RSS
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 30 Maret 2009

StarBoy Eps 3,4


STAR BOY
by: Prince Novel
=====================================
Aku tidak dapat menepis kenangan,
Tidak bisa menjadi lebih baik
Tidak bisa mengatakan kejujuran,
Juga tidak bisa membuatmu mengerti
Kesedihan yang kurasakan, tidak akan pernah berarti apa-apa bagimu
3.
StarBoy’s Locker
Flo dari tadi hanya melipat tangan dengan sebal. Hari sudah mulai gelap tapi Reon tidak datang-datang juga sesuai dengan perjanjian. Tadi juga Reon bolos dan tidak masuk pelajaran terakhir. Flo memukul meja dengan berang. Sial. Dia mau main-main denganku rupanya.
“Lebih baik kita pulang saja,” Alex memcahkan kesunyian sambil menutup buku yang dari tadi dia baca. “Percuma menunggunya disini. Dia tidak akan datang.”
“Benar. Padahal kuenya enak begini,” Zacky menyeka mulutnya yang penuh gula. Dari tadi dia sibuk makan kue seorang diri. Esar menghentikan aksinya menulis jawaban dari soal yang dia kerjakan. Aster melongok dari permainan caturnya bersama Andrean.
“Kita pulang Flo.”
Flo keluar terlebih dahulu sambil mengepalkan tangan. Dia sudah habis kesabaran sama sikap Reon. Dia tidak akan memaafkannya kali ini. Tidak akan.
Keesokan harinya, Reon absen.
“Baru dua hari dia sudah bolos. Apa, sih yang dia kerjakan?”
Hari berikutnya juga.
“Apa tidak ada kabar dari Reon?” Bu Risa yang memeriksa absen mengadahkan kepalanya. “Flo, bukankah dia nggota StarBoy? Apa kau tidak tahu dia ada dimana?”
“Ti-tidak.”
Flo hanya menatap bingung bangku disampingnya. Dia heran sendiri, apa anak itu sudah mulai membandel? Kalau mengingat kembali kata-kata Reon sewaktu dia masuk, sepertinya dia memang suka bolos.
“Apa yang terjadi dengannya, ya?” Andrean menggigit kuku jarinya dengan khawatir. “Dia sudah absen empat hari. Apa kita harus ke rumahnya? Bagaimana menurutmu?” dia mengadahkan kepala pada Aster.
“Aku tidak peduli.” Katanya enteng.
“Tapi aku merasakan hal yang buruk terjadi dengannya. Bagaimana kalau kita datang saja ke rumahnya?” kata Andrean lagi.
“Kalau aku datang ke rumahnya aku pasti akan melayangkan tinjuku padanya,” kata Flo sebal. Dia masih sakit hati. “Jadi lebih baik tidak usah.”
“Aku rasa Andrean dan Aster saja yang menjenguknya,” celetuk Zacky. “Aster bisa diandalkan kalau Reon mengamuk, tapi Reon juga tidak akan berani menyakiti Andrean, sih. Soalnya Andrean kayak perempuan. Aku yakin Reon tidak akan mau memukul perempuan.”
“Jangan mengatainya perempuan,” kata Aster dalam.
“Sori,” kata Zacky lagi sambil lalu.
Aster dan Andrean memang teman sejak kecil dan tugas Aster-lah untuk melindungi Andrean. Lagipula, orang tua Andrean merupakan atasan orang tua Aster. Jadi kewajiban untuk melindungi Andrean selalu ada pada Aster.
“Tidak. Kita ini StarBoy, maka kita harus pergi bersama. Flo aku minta kau menjaga sikapmu nanti. Tolong jangan melayangkan tinjumu,” kata Alex datar. “Aku akan mencari dulu alamat Reon di buku siswa.
“Percuma,” tiba-tiba Esar bericara. Dia memperbaiki kacamatanya sebelum melanjutkan. “Aku sudah datang lebih dulu ke rumahnya. Hasilnya nihil. Itu alamat palsu.”
“Apa? Kau mencarinya sendiri?” kata Zacky tidak percaya. “Kupikir kau tidak peduli sama anak baru itu.”
“Yah, awalnya…” kata Esar. “Tapi mau tidak mau ada yang membuatku tertarik pada pribadinya. Lagipula, jika melihat dari keadaannya saat bolos itu aku merasa ada yang aneh. Dia seperti mengkawatirkan sesuatu.”
“Eh? Esar melihat Reon sebelum kabur?”
“Hanya sekilas sewaktu di koridor.”
“Baiklah. Kalau Esar sudah datang ke rumah itu dan ternyata rumah itu palsu, kita tidak bisa mengetahui dimana Reon kan?” Flo menggaruk-garuk kepalanya. “Kita tunggu saja sampai dia datang sendiri ke sekolah.”
“Aku juga setuju. Kalau tidak ada kabar begini kita mau mencari dia dimana? Masa kita harus mencarinya di kota sebesar ini?” Zacky mengangguk-angguk.
Esoknya, Esar berlari melewati lapangan dengan terburu-buru. Dia menubruk beberapa siswi dan tidak berhenti untuk meminta maaf.
“Flo!”
Flo, yang sedang main basket dengan beberapa teman-teman berandalannya, hanya bisa terbengong melihat Esar berlari-lari panik. Dia berhenti bermain basket dan keluar lapangan. Alex yang sedang membaca buku di dekat lapangan juga mendatangi Esar, begitu juga dengan Andrean dan Aster yang sedang bermain kartu di bawah pohon.
“Ada apa?” kata Flo santai menyeka keringatnya.
“Kau harus membantu Reon, dia dikeroyok geng berandalan!” teriak Esar menarik tangan Flo. “Cepat! Kita harus menolongnya! Aku melihatnya mengucurkan darah!”
Flo hanya dapat mengerutkan dahinya saat Esar menariknya. StarBoy yang lain pun hanya bisa diam tanpa kata dan mengikuti Esar. Dikeroyok? Reon dikeroyok? Hal bodoh apa yang membuat anak dari Australia itu dikeroyok begitu cepat? Beberapa hari lalu dia tidak masuk dan tanpa kabar, sekarang dia malah dikeroyok geng berandalan. Benar-benar bikin susah!
“Itu. disana.” Esar yang ngos-ngosan menunjuk ke depan. Tidak jauh beberapa meter dari tempat mereka, mereka melihat kerumunan orang yang sepertinya sangat berbahaya. Mereka semua memegang balok kayu panjang atau besi dan benda-benda yang bisa dijadikan senjata. Dan ditengah-tengah kerumunan, mereka juga dapat melihat Reon. Dia kelihatannya berupaya untuk membela dirinya.
“Menyerah saja! Kau tidak akan bisa melawan kami!”
“Bunuh!”
“Ga—gawat sekali. Telepon polisi,” Andrean mengeluarkan ponselnya. Esar buru-buru mengambil ponselnya.
“Kau gila? Kalau kau menelepon polisi, Reon juga bisa ditangkap. Kita harus berpikir tenang disaat begini.” Kata Esar.
“Tidak perlu. Kelamaan!”
Flo berlari ke arah kerumunan, Aster dan Zacky juga menyusul dari belakang.
“Sebaiknya kita serahkan urusan ini pada orang yang bisa diandalkan. Contohnya mereka bertiga yang sangat hobi berkelahi,” kata Alex tenang.
“Kau ini benar-benar Ketua Osis tidak, sih?” kata Esar sebal. “Sebaiknya kita bilang sama sekolah. Sekolah pasti bisa mengatasi masalah ini.”
“Tidak mungkin. Mereka berempat bisa dikeluarkan dari sekolah dengan alasan membuat malu nama sekolah. Sebaiknya kita lihat keadaannya saja. Jika mereka tidak sanggup melawan geng itu baru kita mencari bantuan. Lagipula…”
“Lagipula…?” kata Andrean ketakutan.
“Lagipula mustahil berandalan itu tidak mengenal Flo.”
“Iya juga ya.”
Flo berteriak membuat kerumunan berandalan itu berhenti beraksi untuk beberapa waktu. Dengan gaya yang cool dan tanpa rasa takut sekalipun, dia berkata lagi. “Boleh ikutan main tidak? Satu lawan banyak nggak seru loh. Bagaimana kalau melawan kami juga?”
Reon menyeka darah dari pelipisnya. Flo…?
“Siapa kalian? Oang luar jangan ikut campur!”
Salah seorang dari kerumunan itu berjengit. “Bos… dia itu kan yang tahun lalu.”
“Ha?”
“Andres Floyan, Ketua berandalan yang menguasai empat sekolah.”
“Apa kabar?” kata Flo meremas jarinya. “Ternyata kalian yang tahun lalu, ya? Masih mau cari gara-gara? Itu temanku loh. Kalian bisa kuhabisi sekarang juga ditempat ini kalau tidak cepat pergi dari sini. Bagaimana?”
Barandalan-berandalan itu mundur selangkah. Mereka sepertinya mulai menyadari kalau mencari keributan dengan Flo sama sekali tidak efektif saat ini. Mustahil bagi mereka untuk melawan Flo yang punya anak buah siap tempur yang jumlahnya mungkin sekitar dua ratus orang.
“Baik. Kami mundur. Tapi katakan pada temanmu untuk tidak mencari keributan dengan geng kami lagi. Jika sekali lagi dia melakukannya, dia akan habis.”
Mereka pergi secara teratur, walaupun sempat mendorong jatuh Reon.
“Tuh, kan beres seketika.” Kata Alex enteng.
Andrean berlari kearah Reon yang cuma bisa diam tidak bergerak. Wajahnya penuh lebam, sepertinya dia sudah lama dikeroyok.
“Kau tidak apa-apa? Untung saja Flo berandalan, jadi dia bisa menolongmu, ya?” kata Andrean menolong Reon untuk berdiri.
“Andrean, jangan jujur begitu, dong,” kata Flo lagi. “Lukamu tidak parah kan?”
“Bukan urusanmu,” gumam Reon menyeka darah dari sudut bibirnya.
“Kau ini sudah ditolong masih saja sombong!” Flo berteriak sebal sambil menarik kerah baju Reon. “Harusnya kau mengucapkan terimakasih karena sudah ditolong olehku!”
“Aku tidak minta ditolong olehmu,” katanya lagi datar.
“Kau ini benar-benar mau dipukul, ya?” gumam Flo lagi mengangkat tinjunya dengan sebal. Andrean menghalangi Flo dan menyeruak ke tengah-tengah.
“Reon, jangan kasar! Kau masih mau melukai Reon yang terluka parah?”
“Kalau memukulnya bisa memperbaiki otaknya sama sekali tidak masalah bagiku!”
“Otakmu yang perlu diperbaiki.” Kata Reon lagi datar. Matanya menatap ke bawah.
“Awas kau, ya!!” Flo hedak memukul Reon, tapi Aster dan Zacky segera memegangi tubuhnya. “Lepaskan aku! Biarkan aku memukulnya! Esar, kau salah menolongnya! Lebih baik kita membiarkannya saja! Orang seperti dia, kita tidak butuh!”
Anak sepertimu, Ayah tidak butuh!
“Bagus kalau begitu,” kata Reon berbalik pergi. “Jangan cari aku.”
“Hey, tunggu! Aku belum selesai bicara! Apa maksudmu memalsukan alamat rumahmu! Kenapa kau tidak datang pada—TUNGGU DULU!! KURANG AJAR!!”
Andrean menatap bergilir dari Flo dan Reon yang berjalan berlawanan arah dengan tidak peduli. Dia mengerutkan dahi saat melihat sosok Reon yang tidak berbalik sedikitpun. Rasanya ada yang aneh, Reon seperti menyembunyikan sesuatu.
“Anu, Reon,” Andrean mengejar Reon.
“Jangan ikuti aku.”
“Lebih baik kita rawat dulu lukamu. Kita bisa ke rumah sakit.”
“Nggak butuh.”
“Andrean, percuma saja kau perhatian sama makhluk batu kayak dia!” kata Flo yang masih berang. Dia masih dipegangi Aster dan Zacky, sepertinya mereka takut kalau Flo bakal menyerbu Reon.
“Kalau begitu ke rumahku saja. Rumahku tidak jauh dari sini, kita bisa mengobati lukamu. Kalau dibiarkan nanti bisa membekas loh.”
Reon berhenti. “Ha?”
“Tidak mau, ya? Kalau begitu ke rumahmu saja. Orang tuamu ada kan? Eh, tapi tidak bisa ya. Kalau mereka melihatmu dalam keadaan begini, mungkin kau bakal dimarahi.”
Reon menaikan alisnya. Bingung sendiri.
“Kau dengar kan dari tadi aku bilang apa?” kata Reon sebal. “Aku bilang jangan ikuti aku dan aku sama sekali tidak butuh dengan perhatianmu. Percuma saja. Jadi tinggalkan aku sendiri sekarang juga.”
“Tapi, bukankah orang terluka sebaiknya segera diobati?”
“Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kalau begitu mau kutemani?”
“A—Apa?” kata Reon lagi.
“Orang terluka sebaiknya ditemani. Soalnya pasti sakit sekali kan? Apa kau tidak mau ditemani?”
Orang ini… baru pertama kali aku melihat ada orang sepolos dia! Apa dia tidak menyadari kalau aku dari tadi tidak suka kalau dia mengikuti aku?
“Kau tidak keberatan kan?”
Tapi…
“Ada luka yang tidak bisa disembuhkan oleh diri sendiri loh.”
Dia benar…
“Yah… baiklah…”
“Cihuy!”
Reon hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya saat melihat senyuman Andrean. Alex hanya bisa menghela napas. Esar sendiri mengelus-elus dadanya. Flo cuma memasang tampang sebal, tapi dia tidak bisa melakukan apapun. Begitu juga dengan Zacky dan Aster.
“Andrean benar-benar seperti malaikat saja, ya,” kata Zacky meminum teh yang ditawari pembantu Andrean. “Reon sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa saat berhadapan denganmu.”
“Eh, aku cuma tidak tega melihat Reon pulang dengan wajah babak belur,” kata Andrean merendah. Dia melirik kearah Reon yang memegang kompres. “Reon, perlu ditolong?”
“Tidak usah,” katanya pelan.
“Kubantuin, deh,” Flo mengambil kompres dari tangan Reon dan membersihkan luka Reon. “Dari tadi kau tidak membersihkan dengan benar tahu. Memangnya bisa dilihat sendiri?”
“Flo ternyata baik, ya,” kata Andrean lagi.
“A—? Jangan mengataiku begitu!” wajah Flo merah padam saat dia mengatakan hal itu sehingga tanpa sadar tangannya terlalu keras menekan luka Reon.
“Sakit tahu!! Bagian mana yang kau pegang!” gerutu Reon. “Lebih baik aku mengobatinya sendiri! Berikan kompresnya!”
“Ini gara-gara Andrean ngomong yang tidak-tidak!” kata Flo lagi. Dia menarik kompres yang diambil Reon.
“Aku tidak butuh bantuanmu! Berikan kompresnya!” Reon menarik kembali kompresnya.
“Aku mau mengobatimu, bodoh!”
“Idiot sepertimu tidak bisa melakukan apa-apa!”
“APA? HEH, NANTANG, NIH! Kau benar-benar tidak tahu berterima kasih! Sudah ditolongin juga!”
“Jadi kau mau apa?”
“Bilang terimakasih atau apa kek. Kau—”
“Baik. TERIMA KASIH!”
Flo terdiam beberapa saat. Reon kembali memeras kainnya dan meletakannya lagi di wajahnya. “Eh, kau bilang apa barusan?”
Reon tidak menjawab.
“HEY!! AKU BERTANYA PADAMU!”
“Kau ini benar-benar menyebalkan,” gumam Reon lagi. “Aku bilang terima kasih. Kau ingin aku mengulangnya berapa kali sampai kau puas, hah?”
“Seribu kali,” kata Flo sombong.
“Kau sudah gila,” gumam Reon cuek.
“AWAS KAU YA!!!”
***
Reon memarkir motornya di basement. Dia melepas helmnya dan mengeluh sedikit. Dia memegangi dagunya yang terluka dan mengeluarkan darah, sebelum kesini dia sempat berkelahi lagi dengan sesorang. Rasanya akhir-akhir ini dia jadi sering berkelahi. Gara-gara Dipo….
“Aku tidak akan melakukan apapun pada wali tersayangmu itu, tapi ada sayaratnya Reon. Bagaimana kalau kau bergabung dengan geng kami? Kami kekurangan orang, nih.”
Reon menghela napas sambil menyeka darah dari dagunya dengan ujung lengan jeket putihnya. Dia menarik tasnya dan berjalan menuju kelasnya. Sudah enam hari dia tidak masuk—rasanya lebih parah daripada sekolah yang dulu. Dalam seminggu, dulu, dia hanya masuk tiga kali, sekarang malah enam hari… padahal hari belajar kan ada lima hari.
“Pagi, Reon.”
“Pagi.”
Reon asal saja menjawab tanpa mempedulikan siapa yang menyapanya pagi ini. Dia menyeka darahnya lagi. Aduh, kok nggak berhenti, sih?
“Tumben datang,” kata Flo sebagai ucapan selamat paginya. Dia nyengir lebar di depan pintu. “Kupikir kau tidak datang, sedang istirahat mungkin atau—kenapa kau berdarah?”
Reon mendorong minggir Flo. Flo mengikutinya.
“Hey, kenapa kau berdarah?”
“Jatuh,” jawab Reon berbohong. Kalau dia jujur bisa-bisa Flo yang akan turun tangan. Reon sama sekali tidak suka ada orang yang suka ikut campur urusannya.
“Kau yakin? Sampai separah itu? Tapi kenapa rasanya wajahmu semakin parah saja? Coba lihat wajahmu, lebamnya semakin banyak.” Kaat Flo lagi menotol-notol lebam di pelipis Reon. Reon segera menyingkirkan tangan Flo.
“Bisa tidak sih kau tidak bertanya terus? Kau mengganggu,” kata Reon lagi. Dia mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan menyeka darah dari dagunya.
“Nanti sepulang sekolah datang ke Loker, ya?”
“Buat apa?”
“Lho, tentu aja buat pesta kan?”
Reon menatap wajah Flo yang kelihatannya tenang-tenang saja. Dia sama sekali tidak mempersalahkan masalah minggu lalu ternyata.
“Baik. Aku datang.”
“Gitu, dong, Bro!” kata Flo meninju bahu Reon. Reon, secara refleks menyingkirkan tangan Flo. Flo baru saja menyentuh bagian tubuhnya yang luka. “Kenapa?”
“Nggak.”
Reon mengalihkan pandangannya kearah lain.
***
“Selamat datang Reon!!” anggota StarBoy berteriak seru sambil memecahkan beberapa petasan dan balon kearah Reon yang memasuki loker. Reon, rasaya seperti kejatuhan pita-pita dan seprihan yang berkilau-kilauan. Dia hanya tersenyum kecil saja saat mereka menepuk-nepuk punggungnya. Kau tahu kenapa? Karena punggungnya penuh luka.
“Kita makan kue!” Andrean merangkul tangan Reon—yang lagi-lagi segera disingkirkan dengan cepat oleh Reon. “Eh, kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Jawab Reon cepat. “Kue apa?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Tart,” jawab Andrean pelan. Dahinya mengerut. “kau yakin kalau kau baik-baik saja, Reon? Kau seperti menahan rasa sakit.”
“Eh, ng-nggak apa-apa, kok,” kata Reon lagi.
“Tunggu sebentar. Aku juga merasakan hal yang sama,” kata Flo menepuk bahu Reon, yang langsung disingkirkan Reon. “Kenapa bahumu?”
Reon memegang bahunya. “Aku kan sudah bilang, aku jatuh, jatuh dari motor.”
“Kalau jatuh harusnya dibawa ke rumah sakit saja. Kalau ada tulang yang patah bisa gawat. Nanti kau bisa cacat loh,” kata Andrean lagi, kali ini dia menarik tangan Reon. “Tanganmu juga ya?” kata Andrean dengan dahi mengerut saat Reon menarik tangannya kembali. “Reon?”
“Iya. Nanti. Kau tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja. Sudah biasa.” Kata Reon lagi.
“Sudah biasa? Maksudmu kau selalu jatuh dari motor?” kata Esar, dahinya mengerut.
“Reon, coba buka jeketmu. Aku mau lihat seberapa parah lukamu,” kata Alex pelan.
Reon menelan ludah saat anggota StarBoy menatapnya tanpa berkedip.
“Kalian tidak harus mencampuri urusanku kan?” kata Reon sebal. Dia melipat tangannya. “Kalau aku bilang bahwa aku baik-baik saja maka aku baik-baik saja.”
“Kenapa kau tidak menuruti perkataan Alex saja sih?” kata Aster lagi. “Jangan-jangan itu luka perkelahian?”
“Kenapa sih kau selalu berkelahi? Kau tidak punya hobi lain selain berkelahi?” kata Esar lagi dongkol. “Coba lihat lukamu.”
RRRR….RRRRR
Reon terlonjak kaget. Dia mengambil ponselnya dan mengangkatnya. “Halo?”
“Ada dimana?”
“Di sekolah.”
“Pulang sekarang. Ada yang mau kubicarakan.”
“Ya.”
Reon menutup teleponnya. “Aku harus pulang. Ayahku mencariku. Maaf aku tidak bisa ikut pesta.”
Reon menarik tasnya dan pergi tanpa ada yang menghalanginya.
“Apa-apaan, sih sikapnya itu?” kaat Flo sebal. “Dia lebih menyebalkan darimu Alex!”
“Apa maksudmu?” kata Alex tampak tidak terima. “Andrean, mau kemana?”
Andrean sudah ada di depan pintu. “Anu, aku mau mengikuti Reon. Aku mau tahu dimana alamat rumahnya.”
Alex dan Flo saling pandang.
“Kita ikut.”
***
4.
Reon’s life
Aster mengintip melihat Reon berjalan diantara gang kecil. Aneh sekali saat melihat Reon memarkirkan motornya kesalah satu rumah kosong tua dan dia sendiri berjalan lagi ke jalan raya. Mereka bersembunyi dengan cepat saat Reon berbalik ke belakang karena merasakan ada orang yang mengawasinya.
Reon menghela napas lagi. Karena sudak keluar dari kehidupan glamour seorang violis entah kenapa dia jadi paranoid terhadap sekelilingnya. Termasuk seakan merasakan adanya paparazzi yang membawa-bawa kamera.
Reon mengetuk pintu sebuah rumah kecil. Rudolph membuka pintu, wajahnya cemas.
“Reon, Ayahmu datang. Sebaiknya kau tidak pulang hari ini.”
Reon menggaruk-garuk kepalanya. “Dia tadi meneleponku, menyuruhku pulang. Mungkin ada yang mau dia bicarakan.”
Rudolph merangkul Reon dan menariknya keluar. Dia kelihatan khawatir sekali saat melihat sekali lagi kearah pintu. Dia berbisik dan kelihatan amat gelisah. “Kau gila? Kau sudah tahu alasan Ayahmu datang hanya untuk memukulimu. Sebaiknya kau pulang kemana saja, sudah cukup banyak luka di tubuhmu. Kemarin dia memakai sabuk, sekarang mungkin dia akan memakai rantai!”
“Aku tahu.”
“Lalu?”
“Walau bagaimana pun dia tetap Ayahku, Rudolph.”
Reon memperbaiki tas sampingnya dan berjalan menuju rumah itu. Rudolph menghalanginya. “Pergilah dari tempat ini sebelum terlambat. Aku akan bilang pada Ayahmu kalau kau punya urusan di sekolah.”
“Minggir, Rudolph.”
Reon mendorong minggir Rudolph. Dia memegang kenop pintu dan masuk ke dalam.
Aster, Esar, Alex, Flo dan Andrean keluar dari tempat persembunyian mereka. Walaupun tadi Reon berbicara dengan suara pelan yang amat pasrah, mereka dapat mendengar dengan baik kalau Reon sering dipukuli Ayahnya. Kalau begitu, luka yang ditubuh Reon tidak lebih karena ulah Ayahnya.
Andrean berjengit dan berlari kebelakang punggung Aster saat mendengar ada suara sabetan dari dalam rumah. Kemudian ada suara benda pecah.
“Cukup, Tuan Sagara! Akulah yang seharusnya Anda salahkan! Bukan dia!” terdengar suara Rudolph dari dalam.
“Minggir! Kau hanya guru biolanya! Kau tidak bisa mendidiknya sedikitpun!”
“Tapi cara Anda mendidik juga salah!”
“Aku tahu yang aku lakukan!”
Mereka mendengar suara sabetan lagi. Kali ini semakin parah saja.
“Apa Reon baik-baik saja?” kata Andrean lagi. Aster merasakan kalau tangan Andrean gemetaran.
“Kita harus menolongnya,” kata Alex. Dia memimpin mereka masuk ke dalam rumah. Dan dia berhenti saat melihat pamandangan di depannya.
“Ayah, jangan pukuli Waliku. Dia sama sekali tidak bersalah,” Reon merangkul Rudolph yang terjatuh di lantai. Wajah Reon sendiri penuh garis-garis merah. Ada darah keluar dari sudut bibirnya. Jeketnya sekarang lusuh dan memiliki bercak-bercak merah di beberapa sudut.
“Kau memang tidak tahu diri. Padahal kau sudah jadi violis hebat, berbakat, terkenal! Hanya karena orang ini…” laki-laki bertampang Eropa, yang sangat tampan andai saja dia tidak marah-marah, berteriak marah pada Reon. Dia memegang sabuk di tangannya.
“Aku punya alasan tersendiri untuk mundur,” kata Reon lagi.
Ayah Reon mengibaskan sabuknya lagi. Reon menutup matanya. Dia bahkan tidak bersuara saat menerima sabuk kulit itu menyentuk kulitnya dengan sangat cepat dan membuat bekas merah panjang.
“Ayah, sudah puas?” kata Reon lagi.
“Tidak tahu diri! Anak kurang ajar!”
Dia mengayunkan sabuk itu lagi. Beberapa kali sampai membuat air mata Andrean jatuh karena ngeri melihat adegan itu. Flo segera mengambil sabuk itu dari tangan Ayah Reon dan melemparnya ke ujung ruangan.
“Apa yang Anda lakukan? Apa salah Reon sampai Anda harus memukulinya?” Flo berteriak sambil mendorong Tuan Sagara merapat ke tembok.
“Kau siapa? Jangan ikut campur urusanku!” katanya balas berteriak.
“Kami teman-teman Reon!” kata Flo berang.
Flo…
“Kau tahu, karena Reon berteman-lah yang membuat dia tidak main biola lagi!”
“Tuan Sagara, hentikan—”
“Merokok! Alkohol! Polisi! Bahkan memakai barang haram yang seharusnya tidak digunakan remaja seperti dia!”
Rudolph menatap Reon yang hanya menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Kau tidak tahu seperti anakku! Aku yang tahu!” kata Tuan Sagara mendorong jatuh Flo.
“Tuan Sagara, kumohon… Reon—”
“Diam, Rudolph! Aku belum selesai!” kata Tuang Sagara lagi. “Aku bahkan amat malu mengakuinya sebagai Putraku! Apa yang sudah dia lakukan selama ini sebaiknya tidak kau sembunyikan Rudolph! Aku jelas-jelas melihat dia memakai obat!”
Rudolph menggeleng lemah.
“Tuan Rudolph, obat itu nyawa Reon…” katanya pelan.
“Nyawa katamu? “ ulang Tuan Sagara berang. “Kau seharusnya melarang Reon memakai obat itu! Apa yang kau pikirkan hah? Kalau dia mati karena over dosis, apakau bisa bertanggung jawab?”
“Tapi—”
“Jangan bicara lagi! Kau minggir dari situ biar aku yang mengajarinya!”
“Tidak—”
“Rudolph, minggir…,” kata Reon pelan. “Ini masalahku.”
“Tapi, Reon, Ayahmu tidak tahu apa-apa. Kita harus menjelaskan padanya.” Kata Rudolph lagi. Reon menggeleng.
“Ayah adalah tipe orang yang tidak punya kuping. Percuma saja kau menjelaskan. Sampai mulutmu keringpun, dia tidak akan mau dengar. Sekarang minggirlah, kau bisa terluka nanti.”
“Tapi—”
Pak Guru, kumohon menyingkirlah…”
“Aku tidak akan membiarkanmu dipukuli!” Andrean menyeruak kearah Reon. Tubuhnya gemetaran dan dia berkeringat dengan sangat gelisah. “Kau idolaku. Seperti apapun kau aku tetap terima. Menurutku, tidak ada orang yang bisa memainkan musik begitu menyayat hati seperti permainanmu.”
“Andrean… kau orang luar…”
“Dan aku juga tipe orang yang tidak punya kuping!”
“Kami tidak akan membiarkan kau terluka lebih parah,” kata Alex membantu Reon berdiri. “Kau tenang saja. Sesama StarBoy harus saling menolong kan?”
“Kalian…”
“Tuan Sagara, kalau ingin menyentuh Reon, Anda harus melewati kami dulu.” Kata Aster maju di depan mereka. Esar membatu Flo berdiri.
Tuan Sagara tampaknya tidak bisa berbuat apapun saat melihat benteng perlindungan yang diberikan StarBoy terhadap Reon.
“Reon, Ayah pasti datang lagi!” dia melempar benda di tangannya dan keluar dengan berang. Dia sempat menerobos Alex dengan tatapan marah.
“Ayahmu cukup menyeramkan juga,” ujar Flo saat Reo didudukan ke sofa terdekat.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Rudolph khawatir. “Lukamu yang kemarin belum sembuh, sekarang malah ditambahi luka yang lain.”
“Cuma luka kecil.”
Reon tersenyum menenangkan. Hal yang tidak pernah dilihat oleh StarBoy.
“Tapi—”
“Hanya luka kecil, kok, Rudolph,” kata Reon lagi. Senyumnya itu membuat anggota StarBoy bengong untuk beberapa saat. Wajah malaikat yang sekarang ditunjukan Reon sungguh tidak biasa. “Aku bisa mengobati lukaku sendiri. Apa kau tidak bekerja hari ini?”
“Aku akan mengambil cuti saja.”
Reon menggeleng. “Kau tidak boleh mengambil cuti. Pergilah bekerja. Aku sudah punya orang yang merawat serta menjagaku disini. Kau bisa mengandalkan mereka.” Reon menunjuk ke sekelilingnya.
Akhirnya Rudolph mengangguk dan menyerah.
“Aku minta tolong kalian menjaga Reon ya?” dia berkata pada Alex. “Dia satu-satunya anak didikku yang paling kusayangi.”
“Baik. Tidak perlu khawatir.”
Andrean dan Esar mengantar Rudolph ke depan pintu setelah mengucapkan terima kasih terlebih dahulu. Saat mereka kembali, tatapan Reon kembali lagi seperti biasa. Dingin dan tidak peduli. Bahkan senyum dan kehangatannya sama sekali tidak terasa.
“Wah, kau seperti punya dua kepribadian,” ujar Aster.
“Memang,” kata Reon setuju. Dia melepas seragamnya dan memperlihatkan tubuhnya yang penuh biru dan lebam. Ada yang berbekas lama dan ada yang masih baru. “Aku tidak punya alasan menghindari pertanyaan kalian sekarang. Berhubung aku sudah terjebak disini bersama kalian. Kalian sudah tahu dimana rumahku, ayahku, waliku, bahkan yang tidak kuharapkan sebelumnya, kehidupan pribadiku. Aku yakin sekali kalian akan bertanya.”
“Tantu saja kami akan bertanya,” kata Zacky setuju.
Reon mendesah. Dia bangkit dan mengambil es dari kulkas.
“Ya, sudah… bertanyalah.”
***

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Cm perasaanku aja atau mmng ada yg slah tulis ya prince?
Wktu andrean negur flo, itu tulisannya "reon, jngan kasar! ... "
Itu hrusnya "flo, jngan kasar! .." iya gk sih prince?
Hehe... Maaf ya nanyain hal kecil kyak gtu...

prince.novel mengatakan...

oh, iya, sori typoooo
hehehe
:D

Posting Komentar

 
Copyright ::-- Prince Novel --:: 2009. Powered by Blogger.Wordpress Theme by Ezwpthemes .
Converted To Blogger Template by Anshul Dudeja.