RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 17 Februari 2013

The Flower Boy Next Door (Debaran Lima)


Debaran Lima
The Flower Bad Boy
Aku terbangun karena mimpi buruk. MIMPI YANG SANGAT BURUK!
Di dalam mimpi itu, aku sedang bersantai menikmati buku bacaanku, menikmati angin lembut dan dedaunan yang jatuh perlahan di atas rumput. Tapi tidak lama, muncul seorang cowok yang bertingkah aneh. Entah kenapa kehadirannya seolah menjadi “duri dalam dagingku” dan dalam sekejap menerorku dengan tingkahnya yang menyebalkan. Suara tawanya begitu manja dan menggoda saat aku tak tahu lagai bagaimana mengusir cowok brengsek itu, apalagi dia mengambil buku bacaanku.
Aku berdiri, mencoba merebut kembali bukuku. Hanya saja cowok itu begitu tinggi, sehingga aku melompat-lompat seperti kelinci kehabisan napas dan tetap saja tak berhasil menjangkau tangannya.
Dengan jengkel, aku mengadah, memerhatikan siapa cowok menyebalkan yang mengusik kehidupanku.
Dan aku melihat Nero—yang menertawakanku, lebih tepatnya.
BUKANKAH ITU SANGAT MENGERIKAN?
Dari sekian banyak orang yang masuk ke dalam mimpiku, kenapa harus wajah cowok tengik itu yang muncul? Sudah cuku dia mengusik kehidupanku, sekarang pun dia mencoba mengusik mimpiku juga? Ini sudah keterlaluan! Apalagi, ini malam kedua aku mempikan cowok menyebalkan itu! Semakin lama, otakku semakin menguatirkan.
Jam dinding kamarku menunjukan pukul tiga. Masih ada waktu dia jam lagi untuk tidur. Tapi berkat mimpi buruk itu, aku tidak lagi mengantuk.
Merasa tak ada gunanya lagi memaksa diri untuk tidur, aku menyingkirkan selimut dan bangun dari kenyamanan empuk tempat tidurku. Saat berjalan, tanpa sadar aku melirik jendela kamarku dan memberikan tinjuku pada jendela di seberang sana. Jendela itu tertutup rapi, diberikan gorden yang juga tertutup dan lampunya padam.
Sejak Nero pindah ke kamar itu, hidupku terasa lebih parah daripada digentayangi anak kecil yang mati pesakitan. Dengan langkah pelan aku menuju meja belajarku dan mencari-cari buku untuk kubaca. Jika tak salah, majalah kemarin belum sempat kubaca. Majalah—
Tanganku menepuk dahiku.
“Sial,” makiku pelan. Majalah itu sudah kulempar ke seberang jendela di hari pertama Nero pindah ke kamar itu. Bukan hanya majalah, ternyata aku juga melempar benda-benda lain. Jam wekerku hancur berantakan, vas bunga indahku kini ada di sana juga. Semuanya karena Nero!
Sekali lagi aku melirik ganas ke jendela Nero, tanganku gatal sekali ingin melempar jendela itu dengan batu. Hanya saja, itu berarti, aku sudah siap diseret ke pengadilan orang tuaku karena memecahkan jendela kamar orang. Terlebih lagi, jendela itu tak mungkin pecah, apalagi jarak jendela itu begitu mepet dengan jendelaku sendiri.
Aku ingin membalas cowok itu. Secepatnya!
***The Flower Boy Next Door***
Aku melipat tangan sambil menaikan alisku. Pekerjaan sebagai Ketua Kedisplinan Siswa memang membutuhkan tenaga yang ekstra selain harus memikul tanggung jawab yang berat. Pertama-tama, aku harus bangun pagi hanya untuk tiba lebih awal di depan gerbang, demi mengabsen seluruh siswa yang terlambat. Sebenarnya tugas ini bukan hanya aku yang menanganinya, hanya saja kebanyakan bawahanku begitu lembek, jadi aku terpaksa harus turun tangan juga. Kedua, mendapatkan pekerjaan ini itu harusnya harus bersedia terlambat masuk ke kelas selama sepuluh sampai dua puluh menit. Tidak banyak siswa yang protes mengenai ini. Namun, bagi mereka yang otaknya pas-pasan, itu artinya akan ada tugas tambahan di rumah. Dan yang terakhir, harus siap sedia dibenci oleh seluruh penghuni sekolah. Hal ini bukan lagi berita baru, karena memang seperti itulah nasib dari setiap anggota Osis yang terlibat dalam hal begini, apalagi berada di bawah kepemimpinanku.
Namun aku tak peduli apa kata mereka. Sekolah kami merupakan sekolah terhormat. Aku tak akan membiarkan ada cecunguk yang mecoret nama baik sekolah ini.
Tapi lagi-lagi ada satu hal yang membuatku tak tenang. Rasanya ada yang tertinggal sewaktu para anggota Osis lain menutup gerbang karena bel sudah berbunyi nyaring. Siswa yang terlambat segera dimintai keterangan.
“Nama, kelas dan nomor induk?” kataku pada seorang cowok pirang.
Cowok itu memutar bola matanya. “Kau kan sudah tahu, jadi buat apa bertanya lagi?”
Memang benar aku tahu siapa cowok pirang ini. Dan aku mengingatkan karena terpaksa. Dia terlambat setiap hari. Bagaimana aku tidak mengenalinya jika dia satu-satunya murid yang berambut pirang di sekolah?
“Nama, kelas dan nomor absensi,” ulangku.
Dia menggeram jengkel dan menjawab ketus, “Devon, Kelas 2 Ruang 3, 2315.”
Kuberikan lagi tanda centang merah di samping tanda centang merah lain yang berjejer rapi di absensi keterlambatan. “Karena kau sudah terlambat lima kali berturut-turut, aku akan memberikanmu hukuman.”
“Memangnya kau berhak?” katanya meremehkan.
Berani melawanku rupanya. Aku tersenyum kecil. “Kalau kau tak mau, aku juga bisa memberikan absensimu ini pada guru BP sehingga kau bisa diberikan peringatan langsung oleh Pak Niel, jika kau mau.”
Devon menggertakan giginya dengan jengkel. Tapi dia tidak membantah. Aku tahu kalau aku menang.
Sambil tersenyum simpul, aku memberikan catatan berupa hukuman padanya dan memberikan lembaran itu pada Devon. “Membuang sampah seluruh kelas dua dan membantu Pak Rhun mengorganisir sampah sekolah. Kau bisa melakukannya kan?”
Devon menganga sejenak, lalu menggeram lagi, tapi mengambil catatan itu dengan ganas. Cowok itu menoleh padanya, memberikan tatapan penuh amarah sebelum akhirnya berjalan masuk ke sekolah.
“Selanjutnya!” kataku keras.
Pekerjaan ini sebenarnya sangat menyenangkan. Aku banyak menghabiskan waktuku sambil memerhatikan wajah menyedihkan para siswa yang terkena talak padaku. Biasanya mereka langsung bertobat jika sudah menyelesaikan misi. Tapi ada juga yang susah sekali diberi peringatan, contohnya seperti Devon. Aku juga mulai kehabisan ide untuk memberinya hukuman. Besok pasti dia juga akan terlambat lagi.
“Lisa, tolong ambil alih pekerjaanku,” kataku pada teman seperjuanganku.
“Mau kemana?” tanya Lisa.
“Aku mau ke toilet sebentar. Kamu jangan coba-coba melepaskan mereka, mengerti?” ancamku dan berbalik pergi sebelum menerima jawaban.
Sejak ada di depan gerbang, aku sudah kepengen pipis. Maka aku berlari kecil menuju toilet wanita—yang letaknya jauh di ujung sekolah, dekat sekali dengan tembok sekolah yang menjulang tinggi dan dipenuhi dengan pohon. Di belakang sekolah terdapat taman yang luas sekali bahkan ada area perbukitan rumput yang hijau dengan sebuah pohon beringin besar yang berdiri tegak di atas bukit.
Hanya saja bukit itu tidak pernah disinggahi siswa karena letaknya begitu jauh dan kebanyakan dari para siswa malas untuk berjalan ke sana apalagi jika siang hari.
Aku meringis saat mendekati gedung toilet dan ternganga begitu mengetahui apa yang ketinggalan begitu melihat ada pemandangan luar biasa di dekat toilet perempuan.
Nero ada di atas tembok dengan tas yang masih tergantung di punggungnya. Matanya menatapku dengan keterkejutan dan karena itu pula dia bertahan di posisinya—dengan satu kaki masih ada di belakang tembok.
Sekarang aku baru sadar apa yang ketinggalan. Sejak aku sampai di depan gerbang, aku bertanya-tanya kenapa cowok ini tidak melewati gerbang sekolah. Ternyata dia terlambat!
“Ups,” kata Nero dan dia melompat turun.
“Kau jangan coba-coba kabur! Aku akan mencatat namamu!” Tuhan benar-benar baik padaku. Ini saatnya membalaskan dendam pada Nero dan memberik anak itu pelajaran.
Nero memperbaiki seragamnya yang kusut. Dengan sengaja dia menyisir rambut coklatnya. Kenapa dia masih bisa bersikap tenang sih?
“Niken,” dia memulai, suaranya ramah bersahabat, “lebih baik kau segera masuk ke toilet.”
“Apa?” aku kebingungan dengan jawabannya.
Sekali lagi Nero menatapku dengan pandangan aneh, dia seolah ingin tertawa tapi juga kasihan. “Aku melihat dengan jelas apa yang kau pegang itu,” katanya lagi. “Sungguh tak enak dilihat, Niken.”
Dengan cepat aku menunduk, melihat apa yang kupegang. Ternyata selama beberapa menit ini, kedua tanganku menutupi area yang ada di tengah kakiku. Karena kepengen pipis, aku jadi tak ingat lagi apa yang kulakukan.
Wajahku merah padam dalam sekejap. Nero baru saja melihatku dalam posisi memalukan.
“Dah, Niken,” katanya dan dia berlari meninggalkanku sebelum aku sempat membalas ucapannya. Tawanya terdengar saat dia aku buru-buru masuk ke kamar mandi.
“Iiiiiiih! Nyebeliiiiiiiiiiiiiiiin!”
***The Flower Boy Next Door***
“Niiiiiiken.”
Suara menyebalkan itu menyapaku tepat di telingaku. Dengan geram dan tangan terkepal, aku berhenti melangkah dan menarik napas dalam-dalam.
“Niiiiiiiken,” suara itu terdengar lagi, lebih manja dan kekanakan daripada sebelumnya, membuatku merinding ngeri.
“Apa?” kataku pada akhirnya, menoleh jengkel pada Nero yang berdiri di belakangku.
Nero, seperti biasa, tersenyum menyebalkan. Kali ini dengan sengaja dia memain-mainkan dasinya dengan jari telunjuknya. Kenapa sih dia selalu ingin menggangguku?
“Bisa kau jelaskan padaku mengenai kelasmu?”
“Kemarin Pak Owen kan sudah menjelaskan semuanya padamu.”
“Tidak semuanya.”
“Kalau begitu tanya saja pada Pak Julian. Bukankah dia wali kelasmu?”
“Pak Julian sedang tidak bisa diganggu.”
Nero sedang mengarang-arang alasan. Aku bisa membacanya hanya dengan melihat senyuman sok sucinya itu. Dan karena semua murid sekarang melirik kami di koridor dengan perasaan ingin tahu, maka aku pun memilih untuk melihat apa mau cowok menyebalkan ini sebelum aku bisa menghantam rahangnya dengan tinjuku.
“Apa yang ingin kau tanya?” kataku dengan nada yang cukup tenang.
“Bisa kau jelaskan padaku mengenai kelasmu?” dia mengulang kalimat itu lagi.
“Aku tak paham apa maksudmu,” balasku memang tidak mengerti.
Nero mengerjap, senyumnya hilang sepersekian detik, lalu berkata, “Katanya kelasmu itu kelas unggulan.”
Ah, soal itu, ternyata. Bibirku langsung tersenyum bangga. “Memangnya kenapa dengan kelasku?” aku bertanya dengan sedikit menyombongkan diri.
“Aku bertanya-tanya kenapa aku tak dimasukan ke kelasmu,” katanya lagi sambil memainkan dasinya yang tidak seberapa itu.
Senyumku semakin melebar. Ternyata Nero hanya besar omong doang. Mulutnya lebih besar daripada otaknya.
“Tentu saja kau tidak bisa masuk ke sana. Di kelasku, hanya orang-orang terpilih saja yang bisa masuk ke sana. Orang yang punya otak,” dengan sengaja aku menekan kata terakhir. Senyumku semakin mengambang dan puas karena Nero mengedip kebingungan. Tentu saja perkataanku akan sedikit memberatkan proses di otaknya. “Jadi, jika kau tak bisa masuk kategori tiga puluh besar peringkat sekolah dalam tiga kali ujian secara berturut-turut, kau tak berhak masuk kelas itu.”
Nero tersenyum sok tahu sambil manggut-manggut. “Tiga kali ujian secara berturut-turut dan semuanya harus masuk tiga puluh besar,” ulangnya. “Kapan ujian sekolah dimulai?”
“Ujian sekolah diadakan dua minggu sekali. Minggu depan, hari Kamis, adalah ujian sekolah. Memangnya kenapa, Nero? Apakah kau berniat masuk ke kelasku? Kau tak akan bisa, Nero.”
Yang mengherankan, cowok itu masih tersenyum. “Dan kenapa aku tak bisa?”
Aku menjawab dengan kejam. “Karena kau tak punya otak dan lebih sering bertingkah gila.”
“Wahahaha.” Dia terbahak. Segera saja tekanan berat yang tadi menguap di sekitar kami meledak dan hilang begitu saja, menjadi aura dingin menyegarkan.
“Kenapa kau tertawa?” kataku tersinggung. Aku benar-benar tak habis pikir dengan sikapnya yang satu itu. Apa Nero tak pernah sakit hati? Apa dia tak bisa merasakan aura pembunuhku? Apa dia juga tak bisa bersikap serius sedikitpun?
“Tsk tsk tsk,” Nero geleng-geleng kepala. “Kau akan menyesal, Niken,” kata Nero penuh perasaan. Dan karena alisku menaik keheranan, dia menambahkan lagi, “Karena aku akan mendepakmu dari peringkat satu.”
Beraninya dia!
“Coba saja kalau kau bisa!” raungku marah.
“Aku memang bisa,” katanya santai.
Ingin sekali aku mencekiknya saat itu juga.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.