Debaran Lima
The Flower Bad Boy
Aku
terbangun karena mimpi buruk. MIMPI YANG SANGAT BURUK!
Di
dalam mimpi itu, aku sedang bersantai menikmati buku bacaanku, menikmati angin
lembut dan dedaunan yang jatuh perlahan di atas rumput. Tapi tidak lama, muncul
seorang cowok yang bertingkah aneh. Entah kenapa kehadirannya seolah menjadi
“duri dalam dagingku” dan dalam sekejap menerorku dengan tingkahnya yang
menyebalkan. Suara tawanya begitu manja dan menggoda saat aku tak tahu lagai
bagaimana mengusir cowok brengsek itu, apalagi dia mengambil buku bacaanku.
Aku
berdiri, mencoba merebut kembali bukuku. Hanya saja cowok itu begitu tinggi,
sehingga aku melompat-lompat seperti kelinci kehabisan napas dan tetap saja tak
berhasil menjangkau tangannya.
Dengan
jengkel, aku mengadah, memerhatikan siapa cowok menyebalkan yang mengusik
kehidupanku.
Dan
aku melihat Nero—yang menertawakanku, lebih tepatnya.
BUKANKAH
ITU SANGAT MENGERIKAN?
Dari
sekian banyak orang yang masuk ke dalam mimpiku, kenapa harus wajah cowok
tengik itu yang muncul? Sudah cuku dia mengusik kehidupanku, sekarang pun dia
mencoba mengusik mimpiku juga? Ini sudah keterlaluan! Apalagi, ini malam kedua
aku mempikan cowok menyebalkan itu! Semakin lama, otakku semakin menguatirkan.
Jam
dinding kamarku menunjukan pukul tiga. Masih ada waktu dia jam lagi untuk
tidur. Tapi berkat mimpi buruk itu, aku tidak lagi mengantuk.
Merasa
tak ada gunanya lagi memaksa diri untuk tidur, aku menyingkirkan selimut dan
bangun dari kenyamanan empuk tempat tidurku. Saat berjalan, tanpa sadar aku
melirik jendela kamarku dan memberikan tinjuku pada jendela di seberang sana. Jendela
itu tertutup rapi, diberikan gorden yang juga tertutup dan lampunya padam.
Sejak
Nero pindah ke kamar itu, hidupku terasa lebih parah daripada digentayangi anak
kecil yang mati pesakitan. Dengan langkah pelan aku menuju meja belajarku dan
mencari-cari buku untuk kubaca. Jika tak salah, majalah kemarin belum sempat
kubaca. Majalah—
Tanganku
menepuk dahiku.
“Sial,”
makiku pelan. Majalah itu sudah kulempar ke seberang jendela di hari pertama
Nero pindah ke kamar itu. Bukan hanya majalah, ternyata aku juga melempar
benda-benda lain. Jam wekerku hancur berantakan, vas bunga indahku kini ada di
sana juga. Semuanya karena Nero!
Sekali
lagi aku melirik ganas ke jendela Nero, tanganku gatal sekali ingin melempar
jendela itu dengan batu. Hanya saja, itu berarti, aku sudah siap diseret ke
pengadilan orang tuaku karena memecahkan jendela kamar orang. Terlebih lagi,
jendela itu tak mungkin pecah, apalagi jarak jendela itu begitu mepet dengan
jendelaku sendiri.
Aku
ingin membalas cowok itu. Secepatnya!
***The Flower Boy Next Door***
Aku
melipat tangan sambil menaikan alisku. Pekerjaan sebagai Ketua Kedisplinan
Siswa memang membutuhkan tenaga yang ekstra selain harus memikul tanggung jawab
yang berat. Pertama-tama, aku harus bangun pagi hanya untuk tiba lebih awal di depan
gerbang, demi mengabsen seluruh siswa yang terlambat. Sebenarnya tugas ini
bukan hanya aku yang menanganinya, hanya saja kebanyakan bawahanku begitu
lembek, jadi aku terpaksa harus turun tangan juga. Kedua, mendapatkan pekerjaan
ini itu harusnya harus bersedia terlambat masuk ke kelas selama sepuluh sampai
dua puluh menit. Tidak banyak siswa yang protes mengenai ini. Namun, bagi
mereka yang otaknya pas-pasan, itu artinya akan ada tugas tambahan di rumah.
Dan yang terakhir, harus siap sedia dibenci oleh seluruh penghuni sekolah. Hal
ini bukan lagi berita baru, karena memang seperti itulah nasib dari setiap
anggota Osis yang terlibat dalam hal begini, apalagi berada di bawah
kepemimpinanku.
Namun
aku tak peduli apa kata mereka. Sekolah kami merupakan sekolah terhormat. Aku
tak akan membiarkan ada cecunguk yang mecoret nama baik sekolah ini.
Tapi
lagi-lagi ada satu hal yang membuatku tak tenang. Rasanya ada yang tertinggal
sewaktu para anggota Osis lain menutup gerbang karena bel sudah berbunyi
nyaring. Siswa yang terlambat segera dimintai keterangan.
“Nama,
kelas dan nomor induk?” kataku pada seorang cowok pirang.
Cowok
itu memutar bola matanya. “Kau kan sudah tahu, jadi buat apa bertanya lagi?”
Memang
benar aku tahu siapa cowok pirang ini. Dan aku mengingatkan karena terpaksa.
Dia terlambat setiap hari. Bagaimana aku tidak mengenalinya jika dia
satu-satunya murid yang berambut pirang di sekolah?
“Nama,
kelas dan nomor absensi,” ulangku.
Dia
menggeram jengkel dan menjawab ketus, “Devon, Kelas 2 Ruang 3, 2315.”
Kuberikan
lagi tanda centang merah di samping tanda centang merah lain yang berjejer rapi
di absensi keterlambatan. “Karena kau sudah terlambat lima kali berturut-turut,
aku akan memberikanmu hukuman.”
“Memangnya
kau berhak?” katanya meremehkan.
Berani
melawanku rupanya. Aku tersenyum kecil. “Kalau kau tak mau, aku juga bisa
memberikan absensimu ini pada guru BP sehingga kau bisa diberikan peringatan
langsung oleh Pak Niel, jika kau mau.”
Devon
menggertakan giginya dengan jengkel. Tapi dia tidak membantah. Aku tahu kalau
aku menang.
Sambil
tersenyum simpul, aku memberikan catatan berupa hukuman padanya dan memberikan
lembaran itu pada Devon. “Membuang sampah seluruh kelas dua dan membantu Pak
Rhun mengorganisir sampah sekolah. Kau bisa melakukannya kan?”
Devon
menganga sejenak, lalu menggeram lagi, tapi mengambil catatan itu dengan ganas.
Cowok itu menoleh padanya, memberikan tatapan penuh amarah sebelum akhirnya
berjalan masuk ke sekolah.
“Selanjutnya!”
kataku keras.
Pekerjaan
ini sebenarnya sangat menyenangkan. Aku banyak menghabiskan waktuku sambil
memerhatikan wajah menyedihkan para siswa yang terkena talak padaku. Biasanya
mereka langsung bertobat jika sudah menyelesaikan misi. Tapi ada juga yang
susah sekali diberi peringatan, contohnya seperti Devon. Aku juga mulai
kehabisan ide untuk memberinya hukuman. Besok pasti dia juga akan terlambat
lagi.
“Lisa,
tolong ambil alih pekerjaanku,” kataku pada teman seperjuanganku.
“Mau
kemana?” tanya Lisa.
“Aku
mau ke toilet sebentar. Kamu jangan coba-coba melepaskan mereka, mengerti?”
ancamku dan berbalik pergi sebelum menerima jawaban.
Sejak
ada di depan gerbang, aku sudah kepengen pipis. Maka aku berlari kecil menuju
toilet wanita—yang letaknya jauh di ujung sekolah, dekat sekali dengan tembok
sekolah yang menjulang tinggi dan dipenuhi dengan pohon. Di belakang sekolah
terdapat taman yang luas sekali bahkan ada area perbukitan rumput yang hijau
dengan sebuah pohon beringin besar yang berdiri tegak di atas bukit.
Hanya
saja bukit itu tidak pernah disinggahi siswa karena letaknya begitu jauh dan
kebanyakan dari para siswa malas untuk berjalan ke sana apalagi jika siang
hari.
Aku
meringis saat mendekati gedung toilet dan ternganga begitu mengetahui apa yang
ketinggalan begitu melihat ada pemandangan luar biasa di dekat toilet
perempuan.
Nero
ada di atas tembok dengan tas yang masih tergantung di punggungnya. Matanya
menatapku dengan keterkejutan dan karena itu pula dia bertahan di
posisinya—dengan satu kaki masih ada di belakang tembok.
Sekarang
aku baru sadar apa yang ketinggalan. Sejak aku sampai di depan gerbang, aku
bertanya-tanya kenapa cowok ini tidak melewati gerbang sekolah. Ternyata dia
terlambat!
“Ups,”
kata Nero dan dia melompat turun.
“Kau
jangan coba-coba kabur! Aku akan mencatat namamu!” Tuhan benar-benar baik
padaku. Ini saatnya membalaskan dendam pada Nero dan memberik anak itu
pelajaran.
Nero
memperbaiki seragamnya yang kusut. Dengan sengaja dia menyisir rambut
coklatnya. Kenapa dia masih bisa bersikap tenang sih?
“Niken,”
dia memulai, suaranya ramah bersahabat, “lebih baik kau segera masuk ke
toilet.”
“Apa?”
aku kebingungan dengan jawabannya.
Sekali
lagi Nero menatapku dengan pandangan aneh, dia seolah ingin tertawa tapi juga
kasihan. “Aku melihat dengan jelas apa yang kau pegang itu,” katanya lagi.
“Sungguh tak enak dilihat, Niken.”
Dengan
cepat aku menunduk, melihat apa yang kupegang. Ternyata selama beberapa menit
ini, kedua tanganku menutupi area yang ada di tengah kakiku. Karena kepengen
pipis, aku jadi tak ingat lagi apa yang kulakukan.
Wajahku
merah padam dalam sekejap. Nero baru saja melihatku dalam posisi memalukan.
“Dah,
Niken,” katanya dan dia berlari meninggalkanku sebelum aku sempat membalas
ucapannya. Tawanya terdengar saat dia aku buru-buru masuk ke kamar mandi.
“Iiiiiiih!
Nyebeliiiiiiiiiiiiiiiin!”
***The Flower Boy Next Door***
“Niiiiiiken.”
Suara
menyebalkan itu menyapaku tepat di telingaku. Dengan geram dan tangan terkepal,
aku berhenti melangkah dan menarik napas dalam-dalam.
“Niiiiiiiken,”
suara itu terdengar lagi, lebih manja dan kekanakan daripada sebelumnya,
membuatku merinding ngeri.
“Apa?”
kataku pada akhirnya, menoleh jengkel pada Nero yang berdiri di belakangku.
Nero,
seperti biasa, tersenyum menyebalkan. Kali ini dengan sengaja dia
memain-mainkan dasinya dengan jari telunjuknya. Kenapa sih dia selalu ingin
menggangguku?
“Bisa
kau jelaskan padaku mengenai kelasmu?”
“Kemarin
Pak Owen kan sudah menjelaskan semuanya padamu.”
“Tidak
semuanya.”
“Kalau
begitu tanya saja pada Pak Julian. Bukankah dia wali kelasmu?”
“Pak
Julian sedang tidak bisa diganggu.”
Nero
sedang mengarang-arang alasan. Aku bisa membacanya hanya dengan melihat
senyuman sok sucinya itu. Dan karena semua murid sekarang melirik kami di
koridor dengan perasaan ingin tahu, maka aku pun memilih untuk melihat apa mau
cowok menyebalkan ini sebelum aku bisa menghantam rahangnya dengan tinjuku.
“Apa
yang ingin kau tanya?” kataku dengan nada yang cukup tenang.
“Bisa
kau jelaskan padaku mengenai kelasmu?” dia mengulang kalimat itu lagi.
“Aku
tak paham apa maksudmu,” balasku memang
tidak mengerti.
Nero
mengerjap, senyumnya hilang sepersekian detik, lalu berkata, “Katanya kelasmu
itu kelas unggulan.”
Ah,
soal itu, ternyata. Bibirku langsung tersenyum bangga. “Memangnya kenapa dengan
kelasku?” aku bertanya dengan sedikit menyombongkan diri.
“Aku
bertanya-tanya kenapa aku tak dimasukan ke kelasmu,” katanya lagi sambil
memainkan dasinya yang tidak seberapa itu.
Senyumku
semakin melebar. Ternyata Nero hanya besar omong doang. Mulutnya lebih besar
daripada otaknya.
“Tentu
saja kau tidak bisa masuk ke sana. Di kelasku, hanya orang-orang terpilih saja
yang bisa masuk ke sana. Orang yang punya otak,”
dengan sengaja aku menekan kata terakhir. Senyumku semakin mengambang dan puas
karena Nero mengedip kebingungan. Tentu saja perkataanku akan sedikit
memberatkan proses di otaknya. “Jadi, jika kau tak bisa masuk kategori tiga
puluh besar peringkat sekolah dalam tiga kali ujian secara berturut-turut, kau
tak berhak masuk kelas itu.”
Nero
tersenyum sok tahu sambil manggut-manggut. “Tiga kali ujian secara
berturut-turut dan semuanya harus masuk tiga puluh besar,” ulangnya. “Kapan
ujian sekolah dimulai?”
“Ujian
sekolah diadakan dua minggu sekali. Minggu depan, hari Kamis, adalah ujian
sekolah. Memangnya kenapa, Nero? Apakah kau berniat masuk ke kelasku? Kau tak
akan bisa, Nero.”
Yang
mengherankan, cowok itu masih tersenyum. “Dan kenapa aku tak bisa?”
Aku
menjawab dengan kejam. “Karena kau tak punya otak dan lebih sering bertingkah
gila.”
“Wahahaha.”
Dia terbahak. Segera saja tekanan berat yang tadi menguap di sekitar kami
meledak dan hilang begitu saja, menjadi aura dingin menyegarkan.
“Kenapa
kau tertawa?” kataku tersinggung. Aku benar-benar tak habis pikir dengan
sikapnya yang satu itu. Apa Nero tak pernah sakit hati? Apa dia tak bisa merasakan
aura pembunuhku? Apa dia juga tak bisa bersikap serius sedikitpun?
“Tsk
tsk tsk,” Nero geleng-geleng kepala. “Kau akan menyesal, Niken,” kata Nero
penuh perasaan. Dan karena alisku menaik keheranan, dia menambahkan lagi,
“Karena aku akan mendepakmu dari peringkat satu.”
Beraninya
dia!
“Coba
saja kalau kau bisa!” raungku marah.
“Aku
memang bisa,” katanya santai.
Ingin
sekali aku mencekiknya saat itu juga.
0 komentar:
Posting Komentar