RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, 29 Mei 2011

Love Love Love Eps 15

Love for you Love for my family Love for my friend

written by: Glorious Angel

helped by: Prince Novel

15.

Refan with Grace

Refan mengambil soal itu dan duduk untuk mengerjakan soal itu. Berulang kali dia melempar kertas karena tidak menemukan jalan yang sesuai. Berulang kali dia membaca maksud soal dan berulang kali itu pula dia terdiam sambil berpikir. Dia juga tidak menyadari ketika Kim bolak balik mengantarkan minuman dan makanan.

“Papa pulang... aduh, pegal...” kata Geon yang baru datang dari kantor. Grace menyambutnya sambil mengambil kopor ditangan Geon. “Makasih, Sayang...loh?” Geon terheran saat melihat Refan yang berdiri. “Kau anak Hezekiel kan?”

“Ah, iya.”

“Waktu habis. Udah pulang, Pa?” kata Evan ramah sambil mengambil kertas di tangan Refan.

“Papa curiga melihat senyummu itu, Evan,” kata Geon ketika melihat senyuman Evan.

Evan mengerutkan dahinya melihat soal yang dijawab Refan. Baru separoh jalan, itupun cuma benar lima baris doang.

“Yah... gatot. Nilai lima,” kata Evan. “Laksanakan ujian yang selanjutnya.”

“Tapi—”

“Mi—”

“Baik-baik,” kata Refan memotong. Evan tersenyum penuh kemangan. Refan sama sekali tidak menyadari waktu karena tadi mengerjakan soal milik Evan. Udah jam delapan malam.

“Anak Hezekiel, ayo makan dulu,” kata Geon memanggil dari dapur.

Evan mengedip pada Refan.

Keluarga Grace sudah berkumpul di meja makan. Mau tak mau Refan juga menuju meja makan. Dia duduk disamping Daniel—Harry memelototinya ketika dia hendak duduk disamping Grace.

“Rasanya ada yang aneh disini, Ma,” kata Geon heran. “Harry, ada apa?”

“Nggak ada apa-apa,” kata Harry cepat.

“Harry marah karena Anak Hezekiel mengalahkannya dalam hal memasak, Pa,” kata Mark. “ADUH!” Mark mengeluh karena Harry baru saja menginjak kakinya.

“Wah... ada yang bisa mengalahkan Harry ya... tidak disangka,” kata Geon kagum. “Sekali-kali aku juga ingin mencicipi masakanmu.”

“Ini semua masakan Refan, Pa,” kata Kim menujukan makanan di meja makan. “Iya kan, Fan?” dia tersenyum pada Refan.

“Loh, Kim, bukannya kau marah padanya karena merusak senar biolamu?” kata Evan.

“Oooh, senarnya udah diperbaiki, jadi nggak masalah lagi sekarang,” kata Kim.

“Kau selalu menggampangkan permasalahan, ya?” gumam Daniel mengambil sayur.

Dalam acara makan malam itu tidak ada yang bicara kecuali dentang-denting sendok. Grace berdeham dan berkata dengan Papanya, “Pa, apa sih artinya leidu?”

Goen mengerutkan dahi. Abang-abangnya berhenti makan. Refan sampai terbatuk-batuk.

“Leidu?” Geon mengulang. “Papa tidak pernah dengar ada kata itu di kosakata bahasa Inggris. Kamu salah dengar kali sayang.”

“Iya, Grace. Nggak usah dipikirin,” kata Evan cepat. “Kayak mana di sekolah, Dek?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan!” kata Grace sebal. “Pa, kata Bang Kim itu bahasa Jerman. Leidu itu.. atau ih liebe du... pokoknya yang itu...”

“Dek, kayak mana pelajaranmu?” kata Evan lagi. Harry membantu, “Oh, ya, Dek, tadi ada yang nelepon loh. Rachael. Dia bilang ada urusan penting yang mau dibicarain.”

“Kim, memangnya apa yang dimaksud Grace?” Geon bertanya pada Kim yang sedari tadi kelihatan hendak menghilangkan keberadaan.

“Aduh, Pa. Nggak usah dipikirin,” Mark memotong Kim yang mau bicara. “Papa makan aja dulu makanannya entar dingin udah nggak enak lagi.”

“Mama tidak mengerti kalian bilang apa!” kata Tarandra. “Kalau mau ngomong satu-satu dong!” meja makan sunyi dalam sekejap. “Kita lagi makan anak-anak.”

“Iya, Ma,” kata Harry meminum tehnya.

“Nah, Kim?” Geon menoleh lagi pada Kim. Gawat. Kalau Kim yang ditanya pasti langsung ketahuan. Soalnya dia kan lemot.

“Itu, Pa. Grace tanya apa arti dari ‘Ich leibe du’,” kata Kim polos.

Tuh, kan...

Geon manggut-manggut. “Lalu, apa artinya?”

“Eh?” Kim bengong, begitu juga dengan anak-anaknya yang lain. “Papa nggak bisa bahasa Jerman ya?”

“Hahaha, Papa cuma bisa bahasa Inggris dan Prancis. Bahasa Jerman itu susah. Lalu, apa artinya, Nak?” kata Geon.

“Artinya Aduh!!” Kim meringis ketika Daniel menusuk kaki Kim dengn garpu.

“Aduh? Arti ich leibe du itu aduh ya? Agak mirip, sih,” kata Geon lagi.

Fiuh....

“Masa sih?” Grace tidak percaya. “Masa Refan bilang aduh padahal dia nggak kesakitan apa-apa padaku,” katanya lagi. Refan terbatuk lagi.

“Eh? Yang bilang itu Anak Hezekiel ya?” kata Geon lagi.

“Namaku Refan, Oom bukan Anak Hezekiel.” Kata Refan sebal menyeka air di mulutnya.

“Refan...? Mirip dengan nama anjingmu ya, Kim?” kata Geon pada Kim yang nyengir bersalah—kakinya masih sakit. “Lalu, apa artinya? Apa ada arti lain? Kalau kamu yang bilang kamu pasti tahu artinya kan?”

WHAAAAAAAAAAAT?

“Eh? Eh... ng... itu...” Refan menelan ludah sambil melihat kesana kemari.

Rrrrrrrrrrrr....rrrrrrrrrrrrrrrrrrr.....

Fiuh...... lagi.....

“Mark, angkat teleponnya,” kata Geon. Mark bangkit dan mengangkat telepon cepat-cepat. “Lalu, tadi apa artinya?”

Aduh!! Papa keras kepala banget!!

“Pa, ada telepon dari Hezekiel!” Mark berteriak.

Geon geleng-geleng kepala. Ya ampun. Dia bangkit dan mengangkat telepon.

Selamat....

“Ya halo?” Geon mengangkat telepon itu.

“Geon, apa anakku ada di rumahmu?”

“Iya. Dia ada.”

“Bisa aku bicara dengannya?”

“Oh sebentar. ANAK HEZEKIEL! Telepon!” kata Geon. Dia meletakan gagangnya dan menekan tombol speaker. Dia berselisih jalan dengan Refan saat hendak kembali ke meja makan.

“Halo?”

“ADA DIMANA KAMU? KENAPA BELUM PULANG?”

Refan menyingkirkan gagang teleponnya. Dia menoleh kebelakang dimana keluarga Richard kelihatan shock mendengar suara Hezekiel. “Pa, jangan teriak-teriak di depan telepon.”

“PAPA TIDAK PEDULI! SEKARANG PULANG! DARI TADI MAIN MELULU! KAMU—”

Refan sudah menutup teleponnya sebelum Papanya selesai berceramah.

“Oom, Refan pulang dulu,” Refan sengaja menyebut namanya supaya diingat Geon.

“Papanya seram,” komentar Drew.

***

Minggu. Ujian Kedua.

Setelah keluar dari ibadah Minggu, Refan datang lagi ke rumah Grace. Kali ini dia langsung datang menemui Geon.

“Oom, Refan disuruh untuk mengerjai Anda oleh Evan.”

Tidak bisa dipungkiri kalau Geon marah besar. Hehe, rasain. Dia langsung turun dari tempat Geon dan menemui Daniel.

“Apa?” tanya Daniel heran.

“Ujian.”

“Sama Evan udah selesai?”

“Udah.”

“Tapi Evan masih keluar loh. Dia melapor sama dosen.”

“Aku udah selesai ujian,” Refan mengulang.

“Ya udah. Aku cuma bentar kok. Paling cuma lima menit,” kata Daniel. “Aku cuma menilai penampilanmu sama ekspresi wajahmu doang.”

“Ya udah.”

“Hm...” Daniel mengitari Refan. “Gaya oke, penampilan oke, tampang oke. Nilai tiga puluh.”

“Ha? Kok gitu?”

“Soalnya aku nggak suka punya saingan,” kata Daniel. “Nah, ujian yang kedua cukup gampang. Coba kamu tersenyum yang tulus kayak malaikat.”

Refan terpaku. “Aku nggak bisa.”

“Kau pasti bisa. Masa tersenyum aja nggak bisa?” kata Daniel. “Cepetan. Aku bakal nungguin dengan setia sampai kamu tersenyum.”

Refan mencoba lima menit... sepuluh menit... setengah jam.... satu jam....

“AAH! AKU BOSAN! Mana senyummu? Kau itu kayak patung tahu!” kata Daniel sebal. “Cuma menarik ujung-ujung bibirmu aja susahnya minta ampun!”

Refan menarik ujungt-ujung bibirnya sesuai dengan perkataan Daniel.

“Mirip orang sakit gigi,” komentar Daniel. “Nilai minus empat.”

“Ap—”

“Hay, Fan,” Grace turun dari tangga sambil tersenyum. “Selamat berjuang ya.”

“Makasih,” kata Refan tersenyum.

Daniel terpelongo. “Ya ampun... kau cuma tersenyum kalau ada Grace doang ya?”

Refan terdiam.

“Ya udah. Plus sepuluh kalau gitu. Ujian dariku selesai.”

Refan menghela napas lega. Selesai juga ujiannya.

“Ah, Refan anak Hezekiel, coba kemari sebentar,” Geon memanggilnya dari atas tangga. Baru pertama kali Geon memanggil namanya, tapi tetap saja ada embel-embel Anak Hezekiel di belakangnya.

“Kenapa, Oom?” kata Refan.

“Aku sudah tahu arti Ich leibe du. Kau suka Grace kan? Nah, Oom akan memberimu nilai kalau begitu. Tolong kamu bersihkan kamar Evan ya? Nanti kamu Oom kasih nilai seratus.”

“Dua ratus.”

“Baik. Dua ratus.” Geon setuju. “Ini kamarnya. Aku ngeri melihat kamarnya. Selamat berjuang ya.”

Geon turun sambil bersiul-siul.

Refan membuka pintu kamar Evan. Dia memandang jijik setiap barang yang tergeletak begitu saja di kamar Evan. Ada debu... pakaian, kaca pecah, kabel... ada ya orang yang bisa tidur di tempat seperti ini? Refan benar-benar tidak percaya.

Refan mulai membersihkan kamar Evan. Pertama-tama dia mengumpulkan pakaian kotor Evan yang setelah ditotal memenuhi sepuluh ember. Dia mengumpulkan buku-buku Evan yang berdebu—sempat dia ingin membaca tapi dia harus segera menepis keinginan itu. Lalu dia mulai menyapu, mengepel, melipat, menyusun...

Dia selesai ketika sore tiba.

“Capek...” keluh Refan.

“Wah... bersih...” Geon terlihat senang. “Nilai dua ratus. Hebat sekali.”

Refan tersenyum. Biar, deh... yang penting dapat nilai.

“Harry sudah masak cake. Ayo makan sama-sama, Refan.”

Keluarga Refan minus Evan mengadakan acara minum teh. Rasanya di rumah Grace nyaman sekali. Seperti tidak ada kekurangannya. Dia juga sempat makan malam di rumah Grace. Evan pulang ketika pukul delapan dan langsung berteriak mengagetkan.

“AAAAAAAAAAAAAAARGH!! KAMARKU!!”

Evan menuruni tangga. Wajahnya berang sekali.

“SIAPA YANG MEMBERSIHKAN KAMARKU?”

“Refan,” kata Geon.

“KAU—”

“Papa yang nyuruh, Evan.”

“Aku kan udah bilang kalo kamarku nggak usah dipegang-pegang! Aku nggak bisa mencari barang yang kutemukan kalau bersih begitu!”

Dahi Refan mengerut.

“Kau gila ya? Justru berantakan begitu nggak bisa dicari tahu,” kata Harry. “Udah untung ada yang bersedia membersihkan kamarmu.”

“Aku memang sengaja meletakannya disana supaya mudah dijangkau! Nggak usah ikut-ikut! Aku kehilangan dataku tahu!” kata Evan sebal. “Nilaimu minus dua ratus!”

“Tapi aku—”

“Dan karena kau tidak melaksanakan ujian pertama, nilaimu minus lagi dua ratus!”

“Tidak bo—”

“Melawan Juri! Minus SERATUS!!!”

Refan terdiam.

Evan berbalik dan naik ke kamarnya dengan langkah dihentak-hentak.

“Baiklah,” kata Harry tersenyum senang. “Kurasa sudah saatnya melaksanakan perhitungan nilai. Kita ke halaman belakang.”

“Evan?” kata Kim.

“Dia masih marah. Nggak usah diganggu,” kata Harry.

Mereka pergi ke halaman belakang. Kim membawa catatan.

“Nilai dari Harry dua ratus tujuh puluh,” kata Kim membaca catatannya. “Nilai dari Mark delapan puluh lalu minus enam puluh karena Refan melawan juri minus sepuluh. Nilai dariku minus seratus. Lalu nilai dari Evan plus lima, kemudian minus dua ratus karena tidak melaksanakan tugas pertama dan minus dua ratus karena membersihkan kamarnya lalu minus seratus karena membantah. Nilai dari Daniel tiga puluh untuk penampilan, minus empat karena senyuman yang kayak orang sakit gigi dan plus sepuluh karena tersenyum malaikat. Lalu nilai dari Papa ada dua ratus. Total...ehm minus tujuh puluh sembilan.”

Refan hampir pingsan saat mendengar total nilainya.

“Yah... nilai yang sangat mengecewakan,” kata Harry. “Bahkan nilaimu tidak menyanggupi nilai nol.”

Daniel geleng-geleng kepala.

“Tapi walaupun begitu, kami menerimamu kok.” Kata Mark.

“Eh?” Refan terbengong.

“Biar bagaimanapun, Grace akan memberimu nilai yang lebih dari kami,” kata Kim tersenyum. “Dan itu memenuhi nilai yang kami inginkan.”

“Yah... selamat bergabung dalam keluarga kami, Refan.”

Refan tidak bisa berkata apa-apa saat abang-abang Grace tersenyum padanya dan menyemangatinya.

“Terima kasih.”

“Tapi tampaknya kau harus menembak Grace lagi, deh. Soalnya Grace sama sekali nggak ngerti kau bilang apa. Jangan pake bahasa Jerman. Pake bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang dimengerti!” kata Evan dari lantai atas.

Mereka menatap Evan dan tertawa terbahak.

***

Refan memasuki kelas sambil memasukan tangannya ke kantong celana.

“Pagi, Pangeran!” sapa Pecinrai dan Evol.

“Selamat pagi,” balas Refan sambil melayangkan senyum menawannya. Pecinrai dan Evol nyaris pingsan saat melihat Refan tersenyum.

Anak-anak basket yang melihat adegan itu terbengong.

“Fan, kau sakit?” kata Choki heran. Disampingnya ada Rachael yang sama bingungnya dengan Choki.

“Nggak,” dahi Refan mengerut. “Kenapa?”

“Wajahmu ceria sekali. Jadi takut aku melihatnya,” kata Rachael bingung.

“Soalnya aku sudah dapat tepukan tangan, Rachael, tinggal mawar merahnya doang,” kata Refan.

Rachael terdiam.

“Begitu ya... yah.... mungkin memang waktunya. Kau sudah seharusnya mendapat itu kan?” kata Rachael lagi. “Kuharap kau menjaga mawarnya agak tidak layu.”

Refan tersenyum padanya.

“Tentu saja mawarnya tidak akan kubiarkan layu.”

Refan melewatinya. Tiba-tiba Rachael mendapat pencerahan. Dia merangkul Refan dan berkata, “Bagaimana kalau sekarang kita sobatan aja? Kita kan nggak bersaing lagi soal mawar merah. Gimana?”

“Lepaskan aku!”

“Kalau tidak mau rangkulannya nggak bakal kulepas.”

“Iya, iya!”

“Asiiik.”

***

“Loh? Refan?” Grace terheran ketika melihat Refan ada di pintu depan gerbang rumahnya ketika malam tiba. “Ngapain?”

“Ada yang mau aku tunjukin. Kau mau ikut kan? Sebentar aja.” Kata Refan.

“Tapi ini udah setengah dua belas, Fan.” Kata Grace melihat ke dalam rumah.

“Sebentar aja.” Refan memohon.

“Ya udah, deh.”

Refan menarik tangan Grace.

“Eh? Mau kemana, Fan? Pelan pelan dong!”

Grace harus berusaha menyejajarkan langkah panjang Refan dengan langkahnya yang pendek. Dia menurut saja ketika Refan membawanya ke salah satu helikopter yang baling-balingnya bergerak di lapangan bola.

“Ayo, naik!”

Di badan helikopter ada tulisan. “Hezekiel Heli”.

“Ketempat utama, Pak.” Kata Refan.

“Baik, Tuan.” Kata pilot di depan.

“Kita mau kemana?” kata Grace heran.

“Aku mau menunjukan sesuatu yang lebih indah dari yang pernah dipersembahkan Rachael untukmu.”

Grace terpaku.

Refan tersenyum dan mengacak rambut Grace.

Helikopter mereka terbang tinggi dan membawa mereka melewati lampu-lampu yang terang benderang dibawah. Grace menggumam takjub melihat kecantikan kota waktu malam. Dia juga takjub melihat bangunan yang menjulang tinggi. Angin menghembuskan udara yang dingin, Refan melepas jeketnya dan memberikannya pada Grace.

“Eh, makasih...” kata Grace gugup. Jantungnya berdegup kencang.

“Saatnya pertunjukan!” kata Refan meekan tombol di dekat kursinya. Kursi mereka bergerak dan memasang pegangan. Lalu dalam sekejap mereka berputar ke belakang. Di belakang mereka meluncur semburat kembang api berwarna-warni menghiasi langit malam diantara gedung-gedung bertingkat yang tinggi.

“Wow..., ” Grace mendesah kagum. “Keren!!”

Di kembang api ada tulisan...

Happy Birthday...

“Eh?”

“Sekarang tepat jam dua belas malam kan?” kata Refan tersenyum lagi. “Hari ulang tahun Grace kan?”

Grace terharu. Dia tidak bisa mengatakan ketika Refan ebrkata itu. Refan ingat padahal Grace sama sekali tidak pernah tahu apa-apa tentang Refan.

Refan menyodorkan pot bunga yang sudah dibungkus Refan.

“Apa ini?” kata Grace heran.

“Bibit bunga Agapanthus. Semoga bunganya bisa mekar dengan indah. Rawat baik-baik ya?” kata Refan lagi.

Grace menerima bunga itu sambil mengangguk. “Tentu.

Ting...

Tiba-tiba kedua bangunan tinggi yang mengapit itu menyala. Setiap jendela menghidupkan lampu masing-masing. Bangunan yang disebelah kiri membentuk huruf I. Bangunan disebelah kanan membentuk huruf U. Lalu kembang api berbentuk hati muncul di tengah-tengah.

“Eh... itu.”

Refan memegang tangan Grace. Jantung Grace seakan hendak keluar ketika melihat wajah Refan yang serius diantara temarang sinar.

“Aku memang tidak peka dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Sifatku jelek dan kadang aku bisa membuatmu kesal. Mungkin aku sering mengecewakanmu atau malah membuatmu merasa tersakiti. Tapi disamping itu semua aku senang bersamamu,” Refan meletakan tangan Grace didada kirinya.

Grace dapat merasakan detak jantung Refan yang cepat.

“Inilah perasaanku. Mungkin aku bukan yang terbaik, tapi aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi Grace. Aku sayang Grace karena itu... maukah Grace disisiku? Disampingku? Aku ingin menjaga Grace. Kalau bisa selamanya...”

Grace meneteskan air mata. Dia tertunduk malu pada Refan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Refan bakal membalas perasaannya.

“Aku juga sayang Refan.”

Refan tersenyum dan memeluk Grace.

***

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.