingkah bodoh, lalu mereka bertengkar karena masalah tak jelas, lalu sekarang mereka akrab sekali seakan teman lama yang baru bertemu.
Aku melangkah masuk ke dalam dapur dan menganga melihat apa yang sebenarnya dilakukan Fran pada dapur kami. Fran sudah menyiapkan meja makan dengan berbagai jenis makanan, seperti menyiapkan makanan untuk satu tim kesebelasan. Ada seafood, sphagetti, steak, kalkun, pudding dan juga sebuah kue ulang tahun dengan lilin berangka 25 berwarna seputih salju dan ada tulisan “Happy Birthday, Jeremiah” di atasnya.
“Kau ulang tahun?” kataku keheranan, duduk di samping Jeremiah yang tampak begitu terpesona pada kejutannya.
“Oh, ya,” Remi mengerjap. “Happy birthday untukku. Thanks, Fran. Ini keren sekali. Cody tak pernah melakukannya karena dia tak pernah mengingat ulang tahun siapapun di muka bumi dan harusnya kau juga tak perlu repot melakukannya untukku, tapi… yah, terima kasih.”
Fran duduk di dekat Remi, wajahnya semakin lama semakin merah. Lebih merah dari lobster yang dia sediakan. “Erm… tidak masalah. Kau teman pertamaku.”
Oh, please. Teman? Fran menganggap Jeremiah lebih dari teman.
“Aw, yeah! Aku beruntung mendapat teman sepertimu. Kenapa dari dulu aku membencimu ya? Aku perlu mempertanyakan otakku.”
Dan yang lebih bodoh adalah kalau Remi sama sekali tak menyadarinya.
Aku punya dua orang bodoh di sekitarku.
“Gabrielle, make a wish,” kata Remi.
“Kau yang ulang tahun, jadi kau yang make a wish,” kataku.
Remi mengetuk-ketuk dagunya dengan telunjuknya, mengerutkan dahi dan berpikir keras selama beberapa detik. Lalu, ketika dia menemukan apa yang dia inginkan, dia meniup lilinnya dan kami bertepuk tangan kecil. Dia memotong kuenya, memberikan potongan pertamanya pada Fran—yang mengerjap kaget.
“Kau temanku. Aku yakin belum ada yang memberikan potongan kue pertama padamu kan? Jadi aku memberikannya padamu.” Remi memberi alasan, memotong kuenya dan memberikannya padaku.
“Kau bisa memberikannya padaku,” kataku saat Fran sama sekali tak bisa mengatakan apa-apa.
Remi mendengus. “Aku akan memberikannya tahun depan padamu bila kau ingat ulang tahunku.”
Kali ini aku yang mendengus. “Aku akan ingat kalau kau bilang padaku.”
“Kau kan tak pernah tanya,” katanya cuek, mencolek krimnya dan makan. Aku menendangnya dari bawah. “Aw! Gabrielle, kalau kau cemburu jangan seperti itu. Fanesca tak akan senang mendengarnya.”
Dan aku menendangnya lagi.
Kurasa, Remi memang makhluk paling bodoh yang pernah kutemui.

***

Medan, Selasa, 05 November 2013

1 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.